Yosep Belen Keban
Pembukaan
Keberadaan agama di keuskupan Larantuka
pertama-tama di bawah masuk oleh para pedagang dari Protugis di mana mereka
berlayar menuju kepulauan Indonesia bagian Timur untuk mencari rempah-rempah.
Kehadiran mereka di wilayah Sunda kecil (sebutan untuk daerah Nusa Tenggara)
sekitar abad ke-16. Seperti yang diketahui bahwa pada zaman itu kepulauan
Indonesia merupakan penghasil rempah-rempah. Oleh karena itu, para pedagang
nekad berlayar menantang ombak dan keekstreman cuaca hanya demi rempah-rempah. Keberadaan mereka tidak hanya berdagang namun
berinisiatif dalam penyebaran iman katolik juga. Setelah para pedagang misi
dilanjutkan oleh para misionaris yang diutus pemerintahan Protugis. Kehadiran
mereka tidak terlalu lama karena adanya konflik kepentingan dalam hal ini
politik maka daerah Solor dan sekitarnya diserahkan kepada Belanda.
Meskipun iman katolik
awal di pulau Flores jatuh di tanah Larantuka sehingga pada tahun kemarin
dirayakan 5 abad Gereja Katolik di Larantuka namun hal itu tidak terlepas dari
persoalan-persoalan yang dialami. Persoalan-persoalan itu mengingatkan kita
pada persoalan yang dialami oleh Gereja katolik awali di mana adanya perpecahan
dalam Gereja sehingga melahirkan konflik atau intoleransi itu sendiri. Dengan
menilik potret Gereja yang berada dalam kumbangan persoalan atau wajah gereja
yang muram maka diperluhkan pisau bedah untuk menyobek segala persolan itu lalu
mencari solusi untuk menampilkan wajah gereja yang cerah atau bersinar. Hal ini
berarti Gereja Larantuka sedang berkiblat pada sebuah pembaharuan.
Sejarah Singkat Misi Gereja di Keuskupan Larantuka
A. Penyebaran iman oleh pedagang dan misionaris Protugis
Para pedaganglah yang pertama kali menginjakan kaki
di Pulau Solor pada tahun 1550. Ketika itu mereka berlayar menuju Laut Cina
Selatan namun mereka beristirahat di Pulau ini. Persinggahan ini kemudian
disertai dengan pengajaran agama dan sempat pula berhasil mempermandikan
sejumlah umat pribumi untuk menganut agama katolik.[1] Setelah
itu mereka berlayar lagi dan membiarkan iman umat bertumbuh sendiri. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa pada masa itu menjadi katolik hanyalah nama
karena iman umat tidak diajarkan dan didik. Mereka hanya membaptis dan pergi
tanpa pendalaman iman lebih lanjut. Intinya adalah umat bisa membuat tanda
salib, berdoa Bapa Kami dan Salam Maria.
Kemudian pada tahun 1556 datang lagi kapal Protugis
di Kepulauan Solor untuk kedua kalinya dan di sana mereka mengajarkan agama dan
mempermandikan sejumlah orang pribumi termasuk raja Lohayong (Pada waktu itu
wilayah ini menganut sistem kerajaan). Kedatangan mereka diikutsertakan juga Pater
Antonio de Taveira, misionaris Dominikan pertama ke Solor. Setelah itu menyusul
pula 3 orang misionaris Dominikan lainnya pada tahun 1561 yakni Pater Antonio
de Cruz, Pater Simeo de Chagos dan Bruder Alexio.
Menyadari akan kelemahan dalam hal persenjataan
sebab pada waktu itu terjadinya perpecahan dalam Gereja katolik yang berkiblat
pada perang agama sehingga mereka membangun sebuah benteng di Solor yang
dinamakan benteng Lohayong. Benteng itu dibangun untuk mempertahankan diri atau
bersembunyi. Akan tetapi misi ini tidak bertahan lama sebab pada tahun 1613
Lohayong jatuh ke tangan kompeni Belanda (VOC). Dengan demikian umat katolik lari
ke Larantuka sehingga misi berpindah tempat di Larantuka.
Konflik ini memecahkan suku-suku di wilayah ini
sehingga sangat merugikan gereja katolik itu sendiri. Konflik ini berjalan cukup
lama sampai akhirnya adanya penandatanganan Traktat Lisabon pada tahun 1859
mengenai pembagian wilayah koloni.[2]
B. Masa Misionaris Belanda
Setelah
traktat Lisabon itu keluar tentu sangat berdampak pada kehidupan gereja katolik
di mana diakui adanya kebebasan beragama di wilayah ini. Pergantian
pemerintahan koloni tidak berarti bendera agama juga diganti.[3] Setelah
Protugis angkat kaki dari daerah ini, karya misi selanjutnya diambil oleh para
misionaris dari Belanda. Awalnya mereka mengirim imam Praja yakni Rm. Sanders, Pr yang tiba pada awal
Agustus 1860.
Selama berkarya di Larantuka, Rm.
Sanders ini mengalami kesulitan dalam hal ini bahasa serta kebudayaan. Namun ia
terus berusaha untuk melayani dengan hati. Penduduk di daerah ini suka
mabuk-mabukan dan percaya akan takhyul. Animisme dipraktekan dengan leluasa,
balas dendam dan kebiasaan tidak menguburkan mayat, dan aneka macam tindakan
kezaliman yang dipertontonkan. Mengahadapi semua hal itu Rm. Sanders tetap
tegar dan kuat. Mottonya ketika menilik tindak tanduk masyarakat Larantuka demikian adalah “tollatur
abusus, maneat usus”[4]
(kebiasaan yang keliru dibuang dan yang tingal hanyalah kebaikan). Pusat
misinya didirikan di desa Posto sebab
tempat itu memiliki sebuah benteng Protugis dan kemudian menjadi tangsi Belanda
serta dekat sebuah istana raja setempat. Tempat ini terbilang sangat jauh dari
pusat gereja induk Larantuka. Selain itu ia membuka sekolah untuk pembinaan
muda-mudi. Berkat tangan dinginnya pengertian umat akan agama katolik semakin
berkembang dan mendalam namun sayang ia harus angkat kaki dari wilayah yang dicintainya
ini karena penyakit yang dialaminya.
Pengganti Rm. Sanders adalah Rm. Fransen, Pr. Ia
menindaklanjuti pekerjaan pendahulunnya
itu dengan mengunjungi umat-umat yang berada dipelosok-pelosok dan mengajar.
Oleh karena perjalanan itu maka kesehatannya terganggu. Menyadari akan hal itu
maka pada tahun 1863 ia mendapat seorang rekan kerja yakni Pater G. Metz. Pater
inilah yang berjasa di daerah ini. Ia membaptis sejumlah besar umat, memberikan
komuni pertama dan juga memberkati perkawinan raja Larantuka Don Gaspar Dias
Viera Godinho dengan Dominga de Rozari. Namun kehadirannya juga tidak lama
karena sakit.
Oleh karena umat sangat membutuhkan sosok gembala
maka mereka mengirim para Pater Yesuit untuk bermisi. Pater Yesuit bekerja di
Larantuka dari tahun 1892-1917 Salah
satunya ialah Br. Y. M. Zinken, SJ dengan perhatian pada bidang pendidikan.
Setelah sekian lama para Dominikan berkarya di sana maka pada tahun 1917
datanglah Serikat Sabda Allah dari Belanda menggantikan Yesuit di Larantuka.
Mereka menaruh perhatian khususnya dibidang pewartaan, pendidikan, pembangunan
sosial dan pelayanan sakramen. Kegiatan ini berjalan dengan cukup lancar sampai
pada masa pendudukan Jepang.
Ketika Jepang menjajah wilayah Nusantara
termasuk Flores kegiatan ini mulai terhambat. Banyak misionaris asing diusir
atau dijadikan tawanan. Oleh karena kebanalan resim Jepang maka pelayanan akan
kebutuhan umat menjadi mandek. Umat merasakan kehilangan gembala mereka
bagaikan domba-domba yang tak bergembala. Saat-saat ini disebut masa gelap atau
“periode senyap” sebab tidak ada pelayanan atau pastoral umat. Meskipun dalam
kondisi yang pelik namun Gereja di keuskupan ini tetap hidup karena berkat kaum
awam. Hal yang membanggakan adalah adanya serikat Confraria yakni serikat awam yang dibentuk
pada zaman Protugis. Organisasi ini lengkap dengan dewan kepengurusannya (procurador), penulis (escrivao), bendahara (theosoureiro), koster (capellao), dan pemimpin koor (mestre).[5]
Berkat kehadiran merekalah iman umat di keuskupan ini bisa bertumbuh dan
berkembang sampai dengan saat ini. Dari gambaran singkat ini kita mengetahui
bahwa perluasan atau penyebaran agama katolik di daerah ini bertumbuh dalam
proses yang rumit dan sulit. Itulah sekilas sejarah keuskupan Larantuka yakni
dari masa misi Protugis hingga masa misionaris Belanda.
Fenomena Perpindahan Agama: Sebuah Tantangan Gereja Kini
Meskipun memasuki usianya yang
terbilang cukup tua di daerah Flores namun kehidupan Gereja di keuskupan ini
masih jauh dari apa yang didambahkan. Begitu banyak problem yang dialami gereja
setempat dan eksistensi problem tersebut seperti menggoreskan wajah gereja yang
sekian lama dibingkai dengan indah. Potret gereja di keuskupan ini semakin
tercoreng oleh karena beraneka faktor yang mempengaruhinya. Salah satu faktor
yang mempengaruhinya dan merupakan tantangan gereja terberat di keuskupan zaman
ini adalah begitu banyak umat katolik meninggalkan agamanya dan menganut agama
Kristen protestan. Fenomena ini cukup marak dibeberapa tahun belakangan ini.[6]
Adapun
faktor utama yang menyebabkan seseorang itu dengan muda berpindah agama adalah
faktor ekonomis dan minimnya pastoral karitatif di wilayah-wilayah yang
terbilang cukup sulit untuk dijangkau. Para penganut Kristen Protestan bergerak
dari wilayah pinggiran dan berusaha menyebarkan agama dengan cara memenuhi
segala macam kebutuhan hidup para umat yang ada di sana seperti kebutuhan akan
barang-barang sembako maupun biaya sekolah. Dengan tawaran demikian sejumlah
besar umat katolik terperangkap dalam kata-kata persuasif dan dengan muda
menanggalkan imannya hanya dan karena kebutuhan hidup. Menilik sejumlah modus
yang dilakukan oleh para protestan itu membuat berang sejumlah umat katolik
yang imannya terbilang cukup mengakar sehingga beberapa hari belakangan ini
terjadi konflik antaragama. Misalnya di Adonara tepatnya di Baniona kemarin yang
menyebabkan beberapa oang luka-luka. Memang hal ini cukup meresahkan dan sangat
memprihatinkan sehingga menampilkan wajah gereja di keuskupan ini yang sedang
dipolisi selimut duka, dibaluti ekspresi muram dan gelisah.
Korelasi Tantangan dengan Sejarah Gereja
Katolik Awali
Fenomena di atas mengingatkan
kita akan persoalan gereja awali di mana adanya konflik berdarah yang dilalui
sekian puluh tahun lamanya. Diskursus-diskursus yang mental sehingga berkiblat
pada perang agama karena masing-masing mengakui agamanya sebagai agama yang
benar. Itu semua merupakan sebuah sejarah kelam yang berawal dari reformasi
Lutheran pada dekade kedua abad XVI. Tentu masih sangat segar dalam pemahaman
kita mengenai akibat perpecahan atau adanya reformasi protestanianisme dalam
kehidupan menggereja. Mengapa hal itu terjadi? Hal itu terjadi karena Luther
melihat ada ketidakberesan dalam lembaga gereja. Ketidakberesan itu disebabkan
oleh faktor ekonomis[7] sebagai salah satu penyebab utamanya dan juga
keadaan atau para gembala yang lebih suka hidup atau bermisi di daerah kota
sehingga umat yang berada dipinggiran jarang bahkan tidak sama sekali dituntun
dalam kehidupan iman.
Memang masih banyak faktor lain yang menyebabkan
lahirnya reformasi namun yang saya temukan mengenai masalah pelik dia atas
adalah kedua faktor itu. Oleh karena faktor ekonomi maka para kaum reformis
berusaha mengeluarkan umat-umat dari perangkap kemiskinan yang membelenggu.
Mereka kemudian melakukan reformasi dalam gereja sehingga melahirkan perang
yang berkepanjangan. Konflik agama terjadi di muka bumi ini sebab semua orang
mempertahankan agamanya sebagai agama yang benar. Intolerensi terlahir di
saat-saat itu di mana kedua belah pihak saling menyerang dan membunuh dengan
tragis.
Penegasan Rohani: Sebuah Tanggapan
atas permasalahan
Menengok persoalan di atas tentu sebagai anak
keuskupan merasa kaget dan berang sekalipun. Kaget karena kok bisa hal itu terjadi di
keuskupan yang mana selalu diagung-agungkan karena memiliki sejumlah tradisi
yang kuat dan mengakar sampai dengan saat ini? Kaget juga karena hal itu
merupakan tanda atau mensinyalirkan bahwa adanya kelemahan secara terstruktur dalam
hirarki gereja lokal. Sedangkan berang karena mereka yang berpindah agama
adalah para pengkhianat sebab mereka menyangkal imannya sejak sekian puluh
tahun lamanya. Iman mereka seakan-akan tidak berakar sehingga mudah roboh dan
mereka dengan mudah berpindah agama. Sebuah penyesalan yang tidak berguna sebab
semuanya telah terjadi bukan saat ini tetapi dari tahun-tahun kemarin juga
banyak umat di keuskupan ini berpindah agama. Perpindahan ini diakaibatkan oleh
faktor ekonomis dan janji manis para penghasut sehingga tidak bukan melahirkan
konflik itu sendiri.
Persoalan di atas
tentu dibutuhkan respon cepat dari gereja setempat agar mampu menjaga iman umat
di keuskupan ini. Memang mengenai keyakinan atau agama itu milik individual
atau sebuah hal yang bersifat privasi namun peran pemimpin agama dalam hal ini
kiranya melakukan introspeksi diri, melihat secara tajam dan menukik ke dalam
jangan sampai masalah ini merupakan sebuah kefatalan dari cara berpastoral
kita. Saya berpendapat bahwa gereja tidak hanya mapan dalam hal liturgis namun
kiranya harus keluar dari kemapanan, kemeriahan liturgis dan berusaha merangkul
kehidupan umat dalam bidang karitatif juga. Akhir-akhir ini, para gembala di keuskupan ini terkesan
arogan sehingga sukar sekali menjamah kaum-kaum miskin dan terbelakang. Gereja
kiranya tidak hanya berkoar-koar kepada umat untuk tetap kuat dalam iman tanpa
sebuah usaha. Gereja juga tidak harus bergerak lambat melihat fenomena ini
sebab hal ini teramat serius. Saran saya yakni secepatnya gereja melakukan
sebuah reformasi pastoral ala baru untuk mempertahankan iman umat dalam
menghadapi tantangan dan hal itu tentunya dibutuhkan kerjasama dari semua umat
dan gembala-gembala di keuskupan ini. Pentingnya memberi penegasan rohani agar
tidak mencapai jalan buntuh bagi para agen pastoral dan memberi pemahaman
kepada para agen pastoral bahwa kita berjalan mengikuti Yesus di dalam mereka
yang pada saat ini merasa miskin akan segala hal materi.[8]
Sebuah Refleksi: Beriman kepada
Allah atau Akan Materi?
Beriman itu memang menyangkut hal
privasi namun tidak juga demikian sebab individu yang beriman itu hidup dan
berada dalam lingkup gereja sehingga teramat disayangkan jika seseorang itu
pergi meninggalkan imannya. Tentu semua orang akan menelorkan nada-nada gelisah
bahkan emosi melihat salah seorang dari anggotanya berpindah agama. Faktor
kepindahan agama itu bermacam-macam namun sangatlah mengherankan jika melihat
dan mendengar maraknya orang berpindah agama karena agama tersebut mampu
menjamini kebutuhan hidupnya. Adakah demikian? Melihat realitas yang sedang
terjadi di keuskupan Larantuka kini di mana iman disebarkan dengan cara
persuasif melalui tawaran-tawaran materi melahirkan sejumlah pertanyaan dibenak
ini. Apakah mereka sungguh beriman katolik selama ini? Apakah mereka menghayati
benar nilai-nilai iman katolik? Jika hal itu dijawab “iya” pertanyaan
selanjutnya adalah mengapa harus murtad? Jika kepergian mereka hanya karena
hal-hal material yang bergelimang di agama lain maka saya akan bertanya lebih
jauh demikian. Anda berpindah agama karena beriman akan kebenaran agama itu
atau hanya dan demi materi? Beriman kepada Allah atau ilah-ilah yakni material
itu sendiri. Logikanya demikian.
Terlepas dari logika
itu saya merefleksikan demikian. Persoalan yang sedang dihadapi adalah sebuah
persoalan pelik dari persoalan-persoalan lainnya. Dan dugaan saya hal itu
terjadi karena minimnya pelayanan atau pendampingan iman sehingga iman umat
tidak berkembang atau goyah. Minimnya pelayanan atau reksa pastoral yang kurang membuat umat kehilangan inti atau hakikat
imannya. Selain itu, gaya berpastoral kita belum terlalu terpikat atau mengenah
dihati umat atau pula cara hidup kaum berjubah juga bisa berdampak besar pada
fenomena yang didiskursuskan ini. Nah, realitas ini kiranya sesegera mungkin di
atasi agar tidak menimbulan konflik besar-besaran antaragama seperti pernah
terjadi pada abad XVI sebab hal itu dapat merusak image gereja keuskupan Larantuka di
mata dunia internasional sebab salah satu gereja katolik yang bersejarah adalah
gereja di keuskupan ini.
Daftar Pustaka
Dopo, Edward R. Keprihatinan
Sosial Gereja. Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Kristiyanto, Eddy ., OFM. Reformasi dari
Dalam: Sejarah Gereja Zaman Modern. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
ROSARIYANTO, F.Hasto., Dr., SJ. Bercermin pada Wajah-wajah Keuskupan
Gereja Katolik Indonesia. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Vriens, G., S.J.
Sejarah Gereja Katolik Indonesia 2. Ende: Percetakan Arnoldus, 1972.
[1]
Dr.F.Hasto ROSARIYANTO, SJ. Bercermin pada
Wajah-wajah Keuskupan Gereja Katolik Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 2001, hlm
22.
[3]
Pesan ini disampaikan oleh Fra. Gregorio dalam
acara perpisahan. bdk. G. Vriens S.J, Sejarah Gereja Katolik Indonesia 2, Ende:
Percetakan Arnoldus, 1972, hlm.103.
[4]
Ibid.,hlm. 108.
[6]
Fenomena perpindahan agama yang
terjadi di Keuskupan Larantuka saat ini merupakan sebuah tantangan gereja
dewasa ini. Pemindahan agama itu terjadi karena faktor ekonomi. Fenomena ini terjadi disejumlah daerah di
Keuskupan ini seperti di Tanjung Bunga, sejumlah daerah di Adonara, dan juga di
Larantuka sendiri. Informasi ini saya peroleh melalui hasil wawancara saya
dengan Bapak Agustinus Riwu pada hari Kamis,05 November 2015, Pukul 19.25.
Beliau adalah seorang aktivitas yang bekerja dalam komisi Keuskupan Larantuka
dan juga seorang ketekis.
[7] Eddy
Kristiyanto, OFM, Reformasi dari Dalam: Sejarah Gereja Zaman Modern,
Yogyakarta: Kanisius, 2004, hlm. 43.
[8]
J. Dijkstra,
“ Iman dan
Kemiskinan: Mencari Penegasan Iman Pelayan Para Religius di
Antara Orang Miskin” dalam Edward R. Dopo (ed.),
Keprihatinan Sosial Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 1992,hlm. 180-181.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar