Kamis, 01 November 2018

SEJARAH GEREJA KATOLIK DI LARANTUKA DAN TANTANGAN MASA KINI



Yosep Belen Keban


Pembukaan
         Keberadaan agama di keuskupan Larantuka pertama-tama di bawah masuk oleh para pedagang dari Protugis di mana mereka berlayar menuju kepulauan Indonesia bagian Timur untuk mencari rempah-rempah. Kehadiran mereka di wilayah Sunda kecil (sebutan untuk daerah Nusa Tenggara) sekitar abad ke-16. Seperti yang diketahui bahwa pada zaman itu kepulauan Indonesia merupakan penghasil rempah-rempah. Oleh karena itu, para pedagang nekad berlayar menantang ombak dan keekstreman cuaca hanya demi rempah-rempah.  Keberadaan mereka tidak hanya berdagang namun berinisiatif dalam penyebaran iman katolik juga. Setelah para pedagang misi dilanjutkan oleh para misionaris yang diutus pemerintahan Protugis. Kehadiran mereka tidak terlalu lama karena adanya konflik kepentingan dalam hal ini politik maka daerah Solor dan sekitarnya diserahkan kepada Belanda.
            Meskipun iman katolik awal di pulau Flores jatuh di tanah Larantuka sehingga pada tahun kemarin dirayakan 5 abad Gereja Katolik di Larantuka namun hal itu tidak terlepas dari persoalan-persoalan yang dialami. Persoalan-persoalan itu mengingatkan kita pada persoalan yang dialami oleh Gereja katolik awali di mana adanya perpecahan dalam Gereja sehingga melahirkan konflik atau intoleransi itu sendiri. Dengan menilik potret Gereja yang berada dalam kumbangan persoalan atau wajah gereja yang muram maka diperluhkan pisau bedah untuk menyobek segala persolan itu lalu mencari solusi untuk menampilkan wajah gereja yang cerah atau bersinar. Hal ini berarti Gereja Larantuka sedang berkiblat pada sebuah pembaharuan.

Sejarah Singkat  Misi Gereja di Keuskupan Larantuka

A.    Penyebaran iman oleh pedagang dan misionaris Protugis
Para pedaganglah yang pertama kali menginjakan kaki di Pulau Solor pada tahun 1550. Ketika itu mereka berlayar menuju Laut Cina Selatan namun mereka beristirahat di Pulau ini. Persinggahan ini kemudian disertai dengan pengajaran agama dan sempat pula berhasil mempermandikan sejumlah umat pribumi untuk menganut agama katolik.[1] Setelah itu mereka berlayar lagi dan membiarkan iman umat bertumbuh sendiri. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada masa itu menjadi katolik hanyalah nama karena iman umat tidak diajarkan dan didik. Mereka hanya membaptis dan pergi tanpa pendalaman iman lebih lanjut. Intinya adalah umat bisa membuat tanda salib, berdoa Bapa Kami dan Salam Maria.
Kemudian pada tahun 1556 datang lagi kapal Protugis di Kepulauan Solor untuk kedua kalinya dan di sana mereka mengajarkan agama dan mempermandikan sejumlah orang pribumi termasuk raja Lohayong (Pada waktu itu wilayah ini menganut sistem kerajaan). Kedatangan mereka diikutsertakan juga Pater Antonio de Taveira, misionaris Dominikan pertama ke Solor. Setelah itu menyusul pula 3 orang misionaris Dominikan lainnya pada tahun 1561 yakni Pater Antonio de Cruz, Pater Simeo de Chagos dan Bruder Alexio.
Menyadari akan kelemahan dalam hal persenjataan sebab pada waktu itu terjadinya perpecahan dalam Gereja katolik yang berkiblat pada perang agama sehingga mereka membangun sebuah benteng di Solor yang dinamakan benteng Lohayong. Benteng itu dibangun untuk mempertahankan diri atau bersembunyi. Akan tetapi misi ini tidak bertahan lama sebab pada tahun 1613 Lohayong jatuh ke tangan kompeni Belanda (VOC). Dengan demikian umat katolik lari ke Larantuka sehingga misi berpindah tempat di Larantuka.
Konflik ini memecahkan suku-suku di wilayah ini sehingga sangat merugikan gereja katolik itu sendiri. Konflik ini berjalan cukup lama sampai akhirnya adanya penandatanganan Traktat Lisabon pada tahun 1859 mengenai pembagian wilayah koloni.[2]

B.     Masa Misionaris Belanda
           Setelah traktat Lisabon itu keluar tentu sangat berdampak pada kehidupan gereja katolik di mana diakui adanya kebebasan beragama di wilayah ini. Pergantian pemerintahan koloni tidak berarti bendera agama juga diganti.[3] Setelah Protugis angkat kaki dari daerah ini, karya misi selanjutnya diambil oleh para misionaris dari Belanda. Awalnya mereka mengirim imam Praja yakni Rm. Sanders, Pr yang tiba pada awal Agustus 1860.
          Selama berkarya di Larantuka, Rm. Sanders ini mengalami kesulitan dalam hal ini bahasa serta kebudayaan. Namun ia terus berusaha untuk melayani dengan hati. Penduduk di daerah ini suka mabuk-mabukan dan percaya akan takhyul. Animisme dipraktekan dengan leluasa, balas dendam dan kebiasaan tidak menguburkan mayat, dan aneka macam tindakan kezaliman yang dipertontonkan. Mengahadapi semua hal itu Rm. Sanders tetap tegar dan kuat. Mottonya ketika menilik tindak tanduk  masyarakat Larantuka demikian adalah “tollatur abusus, maneat usus[4] (kebiasaan yang keliru dibuang dan yang tingal hanyalah kebaikan). Pusat misinya  didirikan di desa Posto sebab tempat itu memiliki sebuah benteng Protugis dan kemudian menjadi tangsi Belanda serta dekat sebuah istana raja setempat. Tempat ini terbilang sangat jauh dari pusat gereja induk Larantuka. Selain itu ia membuka sekolah untuk pembinaan muda-mudi. Berkat tangan dinginnya pengertian umat akan agama katolik semakin berkembang dan mendalam namun sayang ia harus angkat kaki dari wilayah yang dicintainya ini karena penyakit yang dialaminya.
Pengganti Rm. Sanders adalah Rm. Fransen, Pr. Ia menindaklanjuti pekerjaan  pendahulunnya itu dengan mengunjungi umat-umat yang berada dipelosok-pelosok dan mengajar. Oleh karena perjalanan itu maka kesehatannya terganggu. Menyadari akan hal itu maka pada tahun 1863 ia mendapat seorang rekan kerja yakni Pater G. Metz. Pater inilah yang berjasa di daerah ini. Ia membaptis sejumlah besar umat, memberikan komuni pertama dan juga memberkati perkawinan raja Larantuka Don Gaspar Dias Viera Godinho dengan Dominga de Rozari. Namun kehadirannya juga tidak lama karena sakit.
Oleh karena umat sangat membutuhkan sosok gembala maka mereka mengirim para Pater Yesuit untuk bermisi. Pater Yesuit bekerja di Larantuka dari tahun 1892-1917  Salah satunya ialah Br. Y. M. Zinken, SJ dengan perhatian pada bidang pendidikan. Setelah sekian lama para Dominikan berkarya di sana maka pada tahun 1917 datanglah Serikat Sabda Allah dari Belanda menggantikan Yesuit di Larantuka. Mereka menaruh perhatian khususnya dibidang pewartaan, pendidikan, pembangunan sosial dan pelayanan sakramen. Kegiatan ini berjalan dengan cukup lancar sampai pada masa pendudukan Jepang.
    Ketika Jepang menjajah wilayah Nusantara termasuk Flores kegiatan ini mulai terhambat. Banyak misionaris asing diusir atau dijadikan tawanan. Oleh karena kebanalan resim Jepang maka pelayanan akan kebutuhan umat menjadi mandek. Umat merasakan kehilangan gembala mereka bagaikan domba-domba yang tak bergembala. Saat-saat ini disebut masa gelap atau “periode senyap” sebab tidak ada pelayanan atau pastoral umat. Meskipun dalam kondisi yang pelik namun Gereja di keuskupan ini tetap hidup karena berkat kaum awam. Hal yang membanggakan adalah adanya serikat Confraria yakni serikat awam yang dibentuk pada zaman Protugis. Organisasi ini lengkap dengan dewan kepengurusannya (procurador), penulis (escrivao), bendahara (theosoureiro), koster (capellao), dan pemimpin koor (mestre).[5] Berkat kehadiran merekalah iman umat di keuskupan ini bisa bertumbuh dan berkembang sampai dengan saat ini. Dari gambaran singkat ini kita mengetahui bahwa perluasan atau penyebaran agama katolik di daerah ini bertumbuh dalam proses yang rumit dan sulit. Itulah sekilas sejarah keuskupan Larantuka yakni dari masa misi Protugis hingga masa misionaris Belanda.
Fenomena Perpindahan Agama: Sebuah Tantangan Gereja Kini
            Meskipun memasuki usianya yang terbilang cukup tua di daerah Flores namun kehidupan Gereja di keuskupan ini masih jauh dari apa yang didambahkan. Begitu banyak problem yang dialami gereja setempat dan eksistensi problem tersebut seperti menggoreskan wajah gereja yang sekian lama dibingkai dengan indah. Potret gereja di keuskupan ini semakin tercoreng oleh karena beraneka faktor yang mempengaruhinya. Salah satu faktor yang mempengaruhinya dan merupakan tantangan gereja terberat di keuskupan zaman ini adalah begitu banyak umat katolik meninggalkan agamanya dan menganut agama Kristen protestan. Fenomena ini cukup marak dibeberapa tahun belakangan ini.[6]
 Adapun faktor utama yang menyebabkan seseorang itu dengan muda berpindah agama adalah faktor ekonomis dan minimnya pastoral karitatif di wilayah-wilayah yang terbilang cukup sulit untuk dijangkau. Para penganut Kristen Protestan bergerak dari wilayah pinggiran dan berusaha menyebarkan agama dengan cara memenuhi segala macam kebutuhan hidup para umat yang ada di sana seperti kebutuhan akan barang-barang sembako maupun biaya sekolah. Dengan tawaran demikian sejumlah besar umat katolik terperangkap dalam kata-kata persuasif dan dengan muda menanggalkan imannya hanya dan karena kebutuhan hidup. Menilik sejumlah modus yang dilakukan oleh para protestan itu membuat berang sejumlah umat katolik yang imannya terbilang cukup mengakar sehingga beberapa hari belakangan ini terjadi konflik antaragama. Misalnya di Adonara tepatnya di Baniona kemarin yang menyebabkan beberapa oang luka-luka. Memang hal ini cukup meresahkan dan sangat memprihatinkan sehingga menampilkan wajah gereja di keuskupan ini yang sedang dipolisi selimut duka, dibaluti ekspresi muram dan gelisah.

 Korelasi Tantangan dengan Sejarah Gereja Katolik Awali

            Fenomena di atas mengingatkan kita akan persoalan gereja awali di mana adanya konflik berdarah yang dilalui sekian puluh tahun lamanya. Diskursus-diskursus yang mental sehingga berkiblat pada perang agama karena masing-masing mengakui agamanya sebagai agama yang benar. Itu semua merupakan sebuah sejarah kelam yang berawal dari reformasi Lutheran pada dekade kedua abad XVI. Tentu masih sangat segar dalam pemahaman kita mengenai akibat perpecahan atau adanya reformasi protestanianisme dalam kehidupan menggereja. Mengapa hal itu terjadi? Hal itu terjadi karena Luther melihat ada ketidakberesan dalam lembaga gereja. Ketidakberesan itu disebabkan oleh faktor ekonomis[7]  sebagai salah satu penyebab utamanya dan juga keadaan atau para gembala yang lebih suka hidup atau bermisi di daerah kota sehingga umat yang berada dipinggiran jarang bahkan tidak sama sekali dituntun dalam kehidupan iman. 
Memang masih banyak faktor lain yang menyebabkan lahirnya reformasi namun yang saya temukan mengenai masalah pelik dia atas adalah kedua faktor itu. Oleh karena faktor ekonomi maka para kaum reformis berusaha mengeluarkan umat-umat dari perangkap kemiskinan yang membelenggu. Mereka kemudian melakukan reformasi dalam gereja sehingga melahirkan perang yang berkepanjangan. Konflik agama terjadi di muka bumi ini sebab semua orang mempertahankan agamanya sebagai agama yang benar. Intolerensi terlahir di saat-saat itu di mana kedua belah pihak saling menyerang dan membunuh dengan tragis.

Penegasan Rohani: Sebuah Tanggapan atas permasalahan
            Menengok persoalan di atas tentu sebagai anak keuskupan merasa kaget dan berang sekalipun. Kaget karena kok bisa hal itu terjadi di keuskupan yang mana selalu diagung-agungkan karena memiliki sejumlah tradisi yang kuat dan mengakar sampai dengan saat ini? Kaget juga karena hal itu merupakan tanda atau mensinyalirkan bahwa adanya kelemahan secara terstruktur dalam hirarki gereja lokal. Sedangkan berang karena mereka yang berpindah agama adalah para pengkhianat sebab mereka menyangkal imannya sejak sekian puluh tahun lamanya. Iman mereka seakan-akan tidak berakar sehingga mudah roboh dan mereka dengan mudah berpindah agama. Sebuah penyesalan yang tidak berguna sebab semuanya telah terjadi bukan saat ini tetapi dari tahun-tahun kemarin juga banyak umat di keuskupan ini berpindah agama. Perpindahan ini diakaibatkan oleh faktor ekonomis dan janji manis para penghasut sehingga tidak bukan melahirkan konflik itu sendiri.
            Persoalan di atas tentu dibutuhkan respon cepat dari gereja setempat agar mampu menjaga iman umat di keuskupan ini. Memang mengenai keyakinan atau agama itu milik individual atau sebuah hal yang bersifat privasi namun peran pemimpin agama dalam hal ini kiranya melakukan introspeksi diri, melihat secara tajam dan menukik ke dalam jangan sampai masalah ini merupakan sebuah kefatalan dari cara berpastoral kita. Saya berpendapat bahwa gereja tidak hanya mapan dalam hal liturgis namun kiranya harus keluar dari kemapanan, kemeriahan liturgis dan berusaha merangkul kehidupan umat dalam bidang karitatif  juga. Akhir-akhir  ini, para gembala di keuskupan ini terkesan arogan sehingga sukar sekali menjamah kaum-kaum miskin dan terbelakang. Gereja kiranya tidak hanya berkoar-koar kepada umat untuk tetap kuat dalam iman tanpa sebuah usaha. Gereja juga tidak harus bergerak lambat melihat fenomena ini sebab hal ini teramat serius. Saran saya yakni secepatnya gereja melakukan sebuah reformasi pastoral ala baru untuk mempertahankan iman umat dalam menghadapi tantangan dan hal itu tentunya dibutuhkan kerjasama dari semua umat dan gembala-gembala di keuskupan ini. Pentingnya memberi penegasan rohani agar tidak mencapai jalan buntuh bagi para agen pastoral dan memberi pemahaman kepada para agen pastoral bahwa kita berjalan mengikuti Yesus di dalam mereka yang pada saat ini merasa miskin akan segala hal materi.[8]

Sebuah Refleksi: Beriman kepada Allah atau Akan Materi?

            Beriman itu memang menyangkut hal privasi namun tidak juga demikian sebab individu yang beriman itu hidup dan berada dalam lingkup gereja sehingga teramat disayangkan jika seseorang itu pergi meninggalkan imannya. Tentu semua orang akan menelorkan nada-nada gelisah bahkan emosi melihat salah seorang dari anggotanya berpindah agama. Faktor kepindahan agama itu bermacam-macam namun sangatlah mengherankan jika melihat dan mendengar maraknya orang berpindah agama karena agama tersebut mampu menjamini kebutuhan hidupnya. Adakah demikian? Melihat realitas yang sedang terjadi di keuskupan Larantuka kini di mana iman disebarkan dengan cara persuasif melalui tawaran-tawaran materi melahirkan sejumlah pertanyaan dibenak ini. Apakah mereka sungguh beriman katolik selama ini? Apakah mereka menghayati benar nilai-nilai iman katolik? Jika hal itu dijawab “iya” pertanyaan selanjutnya adalah mengapa harus murtad? Jika kepergian mereka hanya karena hal-hal material yang bergelimang di agama lain maka saya akan bertanya lebih jauh demikian. Anda berpindah agama karena beriman akan kebenaran agama itu atau hanya dan demi materi? Beriman kepada Allah atau ilah-ilah yakni material itu sendiri. Logikanya demikian.
            Terlepas dari logika itu saya merefleksikan demikian. Persoalan yang sedang dihadapi adalah sebuah persoalan pelik dari persoalan-persoalan lainnya. Dan dugaan saya hal itu terjadi karena minimnya pelayanan atau pendampingan iman sehingga iman umat tidak berkembang atau goyah. Minimnya pelayanan atau reksa pastoral yang kurang  membuat umat kehilangan inti atau hakikat imannya. Selain itu, gaya berpastoral kita belum terlalu terpikat atau mengenah dihati umat atau pula cara hidup kaum berjubah juga bisa berdampak besar pada fenomena yang didiskursuskan ini. Nah, realitas ini kiranya sesegera mungkin di atasi agar tidak menimbulan konflik besar-besaran antaragama seperti pernah terjadi pada abad XVI sebab hal itu dapat merusak image gereja keuskupan Larantuka di mata dunia internasional sebab salah satu gereja katolik yang bersejarah adalah gereja di keuskupan ini.



Daftar Pustaka

Dopo, Edward R. Keprihatinan Sosial Gereja. Yogyakarta: Kanisius, 1992.

Kristiyanto, Eddy ., OFM. Reformasi dari Dalam: Sejarah Gereja Zaman Modern. Yogyakarta:     Kanisius, 2004.

ROSARIYANTO, F.Hasto., Dr., SJ. Bercermin pada Wajah-wajah Keuskupan Gereja Katolik Indonesia. Yogyakarta: Kanisius, 2001.

Vriens, G., S.J. Sejarah Gereja Katolik Indonesia 2. Ende: Percetakan Arnoldus, 1972.


[1] Dr.F.Hasto ROSARIYANTO, SJ. Bercermin pada Wajah-wajah Keuskupan Gereja Katolik Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 2001, hlm 22.
[2] Ibid.,hlm. 26-27.
[3] Pesan ini disampaikan oleh Fra. Gregorio dalam acara perpisahan. bdk. G. Vriens S.J, Sejarah Gereja Katolik Indonesia 2, Ende: Percetakan Arnoldus, 1972, hlm.103.
[4] Ibid.,hlm. 108.
[5] Ibid.,hlm. 108.
[6]  Fenomena perpindahan agama yang terjadi di Keuskupan Larantuka saat ini merupakan sebuah tantangan gereja dewasa ini. Pemindahan agama itu terjadi karena faktor ekonomi.  Fenomena ini terjadi disejumlah daerah di Keuskupan ini seperti di Tanjung Bunga, sejumlah daerah di Adonara, dan juga di Larantuka sendiri. Informasi ini saya peroleh melalui hasil wawancara saya dengan Bapak Agustinus Riwu pada hari Kamis,05 November 2015, Pukul 19.25. Beliau adalah seorang aktivitas yang bekerja dalam komisi Keuskupan Larantuka dan juga seorang ketekis.
[7] Eddy Kristiyanto, OFM, Reformasi dari Dalam: Sejarah Gereja Zaman Modern, Yogyakarta: Kanisius, 2004, hlm. 43.
[8]  J. Dijkstra, “ Iman dan Kemiskinan: Mencari Penegasan Iman Pelayan Para Religius di Antara Orang Miskin” dalam Edward R. Dopo (ed.), Keprihatinan Sosial Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 1992,hlm. 180-181.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar