Pendahuluan
Dewasa ini dunia dilanda sebuah krisis yang mengglobal. Krisis itu bukan krisis akan
kemiskinan seperti yang terjadi pada beberapa tahun silam. Namun, lebih dari
itu yakni krisis akan lingkungan hidup yang aman dan nyaman. Lingkungan atau
kosmos yang dahulunya begitu diagung-agungkan, begitu indah panoramanya kini
dirundung kabut kecemasan dan keresahan. Keresahan dan kecemasan sebab terjadinya dekadensi segala makhluk
hidup yang ada di dalamnya. Diskursus mengenai kosmik berarti berbicara segala
isi atau itu yang mendiami kosmos itu sendiri. Hal itu berarti sifatnya
kompherensif bukan parsial. Dengan
demikian dapat diasumsikan bahwa lingkungan yang kita diami saat ini sedang
memancarkan sebuah kegelisahan. Kegelisahan yang dikarenakan sebuah tindakan
eksploitasi secara tamak, rakus, praktis dan pragmatis sehingga menampilkan
wajah lingkungan pada kehancuran atau kerusakan. Inilah bentuk krisis abad ini yang
jauh lebih kejam dari pada krisis moniter yang kita alami pada waktu silam. Hal
itu dipengaruhi oleh pola pikir atau rasionalitas manusia yang semakin
berkembang.
Kebangkitan
rasionalitas tidak hanya membawa angin segar bagi penghuni dunia ini tetapi di
lain sisi melahirkan pertanyaan sebab lenyapnya nilai-nilai kemanusian dalam
diri manusia itu sendiri yang ditunjukan dalam aksi (action). Pada abad ini, manusia merasa dirinya sebagai
“manusia agung” atau “tuan” atas segala apa yang ada yang mana mampu
menciptakan segala hal dengan rasionalitasnya sendiri termasuk teknologi.
Dengan demikian manusia seakan-akan merangsek dan meninggalkan agamanya. Mereka
seakan-akan memproklamasikan diri mereka sebagai “tuhan”. Pada abad ini pula,
berkat rasionalitas manusia mulai mereduksi alam semesta atau kosmos sebagai
itu yang ada di luar dirinya. Alam telah diperkosa tak karuan. Hal ini tentu
sangat berbeda dengan pandangan klasik di mana alam semesta dipandang sebagai “ibu”
dan yang mana memiliki jiwa tersendiri.
Sikap atau ulah
manusia modern yang ditandai dengan era industrialisme dan teknologi yang kian
canggih itu meninggalkan jejak kelam bagi generasi berikutnya. Tindakan
pengekspolitasian alam semesta secara besar-besaran dan pembuangan
limbah-limbah industri yang sembarangan akan melahirkan bencana besar di dunia
ini baik itu banjir, longsor, lenyapnya beraneka ragam fauna dan flora serta
terjadinya pemanasan global. Semua kerusakan lingkungan hidup ini tentu berawal
dari manusia. Manusia yang adalah puncak, pusat ciptaan atau antroposentrisisme semakin hari kehilangan kesadaran untuk menjaga
dan melestarikan alam semesta. Oleh karena paham antroposentrisisme itu, maka mengahantar manusia pada sikap konsumtif
yang berlebihan dan tidak memperhatikan efek dibalik tindakan kerakusan itu
sendiri.
Lajunya
industrialisasi yang sulit dibendung menerobos masuk sampai pada Negara-negara
berkembang termasuk negeri kita Indonesia. Tentu ada benarnya bahwa hal itu
dapat memacuh pertumbuhan ekonomi suatu bangsa dan juga meningkatkan
kesejahteraan segenap warganya. Namun menjadi pertanyaannya ialah mampukah kita
menyediakan lingkungan yang aman bagi generasi mendatang sama seperti saat ini?
Inilah pertanyaan krusial yang sulit untuk dijawab. Laju industrialisme itulah
yang melahirkan kerusakan lingkungan hidup dan membuat manusia hidup dalam bayang-bayang
ekstasi dan ekonomi libido. Jika demikian maka masyarakat hanya tinggal dalam
zona kekinian dan seakan-akan lupa akan generasi sesudahnya.
Fenomena lingkungan hidup kini yang melahirkan
polusi: pencemaran air, udara yang berawal dari pembuangan sampah sembarangan
tidak hanya menjadi perhatian pemerintah tetapi juga dalam instansi Gereja.
Gereja melalui Paus Benediktus XVI angkat bicara mengenai problematika
demikian. Melalui esiklik “Laodato Si”, Paus tidak hanya mengajak kaum kristiani tetapi semua kaum dimuka
bumi untuk memperlakukan alam semesta sebagai ibu dan saudari. Ini merupakan
ajakan untuk kembali ke alam (back to nature).
Dalam paper ini, penulis melihat fenomena
kemorosatan tindakan manusia seiring perkembangan zaman mutakhir dan
menggandengkannya dengan tindak-tanduknya dalam kosmos. Seakan-akan manusia
kehilangan kesadarannya akan segala hal yang ada di alam semesta. Fokus
pembahasan ini menyoriti manusia sebagai subyek perusak lingkungan hidup. Penulisan
ini tentu mengangkat sebuah permasalahan yang dibicarakan dalam ensiklik “Laodato Si”. Adapun tujuan dalam penulisan ini adalah untuk
memahami secara khusus persoalan apa yang terjadi di Indonesia dan apa
penyebabnya dan juga sebagai bentuk ajakan bagi masyarakat Indonesia agar
memiliki kesadaraan untuk menjaga, merawat dan melestarikan rumah atau kosmos.
Manusia dan Kemerosotan Moral
dalam “Laudato Si “
Ensiklik Laudato Si yang dikeluarkan oleh Paus
Fransiskus merupakan tanggapan Gereja atas realitas kehidupan sosial yang
terjadi pada abad ini. Seiring dengan kemajuan dan perkembangan IPTEK dan
lajunya pemahaman kapitalisme maka peran dan pola pikir manusia atas
kehidupannya pun berubah. Manusia yang adalah puncak ciptaan memperlakukan alam
semesta sebagai itu yang berada di luar dirinya. Dengan adanya sikap demikian
maka manusia seakan-akan menjadikan dunia ini sebagai kotak atau tempat sampah
yang besar sehingga manusia berlaku sembrono atau acuh tak acuh kepada alam
semesta ini. Hal-hal ini kemudian melahirkan segudang problematika dalam
kehidupan dan pada akhirnya membawa kerusakan yang luar biasa bagi lingkungan
itu sendiri. Tidak hanya demikian namun mati atau punahnya beragam spesies di
dunia ini. Demikian relasi klasik antara manusia dan alam semakin ada jarak
yang menganga lebar.
Ini semua merupakan krisis dan bencana lingkungan
zaman kini yang mana disebabkan oleh ulah dan prilaku manusia. Gaya hidup dan
pola hidup manusialah menjadi pemicu lahirnya bencana kerusakan itu sendiri.
Pola dan gaya hidup yang dimaksudkan di sini adalah pola dan gaya hidup manusia
modern dengan segala kemajuan industri dan ekonominya.[1]
Pola dan gaya hidup manusia itu menjadi emblem utama kerusakan kosmos itu
sendiri sehingga hal itu menjadi titik tolak untuk berdiskursus. Inilah yang
menjadi keresahan bagi para pecinta kosmos. Dalam Ensiklik Laudato Si art. 43
berbicara demikian:
manusia juga makhluk
dunia ini, yang berhak untuk hidup bahagia, dan yang terlebih lagi memiliki martabat
khusus. Maka mau tak mau kita harus mempertimbangkan bagaimana kerusakan
lingkungan, model pembangunan saat ini, dan budaya buang sampah berpengaruh
terhadap kehidupan manusia.[2]
Ensiklik ini hendak mengatakan bahwa pentingnya kesadaran
dari manusia untuk menciptakan iklim kehidupan yang asri dengan cara
memperhatikan lingkungan hidup itu sendiri. Dalam artikel ini semacam adanya “teguran
bagi manusia” terlebih khusus bagi para pelaku kerusakan sebagai contoh kaum
borjuis yang dengan segala kekayaannya menjarah alam tanpa dipikirkan dan juga bagi
manusia yang tidak memiliki “kesadaran etis” dalam kehidupan itu sendiri. De
facto, dunia yang kita huni ini dipenuhi dengan aneka sampah yang berserakan,
pembangunan yang tidak memperhatikan efek lanjutan dari itu, dan juga sikap
rakus atau tamak dalam diri kaum kapital yang menguras habis alam semesta ini. Dalam
bahasa Armada Riyanto, bahwa “tak pelak lagi, dunia alam semesta disimak penting dari sudut pandang
komersal. Alam adalah harta karung
yang harus digali, dieksplorasi”.[3]
Selanjutnya dalam artikel selanjutnya Bapa Suci menjelaskan persoalan-persoalan
yang tengah terjadi atau pun bakal terjadi akibat dari penggunaan atau sikap konsumtif
manusia serta budaya pembuangan sampah atau limbah industri yang sembarangan di
dunia ini. Berbagai efek dari itu dapat kita temukan dalam ensiklik ini art. 44.
Saat ini, misalnya, kita
melihat pertumbuhan banyak kota secara berlebihan dan tidak terkendali hingga
tidak sehat lagi untuk dihuni, bukan hanya karena polusi yang disebabkan oleh
emisi gas beracun, tetapi juga sebagai akibat dari kekacauan perkotaan, masalah
transportasi, polusi visual dan kebisingan. Banyak kota telah menjadi struktur-struktur
besar yang tidak efisien, terlalu boros energi dan air. Beberapa wilayah kota,
meskipun baru saja dibangun, sudah padat, kacau, dan tanpa tempat hijau yang memadai.
Penduduk bumi ini tidak dimaksudkan untuk hidup terhimpit oleh beton, aspal,
kaca dan logam, hingga kehilangan kontak fisik dengan alam.[4]
Dalam artikel ini, Bapa
Suci menekankan bahwa semua kerusakan yang terjadi pada lingkungan hidup
disebabkan oleh manusia. Manusia adalah pelaku kerusakan itu sendiri. Jika
ditelisik lebih jauh maka dapat disimpulkan bahwa adanya pergeseran nilai
kehidupan manusia yang dipengaruhi oleh globalisasi dan rasionalitas manusia
itu sendiri. Pola pikir manusia yang semakin maju melahirkan sejumlah
kreativitas dan inovasi dalam bidang teknologi-industri sehingga menciptakan
beraneka sarana dalam kehidupan manusia. Beraneka sarana itu memang baik adanya
namun hal itu harus dipikirkan jangka panjangnya sebab dapat merugikan generasi
berikutnya. Selain itu, perpindahan penduduk ke sebuah tempat atau kota juga
membawa pengaruh yang luar biasa akan meningkatnya penggunaan bahan-bahan
mineral dan meningkat pula pencemaran lingkungan tempat tinggal itu sendiri. Dengan
adanya sikap kritis dan berinovasi maka manusia yang dahulunya respect terhadap alam semesta beralih atau
berubah haluan menjadi manusia perusak di mana alam semesta digarap dan dicemar
atau dinodai di mana-mana. Manusia zaman modern bahkan post-modern tidak lagi
menaruh simpati atau respect kepada alam.
Gereja tidak hanya
berbicara soal kerusakan lingkungan hidup dalam ensiklik ini. Pada
ensiklik-ensiklik lain seperti ensiklik Sollicitudo Rei Socialis (1987) Paus Yohanes Paulus II
menanggapai soal pembangunan dunia yang semakin pesat, di mana membawa perubahan
dan aspek baru dalam kehidupan manusia. Khususnya dalam Art. 29-30, Bapa Suci
menjalaskan mengenai manusia harus menempatkan diri dalam posisi yang tepat
terhadap pembangunan.[5]
Gereja juga berbicara mengenai hal ini melalui ensiklik Caritas In Veritate (2009). Oleh karena sikap
keapatisan manusia akan alam lingkungan hidupnya maka ensiklik “Laudato Si” ini
dikeluarkan.
Keapatisan manusia itu
menjadi peltanda bahwa manusia zaman ini sedang mengalami penurunan kualitas
hidupnya. Hal itu ditandai dengan sikap-sikap manusia yang sudah berbalik
memandang alam semesta sebagai obyek. Hal itu tentu dipengaruhi oleh pola pikir
manusia yang kian hari semakin berkembang. Generasi kosumtif modern yang
ditandai dengan kelahiran kapitalisme dan industrialisme mengahantar manusia
pada sang penguasa alam. Di sini manusia kembali menjadi raksasa atas
ciptaan-ciptaan lainnya. Hal itu berarti manusia sedang mempertontonkan
ketidakberadabannya, kedigdayaannya dihadapan Pencipta. Sikap memandang kosmos
sebagai obyek tentu dengan sendirinya membuat jarak antara alam dan manusia
atau dengan kata lain hukum adat dalam masyarakat tradisional tidak lagi
mendapat tempat dalam zaman ini. Menjadi pertanyaan lanjutannya adalah
bagaimana gambaran kosmos kita saat ini?
Panorama Kosmos Indonesia yang
meresahkan
Diskursus mengenai panorama berarti berbicara
sebuah obyek keindahan. Nah, keindahan yang dimaksudkan di sini ialah keindahan
kosmos. Seperti diketahui bersama bahwa alam ciptaan atau kosmos itu begitu
indah sebelumnya. Keindahan itu sudah terlebih dahulu direfleksikan oleh para
pemikir Yunani klasik. Mereka memandang alam semesta sebagai titik tolak
berpikir. Dari refleksi mereka alam tidak hanya menampilkan keindahannya tetapi
juga mencetuskan hakikat kehidupan itu sendiri.[6]
Keindahan awali itu dalam perjalanan waktu dinodai oleh tindak-tanduk manusia
dan hal itu dipengaruhi oleh pola pikir manusia yang semakin maju. Hakikat
kehidupan itu diperkosai tanpa ampun sehingga melahirkan perubahan. Perubahan
itu tentu menyajikan segudang tantangan hidup salah satunya adalah merosotnya
nilai-nilai kehidupan manusia. Kemerosotan itu tentu mendepak etika kehidupan
dan salah satu faktornya adalah lunturnya “kesadaran” kehidupan manusia. Dengan
adanya kelunturan kesadaran itu maka manusia yang adalah subyek atau pelaku
kehidupan melakukan apa saja semaunya sehingga merugikan generasi tertentu.
Manusia modern atau
post-modern kini terjebak dalam pola hidup hedoneisme yang mengetengahkan nafsu
sehingga berkuasa atas segala apa yang ada. Hal itu tentu dimotori oleh ideologi
kapitalisme yang meramba begitu dahsyatnya. Dengan demikian manusia bertendensi
menganggap alam semesta sebagai obyek. Selain itu tindakan manusia yang
diselimuti mentalitas “korupsi” pun menjadi akar akan kerusakan lingkungan
hidup itu sendiri. Singkat kata Lingkungan dan
sumber daya alam merupakan lahan subur bagi korupsi yang berdampak besar bagi
kehidupan individu, komunitas dan masyarakat.[7]
Sebagai contoh pembalakan liar yang merusak daerah resapan air yang pada
akhirnya debet air mengering atau menyebabkan kelangkaan air. Selain itu,
pengaruh sumber daya manusia yang semakin berkembang diciptakanlah beraneka ragam
alat-alat dan teknologi sehingga melahirkan sejumlah persoalan pelik. Persoalan
itu ialah polusi sehingga membuat wajah alam kita menjadi “hitam”. Kita bahkan
dilabeli negeri pengekspor asap ke negeri tetangga ketika ada kebakaran di
Indonesia sama seperti yang terjadi beberapa waktu lalu, banjir yang selalu
menghiasi head
line utama pada musim kemarau, tanah
longsor, dan juga beraneka kerusakan lingkungan yang lainnya. Wajah alam kita sepertinya berada dalam “zona sakit” sebab setiap harinya jutaan penduduk yang menghuni
negeri ini tanpa sadar sudah dan sedang terperangkap dalam ketidaksadaraan
diri. Kita adalah pelaku pencemaran, kerusakan wajah kosmos dan atau penghancur
ekosistem itu sendiri.[8]
Dengan adanya hal demikian maka tidaklah mengherankan jika kosmos kita mengamuk
karena tingkahlaku kita. Sungguh tak dapat dielak bahwa Negara kita sedang
menampilkan wajah kesakitan.
Ada tiga keresahan utama yang terjadi pada abad ini
yakni; “pencemaran
lokal, ancaman pemanasan global dan hilangnya habitat”.[9]
Kehilangan habitat dan pencemaran lokal sedang dipertontonkan dan hal itu perlu
tanggapan atau respon cepat dari semua penghuni bumi ini. Tidak hanya itu
tetapi pemanasan global pun sedang terjadi. Persoalan atau masalah kerusakan
lingkungan hidup menjadi sebuah tantangan baru bagi kita. Selalu saja bencana
yang terjadi dalam negeri ini dan tentu hal itu terjadi karena tindak-tanduk manusia
penghuni alam ini. Akhir-akhir ini kita “kehilangan kesadaran” untuk mencintai
bumi tempat kita berpijak. Dengan demikian keindahan lingkungan hidup
sebagaimana adanya semula menjadi dipertanyakan sebab noda-noda hitam asap,
pengapnya bauh merkuri dan aroma menyengat sampah-sampah melahirkan sejumlah
korban berjatuhan bahkan meninggal. Hal senada pula disampaikan oleh Denis
Goulet yakni sesegeralah mungkin menyelamatkan alam atau membiarkan manusia
punah karena alam saat ini sudah tidak layak lagi untuk dihuni.[10]
Aneka Bentuk Kerusakan Lingkungan Hidup
Kerusakan lingkungan
adalah sebuah fakta dan hal itu sedang menjadi perhatian bagi kita. Tentu ada
begitu banyak cara untuk menggambarkan kerusakan lingkungan yang saat ini
sedang melanda banyak Negara baik itu Negara maju maupun Negara-negara
berkembang termasuk Negara Indonesia.
Indonesia merupakan sebuah Negara kepulauan yang rentan terhadap
kerusakan atau bencana lingkungan hidup yang terjadi. Berikut ini akan
disajikan fenomena-fenomena yang membuat keadaan lingkungan hidup kita berada
dalam “zona kesakitan”.
·
Perpindahan Penduduk
Fenomena perpindahan
penduduk juga melahirkan krisis lingkungan hidup itu sendiri. Fenomena
perpindahan penduduk yang dimaksudkan dalam pembahasan ini ialah perpindahan
dari desa ke kota. Hal ini dipengaruhi oleh cara berpikir manusia yang tidak
mau ketinggalan zaman. Manusia merasa bangga dengan msyarakat “label kota”
ketimbang desa. Dengan demikian kota tempat tinggal menjadi padat penduduknya
sehingga tak ada ruang terbuka hijau untuk dinikmati. Lahan kosong digusur
tanpa ampun untuk membangun perumahan nan menawan. Tindak-tanduk demikian
melahirkan pencemaran yang meningkat sehingga wajar ketika hujan tidak ada
pohon penahan lajunya banjir. Selain itu pun longsor menjadi jawaban atas ulah
manusia itu sendiri. Ada beberapa dampak negatif dari perpindahan penduduk ini
yakni: berkurangnya lahan produksi seperti sawah dan perkebunan, berkurangnya
ketersedian air bersih, menyebabkan arus mobilisasi meningkat sehingga
meningkat pula energi dalam penggunaan alat transportasi dan meningkatnya
limbah rumah tangga.[11]
Semua dampak ini tentu akan menyebabkan kerusakan pada lingkungan itu sendiri.
Kita menengok sekilas
beratus ribu peristiwa lingkungan baik banjir atau pun longsor yang terjadi di
negeri ini. Jutaan nyawa melayang tanpa ampun diseret banjir yang mengenaskan,
ditindih tumpukkan sampah jika kita mau melihat data dilapangan. Menjadi
pertanyaannya adalah ini salah siapa? Akhir-akhir ini, media massa menyuguhkan
dengan ramai peristiwa-periatiwa banjir di kota-kota besar seperti Jakarta,
Tangerang, Surabaya,dll. Pemerintah daerah maupun pusat seakan-akan kehabisan
akal untuk mengatasi persoalan pelik ini yang terjadi setiap tahun ini. Sebagai
contoh Gubernur DKI, Basuki Cahaya Purnama atau yang lazim disapa Ahok geram
dengan fenomena banjir yang terjadi di Jakarta akhir-akhir ini. Kegeraman Ahok
dikarenakan saluran atau got jalanannya banjir tersumbat karena sampah atau
kabel-kabel listrik yang tertumpuk.
Jakarta terendam banjir. Penduduk Jakarta mempersalahkan pemerintah setempat.
Menjadi pertanyaannya adalah apakah tudingan ini benar? Tentu tidak benar
secara logika sebab banjir yang terjadi bukan sebab pemerintah atau bukan
kiriman dari pemerintah. Hal ini karena kepadatan dan gaya hidup ngawur yang
dipertontonkan manusia yang kehilangan etika dalam hidupnya. Banjir dan longsor
merupakan bencana alam yang mana juga disebabkan oleh tingkahlaku manusia itu
sendiri. Itu terjadi karena manusia mengabaikan “kesadaraan”.
·
Polusi Udara
Akhir-akhir ini udara bersih terasa begitu “mahal” untuk diperoleh.
Indonesia yang adalah Negara berkembang di mana terkenal dengan aneka ragam
keindahan alamnya pun tercemar oleh polusi yang maha dahsyat. Sumber dari
pencemaran ini bisa saja karena sampah, kebakaran hutan dan limbah industri.[12]
Selain itu, asap kendaraan bermotor pun menjadi penyebab dari polusi ini
terutama bensin dan solar. Setiap harinya penggunaan alat-alat transportasi
semakin meningkat maka bayangkan saja seberapa banyak gas CO2 yang dibuang ke
udara. Situasi inilah yang akan melahirkan krisis. Krisis itu berupa penyakit
yang menggerogoti tubuh sebagai misal ISPA, asma, penurunan IQ, gangguan saraf
dan Impotensi.[13]
Selain itu pula pencemaran udara dapat melahirkan kepanasan global dan
perubahan iklim.
Salah atu contoh masalah pencemaran udara yang mengganggu stabilitas
Negara adalah kebakaran hutan. Kebakaran hutan di Indonesia setip tahun
mengalami kenaikan dan semakin buruk. Tentu hal itu membawa efek buruk baik
kepada manusia maupun kepada fauna dan flora yang sangat berharga. Sebagai
contoh beberapa bulan lalu masyarakat Indonesia diselimuti duka asap yang
terjadi akibat keserahkaan manusia. Asap yang terjadi di Kalimantan dan Riau
menjadi sumber penderitaan. Berbagai Negara di dunia mengecam tindakan ini.
Mereka bahkan melabelkan Negara kita sebagai negeri “pengekspor asap”.[14]
·
Penebangan dan Pembakaran Hutan
Fenomena penebangan dan pembakaran hutan di Indonesia semacam menjadi
budaya khas kita. Kebudayaan yang jelek seperti membabat hutan lindung untuk
tanaman komoditas seperti karet, sawit yang terjadi beberapa waktu lalu di
Kalimantan. Tidak hanya di Kalimantan namun diberbagai pelosok di Negara ini
memperlakukan hal itu. Menurut Zenzi Suhadi, Anggota Dapertemen Advokasi Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (WAHLI), menjelaskan bahwa tingkat kerusakan
hutan di Riau dan Kalimantan sangatlah tinggi sebab izin penerbitan usaha
kelapa sawit dan tanaman industri tidak terkontrol.[15]
Hal ini akan menyebabkan kerusakan hutan yang mengakibatkan banjir dan tanah
longsor. Tentu masih segar dalam ingatan kita kejadian atau peristiwa beberapa
bulan yang lalu di Kalimantan dan Sumatra. Kebakaran yang berakibat fatal itu
mengganggu stabilitas hidup bersama. Hal itu tidak hanya menjadi perhatian
bangsa Indonesia saja tapi dipersoalkan oleh dunia Internasional. Selain itu
pembbatan hutan dan kebakaran hutan juga dapat menyebabkan mata air mengering.[16]
Prilaku demikian tentu menggambarkan identitas manusia yang tidak tunduk pada
alam. Manusia modern yang ditandai dengan industri yang kian pesat melihat alam
semesta sebagai pemenuhan ekonomi libidonya. Dengan adanya itu maka manusia
kehilangan kesadaran akan efek dari prilaku yang menyimpang itu. Sikap itu
tentu berakibat fatal bagi kehidupan yakni suhu lingkungan meningkat, tanah
tandus yang berakibat gagalnya panen, banjir dan punahnya flora dan fauna di
negeri yang kaya ini.
·
Pemburuan Hewan Liar
Salah satu bentuk hilangnya
kesadaran manusia pada era ini adalah pemburuan hewan secara liar dan dilakukan
secara ilegal. Pemburuan hewan bagi segelintir orang adalah semacam hobi namun
hal ini merupakan sebuah ancaman bagi lingkungan itu sendiri di mana hewan
menjadi berkurang bahkan punah. Pemburuan itu tidak lain karena tuntutan
ekonomis. Manusia berusaha masuk dan keluar hutan, berhari-hari demi mencari
itu yang diinginkan. Sebagai contoh sarang burung Walet yang beberapa tahun
silam menjadi semacam nilai bisnis yang menggiurkan orang dan beberapa contoh
lainnya, rusa, orang utan, dll. Spesies dari berbagai jenis hewan akan mengalami
kepunahan karena habitatnya dirusak atau mengalami perubahan karena libido
manusia.
·
Pembangunan Industri
Salah satu tanda zaman kini adalah masyarakat industri. Masyarakat
industri ini berkembang di dunia ketika abad XVI-XVII di mana rasionalitas menjadi
itu yang dikedepankan. Pengaruh dari itu maka lahirlah paham kapitalisme di
dunia. Kapitalisme menjadi agama baru sebab membawa dampak yang luar biasa bagi
dunia. Perkembangan itu ditandai dengan pembangunan pabrik-pabrik industri yang
tersebar di sejumlah Negara termasuk di Negara yang sedang berkembang yakni
Indonesia. Indonesia kini dipenuhi beraneka bangunan besar yang menghiasi
jalan-jalan Negara. Hal ini tentu berbeda dengan zaman sebelumnya di mana
disepanjang jalan kita mengamati keindahan alam yang menyita mata. Keindahan
itu diganti dengan menjulangnya bangunan tinggi nan pengap dan meresahkan.
Keresahan dan kepengatan sebab limbah pabrik berserakan dan diairi sepanjang
sungai yang pada akhirnya membawa dampak besar bagi manusia. Ini merupakan
salah satu kategori pencemaran air yang mematikan atau berbahaya (beracun).[17]
Jutaan manusia yang mengkonsumsi air sungai menderita sakit bahkan meninggal
karena setiap hari mengkonsumsi air keruh bercampur merkuri atau limbah pabrik
ini. Berdasarkan data KNLH, pada tahun 2007 tercatat ada sekitar 13 ribu
industri besar yang berpotensi mencemari air permukaan dan air tanah.[18]
Hal itu berarti sejumlah air yang dikonsumsi masyarakat Indonesia sudah tidak
bermutuh lagi.
·
Pupuk
Pupuk
juga menyebabkan kerusakan lingkungan hidup itu sendiri. Tentu yang dimaksudkan
dengan pupuk di sini ialah pupuk kimia atau agrokimia. Agrokimia yang dimaksud
adalah pupuk dan peptisida yang tidak propesional. Dampak dari ini adalah
pencemaran air, tanah, dan hasil pertanian, gangguan kesehatan petani,
menurunnya keanekaragaman hayati dan lainya.[19]
Pencampuran bahan kimia yang mana bertujuan untuk menyuburkan tanaman dapat
melahirkan kerusakan lingkungan. Penggunaan pupuk di Indonesia terbilang
terbanyak sebab semua tanaman ditaburi pupuk jenis kimia. Pupuk dapat memberi
kerusakan pada lingkungan apabila penggunaannya melebihi dosis tertentu dan
juga dampak dari penggunaan itu yakni ketika hujan banjir membawanya ke sungai
dan sebagin masyarakat kita mengkonsumsi air tersebut maka akan mengganggu
kesehatan si pengkonsumsi air tersebut. Singkat kata pupuk dapat mematikan
spesies di dunia ini.
·
Sampah
Berbicara mengenai sampah di Indonesia menjadi itu yang tidak pernah
habis sebab semakin berbicara tindakan membuang sampah semakin dilakukan. Salah
satu contohnya ialah di Jakarta. Diperkirakan kurang lebih sekitar 6.500 ton
sampah per hari yang tertimbun.[20]
Bayangkan saja sedemikian banyaknya. Jika kita kumpulkan semua sampah yang ada
di seluruh pelosok Indonesia maka hasilnya tentu beribu-riu ton. Hal ini
dikarenakan kepadatan penduduk sebuah tempat dan hilangnya budaya bersih. Begitu
banyak intruksi dan warning yang ditempelkan atau disepanjang tempat-tempat
umum namun hal itu hanyalah tiang atau kata-kata bisu tanpa arti. Hanya
segelintir orang tertentu yang memiliki kesadaraan mengenai hal ini. Di
mana-mana sampah berserahkan baik di sekolah, di rumah atau pun di
tempat-tempat lainnya. Negeri ini adalah negeri yang penuh dengan tumpukkan
sampah. Itulah julukan bagi negeri kita Indonesia. Wajarlah julukkan itu sebab
realitasnya demikian. kita sebagai warga Negara yang tak berkesadaraan akan
sampah tak perlu lagi lari dari perpektif ini. Sampah yang berserakan di
mana-mana merupakan akibat kemajuan industri dan perubahan gaya hidup manusia
modern.[21]
Sampah itu ada dua macam yakni ada yang dapat diurai dan ada yang tidak
dapat diuraikan seperti plastik. Berbicara soal sampah itu berarti kita
berbicara soal limbah rumah tangga, pertanian, transportasi, limbah industry,
dll. Sampah di Indonesia akhir-akhir ini menjadi trending topic di berbagai media massa sebab kita kehilangan
kesadaraan untuk hal itu. Sampah jelas menjadi masalah bagi kota-kota besar
sebab menimbulkan berbagai pencemaran lingkungan baik itu pencemaran udara dan
air. Beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi menggagas sebuah ide brilliant yakni
“Revolusi
Mental”. Revolusi mental yang digagas
Jokowi menjadi penting dan bermakna apabila hal itu dipraktekan dalam realitas
kehidupan keseharian kita. Jangan pernah berpikir yang terlalu tinggi tentang
gagasan ini revolusi yang dimaksudkan Jokowi adalah kesadaraan akan mental masa
bodoh atau keapatisan kita dalam segala hal termasuk kesadaran dalam membuang
sampah.
·
Pengeboman Minyak dan Penambangan Mineral secara
terbuka
Persoalan pelik mengenai kerusakan kini adalah pengeboman dan
penambangan mineral secara terbuka di bumi kita Indonesia. Hal yang mencemaskan
adalah penggalian atau pengeboran minyak, batu bara dan energy nuklir.
Sejumlah investor asing berlomba-lomba menanam modalnya di Indonesia
seperti di PT. Freeport di Papua dan lain sebagainya. Tidak hanya perusahan
asing namun perusahan dalam negeri pun tidak kalah diamnya. Para investor atau
para kaum kapital meraup, merampas bahkan menggusur lahan yang berpotensi itu
tanpa memikirkan apa efek dari penggusuran atau pencaplokan itu. Penambangan di
bumi Indonesia yang terbuka itu memiliki efek besar bagi kehidupan generasi
berikutnya sebab akan menyebabkan kefatalan jika terus dibiarkan
berkepanjangan. Hal inilah yang menjadi perhatian segelintir orang yakni mereka
yang bergabung dalam JPIC. Merekalah yang menyelamatkan dan mengembalikan alam
sebagaimana sediakala. Mereka berteriak tanpa henti baik melalui surat kabar,
TV, Radio, dan bahkan melakukan demonstrasi hanya untuk menyelamatkan generasi
berikutnya. Mereka inilah yang memiliki kesadaran akan efek yang akan terjadi.
Salah satu efek dari hal ini adalah terjadinya erosi, banjir dan longsor atau
pun kurangnya tempat tinggal bagi hewan.
Segala persoalan yang dibeberkan di atas merupakan sebuah peristiwa
riil yang terjadi di dunia ini termasuk di Indonesia. Semua itu menandakan ulah
manusia yang mengedepankan rasionalitasnya. Menurut pandangan saya bahwa
persoalan kerusakan lingkungan hidup yang terjadi di Indonesia ini terjadi
karena faktor pemilik modal yang haus akan hal-hal material dan dalam proses
pencapaian itu mereka bekerja sama dengan para penguasa (pemerintah) sehingga
yang mendapat getahnya ialah rakyat kecil atau rakyat yang miskin. Keseluruhan
fakta di atas menegaskan bahwa sistem kapitalismelah yang paling bertanggung
jawab atas kerusakan-kerusakan lingkungan semakin parah ini.[22]
Para kaum kapital memiliki kebebasan semata dalam menggunakan segala hal yang
tersedia di alam semesta ini. Di sini
para pelaku bisnis atau kaum bermodal memandang alam sebagai obyek sehingga
sedapatnya mereka menguras atau mengorek habis hasil-hasil alam.
Manusia Sang Pelaku Kerusakan
Berbicara mengenai
lingkungan hidup tentu tidak terlepas dari cara ada atau eksistensi manusia itu
sendiri. Mengapa? Sebab manusia adalah subyek yang mengatur, menjaga,
memelihara dan merawat kosmos. Manusia dan kosmos adalah sebuah hubungan
relasional di mana manusia ada dan hidup di dalamnya. Oleh karena hubungan
relasional ini maka manusia yang adalah subyek kiranya menaruh niat,
kemampuannya yang holistik untuk menjaga dan merawat alam ciptaan ini
sebagaimana ia menjaga dirinya (self). Hal itu berarti manusia “harus” membuat kosmos ini menjadi tempat
yang “layak
huni” baik bagi generasi saat ini
maupun generasi berikutnya. Menjadi pertanyaannya selanjutnya ialah bagaimana
caranya manusia membuat kosmis ini menjadi layak huni bagi generasi berikutnya?
Tentu hal yang harus dilakukan adalah menciptakan lingkungan hidup yang bebas
dari polusi baik udara, air dan di darat.
Menilik secara sekilas
masyarakat tradisonal atau dalam bahasa C. A. van Peursen masyarakat primitif
di mana hubungan relasional antara alam atau kosmis dan manusia begitu akur.
Hal ini digambarkan dengan pola lingkaran di mana manusia dan alam berada di
dalamnya. Manusia memandang alam semesta sebagai subyek bukan obyek. Alam
dipandang sebagai itu yang memiliki kekuatan mistis.[23]
Oleh karena itu maka manusia bertindak tunduk, atau memberi respek kepada alam
semesta sebab alam semestalah yang menyediakan segala sesuatu untuk pertumbuhan
dan perkembangan hidupnya. Alam semesta atau kosmos dalam tahap ini adalah ibu
yang dari padanya segala sesuatu itu ada. Dengan demikian sikap respect itu menjadi itu yang sangat penting dalam
kehidupan zaman itu. Lihat ini adalah sebuah cara ada manusia memperlakukan
alam semesta sebagai itu yang lebih tinggi sehingga tidak ada yang namanya
penjarahan hasil alam untuk kepentingan ekonomis. Sebab menurut masyarakat
zaman itu atau periode itu menjarah hasil adalah sama saja menciptakan bahaya
dalam kehidupan atau menjerumuskan diri dalam lubang kemelaratan atau kematian
sekalipun sebab alam akan kembali menghukum pelaku yang menjarah. Hal ini
digambarkan dalam mitos-mitos masyarakat primitif itu. Walaupun dalam
perkembangan mitos itu dikritik oleh kaum rasionalitas namun pada satu sisi
saya mau mengatakan bahwa dengan adanya mitos itu manusia bertindak etis kepada
alam semesta. Hal itu berarti mitos berfungsi untuk menyadarkan manusia untuk
mencintai alam itu sendiri.[24]
Pola pemikiran yang
indah itu didepak oleh generasi selanjutnya yang mana memandang alam semesta
bukan lagi sebagai subyek bagi dirinya tetapi sebaliknya. Kosmos dipandang sebagai
itu di luar dirinya sehingga segala apa yang ada di dalam kosmos dapat
dialihfungsikan menjadi segala sesuatu yang bermanfaat atau alam sebagai sarana
atau alat pemenuhu kebutuhan hidupnya. Dengan kata lain ini merupakan cara
pandang yang salah. Kesalahan itu terletak dari cara pandang yang bersumber
dari etika antroposentrisme.[25]
Hal ini tentu dipengaruhi oleh pola pikir masyarakat kapitalisme dan
industrialisme. Dengan adanya hal itu maka melahirkan masyarakat ekstasi dan
masyarakt libido. Di sini, alam semesta diperlakukan semena-mena tanpa
memikirkan efek di balik penjarahan itu.
Masyarakat
industri dan kapitalisme dikobarkan oleh nafsu akan fulus sehingga mencaplok
alam tanpa henti. Tentu ada nilai ekonomis dibalik penjarahan itu. Kosmos tidak
lagi dipandang sebagai ibu sebab pemerkosaan terhadap alam terus dilakukan
tanpa henti. Di sini manusia berperan penting dalam aktivitas pengeksploitasian
itu. Hal itu berarti “alam
semesta tidak mempunyai nilai intrinsik pada dirinya
sendiri”.[26]
Era industrialisme ini tentu membawah pengaruh kuat bagi manusia sehingga
menyeret kepada degradasi lingkungan dan lenyapnya makna hidup itu sendiri. Semua
itu karena manusia. Pola dan gaya hidup manusia modern kini melecuti bahkan
menodai keindahan alam dengan sikapnya sehingga melahirkan krisis dan bencana.
Hal ini dianggap serius sebab ketika bencana ini melanda tidak hanya satu atau
dua korban jiwa yang jatuh namun beratusan bahkan beribuan masyarakat kita jatu
akibat bencana ini. Hal ini tentu menjadi ancaman serius bagi kita, bagi
generasi kita dan terutama bagi negeri ini. Jika demikian maka dapat logika berpikirnya
demikian. Manusia yang menyebabkan bencana atau kerusakan lingkungan hidup itu
terjadi dan akan merugikan sejumlah orang termasuk Negara hal itu berarti
perbuatan manusia itu termasuk dalam kategori kejahatan. Kejahatan tentu yang
dimaksud adalah kejahatan kepada kehidupan dan kejahatan kepada kehidupan
manusia. Itu adalah crime
against life in general, dan secara khusus crime against humanity.[27]
Segala bentuk krisis dan bencana seperti yang
dijelaskan pada point sebelumnya merupakan bentuk atau praktik kejahatan yang
dilakukan oleh manusia. Menjadi
pertanyaannya ialah manusia yang bagaimana atau seperti apa? De facto, manusia
secara umum yang melakukan pengerusakan itu. Intinya bahwa manusia yang
kehilangan kesadaran sehingga berpola dan bergaya hidup ekonomis-hedonisme yang
mengalihfungsikan kosmos sebagai prinsip kegunaan (utiliterian) dan juga budaya pembuangan sampah yang sembarangan.
Mau saya katakan di sini adalah manusia adalah akar atau subyek perusak kosmos
itu sendiri sebab lingkungan hidup tidak mungkin rusak tanpa sebuah sebab dan
sebab itu adalah tindak-tanduk manusia dalam kehidupan yang semakin mengambil
jarak dengan alam atau kosmos. Di sini manusia dengan akal budinya memandang
alam sebagai fungsi ontologism dan fungsional
menurut van Peursen. [28]
Kembali ke Kosmos
Manusia harus kembali merubah cara pandang
masa kini dengan kembali ke alam atau back to nature. Hal itu harus dilakukan sesegera mungkin dengan
melihat beraneka problem yang terjadi saat ini. Beraneka persoalan yang telah
dikemukan di atas merupakan sebuah tantangan zaman ini. Tentu kesalahan atau
cara pandang manusia modern ini bersumber pada etika antroposenrtisme itu
sendiri. Dengan demikian untuk mengatasi krisis dan bencana lingkungan hidup
yang terjadi saat ini maka perlunya sikap penyadaran diri akan kosmos. Dalam
artian bahwa manusia harus kembali menjalin relasi yang harmonis dengan alam
sama seperti pada zaman primitif atau tradisional. Hal yang senada juga
disampaikan oleh mantan mentri kesehatan yakni Sithi Fadhilllah. Ia mengatakan
bahwa perlu adanya kesadaran dalam diri manusia agar lingkungan hidup tetap
dalam keadaan bersih dan indah. Tidak hanya sampai di situ namun kita juga
harus melihat secara komprehensif, termasuk managerial pemerintah.[29]
Kesadaran untuk
kembali mencintai alam tidak hanya
menjadi sebuah konsep namun hal itu dipraktekan sebagai misal menebang dan
mereboisasi hutan, membuang sampah pada tempatnya, dan lain sebagainya. Hal itu
berarti kita sedang melakukan sesuatu yang baik dan bermakna kepada alam ini.
Usaha untuk kepada alam adalah tanggungjawab bersama. Tidak hannya instansi pemerintahan tetapi
juga instansi Gereja pun berani menyuarakan hal ini. Belakangan ini tentu tidak
asing dalam ingatan kita bahwa di mana-mana Gereja getol menyuarakan atau
melawan kebijakan pemerintah dalam penambangan di bumi Indonesia. Namun,
terkadang suara mereka tidak didengarkan. Tindakan itu merupakan bentuk cinta
mereka akan alam semesta yang kian hari semakin berada dalam zona krisis. Upaya
mereka patut diapresiasikan sebab dengan bertindak demikian mereka sedang
menyiapkan lahan aman bagi generasi mendatang. Hal ini jugalah kita temukan
dalam ensiklik Laudato Si yang dikeluarkan atau ditulis oleh Paus Fransiskus
sendiri. Singkatnya dalam ensiklik ini Bapa Suci mengajak segenap kita tidak
hanya kaum Kristiani Katolik untuk kembali kepada alam. Sebab alam adalah ibu
atau saudari kita.
Sementara itu dalam
bidang pemerintahan kiranya mencari jalan keluar (Follow up) untuk mengatasi krisis dan bencana lingkungan
hidup dengan cara menerbitkan atau membuat Undang-undang yang mengatur atau
menjaga keindahan lingkungan hidup itu sendiri. Sebagai contoh UU 32/2009
tentang perlindungan dan pengolahan Lingkungan hidup adalah sebuah jawaban atas
krisis dan bencana yang sedang di alami negara kita ini. Selain itu adanya
pengendalian dampak lingkungan hidup mencakup 3 hal yakni pencegahan,
penanggulangan dan pemulihan (ps 13).[30]
Pemerintah harus merevisi UU tersebut dan memberi sanksi yang tegas atas
pelanggaran yang ada sebab jika tidak maka hal ini terus dilakukan.Selain itu
juga penegak hukum harus bertindak benar dan jujur dihadapan hukum yang ada
sehingga benar-benar menunjukan kualitas hukum itu sendiri. Patut diingat bahwa
bumi Indonesia kita sedang dalam bahaya oleh karena itu jika dibiarkan maka
berakibat fatal bagi generasi mendatang.
Dengan demikian
sebelum terlambat mari kita menyelamatkan alam kita dari krisis dan bencana
lingkungan dengan saling bahu membahu bersama Gereja dan pemerintah menata alam
lingkungan tempat tinggal kita bagaikan sang kekasih atau patner kita. Hal itu berarti alam dan manusia dipandang
sebagai satu kesatuan relasional yang tidak dapat dilepaspisahkan dalam
kehidupan. Kita tidak hanya menjadi manusia penonton menanti perubahan namun
ada baiknya kita menanamkan kesadaran untuk mengembalikan alam dengan cara berlaku
ramah dihadapannya. Kita tidak hanya menjadi manusia penuntut kepada pemerintah
ketika dilanda kerusakan lingkungan. Kita patut menyadari bahwa segala
kerusakan lingkungan adalah masalah dari aktivitas kita manusia. Ini merupakan
sebuah ajakan untuk mengatasi kerusakan alam itu sendiri. Patut diingat bahwa “bangsa yang
beradab adalah bangsa yang ramah dengan lingkungannya. Bangsa yang demokrasi
adalah bangsa yang sadar akan peran lingkungan hidup dalam kehidupan
bermayarakat, berbangsa, dan bernegara”.[31]
Penutup
Fenomena kerusakan alam atau krisis akan lingkungan
hidup yang terjadi di dunia termasuk di Indonesia adalah sebuah tindakan
kejahatan manusia. Tindakan kejahatan itu dilakukan oleh manusia karena manusia
“kehilangan kesadaran” akan relasi harmonisnya dengan alam semesta. Beraneka
tindakan kejahatan yang dilakukan oleh manusia seperti membuang sampah
sembarangan, menebang hutan, mengekspolitasi hasil bumi seperti pertambang
membakar hutan lindung dan sebagainya melahirkan kecemasan tersendiri. Hal itu
tentu dipengaruhi oleh kebangkitan rasionalitas yang mana mengagung-gungkan
rasio. Fenomena demikian mengokohkan manusia sebagai “tuan” atas dirinya dan
atas ciptaan lainnya. Manusia seakan-akan merasa diri super dihadapan Sang
Pencipta sehingga dengan rasionya ia mampu menciptakan segala hal. Dengan rasio
maka lahirlah industrialisme yang mana membawa efek besar di dunia ini. Salah
satu efeknya adalah terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim akibat
tindak-tanduk manusia ekonomi-konsumtif. Di sini manusia sebagai pelaku
kejahatan atau kerusakan alam itu sendiri.
Sikap manusia yang
digambarkan di atas menandakan penurunan kualitas hidup manusia dan lenyapnya
moralitas hidup manusia itu sendiri. Oleh karena keadaan lingkungan hidup kita
semakin mencemaskan maka pentingnya mengembalikan kesadaran manusia seperti
sedia kala di mana alam semesta dihormati dengan sangat luar biasa. Sikap respect terhadap alam merupakan sebuah harapan pada zaman
kini. Seperti dalam tulisan Bapa Suci Fransiskus dalam ensikliknya “Laodato
Si”. Ia mengajak kita agar memperlakukan alam semesta sebagai ibu dan saudari
kita.
Daftar Pustaka
Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991 dari Rerum
Novarum sampai dengan Centesimus Annus, Jakarta: Dapertemen Dokumen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1995.
Aman, Peter C.,OFM (Edt.), Iman yang Merangkul Bumi, Jakarta:Obor, 2013.
Carada, Wilfredo B., “Korupsi,
Sumber Daya Alam, dan Isu Lingkungan” dalam Wijayanto dan Ridwan Zachrie
(eds.), Korupsi
Mengkorupsi Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009.
Keraf,
A. Sonny,
Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global, Yogyakarta: Kanisius, 2010.
McRae, Hamish, Dunia di tahun
2020, Kekuasaan, Budaya, dan Kemakmuran: Wacana tentang masa depan, Jakarta: Binari Aksara,1995.
Riyanto, Armada., CM, “Memayu
Hayuning Buwono Eco-Etika dalam kebijaksanaan Jawa”, dalam Dr. Benny Phang dan
Dr. Valentinus (eds),
Minum Dari Sumber Sendiri, Malang: Widya Sasana Publication,2011.
-------- Menjadi Mencintai: Berfilsafat Teologis
Sehari-hari, Yogyakarta: Kanisius,2013.
R.W, Raymundus Rikang, “Dalam
Satu Tahun 2 Juta Hektar Hutan Dibabat,” dalam
Winarno, Budi.,MA,pHd, Isu-isu Global
Kontemporer, Yogyakarta: Caps,2011.
Van Peursen, C.A. Strategi
Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, 1988.
hhtps://zenius-study.weebly.com/uploads/6/7/3/3/6733740/ipa_pdf diakses Selasa 01/03/2016.
ditjenbun.pertanian.go.id/perlindungan/berita_332-penyebab-kerusakan-tanah-.html diakses Senin 01/03/2016.
kastadayak.blogspot.co.id/2010/03/sampah-pemicuh-kerusakan-lingkungan.html?m=1 diakses Senin 01/03/2016.
[2]
Ensiklik “Laudato Si” tentang Perawatan
Rumah Kita Bersama
yang dikeluarkan oleh Paus Fransiskus pada tangal 18 Juni 2015 yang kemudian
diterjemahkan oleh P. Martin Harun, OFM,41.
[3]
Prof. Dr. Armada
Riyanto, CM, “Memayu Hayuning Buwono Eco-Etika dalam kebijaksanaan Jawa” dalam Dr. Benny Phang
dan Dr. Valentinus (eds), Minum Dari Sumber Sendiri, Malang: Widya Sasana
Publication,2011,156.
[4]
Ensiklik Laudato Si.,Lo.,cit.
[5]
Bdk. Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991 dari Rerum Novarum sampai dengan
Centesimus Annus,
Jakarta: Dapertemen Dokumen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1995,761-762.
[6]
Armada Riyanto, CM,
Menjadi Mencintai: Berfilsafat Teologis Sehari-hari, Yogyakarta: Kanisius,2013,28.
[7]
Wilfredo B. Carada, “Korupsi, Sumber Daya
Alam, dan Isu Lingkungan” dalam Wijayanto dan Ridwan Zachrie, Korupsi
Mengkorupsi Indonesia,
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009, 243.
[8]
Valentinus Saeng,
“Adat Pelestraian Hutan Dalam Suku Dayak Mualang” dalam Dr. Benny Phang dan Dr.
Valentinus (eds), Op.cit.,61.
[9]
Lih.Hamish McRae , Dunia
di tahun 2020, Kekuasaan, Budaya, dan Kemakmuran: Wacana tentang masa depan, Jakarta: Binari Aksara,1995,145.
[11]
hhtps://zenius-study.weebly.com/uploads/6/7/3/3/6733740/ipa_pdf diakses Selasa 01/03/2016
Pukul 18.25.
[13]
Ibid.
[15] Raymundus
Rikang R.W., “Dalam Satu Tahun 2 Juta Hektar Hutan Dibabat,” dalam http://www.tempo.co/read/news/2014/05/14, diakses
pada Kamis 28 Januari 2014, Pukul 20:20.
[17]
Ibid., 40.
[19] ditjenbun.pertanian.go.id/perlindungan/berita_332-penyebab-kerusakan-tanah-.html diakses Senin 01/03/2016
Pukul 18.46.
[20]
kastadayak.blogspot.co.id/2010/03/sampah-pemicuh-kerusakan-lingkungan.html?m=1
diakses Senin
01/03/2016 Pukul 20.05.
[24]
Ibid., 37-38.
[26]
Ibid.
[27]
Ibid., 15.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar