Kamis, 01 November 2018

SAMPAH DAN PERMASALAHANNYA DITINJAU DARI ENSIKLIK "LAUDATO SI"



 Yosep Belen Keban



Pendahuluan
            Dewasa ini dunia dilanda sebuah krisis  yang mengglobal. Krisis itu bukan krisis akan kemiskinan seperti yang terjadi pada beberapa tahun silam. Namun, lebih dari itu yakni krisis akan lingkungan hidup yang aman dan nyaman. Lingkungan atau kosmos yang dahulunya begitu diagung-agungkan, begitu indah panoramanya kini dirundung kabut kecemasan dan keresahan. Keresahan dan kecemasan  sebab terjadinya dekadensi segala makhluk hidup yang ada di dalamnya. Diskursus mengenai kosmik berarti berbicara segala isi atau itu yang mendiami kosmos itu sendiri. Hal itu berarti sifatnya kompherensif  bukan parsial. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa lingkungan yang kita diami saat ini sedang memancarkan sebuah kegelisahan. Kegelisahan yang dikarenakan sebuah tindakan eksploitasi secara tamak, rakus, praktis dan pragmatis sehingga menampilkan wajah lingkungan pada kehancuran atau kerusakan. Inilah bentuk krisis abad ini yang jauh lebih kejam dari pada krisis moniter yang kita alami pada waktu silam. Hal itu dipengaruhi oleh pola pikir atau rasionalitas manusia yang semakin berkembang.
            Kebangkitan rasionalitas tidak hanya membawa angin segar bagi penghuni dunia ini tetapi di lain sisi melahirkan pertanyaan sebab lenyapnya nilai-nilai kemanusian dalam diri manusia itu sendiri yang ditunjukan dalam aksi (action). Pada abad ini, manusia merasa dirinya sebagai “manusia agung” atau “tuan” atas segala apa yang ada yang mana mampu menciptakan segala hal dengan rasionalitasnya sendiri termasuk teknologi. Dengan demikian manusia seakan-akan merangsek dan meninggalkan agamanya. Mereka seakan-akan memproklamasikan diri mereka sebagai “tuhan”. Pada abad ini pula, berkat rasionalitas manusia mulai mereduksi alam semesta atau kosmos sebagai itu yang ada di luar dirinya. Alam telah diperkosa tak karuan. Hal ini tentu sangat berbeda dengan pandangan klasik di mana alam semesta dipandang sebagai “ibu” dan yang mana memiliki jiwa tersendiri.
            Sikap atau ulah manusia modern yang ditandai dengan era industrialisme dan teknologi yang kian canggih itu meninggalkan jejak kelam bagi generasi berikutnya. Tindakan pengekspolitasian alam semesta secara besar-besaran dan pembuangan limbah-limbah industri yang sembarangan akan melahirkan bencana besar di dunia ini baik itu banjir, longsor, lenyapnya beraneka ragam fauna dan flora serta terjadinya pemanasan global. Semua kerusakan lingkungan hidup ini tentu berawal dari manusia. Manusia yang adalah puncak, pusat ciptaan atau antroposentrisisme semakin hari kehilangan kesadaran untuk menjaga dan melestarikan alam semesta. Oleh karena paham antroposentrisisme itu, maka mengahantar manusia pada sikap konsumtif yang berlebihan dan tidak memperhatikan efek dibalik tindakan kerakusan itu sendiri.
            Lajunya industrialisasi yang sulit dibendung menerobos masuk sampai pada Negara-negara berkembang termasuk negeri kita Indonesia. Tentu ada benarnya bahwa hal itu dapat memacuh pertumbuhan ekonomi suatu bangsa dan juga meningkatkan kesejahteraan segenap warganya. Namun menjadi pertanyaannya ialah mampukah kita menyediakan lingkungan yang aman bagi generasi mendatang sama seperti saat ini? Inilah pertanyaan krusial yang sulit untuk dijawab. Laju industrialisme itulah yang melahirkan kerusakan lingkungan hidup dan membuat manusia hidup dalam bayang-bayang ekstasi dan ekonomi libido. Jika demikian maka masyarakat hanya tinggal dalam zona kekinian dan seakan-akan lupa akan generasi sesudahnya.
Fenomena lingkungan hidup kini yang melahirkan polusi: pencemaran air, udara yang berawal dari pembuangan sampah sembarangan tidak hanya menjadi perhatian pemerintah tetapi juga dalam instansi Gereja. Gereja melalui Paus Benediktus XVI angkat bicara mengenai problematika demikian. Melalui esiklik “Laodato Si”, Paus tidak hanya mengajak kaum kristiani tetapi semua kaum dimuka bumi untuk memperlakukan alam semesta sebagai ibu dan saudari. Ini merupakan ajakan untuk kembali ke alam (back to nature).
Dalam paper ini, penulis melihat fenomena kemorosatan tindakan manusia seiring perkembangan zaman mutakhir dan menggandengkannya dengan tindak-tanduknya dalam kosmos. Seakan-akan manusia kehilangan kesadarannya akan segala hal yang ada di alam semesta. Fokus pembahasan ini menyoriti manusia sebagai subyek perusak lingkungan hidup. Penulisan ini tentu mengangkat sebuah permasalahan yang dibicarakan dalam ensiklik “Laodato Si”. Adapun tujuan dalam penulisan ini adalah untuk memahami secara khusus persoalan apa yang terjadi di Indonesia dan apa penyebabnya dan juga sebagai bentuk ajakan bagi masyarakat Indonesia agar memiliki kesadaraan untuk menjaga, merawat dan melestarikan rumah atau kosmos.


Manusia dan Kemerosotan Moral dalam “Laudato Si “

            Ensiklik Laudato Si yang dikeluarkan oleh Paus Fransiskus merupakan tanggapan Gereja atas realitas kehidupan sosial yang terjadi pada abad ini. Seiring dengan kemajuan dan perkembangan IPTEK dan lajunya pemahaman kapitalisme maka peran dan pola pikir manusia atas kehidupannya pun berubah. Manusia yang adalah puncak ciptaan memperlakukan alam semesta sebagai itu yang berada di luar dirinya. Dengan adanya sikap demikian maka manusia seakan-akan menjadikan dunia ini sebagai kotak atau tempat sampah yang besar sehingga manusia berlaku sembrono atau acuh tak acuh kepada alam semesta ini. Hal-hal ini kemudian melahirkan segudang problematika dalam kehidupan dan pada akhirnya membawa kerusakan yang luar biasa bagi lingkungan itu sendiri. Tidak hanya demikian namun mati atau punahnya beragam spesies di dunia ini. Demikian relasi klasik antara manusia dan alam semakin ada jarak yang menganga lebar.
Ini semua merupakan krisis dan bencana lingkungan zaman kini yang mana disebabkan oleh ulah dan prilaku manusia. Gaya hidup dan pola hidup manusialah menjadi pemicu lahirnya bencana kerusakan itu sendiri. Pola dan gaya hidup yang dimaksudkan di sini adalah pola dan gaya hidup manusia modern dengan segala kemajuan industri dan ekonominya.[1] Pola dan gaya hidup manusia itu menjadi emblem utama kerusakan kosmos itu sendiri sehingga hal itu menjadi titik tolak untuk berdiskursus. Inilah yang menjadi keresahan bagi para pecinta kosmos. Dalam Ensiklik Laudato Si art. 43 berbicara demikian:
           
manusia juga makhluk dunia ini, yang berhak untuk hidup bahagia, dan yang terlebih lagi memiliki martabat khusus. Maka mau tak mau kita harus mempertimbangkan bagaimana kerusakan lingkungan, model pembangunan saat ini, dan budaya buang sampah berpengaruh terhadap kehidupan manusia.[2]


            Ensiklik ini hendak mengatakan bahwa pentingnya kesadaran dari manusia untuk menciptakan iklim kehidupan yang asri dengan cara memperhatikan lingkungan hidup itu sendiri. Dalam artikel ini semacam adanya “teguran bagi manusia” terlebih khusus bagi para pelaku kerusakan sebagai contoh kaum borjuis yang dengan segala kekayaannya menjarah alam tanpa dipikirkan dan juga bagi manusia yang tidak memiliki “kesadaran etis” dalam kehidupan itu sendiri. De facto, dunia yang kita huni ini dipenuhi dengan aneka sampah yang berserakan, pembangunan yang tidak memperhatikan efek lanjutan dari itu, dan juga sikap rakus atau tamak dalam diri kaum kapital yang menguras habis alam semesta ini. Dalam bahasa Armada Riyanto, bahwa “tak pelak lagi, dunia alam semesta disimak penting dari sudut pandang komersal. Alam adalah harta karung yang harus digali, dieksplorasi”.[3] Selanjutnya dalam artikel selanjutnya Bapa Suci menjelaskan persoalan-persoalan yang tengah terjadi atau pun bakal terjadi akibat dari penggunaan atau sikap konsumtif manusia serta budaya pembuangan sampah atau limbah industri yang sembarangan di dunia ini. Berbagai efek dari itu dapat kita temukan dalam ensiklik ini art. 44.

Saat ini, misalnya, kita melihat pertumbuhan banyak kota secara berlebihan dan tidak terkendali hingga tidak sehat lagi untuk dihuni, bukan hanya karena polusi yang disebabkan oleh emisi gas beracun, tetapi juga sebagai akibat dari kekacauan perkotaan, masalah transportasi, polusi visual dan kebisingan. Banyak kota telah menjadi struktur-struktur besar yang tidak efisien, terlalu boros energi dan air. Beberapa wilayah kota, meskipun baru saja dibangun, sudah padat, kacau, dan tanpa tempat hijau yang memadai. Penduduk bumi ini tidak dimaksudkan untuk hidup terhimpit oleh beton, aspal, kaca dan logam, hingga kehilangan kontak fisik dengan alam.[4]


Dalam artikel ini, Bapa Suci menekankan bahwa semua kerusakan yang terjadi pada lingkungan hidup disebabkan oleh manusia. Manusia adalah pelaku kerusakan itu sendiri. Jika ditelisik lebih jauh maka dapat disimpulkan bahwa adanya pergeseran nilai kehidupan manusia yang dipengaruhi oleh globalisasi dan rasionalitas manusia itu sendiri. Pola pikir manusia yang semakin maju melahirkan sejumlah kreativitas dan inovasi dalam bidang teknologi-industri sehingga menciptakan beraneka sarana dalam kehidupan manusia. Beraneka sarana itu memang baik adanya namun hal itu harus dipikirkan jangka panjangnya sebab dapat merugikan generasi berikutnya. Selain itu, perpindahan penduduk ke sebuah tempat atau kota juga membawa pengaruh yang luar biasa akan meningkatnya penggunaan bahan-bahan mineral dan meningkat pula pencemaran lingkungan tempat tinggal itu sendiri. Dengan adanya sikap kritis dan berinovasi maka manusia yang dahulunya respect terhadap alam semesta beralih atau berubah haluan menjadi manusia perusak di mana alam semesta digarap dan dicemar atau dinodai di mana-mana. Manusia zaman modern bahkan post-modern tidak lagi menaruh simpati atau respect kepada alam.
Gereja tidak hanya berbicara soal kerusakan lingkungan hidup dalam ensiklik ini. Pada ensiklik-ensiklik lain seperti ensiklik Sollicitudo Rei Socialis (1987) Paus Yohanes Paulus II menanggapai soal pembangunan dunia yang semakin pesat, di mana membawa perubahan dan aspek baru dalam kehidupan manusia. Khususnya dalam Art. 29-30, Bapa Suci menjalaskan mengenai manusia harus menempatkan diri dalam posisi yang tepat terhadap pembangunan.[5] Gereja juga berbicara mengenai hal ini melalui ensiklik Caritas In Veritate (2009). Oleh karena sikap keapatisan manusia akan alam lingkungan hidupnya maka ensiklik “Laudato Si” ini dikeluarkan.
Keapatisan manusia itu menjadi peltanda bahwa manusia zaman ini sedang mengalami penurunan kualitas hidupnya. Hal itu ditandai dengan sikap-sikap manusia yang sudah berbalik memandang alam semesta sebagai obyek. Hal itu tentu dipengaruhi oleh pola pikir manusia yang kian hari semakin berkembang. Generasi kosumtif modern yang ditandai dengan kelahiran kapitalisme dan industrialisme mengahantar manusia pada sang penguasa alam. Di sini manusia kembali menjadi raksasa atas ciptaan-ciptaan lainnya. Hal itu berarti manusia sedang mempertontonkan ketidakberadabannya, kedigdayaannya dihadapan Pencipta. Sikap memandang kosmos sebagai obyek tentu dengan sendirinya membuat jarak antara alam dan manusia atau dengan kata lain hukum adat dalam masyarakat tradisional tidak lagi mendapat tempat dalam zaman ini. Menjadi pertanyaan lanjutannya adalah bagaimana gambaran kosmos kita saat ini?

Panorama Kosmos Indonesia yang meresahkan

Diskursus mengenai panorama berarti berbicara sebuah obyek keindahan. Nah, keindahan yang dimaksudkan di sini ialah keindahan kosmos. Seperti diketahui bersama bahwa alam ciptaan atau kosmos itu begitu indah sebelumnya. Keindahan itu sudah terlebih dahulu direfleksikan oleh para pemikir Yunani klasik. Mereka memandang alam semesta sebagai titik tolak berpikir. Dari refleksi mereka alam tidak hanya menampilkan keindahannya tetapi juga mencetuskan hakikat kehidupan itu sendiri.[6] Keindahan awali itu dalam perjalanan waktu dinodai oleh tindak-tanduk manusia dan hal itu dipengaruhi oleh pola pikir manusia yang semakin maju. Hakikat kehidupan itu diperkosai tanpa ampun sehingga melahirkan perubahan. Perubahan itu tentu menyajikan segudang tantangan hidup salah satunya adalah merosotnya nilai-nilai kehidupan manusia. Kemerosotan itu tentu mendepak etika kehidupan dan salah satu faktornya adalah lunturnya “kesadaran” kehidupan manusia. Dengan adanya kelunturan kesadaran itu maka manusia yang adalah subyek atau pelaku kehidupan melakukan apa saja semaunya sehingga merugikan generasi tertentu.
            Manusia modern atau post-modern kini terjebak dalam pola hidup hedoneisme yang mengetengahkan nafsu sehingga berkuasa atas segala apa yang ada. Hal itu tentu dimotori oleh ideologi kapitalisme yang meramba begitu dahsyatnya. Dengan demikian manusia bertendensi menganggap alam semesta sebagai obyek. Selain itu tindakan manusia yang diselimuti mentalitas “korupsi” pun menjadi akar akan kerusakan lingkungan hidup itu sendiri.  Singkat kata Lingkungan dan sumber daya alam merupakan lahan subur bagi korupsi yang berdampak besar bagi kehidupan individu, komunitas dan masyarakat.[7] Sebagai contoh pembalakan liar yang merusak daerah resapan air yang pada akhirnya debet air mengering atau menyebabkan kelangkaan air. Selain itu, pengaruh sumber daya manusia yang semakin berkembang diciptakanlah beraneka ragam alat-alat dan teknologi sehingga melahirkan sejumlah persoalan pelik. Persoalan itu ialah polusi sehingga membuat wajah alam kita menjadi “hitam”. Kita bahkan dilabeli negeri pengekspor asap ke negeri tetangga ketika ada kebakaran di Indonesia sama seperti yang terjadi beberapa waktu lalu, banjir yang selalu menghiasi head line utama pada musim kemarau, tanah longsor, dan juga beraneka kerusakan lingkungan yang lainnya.  Wajah alam kita sepertinya berada dalam “zona sakit” sebab setiap harinya jutaan penduduk yang menghuni negeri ini tanpa sadar sudah dan sedang terperangkap dalam ketidaksadaraan diri. Kita adalah pelaku pencemaran, kerusakan wajah kosmos dan atau penghancur ekosistem itu sendiri.[8] Dengan adanya hal demikian maka tidaklah mengherankan jika kosmos kita mengamuk karena tingkahlaku kita. Sungguh tak dapat dielak bahwa Negara kita sedang menampilkan wajah kesakitan.
Ada tiga keresahan utama yang terjadi pada abad ini yakni; “pencemaran lokal, ancaman pemanasan global dan hilangnya habitat”.[9] Kehilangan habitat dan pencemaran lokal sedang dipertontonkan dan hal itu perlu tanggapan atau respon cepat dari semua penghuni bumi ini. Tidak hanya itu tetapi pemanasan global pun sedang terjadi. Persoalan atau masalah kerusakan lingkungan hidup menjadi sebuah tantangan baru bagi kita. Selalu saja bencana yang terjadi dalam negeri ini dan tentu hal itu terjadi karena tindak-tanduk manusia penghuni alam ini. Akhir-akhir ini kita “kehilangan kesadaran” untuk mencintai bumi tempat kita berpijak. Dengan demikian keindahan lingkungan hidup sebagaimana adanya semula menjadi dipertanyakan sebab noda-noda hitam asap, pengapnya bauh merkuri dan aroma menyengat sampah-sampah melahirkan sejumlah korban berjatuhan bahkan meninggal. Hal senada pula disampaikan oleh Denis Goulet yakni sesegeralah mungkin menyelamatkan alam atau membiarkan manusia punah karena alam saat ini sudah tidak layak lagi untuk dihuni.[10]

Aneka Bentuk Kerusakan Lingkungan Hidup

            Kerusakan lingkungan adalah sebuah fakta dan hal itu sedang menjadi perhatian bagi kita. Tentu ada begitu banyak cara untuk menggambarkan kerusakan lingkungan yang saat ini sedang melanda banyak Negara baik itu Negara maju maupun Negara-negara berkembang termasuk Negara Indonesia.  Indonesia merupakan sebuah Negara kepulauan yang rentan terhadap kerusakan atau bencana lingkungan hidup yang terjadi. Berikut ini akan disajikan fenomena-fenomena yang membuat keadaan lingkungan hidup kita berada dalam “zona kesakitan”.
·         Perpindahan Penduduk
         Fenomena perpindahan penduduk juga melahirkan krisis lingkungan hidup itu sendiri. Fenomena perpindahan penduduk yang dimaksudkan dalam pembahasan ini ialah perpindahan dari desa ke kota. Hal ini dipengaruhi oleh cara berpikir manusia yang tidak mau ketinggalan zaman. Manusia merasa bangga dengan msyarakat “label kota” ketimbang desa. Dengan demikian kota tempat tinggal menjadi padat penduduknya sehingga tak ada ruang terbuka hijau untuk dinikmati. Lahan kosong digusur tanpa ampun untuk membangun perumahan nan menawan. Tindak-tanduk demikian melahirkan pencemaran yang meningkat sehingga wajar ketika hujan tidak ada pohon penahan lajunya banjir. Selain itu pun longsor menjadi jawaban atas ulah manusia itu sendiri. Ada beberapa dampak negatif dari perpindahan penduduk ini yakni: berkurangnya lahan produksi seperti sawah dan perkebunan, berkurangnya ketersedian air bersih, menyebabkan arus mobilisasi meningkat sehingga meningkat pula energi dalam penggunaan alat transportasi dan meningkatnya limbah rumah tangga.[11] Semua dampak ini tentu akan menyebabkan kerusakan pada lingkungan itu sendiri.
          Kita menengok sekilas beratus ribu peristiwa lingkungan baik banjir atau pun longsor yang terjadi di negeri ini. Jutaan nyawa melayang tanpa ampun diseret banjir yang mengenaskan, ditindih tumpukkan sampah jika kita mau melihat data dilapangan. Menjadi pertanyaannya adalah ini salah siapa? Akhir-akhir ini, media massa menyuguhkan dengan ramai peristiwa-periatiwa banjir di kota-kota besar seperti Jakarta, Tangerang, Surabaya,dll. Pemerintah daerah maupun pusat seakan-akan kehabisan akal untuk mengatasi persoalan pelik ini yang terjadi setiap tahun ini. Sebagai contoh Gubernur DKI, Basuki Cahaya Purnama atau yang lazim disapa Ahok geram dengan fenomena banjir yang terjadi di Jakarta akhir-akhir ini. Kegeraman Ahok dikarenakan saluran atau got jalanannya banjir tersumbat karena sampah atau kabel-kabel listrik  yang tertumpuk. Jakarta terendam banjir. Penduduk Jakarta mempersalahkan pemerintah setempat. Menjadi pertanyaannya adalah apakah tudingan ini benar? Tentu tidak benar secara logika sebab banjir yang terjadi bukan sebab pemerintah atau bukan kiriman dari pemerintah. Hal ini karena kepadatan dan gaya hidup ngawur yang dipertontonkan manusia yang kehilangan etika dalam hidupnya. Banjir dan longsor merupakan bencana alam yang mana juga disebabkan oleh tingkahlaku manusia itu sendiri. Itu terjadi karena manusia mengabaikan “kesadaraan”.

·         Polusi Udara
Akhir-akhir ini udara bersih terasa begitu “mahal” untuk diperoleh. Indonesia yang adalah Negara berkembang di mana terkenal dengan aneka ragam keindahan alamnya pun tercemar oleh polusi yang maha dahsyat. Sumber dari pencemaran ini bisa saja karena sampah, kebakaran hutan dan limbah industri.[12] Selain itu, asap kendaraan bermotor pun menjadi penyebab dari polusi ini terutama bensin dan solar. Setiap harinya penggunaan alat-alat transportasi semakin meningkat maka bayangkan saja seberapa banyak gas CO2 yang dibuang ke udara. Situasi inilah yang akan melahirkan krisis. Krisis itu berupa penyakit yang menggerogoti tubuh sebagai misal ISPA, asma, penurunan IQ, gangguan saraf dan Impotensi.[13] Selain itu pula pencemaran udara dapat melahirkan kepanasan global dan perubahan iklim.
Salah atu contoh masalah pencemaran udara yang mengganggu stabilitas Negara adalah kebakaran hutan. Kebakaran hutan di Indonesia setip tahun mengalami kenaikan dan semakin buruk. Tentu hal itu membawa efek buruk baik kepada manusia maupun kepada fauna dan flora yang sangat berharga. Sebagai contoh beberapa bulan lalu masyarakat Indonesia diselimuti duka asap yang terjadi akibat keserahkaan manusia. Asap yang terjadi di Kalimantan dan Riau menjadi sumber penderitaan. Berbagai Negara di dunia mengecam tindakan ini. Mereka bahkan melabelkan Negara kita sebagai negeri “pengekspor asap”.[14]

·         Penebangan dan Pembakaran Hutan
Fenomena penebangan dan pembakaran hutan di Indonesia semacam menjadi budaya khas kita. Kebudayaan yang jelek seperti membabat hutan lindung untuk tanaman komoditas seperti karet, sawit yang terjadi beberapa waktu lalu di Kalimantan. Tidak hanya di Kalimantan namun diberbagai pelosok di Negara ini memperlakukan hal itu. Menurut Zenzi Suhadi, Anggota Dapertemen Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WAHLI), menjelaskan bahwa tingkat kerusakan hutan di Riau dan Kalimantan sangatlah tinggi sebab izin penerbitan usaha kelapa sawit dan tanaman industri tidak terkontrol.[15] Hal ini akan menyebabkan kerusakan hutan yang mengakibatkan banjir dan tanah longsor. Tentu masih segar dalam ingatan kita kejadian atau peristiwa beberapa bulan yang lalu di Kalimantan dan Sumatra. Kebakaran yang berakibat fatal itu mengganggu stabilitas hidup bersama. Hal itu tidak hanya menjadi perhatian bangsa Indonesia saja tapi dipersoalkan oleh dunia Internasional. Selain itu pembbatan hutan dan kebakaran hutan juga dapat menyebabkan mata air mengering.[16] Prilaku demikian tentu menggambarkan identitas manusia yang tidak tunduk pada alam. Manusia modern yang ditandai dengan industri yang kian pesat melihat alam semesta sebagai pemenuhan ekonomi libidonya. Dengan adanya itu maka manusia kehilangan kesadaran akan efek dari prilaku yang menyimpang itu. Sikap itu tentu berakibat fatal bagi kehidupan yakni suhu lingkungan meningkat, tanah tandus yang berakibat gagalnya panen, banjir dan punahnya flora dan fauna di negeri yang kaya ini.

·         Pemburuan Hewan Liar
     Salah satu bentuk hilangnya kesadaran manusia pada era ini adalah pemburuan hewan secara liar dan dilakukan secara ilegal. Pemburuan hewan bagi segelintir orang adalah semacam hobi namun hal ini merupakan sebuah ancaman bagi lingkungan itu sendiri di mana hewan menjadi berkurang bahkan punah. Pemburuan itu tidak lain karena tuntutan ekonomis. Manusia berusaha masuk dan keluar hutan, berhari-hari demi mencari itu yang diinginkan. Sebagai contoh sarang burung Walet yang beberapa tahun silam menjadi semacam nilai bisnis yang menggiurkan orang dan beberapa contoh lainnya, rusa, orang utan, dll. Spesies dari berbagai jenis hewan akan mengalami kepunahan karena habitatnya dirusak atau mengalami perubahan karena libido manusia.

·         Pembangunan Industri
Salah satu tanda zaman kini adalah masyarakat industri. Masyarakat industri ini berkembang di dunia ketika abad XVI-XVII di mana rasionalitas menjadi itu yang dikedepankan. Pengaruh dari itu maka lahirlah paham kapitalisme di dunia. Kapitalisme menjadi agama baru sebab membawa dampak yang luar biasa bagi dunia. Perkembangan itu ditandai dengan pembangunan pabrik-pabrik industri yang tersebar di sejumlah Negara termasuk di Negara yang sedang berkembang yakni Indonesia. Indonesia kini dipenuhi beraneka bangunan besar yang menghiasi jalan-jalan Negara. Hal ini tentu berbeda dengan zaman sebelumnya di mana disepanjang jalan kita mengamati keindahan alam yang menyita mata. Keindahan itu diganti dengan menjulangnya bangunan tinggi nan pengap dan meresahkan. Keresahan dan kepengatan sebab limbah pabrik berserakan dan diairi sepanjang sungai yang pada akhirnya membawa dampak besar bagi manusia. Ini merupakan salah satu kategori pencemaran air yang mematikan atau berbahaya (beracun).[17] Jutaan manusia yang mengkonsumsi air sungai menderita sakit bahkan meninggal karena setiap hari mengkonsumsi air keruh bercampur merkuri atau limbah pabrik ini. Berdasarkan data KNLH, pada tahun 2007 tercatat ada sekitar 13 ribu industri besar yang berpotensi mencemari air permukaan dan air tanah.[18] Hal itu berarti sejumlah air yang dikonsumsi masyarakat Indonesia sudah tidak bermutuh lagi.

·         Pupuk
    Pupuk juga menyebabkan kerusakan lingkungan hidup itu sendiri. Tentu yang dimaksudkan dengan pupuk di sini ialah pupuk kimia atau agrokimia. Agrokimia yang dimaksud adalah pupuk dan peptisida yang tidak propesional. Dampak dari ini adalah pencemaran air, tanah, dan hasil pertanian, gangguan kesehatan petani, menurunnya keanekaragaman hayati dan lainya.[19] Pencampuran bahan kimia yang mana bertujuan untuk menyuburkan tanaman dapat melahirkan kerusakan lingkungan. Penggunaan pupuk di Indonesia terbilang terbanyak sebab semua tanaman ditaburi pupuk jenis kimia. Pupuk dapat memberi kerusakan pada lingkungan apabila penggunaannya melebihi dosis tertentu dan juga dampak dari penggunaan itu yakni ketika hujan banjir membawanya ke sungai dan sebagin masyarakat kita mengkonsumsi air tersebut maka akan mengganggu kesehatan si pengkonsumsi air tersebut. Singkat kata pupuk dapat mematikan spesies di dunia ini.

·               Sampah
Berbicara mengenai sampah di Indonesia menjadi itu yang tidak pernah habis sebab semakin berbicara tindakan membuang sampah semakin dilakukan. Salah satu contohnya ialah di Jakarta. Diperkirakan kurang lebih sekitar 6.500 ton sampah per hari yang tertimbun.[20] Bayangkan saja sedemikian banyaknya. Jika kita kumpulkan semua sampah yang ada di seluruh pelosok Indonesia maka hasilnya tentu beribu-riu ton. Hal ini dikarenakan kepadatan penduduk sebuah tempat dan hilangnya budaya bersih. Begitu banyak intruksi dan warning yang ditempelkan atau disepanjang tempat-tempat umum namun hal itu hanyalah tiang atau kata-kata bisu tanpa arti. Hanya segelintir orang tertentu yang memiliki kesadaraan mengenai hal ini. Di mana-mana sampah berserahkan baik di sekolah, di rumah atau pun di tempat-tempat lainnya. Negeri ini adalah negeri yang penuh dengan tumpukkan sampah. Itulah julukan bagi negeri kita Indonesia. Wajarlah julukkan itu sebab realitasnya demikian. kita sebagai warga Negara yang tak berkesadaraan akan sampah tak perlu lagi lari dari perpektif ini. Sampah yang berserakan di mana-mana merupakan akibat kemajuan industri dan perubahan gaya hidup manusia modern.[21]
Sampah itu ada dua macam yakni ada yang dapat diurai dan ada yang tidak dapat diuraikan seperti plastik. Berbicara soal sampah itu berarti kita berbicara soal limbah rumah tangga, pertanian, transportasi, limbah industry, dll. Sampah di Indonesia akhir-akhir ini menjadi trending topic di berbagai media massa sebab kita kehilangan kesadaraan untuk hal itu. Sampah jelas menjadi masalah bagi kota-kota besar sebab menimbulkan berbagai pencemaran lingkungan baik itu pencemaran udara dan air. Beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi menggagas sebuah ide brilliant yakni “Revolusi Mental”. Revolusi mental yang digagas Jokowi menjadi penting dan bermakna apabila hal itu dipraktekan dalam realitas kehidupan keseharian kita. Jangan pernah berpikir yang terlalu tinggi tentang gagasan ini revolusi yang dimaksudkan Jokowi adalah kesadaraan akan mental masa bodoh atau keapatisan kita dalam segala hal termasuk kesadaran dalam membuang sampah.

·         Pengeboman Minyak dan Penambangan Mineral secara terbuka
Persoalan pelik mengenai kerusakan kini adalah pengeboman dan penambangan mineral secara terbuka di bumi kita Indonesia. Hal yang mencemaskan adalah penggalian atau pengeboran minyak, batu bara dan energy  nuklir.  Sejumlah investor asing berlomba-lomba menanam modalnya di Indonesia seperti di PT. Freeport di Papua dan lain sebagainya. Tidak hanya perusahan asing namun perusahan dalam negeri pun tidak kalah diamnya. Para investor atau para kaum kapital meraup, merampas bahkan menggusur lahan yang berpotensi itu tanpa memikirkan apa efek dari penggusuran atau pencaplokan itu. Penambangan di bumi Indonesia yang terbuka itu memiliki efek besar bagi kehidupan generasi berikutnya sebab akan menyebabkan kefatalan jika terus dibiarkan berkepanjangan. Hal inilah yang menjadi perhatian segelintir orang yakni mereka yang bergabung dalam JPIC. Merekalah yang menyelamatkan dan mengembalikan alam sebagaimana sediakala. Mereka berteriak tanpa henti baik melalui surat kabar, TV, Radio, dan bahkan melakukan demonstrasi hanya untuk menyelamatkan generasi berikutnya. Mereka inilah yang memiliki kesadaran akan efek yang akan terjadi. Salah satu efek dari hal ini adalah terjadinya erosi, banjir dan longsor atau pun kurangnya tempat tinggal bagi hewan.

Segala persoalan yang dibeberkan di atas merupakan sebuah peristiwa riil yang terjadi di dunia ini termasuk di Indonesia. Semua itu menandakan ulah manusia yang mengedepankan rasionalitasnya. Menurut pandangan saya bahwa persoalan kerusakan lingkungan hidup yang terjadi di Indonesia ini terjadi karena faktor pemilik modal yang haus akan hal-hal material dan dalam proses pencapaian itu mereka bekerja sama dengan para penguasa (pemerintah) sehingga yang mendapat getahnya ialah rakyat kecil atau rakyat yang miskin. Keseluruhan fakta di atas menegaskan bahwa sistem kapitalismelah yang paling bertanggung jawab atas kerusakan-kerusakan lingkungan semakin parah ini.[22] Para kaum kapital memiliki kebebasan semata dalam menggunakan segala hal yang tersedia di alam semesta ini.  Di sini para pelaku bisnis atau kaum bermodal memandang alam sebagai obyek sehingga sedapatnya mereka menguras atau mengorek habis hasil-hasil alam.

Manusia Sang Pelaku Kerusakan

            Berbicara mengenai lingkungan hidup tentu tidak terlepas dari cara ada atau eksistensi manusia itu sendiri. Mengapa? Sebab manusia adalah subyek yang mengatur, menjaga, memelihara dan merawat kosmos. Manusia dan kosmos adalah sebuah hubungan relasional di mana manusia ada dan hidup di dalamnya. Oleh karena hubungan relasional ini maka manusia yang adalah subyek kiranya menaruh niat, kemampuannya yang holistik untuk menjaga dan merawat alam ciptaan ini sebagaimana ia menjaga dirinya (self). Hal itu berarti manusia “harus” membuat kosmos ini menjadi tempat yang “layak huni” baik bagi generasi saat ini maupun generasi berikutnya. Menjadi pertanyaannya selanjutnya ialah bagaimana caranya manusia membuat kosmis ini menjadi layak huni bagi generasi berikutnya? Tentu hal yang harus dilakukan adalah menciptakan lingkungan hidup yang bebas dari polusi baik udara, air dan di darat.
            Menilik secara sekilas masyarakat tradisonal atau dalam bahasa C. A. van Peursen masyarakat primitif di mana hubungan relasional antara alam atau kosmis dan manusia begitu akur. Hal ini digambarkan dengan pola lingkaran di mana manusia dan alam berada di dalamnya. Manusia memandang alam semesta sebagai subyek bukan obyek. Alam dipandang sebagai itu yang memiliki kekuatan mistis.[23] Oleh karena itu maka manusia bertindak tunduk, atau memberi respek kepada alam semesta sebab alam semestalah yang menyediakan segala sesuatu untuk pertumbuhan dan perkembangan hidupnya. Alam semesta atau kosmos dalam tahap ini adalah ibu yang dari padanya segala sesuatu itu ada. Dengan demikian sikap respect itu menjadi itu yang sangat penting dalam kehidupan zaman itu. Lihat ini adalah sebuah cara ada manusia memperlakukan alam semesta sebagai itu yang lebih tinggi sehingga tidak ada yang namanya penjarahan hasil alam untuk kepentingan ekonomis. Sebab menurut masyarakat zaman itu atau periode itu menjarah hasil adalah sama saja menciptakan bahaya dalam kehidupan atau menjerumuskan diri dalam lubang kemelaratan atau kematian sekalipun sebab alam akan kembali menghukum pelaku yang menjarah. Hal ini digambarkan dalam mitos-mitos masyarakat primitif itu. Walaupun dalam perkembangan mitos itu dikritik oleh kaum rasionalitas namun pada satu sisi saya mau mengatakan bahwa dengan adanya mitos itu manusia bertindak etis kepada alam semesta. Hal itu berarti mitos berfungsi untuk menyadarkan manusia untuk mencintai alam itu sendiri.[24]
            Pola pemikiran yang indah itu didepak oleh generasi selanjutnya yang mana memandang alam semesta bukan lagi sebagai subyek bagi dirinya tetapi sebaliknya. Kosmos dipandang sebagai itu di luar dirinya sehingga segala apa yang ada di dalam kosmos dapat dialihfungsikan menjadi segala sesuatu yang bermanfaat atau alam sebagai sarana atau alat pemenuhu kebutuhan hidupnya. Dengan kata lain ini merupakan cara pandang yang salah. Kesalahan itu terletak dari cara pandang yang bersumber dari etika antroposentrisme.[25] Hal ini tentu dipengaruhi oleh pola pikir masyarakat kapitalisme dan industrialisme. Dengan adanya hal itu maka melahirkan masyarakat ekstasi dan masyarakt libido. Di sini, alam semesta diperlakukan semena-mena tanpa memikirkan efek di balik penjarahan itu.
 Masyarakat industri dan kapitalisme dikobarkan oleh nafsu akan fulus sehingga mencaplok alam tanpa henti. Tentu ada nilai ekonomis dibalik penjarahan itu. Kosmos tidak lagi dipandang sebagai ibu sebab pemerkosaan terhadap alam terus dilakukan tanpa henti. Di sini manusia berperan penting dalam aktivitas pengeksploitasian itu. Hal itu berarti “alam semesta tidak mempunyai nilai intrinsik pada dirinya sendiri”.[26] Era industrialisme ini tentu membawah pengaruh kuat bagi manusia sehingga menyeret kepada degradasi lingkungan dan lenyapnya makna hidup itu sendiri. Semua itu karena manusia. Pola dan gaya hidup manusia modern kini melecuti bahkan menodai keindahan alam dengan sikapnya sehingga melahirkan krisis dan bencana. Hal ini dianggap serius sebab ketika bencana ini melanda tidak hanya satu atau dua korban jiwa yang jatuh namun beratusan bahkan beribuan masyarakat kita jatu akibat bencana ini. Hal ini tentu menjadi ancaman serius bagi kita, bagi generasi kita dan terutama bagi negeri ini. Jika demikian maka dapat logika berpikirnya demikian. Manusia yang menyebabkan bencana atau kerusakan lingkungan hidup itu terjadi dan akan merugikan sejumlah orang termasuk Negara hal itu berarti perbuatan manusia itu termasuk dalam kategori kejahatan. Kejahatan tentu yang dimaksud adalah kejahatan kepada kehidupan dan kejahatan kepada kehidupan manusia. Itu adalah crime against life in general, dan secara khusus crime against humanity.[27]
            Segala bentuk krisis dan bencana seperti yang dijelaskan pada point sebelumnya merupakan bentuk atau praktik kejahatan yang dilakukan oleh manusia.  Menjadi pertanyaannya ialah manusia yang bagaimana atau seperti apa? De facto, manusia secara umum yang melakukan pengerusakan itu. Intinya bahwa manusia yang kehilangan kesadaran sehingga berpola dan bergaya hidup ekonomis-hedonisme yang mengalihfungsikan kosmos sebagai prinsip kegunaan (utiliterian) dan juga budaya pembuangan sampah yang sembarangan. Mau saya katakan di sini adalah manusia adalah akar atau subyek perusak kosmos itu sendiri sebab lingkungan hidup tidak mungkin rusak tanpa sebuah sebab dan sebab itu adalah tindak-tanduk manusia dalam kehidupan yang semakin mengambil jarak dengan alam atau kosmos. Di sini manusia dengan akal budinya memandang alam sebagai fungsi ontologism  dan fungsional menurut van Peursen. [28]

Kembali ke Kosmos

             Manusia harus kembali merubah cara pandang masa kini dengan kembali ke alam atau back to nature. Hal itu harus dilakukan sesegera mungkin dengan melihat beraneka problem yang terjadi saat ini. Beraneka persoalan yang telah dikemukan di atas merupakan sebuah tantangan zaman ini. Tentu kesalahan atau cara pandang manusia modern ini bersumber pada etika antroposenrtisme itu sendiri. Dengan demikian untuk mengatasi krisis dan bencana lingkungan hidup yang terjadi saat ini maka perlunya sikap penyadaran diri akan kosmos. Dalam artian bahwa manusia harus kembali menjalin relasi yang harmonis dengan alam sama seperti pada zaman primitif atau tradisional. Hal yang senada juga disampaikan oleh mantan mentri kesehatan yakni Sithi Fadhilllah. Ia mengatakan bahwa perlu adanya kesadaran dalam diri manusia agar lingkungan hidup tetap dalam keadaan bersih dan indah. Tidak hanya sampai di situ namun kita juga harus melihat secara komprehensif, termasuk managerial pemerintah.[29]
            Kesadaran untuk kembali  mencintai alam tidak hanya menjadi sebuah konsep namun hal itu dipraktekan sebagai misal menebang dan mereboisasi hutan, membuang sampah pada tempatnya, dan lain sebagainya. Hal itu berarti kita sedang melakukan sesuatu yang baik dan bermakna kepada alam ini. Usaha untuk kepada alam adalah tanggungjawab bersama.  Tidak hannya instansi pemerintahan tetapi juga instansi Gereja pun berani menyuarakan hal ini. Belakangan ini tentu tidak asing dalam ingatan kita bahwa di mana-mana Gereja getol menyuarakan atau melawan kebijakan pemerintah dalam penambangan di bumi Indonesia. Namun, terkadang suara mereka tidak didengarkan. Tindakan itu merupakan bentuk cinta mereka akan alam semesta yang kian hari semakin berada dalam zona krisis. Upaya mereka patut diapresiasikan sebab dengan bertindak demikian mereka sedang menyiapkan lahan aman bagi generasi mendatang. Hal ini jugalah kita temukan dalam ensiklik Laudato Si yang dikeluarkan atau ditulis oleh Paus Fransiskus sendiri. Singkatnya dalam ensiklik ini Bapa Suci mengajak segenap kita tidak hanya kaum Kristiani Katolik untuk kembali kepada alam. Sebab alam adalah ibu atau saudari kita.
            Sementara itu dalam bidang pemerintahan kiranya mencari jalan keluar (Follow up) untuk mengatasi krisis dan bencana lingkungan hidup dengan cara menerbitkan atau membuat Undang-undang yang mengatur atau menjaga keindahan lingkungan hidup itu sendiri. Sebagai contoh UU 32/2009 tentang perlindungan dan pengolahan Lingkungan hidup adalah sebuah jawaban atas krisis dan bencana yang sedang di alami negara kita ini. Selain itu adanya pengendalian dampak lingkungan hidup mencakup 3 hal yakni pencegahan, penanggulangan dan pemulihan (ps 13).[30] Pemerintah harus merevisi UU tersebut dan memberi sanksi yang tegas atas pelanggaran yang ada sebab jika tidak maka hal ini terus dilakukan.Selain itu juga penegak hukum harus bertindak benar dan jujur dihadapan hukum yang ada sehingga benar-benar menunjukan kualitas hukum itu sendiri. Patut diingat bahwa bumi Indonesia kita sedang dalam bahaya oleh karena itu jika dibiarkan maka berakibat fatal bagi generasi mendatang.
            Dengan demikian sebelum terlambat mari kita menyelamatkan alam kita dari krisis dan bencana lingkungan dengan saling bahu membahu bersama Gereja dan pemerintah menata alam lingkungan tempat tinggal kita bagaikan sang kekasih atau patner kita. Hal itu berarti alam dan manusia dipandang sebagai satu kesatuan relasional yang tidak dapat dilepaspisahkan dalam kehidupan. Kita tidak hanya menjadi manusia penonton menanti perubahan namun ada baiknya kita menanamkan kesadaran untuk mengembalikan alam dengan cara berlaku ramah dihadapannya. Kita tidak hanya menjadi manusia penuntut kepada pemerintah ketika dilanda kerusakan lingkungan. Kita patut menyadari bahwa segala kerusakan lingkungan adalah masalah dari aktivitas kita manusia. Ini merupakan sebuah ajakan untuk mengatasi kerusakan alam itu sendiri. Patut diingat bahwa “bangsa yang beradab adalah bangsa yang ramah dengan lingkungannya. Bangsa yang demokrasi adalah bangsa yang sadar akan peran lingkungan hidup dalam kehidupan bermayarakat, berbangsa, dan bernegara”.[31]

Penutup
            Fenomena kerusakan alam atau krisis akan lingkungan hidup yang terjadi di dunia termasuk di Indonesia adalah sebuah tindakan kejahatan manusia. Tindakan kejahatan itu dilakukan oleh manusia karena manusia “kehilangan kesadaran” akan relasi harmonisnya dengan alam semesta. Beraneka tindakan kejahatan yang dilakukan oleh manusia seperti membuang sampah sembarangan, menebang hutan, mengekspolitasi hasil bumi seperti pertambang membakar hutan lindung dan sebagainya melahirkan kecemasan tersendiri. Hal itu tentu dipengaruhi oleh kebangkitan rasionalitas yang mana mengagung-gungkan rasio. Fenomena demikian mengokohkan manusia sebagai “tuan” atas dirinya dan atas ciptaan lainnya. Manusia seakan-akan merasa diri super dihadapan Sang Pencipta sehingga dengan rasionya ia mampu menciptakan segala hal. Dengan rasio maka lahirlah industrialisme yang mana membawa efek besar di dunia ini. Salah satu efeknya adalah terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim akibat tindak-tanduk manusia ekonomi-konsumtif. Di sini manusia sebagai pelaku kejahatan atau kerusakan alam itu sendiri.
            Sikap manusia yang digambarkan di atas menandakan penurunan kualitas hidup manusia dan lenyapnya moralitas hidup manusia itu sendiri. Oleh karena keadaan lingkungan hidup kita semakin mencemaskan maka pentingnya mengembalikan kesadaran manusia seperti sedia kala di mana alam semesta dihormati dengan sangat luar biasa. Sikap respect terhadap alam merupakan sebuah harapan pada zaman kini. Seperti dalam tulisan Bapa Suci Fransiskus dalam ensikliknya “Laodato Si”. Ia mengajak kita agar memperlakukan alam semesta sebagai ibu dan saudari kita.

































Daftar Pustaka


Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991 dari Rerum Novarum sampai dengan Centesimus Annus, Jakarta: Dapertemen Dokumen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1995.

      Aman, Peter C.,OFM (Edt.), Iman yang Merangkul Bumi, Jakarta:Obor, 2013.
   
Carada, Wilfredo B., “Korupsi, Sumber Daya Alam, dan Isu Lingkungan” dalam Wijayanto dan Ridwan Zachrie (eds.), Korupsi Mengkorupsi  Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009.

Keraf, A. Sonny, Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global, Yogyakarta: Kanisius, 2010.

McRae, Hamish, Dunia di tahun 2020, Kekuasaan, Budaya, dan Kemakmuran: Wacana tentang masa depan, Jakarta: Binari Aksara,1995.

Riyanto, Armada., CM, “Memayu Hayuning Buwono Eco-Etika dalam kebijaksanaan Jawa”, dalam Dr. Benny Phang dan Dr. Valentinus (eds), Minum Dari Sumber Sendiri,  Malang: Widya Sasana   Publication,2011.

       --------  Menjadi Mencintai: Berfilsafat Teologis Sehari-hari, Yogyakarta: Kanisius,2013.

R.W, Raymundus Rikang, “Dalam Satu Tahun 2 Juta Hektar Hutan Dibabat,” dalam
               http://www.tempo.co/read/news/2014/05/14, diakses pada Kamis 28 Januari 2014.

Winarno, Budi.,MA,pHd, Isu-isu Global Kontemporer, Yogyakarta: Caps,2011.

Van Peursen, C.A. Strategi Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, 1988.
     

      hhtps://zenius-study.weebly.com/uploads/6/7/3/3/6733740/ipa_pdf diakses Selasa 01/03/2016.

ditjenbun.pertanian.go.id/perlindungan/berita­_332-penyebab-kerusakan-tanah-.html diakses Senin 01/03/2016.

kastadayak.blogspot.co.id/2010/03/sampah-pemicuh-kerusakan-lingkungan.html?m=1 diakses Senin 01/03/2016.



[1]  A. Sonny Keraf, Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global, Yogyakarta: Kanisius, 2010, 38.
[2]  Ensiklik “Laudato Sitentang Perawatan Rumah Kita Bersama yang dikeluarkan oleh Paus Fransiskus pada tangal 18 Juni 2015 yang kemudian diterjemahkan oleh P. Martin Harun, OFM,41.
[3] Prof. Dr. Armada Riyanto, CM, “Memayu Hayuning Buwono Eco-Etika dalam kebijaksanaan Jawa” dalam Dr. Benny Phang dan Dr. Valentinus (eds), Minum Dari Sumber Sendiri, Malang: Widya Sasana Publication,2011,156.
[4] Ensiklik Laudato Si.,Lo.,cit.
[5] Bdk. Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991 dari Rerum Novarum sampai dengan Centesimus Annus, Jakarta: Dapertemen Dokumen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1995,761-762.
[6] Armada Riyanto, CM, Menjadi Mencintai: Berfilsafat Teologis Sehari-hari, Yogyakarta: Kanisius,2013,28.
[7]  Wilfredo B. Carada, “Korupsi, Sumber Daya Alam, dan Isu Lingkungan” dalam Wijayanto dan Ridwan Zachrie, Korupsi Mengkorupsi Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009,  243.
[8] Valentinus Saeng, “Adat Pelestraian Hutan Dalam Suku Dayak Mualang” dalam Dr. Benny Phang dan Dr. Valentinus (eds), Op.cit.,61.
[9] Lih.Hamish McRae , Dunia di tahun 2020, Kekuasaan, Budaya, dan Kemakmuran: Wacana tentang masa depan, Jakarta: Binari Aksara,1995,145.
[10] Dr. Peter C. Aman, OFM (Edt.), Iman yang Merangkul Bumi, Jakarta:Obor, 2013, 103.
[11] hhtps://zenius-study.weebly.com/uploads/6/7/3/3/6733740/ipa_pdf diakses Selasa 01/03/2016 Pukul 18.25.
[12]A. Sonny Keraf, Op.cit.,38.
[13] Ibid.
[14] Valentinus Saeng, Lo.cit.
[15] Raymundus Rikang R.W., “Dalam Satu Tahun 2 Juta Hektar Hutan Dibabat,” dalam http://www.tempo.co/read/news/2014/05/14, diakses pada Kamis 28 Januari 2014, Pukul 20:20.
[16]  A. Sonny Keraf, Op.cit., 50.
[17] Ibid., 40.
[18] Ibid., 43.
[19] ditjenbun.pertanian.go.id/perlindungan/berita­_332-penyebab-kerusakan-tanah-.html diakses Senin 01/03/2016 Pukul 18.46.
[20] kastadayak.blogspot.co.id/2010/03/sampah-pemicuh-kerusakan-lingkungan.html?m=1 diakses Senin 01/03/2016 Pukul 20.05.
[21] A. Sonny Keraf, Op.cit., 46.
[22] Prof. Drs. Budi Winarno, MA,pHd, Isu-isu Global Kontemporer, Yogyakarta: Caps,2011,150.
[23]  Prof.Dr. C.A.van Peursen, Strategi Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, 1988, hlm. 34-36.
[24] Ibid., 37-38.
[25] A. Sonny Keraf, Op.cit, 79.
[26] Ibid.
[27] Ibid., 15.
[28]Prof.Dr. C.A.van Peursen, Op .cit., 55-85.
[29] Adrianus M. Nggoro S.H,Op.cit., 117.
[30] A. Sonny  Keraf, Op.cit.,183-186.
[31]  Adrianus M. Nggoro S.H, Op.cit., 120-121.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar