Jumat, 23 November 2018

KONSEP KEJAHATAN MENURUT St. AGUSTINUS



Yosep Belen Keban

1.      Pendahuluan
Dalam pengalaman ada bersama di lingkup societas kita acapkali menjumpai beraneka problem kehidupan. Aneka problem kehidupan itu kemudian diklasifikasikan dalam dua kategori universal yakni baik-jahat, hidup-mati,dll. Tema-tema universal demikianlah yang menjadi dikotomi bagi para pemikir sampai pada zaman ini. Namun, titik fokus dalam paper ini adalah problem kejahatan itu sendiri. De factonya berbicara soal kejahatan berarti berdiskursus soal tindak-tanduk manusia yang menyimpang dari norma umum dalam hidup bersosial. Seseorang dikatakan melakukan kejahatan karena ada peraturan atau regulasi yang mengatakan bahwa tindakan itu melarang asas hidup bersama atau karena agama mengatakan itu jahat. Dengan demikian  perbuatan jahat tidak hanya dijumpai dalam ranah politik dalam hal ini institusi Negara akan tetapi dalam ruang lingkup agama juga. Salah satu sosok yang berbicara soal ini adalah St. Agustinus dalam bukunya Confessiones. Agustinus yang menganut paham atau pemikiran Platon menguraikan secara baik konsep mengenai kejahatan itu sendiri. Tentu Confessiones ini lahir setelah ia menemukan jalan kebenaran yakni memeluk atau memutuskan untuk tinggal dalam ajaran iman Katolik.
Agustinus sendiri dalam pengembaraan jiwanya pun tidak luput dari pengalaman kejahatan itu sendiri seperti mencuri, kenakalan di usia mudah dan lain sebagainya. Hal itu menurut pengakuannya dilakukannya karena ia tidak tahu sebelumnya. Singkat kata kejahatan atau sebuah hal buruk itu dilakukan karena ia belum atau tidak mengetahuinya. Tindakan itu tidak hanya berhenti di situ akan tetapi berlanjut ketika dirinya terperangkap dalam idealisme pemikiran kaum Manikheis dan mazhab Akademi. Pengenalan akan kedua aliran inilah menghantar dirinya pada keragu-raguan dalam kehidupannya termasuk meragukan”KEBENARAN”. Namun, kebenaran yang diragukan itu tidak bertahan lama sebab pada tahap selanjutnya ia mengakui dan memeluk Sang Kebenaran itu sendiri. Hal ini tidak terlepas dari sang guru yang bijaksana yakni Ambrosius di mana dengan khotbah-khotbahnya di Milano mampu membukakan mata jiwa  Agustinus yang sebelumnya merana. Nah, seperti apa pemikiran dan jalan perubahan kejahatan menurut Agustinus? Bagaimana sehingga ia bisa sampai pada tahap pengakuan akan kebenaran dalam hal ini iman Katolik?
Menjawabi dua pertanyaan itu kami menguraikan secara gamblang dan terperinci dalam paper ini. Pada bagian pertama dalam paper ini kami berbicara mengenai konsep kejahatan menurut Agustinus dan pada bagian berikutnya kami berbicara mengenai keragu-raguannya akan iman Katolik sampai pada tahap pengakuannya sehingga ia dengan keberaniannya meninggalkan pemikiran kaum Manikheis dan aliran filsafat mazhab Akademi yang selama ini ia geluti. Dengan demikian ia betul-betul menemukan kepenuhan jiwanya dalam pengembaraannya. Kepenuhan di mana sebelumnya tidak ia peroleh dalam kedua aliran itu.

2.      Gambaran Kejahatan Menurut Agustinus

2.1. Kejahatan dalam ranah Pendidikan
2.2. Kejahatan dipertentangkan dengan pemikiran kaum Manikheis
2.3. Konsekuensi dari perbuatan Jahat

3.      Dari Keraguan Agustinus menuju kepercayaan

   Pada point di atas kita sudah memahami secara gamblang bentuk kejahatan yang dialami oleh Agustinus sebelum mengenal agama atau beriman Katolik. Oleh karena tindakan demikian maka pantaslah atau sewajarnya ia menerima konsekuensi dari perbuatannya itu sendiri. Dari pengalaman itu maka Agustinus mulai melakukan sebuah bentuk pencarian hidup baru. Pencarian yang dilakukan Agustinus boleh dikatakan sebuah “perkelanaan jiwa”. Perkelanaan jiwa yang dimaksudkan di sini ialah menjawabi atau mengatasi kemeranaan jiwanya setelah ia ada bersama dengan pemikiran kaum Manikheis. Perkelanaan jiwa itu memerlukan energi dan waktu yang panjang dan hal itu dilakukan oleh Agustinus setelah ia mendengarkan khotbah-khotbah dari St. Ambrosius di Milano. Ambrosiuslah yang sangat berpengaruh dalam perkelanaan jiwa Agustinus sehingga ia berhasil mentobatkannya.

 Di Milanolah cinta Agustinus akan iman katolik itu bersemi. Persemian yang sulit lantaran ia terlebih dahulu menafikan kebenaran yang dimiliki oleh agama Katolik itu sendiri. Persemian cinta itu berawal dari sikap keragu-raguannya akan iman Katolik dan hal terus berkutat berwaktu-waktu lamanya. Pergulatan itu mencapai puncaknya pada pengakuannya untuk bergabung menjadi anggota Gereja katolik setelah berefleksi lebih jauh dan mendalam. Nah, dipengakuan itulah menjadi titik awal ia berlangkah di jalan yang benar dan mulai menyalahkan pemikiran kaum Manikheisme yang sebelumnya dianutnya. Pengakuannya itu menyadarkan dia bahwa sesungguhnya kejahatan adalah situasi di mana seseorang jauh dari Sang Kebaikan itu sendiri. Sang Kebaikan adalah Allah itu sendiri.

3.1. Bentuk keraguan Agustinus terhadap iman katolik

Setelah mendengar khotbah Ambrosius untuk pertama kalinya di Milano Agustinus sama sekali tidak tertarik dengan apa yang disampaikan dalam khotbah itu walaupun Augustinus sudah mulai merasa simpatik  kepada sosok Ambrosius. Rasa simpatik itu terlahir bukan karena sosok Ambrosius sebagai guru akan tetapi karena keramahan Ambrosius sendiri.[1] Menurut Agustinus, kata-kata Ambrosiuslah membuat dirinya terpikat bukan isi atau kontennya. Hal ini disampaikannya sebab di lain sisi isi khotbahnya berkeliaran dalam kebohongan Manikheis dan yang lainnya memberi ajaran keselamatan dengan cara yang paling cocok untuk menyelamatkan.[2] Inilah sikap awali Agustinus terhadap Ambrosius.
Di sini Agustinus sepertinya masih tinggal dalam pemikiran atau ideologi Manikheisme yang selalu mempertentangkan kebenaran Kitab Suci itu sendiri sehingga ia meremehkan isi khotbah dari Ambrosius. Walaupun ia meragukannya namun hal yang menjadi paradoksal di sini ialah ia selalu mendengarkan dengan rajin khotbah-khotbah Ambrosius. Nah, dari pendengaran yang dilakukan secara terus menuruslah mengantar dia untuk menerima ajaran Ambrosius yang sebelumnya ia ragukan namun belum membuat sebuah keputusan untuk tinggal dalam iman katolik. “Aku telah dibebaskan dari kebohongan, sekalipun belum memeluk kebenaran ”.[3] Inilah pernyataan Agustinus sebelum ia memutuskan untuk memeluk agama Katolik yang nantinya dianggap sebagai kebenaran itu sendiri.

3.2. Bentuk kepercayaan Agustinus

Di atas telah dikatakan bahwa Agustinus sebelumnya menolak atau meragukan isi khotbah dari Ambrosius. Keraguan itu tidak bukan karena dirinya terjebak dalam kungkungan pemikiran Manikheisme. Hal itu wajar kerena sebelumnya Agustinus menganut paham demikian. Paham di mana mengagung-agungkan rasionalitas. Berangkat dari itu Agustinus memandang remeh isi khotbah dari Ambrosius dan menaruh simpatik pada kata-kata yang disampaikan oleh Ambrosius. Sikap atau perilaku penolakan itu menunjukan bahwa pintu hati dari Agustinus belum terbuka untuk menerima benih iman yang diwartakan oleh Ambrosius. Walaupun demikian suatu hal yang menarik dari Agustinus adalah ia rajin mendengar khotbah-khotbah Ambrosius. Oleh karena kerajinan ini, maka secara perlahan pintu hatinya yang sebelumnya tertutup rapat dibukakannya untuk menerima dan pada akhirnya mengakui dengan pasti isi khotbah Ambrosius. Pengakuan itu dengan sendirinya mengantar ia pada jalan hidup yang baru.

Augustinus membukakan hatinya untuk menerima betapa fasih ujarannya dan tentu hal itu secara bertahap. Hal itu baru ia sadar  bahwa perkara-perkara itu dapat dipertahankan dan ia  sudah tidak berpendapat lagi bahwa orang harus malu kalau menganjurkan kebenaran iman Katolik, yang tadinya disangka tidak dapat dibela terhadap serangan kaum Manikheis.[4]

Dengan pengakuan itu berarti Agustinus melepaskan diri dari belenggu pemikiran kaum Manikheis. Tidak hanya melepaskan diri dari kaum Manikheis tetapi ia juga melepaskan diri diri dari ideologi para filsuf mazhab Akademi. Keterlepasan ikatan itu mau mengatakan bahwa Agustinus sudah menemukan kebenaran itu sendiri. Dengan penemuan itu berarti keraguan yang dialaminya menjadi pupus. Hal itu terkubur lantaran kepastian sudah mendekatkan dan merasuki jiwanya. Berangkat dari keraguannya secara perlahan dan pasti ia memutuskan untuk mendekatkan diri pada Sang Keselamatan.  Akan tetapi Augustinus menyadari bahwa dahulu ia adalah orang fasik sehingga keselamatan itu begitu jauh dari hidupnya. Walaupun demikian ia dengan perlahan mendekatkan dirinya pada keselamatan itu.  Agustinus mengambil sebuah kesimpulan bahwa kaum Manikheis dan pemikiran mazhab Akedemi harus ia tinggalkan. Salah satu alasannya yakni karena para filsuf tidak sanggup “menyembuhkan jiwanya yang merana”.[5] Mengapa demikian? Sebab mereka tidak mengenal nama Kristus yang menyelamatkan itu.  Dengan pengakuan itu maka Agustinus memutuskan untuk tetap menjadi katekumen dalam Gereja Katolik  yang menjadi anjuran orang tuaku, selama belum muncul kepastian yang dengan cahayanya dapat menunjukkan kepadaku jalan yang harus kutempuh.[6]  Ambrosius berhasil menanamkan dalam diri Agustinus suatu pengertian yang komprehensif atau integral akan ajaran iman kristiani yang sebelumnya Agustinus menganggap salah kapra. “Yang sudah bertahun-tahun kuteriaki itu bukanlah iman katolik, melainkan rekaan pikiran jasmani[7]. Perkataan ini merupakan ungkapan pengakuan Agustinus setelah ia bertobat dan mengenal kebenaran iman Kristen itu sendiri.
Bagi Agustinus hidup dalam kebenaran iman katolik adalah hidup dalam rahmat Allah itu sendiri. Kini Agustinus sadar dan tahu bahwa Allah adalah kebenaran itu sendiri yang mana mampu menjawabi kegersangan atau kemeranaan jiwanya. Dengan demikian sampailah kita pada sebuah kesimpulan bahwa setelah pertobatan Agustinus merefleksikan kembali lika-liku dan kisah-kasih kehidupan sebelumnya di mana eksistensinya berada dalam ranah pemikiran Manikheisme dan pemikiran mazhab Akademi. Setelah sampai pada penemuan jiwanya ia menganggap bahwa kedua aliran itu adalah aliran kesesatan atau kejahatan. Ia berpendapat bahwa tindakan yang sebelum-sebelumnya dilakukan  adalah sebuah ketidaktahuan. Hal senada juga disampaikan oleh seorang filsuf kondang  yakni Sokrates mengenai hal ini yakni kejahatan dilakukan karena orang tidak mengetahui sebelumnya.[8] Berangkat dari ketidaktahuan itu maka ia menolak ajaran Kristen sebelumnya. Itulah refleksi Agustinus setelah menemukan identitas dirinya yang sesungguhnya.

4.      Kesimpulan

Setelah menguraikan konsep atau pemikiran Agustinus di atas maka dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa kejahatan yang dilakukan adalah sebuah bentuk dari ketidaktahuan. Ketidaktahuan yang dimaksudkan di sini adalah ketidaktahuannya akan iman kristiani yang sebelumnya ia ragukan. Keraguan itu wajar karena pemikirannya dirasuki oleh kedua aliran di atas yakni Manikheisme dan mazhab Akademi. Berawal dari keraguannya ia menemukan jalan hidup yang baru yakni tinggal dalam persekutuan agama katolik. Setelah ia bergabung dalam Gereja atau dalam bahasa lain pertobatannya barulah ia mengakui bahwa ajaran iman katoliklah yang paling benar dan mampu memberikan kepenuhan dahaga jiwanya. Dengan demikian, ia mengatakan bahwa kejahatan yang dilakukan oleh manusia itu terjadi atau ada karena manusia atau orang tersebut jauh atau tidak mengenal Allah yang adalah benar itu. Hal itu berarti kejahatan itu melawan kehendak Allah dan hal itu bukan ciptaan dari Sang Kebaikan atau Kebenaran itu sendiri. Sebab bagi Agustinus Allah yang adalah Kebaikan tidak mungkin menciptakan kejahatan. Oleh karena kejahatan itu melawan kehendak Allah maka kejahatan itu adalah dosa.


Daftar Pustaka

      Harjawiyata, Frans., Agustinus, Pengakuan-pengakuan. Yogyakarta: Kanisius, 1995.
       Setya Wibowo, A., Arete; Hidup Sukses Menurut Platon. Yogyakarta: Kanisius, 2010.
       Van Diepen, P., Augustinus Tahanan Tuhan. Yogyakarta: Kanisius, 2000.



[1]  Frans Harjawiyata, Agustinus, Pengakuan-pengakuan, Yogyakarta: Kanisius, 1995, hlm. 146.
[2]  Ibid., hlm. 147.
[3]  Ibid.
[4] Mgr. P. van Diepen, OSA, Augustinus Tahanan Tuhan, Yogyakarta: Kanisius, 2000, hlm. 43.
[5]  Frans Harjawiyata, Op.,cit, hlm. 148.
[6] Ibid.
[7] P. van Diepen, Op.,cit, hlm. 47.
[8]  A. Setya Wibowo, Arete; Hidup Sukses Menurut Platon, Yogyakarta: Kanisius, 2010, hlm. 97.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar