DEMOKRASI DAN AJARAN SOSIAL KATOLIK
YOSEP BELEN KEBAN
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Diskursus
seputar demokrasi berarti kita berbicara seputar bentuk pemerintahan dari
sebuah Negara. Diskursus ini tidak akan selesai dalam hitungan detik semata
sebab memiliki cakupan yang luas dan juga memiliki celah atau tantangan dalam
menjalankannya. Walaupun ditengarai beraneka kedok namun begitu banyak orang
mengakui bentuk pemerintahan ini sebagai itu yang baik dan benar. Dengan
demikian demokrasi nampaknya telah mencatat kemenangan historis atas
bentuk-bentuk pemerintahan yang lain.[1]
Kemenangan
demokrasi sebagai sebuah bentuk yang ideal pada zaman postmodernisme kini tentu
tidak luput dari berbagai upaya dan juga berkembang, bertumbuh dalam kurungan
perdebatan yang mahasengit sebab adanya penemuan rentetan-rentetan sejara kelam
yang menyakitkan. Demokrasi tidak bukan adalah sebuah bentuk pemerintahan yang
sesat sebagaimana dikatakan oleh Aristoteles dalam bukunya Politea. Dengan adanya indikasi demikian
maka demokrasi ibarat pil pahit yang keberadaannya selalu dinegasikan oleh para
masyarakat pesakit. Walaupun sejarah kelam berkata soal demokrasi demikian
namun yang menarik sampai dengan saat ini adalah bentuk ini paling diminati
Negara-negara di dunia ini.
Menarik
pula bahwa bentuk ini juga diakui eksistensinya sebagai yang ideal sebagai
bentuk dari sebuah sistem pemerintahan oleh Gereja Katolik. Dengan adanya
pengakuan demikian maka hubungan Gereja dan Negara dalam kehidupan bersama
bagaikan dua sisi mata uang yang selalu berelasi, melebur dan berbagi tanpa adanya
intimidasi. Gereja merasa terlibat dalam Negara sebagaimana sesuai dengan
ajaran Yesus yang dipahami sebagai prinsip fundamental yang mengatur relasi
keduanya yakni “Berikanlah kepada kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada
kaisar, dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah” (Mat 22:21;
Mrk 12:17; Luk 20:25).[2] Dengan demikian, dalam artikel ini saya
hendak berbicara seputar perspektif Gereja Katolik akan sistem demokrasi yang
diakui sebagai sebuah bentuk Negara ideal.
1.2. Rumusan Masalah
Dalam paper ini adapun rumusan masalah yang saya
ajukan sebagai bahan acuan dalam menelisik secara mendalam dan menukik tentang
demokrasi itu sendiri. Menjadi pertanyaan mendasar dalam penggarapan paper ini
adalah sebagai berikut:
·
Bagaimana sejarah perkembangan demokrasi itu sampai pada puncak
pengakuannya?
·
Bagaimana gereja melihat tantangan
dalam berdemokrasi?
·
Dokumen apa yang berbicara tentang hal itu?
·
Mengapa gereja mengakui demokrasi?
1.3. Alasan Pemilihan Judul
Berkaitan
dengan hal ini, adapun alasan saya untuk mengangkat tema ini kepermukaan
sebagai bahan diskursus yang mendalam sebab demokrasi merupakan sebuah bentuk
Negara yang paling diminati termasuk Indonesia. Alasan berikutnya ialah saya
ingin mengetahui secara mendalam bagimana intervensi Gereja dalam demokrasi
serta mempelajari sejarah Gereja mengakui demokrasi sebagi sebuah bentuk dari
pemerintahan itu sebab pada tahun-tahun sebelumnya demokrasi menjadi musuh
Gereja. Dari dua alasan ini kemudian saya ingin mengelaborasikannya dengan
praktek demokrasi yang dijalankan Negara saat ini dengan melihat nilai-nilai
yang diajarkan dalam Ajaran Sosial Gereja Katolik.
Penting untuk diketahui bahwa saya mengangkat tema
ini di mana pernah dimuat dalam sebuah jurnal ilmiah yang bernama Studia
Gilsoniana 3 yang
diterbitkan pada tahun 2014 dan ditulis oleh V. Bradley Lewis. Secara umum saya
mempredikasikan tulisannya kembali dan kemudian memberikan komentar sebagai
tanggapan saya atas artikel ini berdasarkan Ajaran Sosial Gereja.
BAB II
DISKURSUS DAN PENGAKUAN DEMOKRASI
DALAM GEREJA
2.1. Sejarah Awal-mula Demokrasi
Demokrasi
merupakan sebuah bentuk dari pemerintahan dan hal itu tentu sangat berbeda
dengan zaman kuno atau antik dengan zaman modern atau post-modernisme. Bentuk
pemerintahan ini merupakan hasil temuan dari bangsa Yunani kuno yang pada saat
itu memahami demokrasi secara dangkal dengan arti harafia yakni “rule
of the people”.[3]
Dalam artian demikian ada dua hal yang dijumpai mengenai keaslian, keklasikkan
pengertian atau pemahaman dari demokrasi itu sendiri yakni lebih
demokratis dan
kurang demokratis dari pada yang dipikirkan dalam konteks kini.[4]
Pemahaman mengenai lebih demokratis dijumpai di Atena di mana adanya
pemilihan para pejabat publik yang dilakukan secara demokratis. Hal ini
merupakan sebuah metode perpolitikan yang lahir dari sebuah kemurnian intensi
sehingga adanya pengakuan bahwa ini merupakan bentuk murni dari demokrasi itu
sendiri.
Sedangkan
konsep kurang
demokratis dari
pada demokrasi modern yang diamini saat ini adalah keminiman partisipasi warga
Negara secara langsung dalam ranah politik. Hal itu tentu menjadi kendala dan
juga adanya penyimpangan atau pelanggaran HAM di mana perempuan dijadikan
sebagai budak. Oleh karena adanya berbagai praktek demikian maka dalam
perkembangan waktu adalah Aristoteles seorang filosof Yunani mengidentifikasikan
bahwa demokrasi adalah sebuah bentuk pemerintahan yang sesat selain tirani dan
oligarki. Aristoteles mengatakan edemikian sebab rezim ini sering merong-rong
eksistensinya sendiri dengan cara orang miskin mengambil barang atau milik
beberapa orang kaya. Hal inilah yang melahirkan destruksi ekonomi dalam sebuah
Negara.
Demokrasi
adalah sebuah bentuk dari pemerintahan atau rezim yang mana sebagai pusat
perhatian bagi dunia perpolitikkan Yunani kuno ternyata hal ini tidak sebegitu
pentingnya bagi para pemikir politik Kristen. Beberapa abad pertama dalam
sejarah Gereja terdapat beberapa sikap utama terhadap politik:[5] Pertama, semacam penolakakan keras akan
hal demikian sebab mereka berasumsi bahwa urusan akan hal duniawi sangat tidak penting.
Mereka mengharapkan kembalinya Kristus yang imanen. Kedua, mereka mengharapkan apa yang
dinamakan imperialisme Kristen. Gagasan bahwa permasalahan politik akan dapat
diselesaikan jika adanya konversi dari kekaisaran Romawi dengan iman, sehingga
dapat menjadi simetri yang tepat antara Gereja Kristian dan Kekuasaan Kristian.
Hal senada juga disampaikan oleh Eusebius dari Caesarea khususnya dalam
tulisannya tentang Constantine namun pandangannya itu tidak berkembang di
Gereja Barat dan ditolak oleh pemikir besar lainnya yakni Agustinus dari Hippo.
Agustinus dalam teori politik minimalis menerima kekuasaan dari pemerintaan
kafir yang mana mempertahankan tatanan sosial yang mana sangat berfaedah bagi
orang-orang Kristen. Pemikirannya ini tentu dipengaruhi oleh filsafat Stoa dan
Cicero. Dari pada Agustinuslah lahirlah pemikir besar dalam Gereja yang
terkenal. Dia adalah St.Thomas Aquinas (1225-1274).[6]
Aquinas
mengaffirmasikan persoalan ide rezim dan mengatakan bahwa itu ada karena adanya
pencampuran unsur-unsur dari monarki, aristokrasi, dan demokrasi itu sendiri.
Akan tetapi ia selalu lebih peduli akan issu legitimasi kekuasaan serta
parameter moral yang digunakan oleh pemimpin. Kekewatiran ini juga ditemukan
disejumlah pemikir setelah Aquinas khususnya para pemikir abad pertengahan dan
renaissance. Pemikir Katolik abad pertengahan membuat perbedaan di mana
kekuasaan atau otoritas adalah jalan dari Allah untuk kehidupan politik.[7] Pertama, mengenai teori ilahi adalah
benar akan tetapi hal ini menjadi problem sebab ada sejumlah pemikir Gereja
abad pertengahan menolaknya sebab salah seorang pemimpin Gereja terdahulu yakni
St. Petrus ditentukan secara langsung oleh Yesus Kristus sendiri.
Kedua, pilihan nyata yang mana
dikatakan sebagai “designation” teori dan “trans-mission” teori. Teori penunjukkan
berarti kekuatan politik itu datang dari Allah sedangkan teori transmisi
mengatakan bahwa kekuasaan jatuh dari Tuhan untuk masyarakat dan dari situ ke
pejabat politik menurut tekad masyarakat, yang tersirat semacam demokrasi alami,
karena masyarakat bisa mengalihkan kekuasaan politik sepenuhnya. Dari
penjelasan ini, Aquinas lebih cendrung menerima teori transmisi sebagi itu yang dapat
dipertanggungjawabkan dalam kehidupan bersama dan dapat dijelaskan kepada para
kaum Kristiani. Meskipun adanya pengakuan dari sebagian orang bahwa ini adalah
arah demokrasi yang positif namun juga ada penolakan di sana-sini yang
terlihat.
Dalam
perkembangannya selanjutnya khusnya pada abad 18 dan 19 Gereja tampaknya sangat
menentang demokrasi.[8]
Tentu hal itu dilatarbelakangi oleh lahirnya reformasi Prancis pada tahun 1789.
Gereja berpendapat bahwa pada waktu itu ada pertentangan antara Gereja dan para
kaum reformis. Peristiwa kelam lainnya adalah pada September 1792 ratusan imam
katolik di Paris dibantai dan pada tahun berikutnya 1793, adanya pngeksekusian terhadap raja, pemerintah
yang menganjam dan juga kepada pihak gereja. Selain itu, pada tahun 1798 Paus
Pius VI ditangkap dan diasingkan. Ditengah polemik dan kekacauan yang ada
munculnya sejumlah orang yang bertekad menjaga altar suci. Mereka boleh
dikatakan sebagi anti-revolusi atau counter-revolutionary. Mereka adalah Josepah De Maistre, Juan Donoso
Cortes, dan Louis de Bonald.[9]
Dalam
realitas demikian sangatlah disayangkan sebab pada zaman itu Paus Pius IX
melarikan diri dari terror atau ancaman kaum reformis. Pada abad 19, ada
perubahan dalam Gereja. Perubahan itu terlihat janggal sebab para pemikir
membuat argumen atau mentelorkan ide berdasarkan atau berfondasikan akan
sejarah suci dan bukan dalam perspektif filsafat. Hal ini tentu sangatlah
berbeda dengan Paus Leo XIII yang mana memprakarsai lahirnya ajaran sosial
gereja modern dan kebangkitan filsafat Thomistik dalam gereja.
2.2. Perkembanga
Demokrasi dalam Gereja Selanjutnya
Leo XIII adalah paus pertama yang
tidak termasuk dalam kategori kepausan duniawi sebab penghapusan negara
Kepausan sudah terjadi pada tahun 1870.[10]
Dengan adanya hal demikian maka dibutuhkan usaha keras untuk melahirkan atau menciptakan
kepausan modern. Dalam kerja kerasnya maka dihasilkan sejumlah besar ensiklik
yang mana digunakan sebagai ajaran atau himbauan kepada masyarakat umum. Dalam ensikliknya
yang kedua, Aeterni Patris, ia menyerukan kebangkitan filsafat Thomistik
sebagai dasar untuk pendidikan Katolik, tetapi juga untuk keterlibatan kuat
dengan dunia non-Katolik.
Tulisan-tulisan paus Leo mewujudkan
perhatian menarik dalam bidang politik dan
isu-isu sosial yang mana bisa merangsang masyarakat untuk selalu tepat tinggal dalam kedamaian,
kesejahteraan dan kehidupan tanpa kelas sebab pada dasarnya manusia itu makhluk
kodrati sehingga patut menghormati manusia siapa pun dia. Sebagai misal dalam
satu paragraf (no. 3) dari 1.885 surat ensikliknya, Immortale
Dei, Leo menekankan tesis
Aristoteles bahwa manusia adalah kodrat sosial dan hewan politik serta
menyatakan bahwa satu-satunya dasar yang benar dari otoritas politik adalah berakar
langsung dalam otoritas Allah. Mengenai hal ini ia kemudian mengutip Roma 13:
1,22 sebagai pendukung.[11] Demikian
pula ia mengabdikan bagian dari ensiklik ini untuk menegaskan kembali perlunya negara
untuk mengakui agama.
Sehubungan dengan demokrasi, elemen yang
paling penting dari ajaran Leo adalah banyak pernyataan bahwa Gereja tidak mendukung
atau mengutuk setiap bentuk khusus dari pemerintah dan asalkan itu diarahkan kepada
kehidupan umum. Pada tahun 1901, Ia
mengeluarkan sebuah ensiklik mengenai pergerakan demokrasi Kristen,
Graves de Communi Re. Leo mengatakan kenetralitasannya antara bentuk pemerintahan dengan
pertimbangan bahwa orang Kristen seharusnya tidak bertujuan untuk mengubah
bentuk yang sudah ada.[12]
Pada 1878 Leo mengutuk pandangan bahwa
otoritas publik berasal dari kehendak individu dan berkeberatan bahwa pendapat
mayoritas adalah dasar dan prinsip legitimasi dari politik otoritas. Ia
berpendapat sesuai yang tersurat dalam Roma 13 bahwa otoritas memiliki sumbernya
yakni dari Allah.[13] Hal
senada pula digambarkan dalam Gaudium et Spes pada bab keempat mengenai Hidup Negara
dikatakan secara gamblang bahwa keberadaan sebuah Negara adalah kehendak Tuhan
sebab Negara itu terbentuk dari kodrat manusia yang mana adalah makhluk sosial
dan relasional (bdk.GS art.74). Dengan demikian Negara adalah wadah bagi
seluruh rakyat termasuk Gereja agar dapat menikmati nilai-nilai kemanusiaan.[14]
Lebih lanjut paus Pius XI
mengulangi prinsip Leo bahwa Gereja telah ada disukai rezim politik. Dia juga
mengulangi tesis bahwa otoritas datang dari Allah dan mengutuk lagi pandangan
yang mana mengatakan bahwa sumbernya adalah kehendak mayoritas. Pius menyatakan
bahwa kerajaan Kristus adalah sumber otoritas politik sehingga pangeran dan hakim
"sepatutnya dipilih" (legitime delectis).[15]
Dengan adanya demikian maka Gereja sesungguhnya diam-diam menerima kemungkinan
pemerintahan demokratis dengan meninggalkan secara terbuka proses seleksi.
Sekali lagi, tekanan dari pernyataannya adalah otoritas Allah dan hukum alam.
Penerimaan diam-diam dari demokrasi semakin diakui ketika terjadinya perang
dunia kedua dan juga sebagai bentuk reaksi lembaga Gereja terhadap munculnya semakin banyak
ideologi politik yang jahat.
Lebih lanjut St. Yohanes Paulus
XXIII, menegaskan kembali sumber otoritas Allah dalam ensiklik Pacem
in Terris pada
tahun 1963 dan juga menambahkan bahwa ajaran ini sama sekali tidak menghalangi
demokrasi.[16]
Selain itu, ia juga menyatakan bahwa sangatlah penting partisipasi dalam urusan
publik, persetujuan memperbolehkan pertumbuhan Negara-negara, serta hak manusia.
Selain itu pula, dalam dokumen mater
et magistra Paus
Yohanes XXIII mengatakan sebuah tuntutan agar pemerintah memainkan peran besar
atau aktif sebab mengingat manusia yang makin independent. Hal ini kemudian disebut dalam dokumen ini
sebagai “prinsip sosialisasi.” [17] Poin
mengenai partisipasi ini disahkan oleh Konsili Vatikan II dan Paus Paulus VI. Prinsip partisipasi ini didukung juga oleh
Yohanes Paulus II.
2.3. Puncak Pengakuan Demokrasi dalam
Gereja
Paus Yohanes Paulus II adalah
sosok unik dalam Gereja yang mana mengfokuskan diri pada permasalahan
demokrasi. Dari padanyalah puncak demokrasi itu diakui eksistensinya secara
gamblang dalam Gereja. Melalui ensikliknya, Centisimus Annus (1991) ditegaskan kembali ajaran
bahwa dalam Gereja tidak diakui adanya satu rezim, tetapi ia hadir secara dekat
untuk mengesahkan demokrasi.[18]
Ia membuat lebih jelas ujian dari setiap rezim politik adalah fakultas untuk
melindungi martabat manusia akan tetapi martabat manusia itu berurat berakar
dalam kehidupan manusia yakni dalam kebebasan dan kebenaran, yang mana selalu
berkoneksi. Dengan demikian demokrasi dapat dipahami dalam tiga dimensi:[19] Pertama, partisipasi warga Negara dalam
pengambilan keputusan politik; Kedua, pemilihan dan adanya pertanggungjawaban kepada
para pemilih dari pejabat politik; ketiga, gagasan bahwa demokrasi adalah
lebih memungkinkan untuk mengejar kebaikan bersama (common
good). Inilah yang oleh paus Yohanes
Paulus menyebutnya sebagai “demokrasi otentik”.
Demokrasi otentik itu hanya
mungkin ada dalam suatu Negara yang diperintah oleh hukum dan dasar dari
kebenaran konsepsi dari pribadi manusia. Dengan demikian dibutuhkan kondisi di
mana hadir untuk memajukan individu melalui pendidikan dan pembentukan
cita-cita sejati dan dari "subjektivitas" masyarakat melalui
penciptaan struktur partisipasi dan tanggung jawab bersama. Yohanes Paulus menjelaskan “subyektif” dari
societas berarti kebebasan masyarakat sipil yang diberikan kesempatan luas
untuk berpartisipasi. Dalam arti penting, ini disebut sebagai subsidiaritas,
pluralisme diperlukan dalam kehidupan sosial yang memungkinkan untuk pemenuhan
potensi laten pada kodrat manusia.[20]
Dalam
perkembangan selanjutnya ada beberapa filsuf Thomistik yang berbicara mengenai
perkembangan demokrasi dalam kehidupan bersama. Yang paling terkenal adalah Jacques Maritain yang berpendapat bahwa
perkembangan demokrasi adalah buah dari Injil itu sendiri dan yang berlangsung dalam sejarah.[21] Demokrasi
akan mempromosikan pengembangan kepribadian manusia dalam keadilan dan amal di
mana ditujukan terhadap realisasi sebuah komunitas persaudaraan. Sebaliknya,
mantan mahasiswa Maritain dan teman dekatnya yang bernama Yves Simon melihat
demokrasi sebagai cara untuk mencegah eksploitasi yang diperintah oleh penguasa
mereka; ia menolak apa yang dianggap terlalu optimis atau pandangan romantis
demokrasi agar rasa keras kepala demokrasi sebagai pelembagaan hak rakyat diperlawankan
dengan kezaliman. Artinya, ia melihat demokrasi itu secara negatif.[22]
Selanjutnya Yohanes Paulus II, mengambil jalan tengah dari kedua pemikir ini.
Ia menulis demikian, “Gereja menganut sistem nilai-nilai demokrasi sebab itu
menjamin partisipasi warga Negara dalam menentukan pilihan politiknya”.[23]
Selanjutnya ia menegaskan kembali pendapat Jean-Rousseau yang mana mengatakan
bahwa demokrasi adalah sebuah bentuk pemerintahan yang cocok untuk dewa atau
anak-anak dewa. Di sini, paus Yohanes Paulus II, mengkhendaki agar demokrasi
benar-benar diterapkan atau dijalnkan sesuai dengan perkembangan moral dan
intelektual manusia.
Mengenai hal demikian,
Yohanes Paulus II dalam eksikliknya, Veritas Splendor yang dikeluarkan pada tahun 1993
mengenai teologi moral menyentil juga konsep moralitas manusia dan hubungannya
dengan demokrasi di mana semua orang sama.[24]
Demikian pula, Yohanes Paulus menulis dalam sebuah ensikliknya pada tahun 1995,
Evangelium
vitae, tentang peran opini publik
dalam budaya demokrasi politi. "Demokrasi tidak bisa," tulisnya,
"menjadi idola yang mana sebagai point untuk pengganti moralitas atau obat
mujarab untuk amoralitas. "Demokrasi pada dasarnya merupakan suatu "sistem"
dan oleh karena itu, demokrasi adalah "itu yang sangat berarti dan bukan
tujuan akhir."[25]
Dengan demikian dasar dari perubahan moral adalah hukum alam. Sehingga Pada
saat itu, Gereja dalam arti mencakup demokrasi tidak hanya sebagai bentuk yang
dapat diterima pemerintah, tetapi sebagai yang disukai, keunggulannya tentu
terletak pada hukum moral alam sebagai batas pada semua aksi politik dan ini juga mengingatkan agar adanya kecenderungan
demokrasi untuk menguduskan opini publik dengan tingkat legitimasi yang mana tidak pernah dinikmati oleh sebelumnya.
2.4. Pluralisme: Sebuah Tantangan dalam Demokrasikah?
Pertanyaan mengenai di mana
tempat demokrasi dalam ajaran sosial Katolik atau ajaran sosial Gereja bagi Benediktus
XVI mungkin paling dipahami dalam terang frase yang dikemukan oleh paus
emeritus. Frase itu adalah "kediktatoran
relativisme."[26]
Benediktus bersama dengan Yohanes Paulus II menaruh perhatian yang lebih akan
perlindungan martabat manusia. Bagi Benediktus ancaman terbesar bagi martabat
yang harus dilihat adalah:[27] pertama adalah perkembangan ilmu
pengetahua modern dan teknologi yang mencerai beraikan penalaran moral. Kedua, dalam proses politik. Dalam
permasalahan pertama Benediktus melihat kemungkinan semacam adanya kediktatoran
teknis penalaran yang dapat menyebabkan manipulasi dan penindasan sedangkan
dalam permasalahan yang kedua yakni kediktatoran politik yang terkenal dengan
relativisme yang bisa saja menyebabkan persoalan yang pertama.
Menurut Benediktus jantung demokrasi yang otentik
adalah perlindungan hak asasi manusia itu sendiri sebab diri mereka adalah bagian
dari hukum moral alami. Tanpa adanya kesadaran hukum moral maka demokrasi tidak
bisa dipertahankan dan diturunkan ke dalam kediktatoran relativisme atau seperti
apa yang dikemukan oleh Tocqueville yang terkenal yang mana disebut sebagai
"tirani mayoritas."[28]
Semua tema ini disampaikan oleh Benediktus dalam ensiklik Caritas
in Veritate.
Menurutnya demokrasi harus selalu berorientasi pada hal-hal yang menyangkut
kehidupan bersama.
Dengan adanya
pemahaman demikian maka sebagian orang mempertanyakan atau mendiskursuskan
fenomena pluralisme yang ada dan menurut mereka sebagai sebuah ancaman yang
serius bagi demokrasi itu sendiri. Namun, Benediktus melihatnya secara berbeda.
Ia mengatakan bahwa tidak sedemikian mudahnya memahami konsep pluralisme sebab
pluralisme itu berbeda-beda. Pada satu
tingkat pluralisme dapat merujuk berbagai jenis yang berbeda dari tubuh sosial
atau bentuk asosiasi dalam masyarakat yang paling komprehensif. Pluralisme dalam
lingkup sosial telah menjadi topik yang diakui dalam ajaran sosial Katolik
setidaknya sejak zaman Leo XIII.
Mengenai pluralisme
sebagai sebuah tantangan, Benediktus lebih lanjut mengatakan pandangan kontemporer mengenai pluralisme itu
sendiri. Pertama, pluralisme moderat [29]di
mana dipahami bahwa demokrasi merupakan sebuah tantangan itu benar sebab mereka
memahami pluralisme berarti semacam perselisihan antara orang-orang tentang
kebenaran agama atau moral. Orang setuju tentang aborsi, pernikahan sesama
jenis, hukuman mati, penggunaan narkoba, dll. Hal ini ada karena tidak adanya kesepakatan
dalam kehidupan bersama. Kedua, pluralisme empiris[30] yang mana melarang orang lain
untuk tidak melakukan sebuah hal sebagai misal pembangunan gedung Gereja dan
lain sebaginya. Ketiga, pluralisme ideologis[31], di mana adanya indikasi untuk
penghapusan bentuk pluralisme yang lain. Hal ini tentu tidak diterima sehingga tidak
berlanjut sebab dapat merusak moralitas itu sendiri baik pribadi maupun
moralitas sosial.
Menilik
tantangan demikian ada beberapa cara masyarakat dalam menghadapi tantangan pluralisme,
praktik toleransi seperti pemberian pembebasan dan status penentang untuk
beberapa hukum. Ini semua adalah hal kehati-hatian politik dan harus dilakukan
oleh pejabat politik dan pemilih dalam rezim demokratis bertindak untuk
mempromosikan kebaikan bersama, termasuk perlindungan mendasar akan hak asasi
manusia.
BAB III
DEMOKRASI DALAM ENSIKLIK CENTESIMUS ANNUS ART.46.
Pembahasan di atas menurut hemat
saya lebih menekankan aspek historitas demokrasi dalam pengakuan atau
pengaffirmasian Gereja di mana diuraikan oleh penulis jurnal, V. Bradley Lewis
secara sistematis. Pengakuan demokrasi
sebagai sebuah bentuk pemerintahan tidak secara sertamerta diakui oleh Gereja
begitu saja namun secara garadual atau bertahap dapat ditemukan ketika kita
melihat secara sekilas sejarah atau historisitas tersebut.
Menilik sisi historisitas yang dibicarakan di atas
saya mau mengatakan bahwa ajaran sosial Gereja tidak mengajukan bentuk khusus
atau pemahaman secara khusus mengenai demokrasi. [32] Akan
tetapi Gereja berhak menyuarakan beberapa kepentingan yang mana sejalan atau
selaras dengan prinsip-prinsip iman Kristiani terhadap kehidupan bernegara. Hal
ini berarti Gereja dengan teliti dan betul-betul menghayati nilai-nilai Injili
dan menyandingkannya dengan nilai-nilai hidup bersama. Dalam kajian demikian
Gereja melihat bahwa pentingnya memperjuangkan keluhuran kodrat manusia dan
tata hidup bersama yang penuh dengan kedamaian, kerukunan, penuh cinta dalam
konstelasi atau kedudukan pemerintahan demokratis. Lebih lanjut Armada
mengatakan bahwa demokrasi hanya akan menjadi bentuk pemerintahan ideal sejauh
ia mengabdi hidup manusia, merawat, menjaga, dan melestarikannya.[33]
Dalam
tanggapan ini saya menyuguhkan sebuah dokumen dalam Gereja Katolik yang mana
berbicara secara singkat mengenai demokrasi. Dokumen itu adalah Centesimus
Annus yang ditulis oleh Yohanes Paulus
II. Dalam dokumen ini, Yohanes Paulus II secara gamblang mengakui bahwa Gereja
menerima demokrasi sebagai itu yang ideal sebagimana sudah dibicarakan dalam pembahasan
di atas. Lalu, apa yang dikatakan dalam dokumen ini mengenai demokrasi? Dalam
dokumen Centesimus
Annus art. 46 paus Yohanes Paulus II
mengatakan demikian:
Gereja menghargai sistem demokrasi, karena membuka
wewenang yang luas bagi warga Negara untuk berperan serta dalam penentuan
kebijakan-kebijakan politik, lagi pula memberi peluang kepada rakyat bawaan
untuk memilih para pemimpin, tetapi juga meminta pertanggungjawaban dari
mereka, dan-bila itu memang sudah selayaknya menggantikan mereka secara damai.[34]
Dari kutipan di atas sangat jelas berbicara soal keterlibatan warga
Negara dalam menyatakan haknya baik itu dalam pemberian suara untuk memilih
pemimpin ataupun memberhentikannya seturut jalur hukum yang ada sebab dianggap
melanggar peraturan hidup bernegara. Hal itu berarti prinsip demokratis
benar-benar tercipta dan Gereja mengakuinya sebab Negara demokrasi menjunjung
tinggi hak kodrati manusia. Selain itu, Gereja juga berbicara mengenai sikapnya
yang sedemikian tegas terhadap segala bentuk penyimpangan dalam demokrasi itu
sendiri sebagaimana tertuang dalam kutipan dibawah ini.
Gereja juga tidak dapat mendukung pembentukan
kelompok-kelompok kepemimpinan yang “tertutup”, dan menyalah-gunakan kekuasaan
Negara demi keuntungan-keuntungan perorangan, atau berdasarkan asas-asas
ideology tertentu. Demokrasi yang sejati hanyalah dapat berlangsung dalam
Negara hukum, dan berdasarkan paham yang tepat tentang pribadi manusia. Sebab
demokrasi menuntut dipenuhinya syarat-syarat, yang sungguh perlu untuk
mengembangkan warga perorangan, melalui pendidikan dan pembinaan dalam
menerapkan prinsip-prinsip yang sejati, dan untuk meningkatkan peran serta
masyarakat yang semakin sadar melalui struktur-struktur partisipasi dan
tanggung jawab bersama. sedangkan siapa saja, yang penuh kesadaran meyakini
kebenaran dan dengan teguh berpegang padanya, dari sudut demokrasi tidak dapat
dipercaya, karena mereka sama sekali tidak menyetujui, bahwa kebenaran ditentukan
oleh mayoritas masyarakat, atau serba berubah-ubah akibat pengaruh aneka arus
politik. Akan tetapi di sini perlu diperhatikan, bahwa bila tidak ada kebenaran
paling asisi, yang mengarahkan dan mengatur kegiatan politik, di situ ide-ide
dan keyakinan dengan mudah dapat dimanipulasi sebagai upaya untuk merebut
kekuasaan. Akhirnya, seperti terbukti juga dari sejarah, demokrasi tanpa
prinsip-prinsip dengan mudah berubah menjadi totalitarisme terang-terangan atau
terselubung.[35]
Ensiklik tersebut merupakan salah satu pembelaan Gereja Katolik paling
kuat dan eksplisit mengenai demokrasi dan HAM. Dengan demikian sebuah sejarah
kelam atau noda hitam akan demokrasi seakan-akan mendapat cahaya atau
pencerahan baru dalam lingkup Gereja. Dengan demikian refleksi iman atas
martabat manusia menuntut dukungan penuh akan pola demokrasi yang diakui. Di
sini, paus mengkehendaki agar hak kebebasan suara hati dan kebebasan dalam
beragama juga diperhatikan dalam Negara demokrasi di mana diatur dalam hukum
yang ada. Selain itu pula pentingnya partisipasi warga Negara dalam mengamati,
mengawas dan menilai kebijakan-kebijakan pemerintahan agar tidakadanya praktek
manipulasi dalam kehidupan bersama.
Demokrasi sebagai itu yang diidealkan sebab dalam demokrasi kebebasan
individu dalam berekspresi sangat terbuka artinya bahwa hak-hak individual yang
mana merupakan hak kodrati betul-betul dihargai atau dihormati dalam kehidupan
bersama. Gereja mengharapkan agar demokrasi benar-benar dipraktekan dalam
kehidupan bersama sesuai dengan prinsip-prinsip yang ada agar tidak melahirkan
bentuk lain yang mana sebagai tantangan dalam demokrasi itu sendiri seperti
totalitarisme yang tersembunyi. Inti dari penjabaran artikel 46 ini adalah
pengakuan demokrasi itu sendiri serta upaya menjalankan prinsip demokrasi yang
sungguh demokratis dalam kehidupan bersama serta peran Gereja dalam melawan
bahaya yang mengancam demokrasi. Di sini berarti Gereja juga ikut berandil di
dalam pergolakan hidup berdemokrasi itu sendiri.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Perkembangan demokarasi dalam
kehidupan Gereja tidak sertamerta diterima begitu saja. Dibutuhkan waktu yang
sedemikian panjang dan bertahap bagi Gereja Katolik untuk menerima demokrasi
sebagai sebuah bentuk Negara yang ideal. Demokrasi yang terkenal dengan
definisinya yakni dari rakyat, untuk rakyat dan
oleh rakyat mendapat tempat yang
sungguh sempurna sebagai sebuah bentuk Negara sebab praktek demokrasi
menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia dalam kehidupan bersama. Oleh
karena demokrasi itu terbuka sehingga Gereja secara perlahan menerima atau mengaffirmasikannya
sebagai itu yang paling baik atau cocok sebab apa apa yang diajarkan atau
nilai-nilai iman kristiani sesuai dengan prinsip demokrasi itu sendiri.
Gereja Katolik dalam
perkembangannya tidak hanya mengakui demokrasi sebagai itu yang ideal saja akan
tetapi bagaimana Gereja katolik berandil di dalam menjawabi tantangan-tantangan
demokrasi, berpartisipasi bersuara dalam praktek manipulatif segelintir orang atau elit
politik yang menodai keagungan demokrasi itu sendiri sebab kehadiran Gereja dan
Negara adalah bagaikan dua sisi mata uang. Hal ini sudah dijalankan sejak pada
zaman dahulu di mana Gereja katolik menunjukkan keprihatinannya yang mendalam
akan nilai-nilai hidup manusia yang sering diabaikan dalam kehidupan bersama
seperti; pelanggran HAM, situasi kemiskinan, penderitaan, pembagian kelas dalam
masyarakat, dll.
Semua realitas sosial yang terjadi itu membuat Gereja merefleksikan lebih jauh
dan pada akhirnya mengeluarkan dokumen yang penting dalam Gereja yakni Ajaran
Sosial Gereja. Dokumen-dokumen itu merupakan sebuah pisau
bedah zaman ini untuk meneropong realitas-realitas sosial yang terjadi pada
saat ini sebagaimana yang terungkap dalam paper ini.
Bagaimana pun juga
Gereja selalu berandil dalam kancah hidup bernegara sebab ada begitu banyak
tantangan yang masih terlihat di sana-sini. Tantangan-tantangan demikianlah
menaruh perhatian yang mendalam dari Gereja akan kehidupan demokrasi.
Daftar Pustaka
Curran, Charles E. Buruh, Petani, dan Perang Nuklir. Yogyakarta: Kanisius, 2007.
Held, David. Demokrasi & Tatanan Global. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Lewis, V. Bradley. “Democracy and Catholich Social Teaching:
Continuity, Development,
and Challenge.” Jurnal Studia
Gilsoniana 3 (2014).
Raharso, A. Tjatur. Sistem Legislasi
Gereja Katolik. Malang: Dioma, 2012.
Riyanto, Armada. (ed), Gereja Kegembiraan &
Harapan. Yogyakarta: Kanisius 2011.
-------, Katolisitas
Dialog: Ajaran Sosial Katolik. Yogyakarta;
Kanisius, 2014.
[1]
David Held,
Demokrasi & Tatanan Global, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004,hlm.3.
[2]
A. Tjatur Raharso,
Sistem Legislasi Gereja Katolik, Malang: Dioma,2012,hlm.144.
[3]
V. Bradley Lewis, “Democracy and Catholich
Social Teaching: Continuity, Development, and Challenge” Jurnal Studia Gilsoniana 3 (2014),hlm. 169.
[4]
Ibid.
[5]
Ibid.,hlm.171-172.
[6]
ibid.
[7]
Ibid.
[8]
ibid.,hlm.173.
[9]
ibid.,hlm.174.
[10]
ibid.
[12]
ibid.
[16]
ibid.
[17]
Charles E. Curran,
Buruh, Petani, dan Perang Nuklir, Yogyakarta: Kanisius, 2007,hlm.218.
[19]
ibid.,hlm. 179.
[20]
ibid.
[21]
ibid.,hlm. 180.
[22]
ibid.,hlm. 180-181.
[23]
ibid.
[25]
ibid.
[26]
ibid., hlm.185.
[27]
ibid.
[28]
ibid.
[29]ibid.,
hlm. 187.
[30]
ibid.
[31]
ibid., hlm.188.
[32] Armada Riyanto, Katolisitas Dialog: Ajaran Sosial Katolik, Yogyakarta;
Kanisius, 2014, hlm. 154.
[33]
Ibid.
[34]
Kumpulan Dokumen
Ajaran Sosial Gereja Tahun1891-1991: dari RERUM Novarum sampai dengan
CENTESIMUS ANNUS, Jakarta: Dapertemen Dokumentasi dan Penerangan KWI,1999,hlm.
871.
[35]
Ibid.,hlm.871-872.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar