Yosep Belen Keban
1. Pendahuluan
Dalam
pengalaman ada bersama di lingkup societas kita acapkali menjumpai beraneka
problem kehidupan. Aneka problem kehidupan itu kemudian diklasifikasikan dalam
dua kategori universal yakni baik-jahat, hidup-mati,dll. Tema-tema universal
demikianlah yang menjadi dikotomi bagi para pemikir sampai pada zaman ini.
Namun, titik fokus dalam paper ini adalah problem kejahatan itu sendiri. De
factonya berbicara soal kejahatan berarti berdiskursus soal tindak-tanduk
manusia yang menyimpang dari norma umum dalam hidup bersosial. Seseorang
dikatakan melakukan kejahatan karena ada peraturan atau regulasi yang
mengatakan bahwa tindakan itu melarang asas hidup bersama atau karena agama
mengatakan itu jahat. Dengan demikian perbuatan
jahat tidak hanya dijumpai dalam ranah politik dalam hal ini institusi Negara
akan tetapi dalam ruang lingkup agama juga. Salah satu sosok yang berbicara
soal ini adalah St. Agustinus dalam bukunya Confessiones.
Agustinus yang menganut paham atau pemikiran Platon menguraikan secara baik
konsep mengenai kejahatan itu sendiri. Tentu Confessiones ini lahir setelah ia menemukan jalan kebenaran yakni
memeluk atau memutuskan untuk tinggal dalam ajaran iman Katolik.
Agustinus
sendiri dalam pengembaraan jiwanya pun tidak luput dari pengalaman kejahatan
itu sendiri seperti mencuri, kenakalan di usia mudah dan lain sebagainya. Hal
itu menurut pengakuannya dilakukannya karena ia tidak tahu sebelumnya. Singkat
kata kejahatan atau sebuah hal buruk itu dilakukan karena ia belum atau tidak
mengetahuinya. Tindakan itu tidak hanya berhenti di situ akan tetapi berlanjut
ketika dirinya terperangkap dalam idealisme pemikiran kaum Manikheis dan mazhab
Akademi. Pengenalan akan kedua aliran inilah menghantar dirinya pada
keragu-raguan dalam kehidupannya termasuk meragukan”KEBENARAN”. Namun,
kebenaran yang diragukan itu tidak bertahan lama sebab pada tahap selanjutnya
ia mengakui dan memeluk Sang Kebenaran itu sendiri. Hal ini tidak terlepas dari
sang guru yang bijaksana yakni Ambrosius di mana dengan khotbah-khotbahnya di
Milano mampu membukakan mata jiwa Agustinus yang sebelumnya merana. Nah, seperti
apa pemikiran dan jalan perubahan kejahatan menurut Agustinus? Bagaimana
sehingga ia bisa sampai pada tahap pengakuan akan kebenaran dalam hal ini iman
Katolik?
Menjawabi
dua pertanyaan itu kami menguraikan secara gamblang dan terperinci dalam paper
ini. Pada bagian pertama dalam paper ini kami berbicara mengenai konsep
kejahatan menurut Agustinus dan pada bagian berikutnya kami berbicara mengenai
keragu-raguannya akan iman Katolik sampai pada tahap pengakuannya sehingga ia
dengan keberaniannya meninggalkan pemikiran kaum Manikheis dan aliran filsafat
mazhab Akademi yang selama ini ia geluti. Dengan demikian ia betul-betul
menemukan kepenuhan jiwanya dalam pengembaraannya. Kepenuhan di mana sebelumnya
tidak ia peroleh dalam kedua aliran itu.
2. Gambaran
Kejahatan Menurut Agustinus
2.1. Kejahatan dalam
ranah Pendidikan
2.2. Kejahatan
dipertentangkan dengan pemikiran kaum Manikheis
2.3. Konsekuensi
dari perbuatan Jahat
3.
Dari
Keraguan Agustinus menuju kepercayaan
Pada point
di atas kita sudah memahami secara gamblang bentuk kejahatan yang dialami oleh
Agustinus sebelum mengenal agama atau beriman Katolik. Oleh karena tindakan
demikian maka pantaslah atau sewajarnya ia menerima konsekuensi dari
perbuatannya itu sendiri. Dari pengalaman itu maka Agustinus mulai melakukan
sebuah bentuk pencarian hidup baru. Pencarian yang dilakukan Agustinus boleh
dikatakan sebuah “perkelanaan jiwa”. Perkelanaan jiwa yang dimaksudkan
di sini ialah menjawabi atau mengatasi kemeranaan jiwanya setelah ia ada
bersama dengan pemikiran kaum Manikheis. Perkelanaan jiwa itu memerlukan energi
dan waktu yang panjang dan hal itu dilakukan oleh Agustinus setelah ia
mendengarkan khotbah-khotbah dari St. Ambrosius di Milano. Ambrosiuslah yang
sangat berpengaruh dalam perkelanaan jiwa Agustinus sehingga ia berhasil
mentobatkannya.
Di Milanolah
cinta Agustinus akan iman katolik itu bersemi. Persemian yang sulit lantaran ia
terlebih dahulu menafikan kebenaran yang dimiliki oleh agama Katolik itu
sendiri. Persemian cinta itu berawal dari sikap keragu-raguannya akan iman
Katolik dan hal terus berkutat berwaktu-waktu lamanya. Pergulatan itu mencapai
puncaknya pada pengakuannya untuk bergabung menjadi anggota Gereja katolik
setelah berefleksi lebih jauh dan mendalam. Nah, dipengakuan itulah menjadi
titik awal ia berlangkah di jalan yang benar dan mulai menyalahkan pemikiran
kaum Manikheisme yang sebelumnya dianutnya. Pengakuannya itu menyadarkan dia
bahwa sesungguhnya kejahatan adalah situasi di mana seseorang jauh dari Sang
Kebaikan itu sendiri. Sang Kebaikan adalah Allah itu sendiri.
3.1.
Bentuk keraguan Agustinus terhadap iman katolik
Setelah
mendengar khotbah Ambrosius untuk pertama kalinya di Milano Agustinus sama
sekali tidak tertarik dengan apa yang disampaikan dalam khotbah itu walaupun
Augustinus sudah mulai merasa simpatik
kepada sosok Ambrosius. Rasa simpatik itu terlahir bukan karena sosok
Ambrosius sebagai guru akan tetapi karena keramahan Ambrosius sendiri.[1]
Menurut Agustinus, kata-kata Ambrosiuslah membuat dirinya terpikat bukan isi
atau kontennya. Hal ini disampaikannya sebab di lain sisi isi khotbahnya
berkeliaran dalam kebohongan Manikheis dan yang lainnya memberi ajaran
keselamatan dengan cara yang paling cocok untuk menyelamatkan.[2]
Inilah sikap awali Agustinus terhadap Ambrosius.
Di
sini Agustinus sepertinya masih tinggal dalam pemikiran atau ideologi
Manikheisme yang selalu mempertentangkan kebenaran Kitab Suci itu sendiri
sehingga ia meremehkan isi khotbah dari Ambrosius. Walaupun ia meragukannya
namun hal yang menjadi paradoksal di sini ialah ia selalu mendengarkan dengan
rajin khotbah-khotbah Ambrosius. Nah, dari pendengaran yang dilakukan secara
terus menuruslah mengantar dia untuk menerima ajaran Ambrosius yang sebelumnya
ia ragukan namun belum membuat sebuah keputusan untuk tinggal dalam iman
katolik. “Aku telah dibebaskan dari
kebohongan, sekalipun belum memeluk kebenaran ”.[3]
Inilah pernyataan Agustinus sebelum ia memutuskan untuk memeluk agama Katolik
yang nantinya dianggap sebagai kebenaran itu sendiri.
3.2.
Bentuk kepercayaan Agustinus
Di atas telah dikatakan bahwa Agustinus sebelumnya
menolak atau meragukan isi khotbah dari Ambrosius. Keraguan itu tidak bukan
karena dirinya terjebak dalam kungkungan pemikiran Manikheisme. Hal itu wajar
kerena sebelumnya Agustinus menganut paham demikian. Paham di mana mengagung-agungkan
rasionalitas. Berangkat dari itu Agustinus memandang remeh isi khotbah dari
Ambrosius dan menaruh simpatik pada kata-kata yang disampaikan oleh Ambrosius.
Sikap atau perilaku penolakan itu menunjukan bahwa pintu hati dari Agustinus
belum terbuka untuk menerima benih iman yang diwartakan oleh Ambrosius.
Walaupun demikian suatu hal yang menarik dari Agustinus adalah ia rajin
mendengar khotbah-khotbah Ambrosius. Oleh karena kerajinan ini, maka secara
perlahan pintu hatinya yang sebelumnya tertutup rapat dibukakannya untuk
menerima dan pada akhirnya mengakui dengan pasti isi khotbah Ambrosius.
Pengakuan itu dengan sendirinya mengantar ia pada jalan hidup yang baru.
Augustinus
membukakan hatinya untuk menerima betapa fasih ujarannya dan tentu hal itu
secara bertahap. Hal itu baru ia sadar
bahwa perkara-perkara itu dapat dipertahankan dan ia sudah tidak berpendapat lagi bahwa orang
harus malu kalau menganjurkan kebenaran iman Katolik, yang tadinya disangka
tidak dapat dibela terhadap serangan kaum Manikheis.[4]
Dengan
pengakuan itu berarti Agustinus melepaskan diri dari belenggu pemikiran kaum
Manikheis. Tidak hanya melepaskan diri dari kaum Manikheis tetapi ia juga
melepaskan diri diri dari ideologi para filsuf mazhab Akademi. Keterlepasan
ikatan itu mau mengatakan bahwa Agustinus sudah menemukan kebenaran itu
sendiri. Dengan penemuan itu berarti keraguan yang dialaminya menjadi pupus.
Hal itu terkubur lantaran kepastian sudah mendekatkan dan merasuki jiwanya. Berangkat
dari keraguannya secara perlahan dan pasti ia memutuskan untuk mendekatkan diri
pada Sang Keselamatan. Akan tetapi
Augustinus menyadari bahwa dahulu ia adalah orang fasik sehingga keselamatan itu begitu jauh dari hidupnya. Walaupun
demikian ia dengan perlahan mendekatkan dirinya pada keselamatan itu. Agustinus mengambil sebuah kesimpulan bahwa
kaum Manikheis dan pemikiran mazhab Akedemi harus ia tinggalkan. Salah satu
alasannya yakni karena para filsuf tidak sanggup “menyembuhkan jiwanya yang
merana”.[5] Mengapa
demikian? Sebab mereka tidak mengenal nama Kristus yang menyelamatkan itu. Dengan pengakuan itu maka Agustinus memutuskan
untuk tetap menjadi katekumen dalam Gereja Katolik yang menjadi anjuran orang tuaku, selama
belum muncul kepastian yang dengan cahayanya dapat menunjukkan kepadaku jalan
yang harus kutempuh.[6] Ambrosius berhasil menanamkan dalam diri
Agustinus suatu pengertian yang komprehensif atau integral akan ajaran iman
kristiani yang sebelumnya Agustinus menganggap salah kapra. “Yang sudah bertahun-tahun kuteriaki itu
bukanlah iman katolik, melainkan rekaan pikiran jasmani” [7].
Perkataan ini merupakan ungkapan pengakuan Agustinus setelah ia bertobat dan
mengenal kebenaran iman Kristen itu sendiri.
Bagi
Agustinus hidup dalam kebenaran iman katolik adalah hidup dalam rahmat Allah
itu sendiri. Kini Agustinus sadar dan tahu bahwa Allah adalah kebenaran itu
sendiri yang mana mampu menjawabi kegersangan atau kemeranaan jiwanya. Dengan
demikian sampailah kita pada sebuah kesimpulan bahwa setelah pertobatan
Agustinus merefleksikan kembali lika-liku dan kisah-kasih kehidupan sebelumnya
di mana eksistensinya berada dalam ranah pemikiran Manikheisme dan pemikiran
mazhab Akademi. Setelah sampai pada penemuan jiwanya ia menganggap bahwa kedua
aliran itu adalah aliran kesesatan atau kejahatan. Ia berpendapat bahwa
tindakan yang sebelum-sebelumnya dilakukan adalah sebuah ketidaktahuan. Hal senada juga
disampaikan oleh seorang filsuf kondang yakni
Sokrates mengenai hal ini yakni kejahatan dilakukan karena orang tidak
mengetahui sebelumnya.[8] Berangkat
dari ketidaktahuan itu maka ia menolak ajaran Kristen sebelumnya. Itulah
refleksi Agustinus setelah menemukan identitas dirinya yang sesungguhnya.
4.
Kesimpulan
Setelah menguraikan konsep atau pemikiran Agustinus
di atas maka dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa kejahatan yang dilakukan
adalah sebuah bentuk dari ketidaktahuan. Ketidaktahuan yang dimaksudkan di sini
adalah ketidaktahuannya akan iman kristiani yang sebelumnya ia ragukan.
Keraguan itu wajar karena pemikirannya dirasuki oleh kedua aliran di atas yakni
Manikheisme dan mazhab Akademi. Berawal dari keraguannya ia menemukan jalan
hidup yang baru yakni tinggal dalam persekutuan agama katolik. Setelah ia bergabung
dalam Gereja atau dalam bahasa lain pertobatannya barulah ia mengakui bahwa
ajaran iman katoliklah yang paling benar dan mampu memberikan kepenuhan dahaga
jiwanya. Dengan demikian, ia mengatakan bahwa kejahatan yang dilakukan oleh
manusia itu terjadi atau ada karena manusia atau orang tersebut jauh atau tidak
mengenal Allah yang adalah benar itu. Hal itu berarti kejahatan itu melawan
kehendak Allah dan hal itu bukan ciptaan dari Sang Kebaikan atau Kebenaran itu
sendiri. Sebab bagi Agustinus Allah yang adalah Kebaikan tidak mungkin
menciptakan kejahatan. Oleh karena kejahatan itu melawan kehendak Allah maka
kejahatan itu adalah dosa.
Daftar
Pustaka
Harjawiyata, Frans., Agustinus, Pengakuan-pengakuan. Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Setya Wibowo, A., Arete; Hidup Sukses Menurut Platon. Yogyakarta: Kanisius, 2010.
Van
Diepen, P., Augustinus Tahanan Tuhan.
Yogyakarta: Kanisius, 2000.
[1] Frans Harjawiyata, Agustinus,
Pengakuan-pengakuan, Yogyakarta: Kanisius, 1995, hlm. 146.
[2] Ibid., hlm. 147.
[3] Ibid.
[4] Mgr. P. van Diepen, OSA,
Augustinus Tahanan Tuhan, Yogyakarta: Kanisius, 2000, hlm. 43.
[5] Frans Harjawiyata, Op.,cit, hlm. 148.
[6] Ibid.
[7] P. van Diepen, Op.,cit, hlm. 47.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar