Kamis, 01 November 2018

Demokrasi Dan Ajaran Sosial Katolik




DEMOKRASI DAN AJARAN SOSIAL KATOLIK

YOSEP BELEN KEBAN



BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

      Diskursus seputar demokrasi berarti kita berbicara seputar bentuk pemerintahan dari sebuah Negara. Diskursus ini tidak akan selesai dalam hitungan detik semata sebab memiliki cakupan yang luas dan juga memiliki celah atau tantangan dalam menjalankannya. Walaupun ditengarai beraneka kedok namun begitu banyak orang mengakui bentuk pemerintahan ini sebagai itu yang baik dan benar. Dengan demikian demokrasi nampaknya telah mencatat kemenangan historis atas bentuk-bentuk pemerintahan yang lain.[1]
      Kemenangan demokrasi sebagai sebuah bentuk yang ideal pada zaman postmodernisme kini tentu tidak luput dari berbagai upaya dan juga berkembang, bertumbuh dalam kurungan perdebatan yang mahasengit sebab adanya penemuan rentetan-rentetan sejara kelam yang menyakitkan. Demokrasi tidak bukan adalah sebuah bentuk pemerintahan yang sesat sebagaimana dikatakan oleh Aristoteles dalam bukunya Politea. Dengan adanya indikasi demikian maka demokrasi ibarat pil pahit yang keberadaannya selalu dinegasikan oleh para masyarakat pesakit. Walaupun sejarah kelam berkata soal demokrasi demikian namun yang menarik sampai dengan saat ini adalah bentuk ini paling diminati Negara-negara di dunia ini.
      Menarik pula bahwa bentuk ini juga diakui eksistensinya sebagai yang ideal sebagai bentuk dari sebuah sistem pemerintahan oleh Gereja Katolik. Dengan adanya pengakuan demikian maka hubungan Gereja dan Negara dalam kehidupan bersama bagaikan dua sisi mata uang yang selalu berelasi, melebur dan berbagi tanpa adanya intimidasi. Gereja merasa terlibat dalam Negara sebagaimana sesuai dengan ajaran Yesus yang dipahami sebagai prinsip fundamental yang mengatur relasi keduanya yakni “Berikanlah kepada kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada kaisar, dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah” (Mat 22:21; Mrk 12:17; Luk 20:25).[2]  Dengan demikian, dalam artikel ini saya hendak berbicara seputar perspektif Gereja Katolik akan sistem demokrasi yang diakui sebagai sebuah bentuk Negara ideal.
1.2. Rumusan Masalah
Dalam paper ini adapun rumusan masalah yang saya ajukan sebagai bahan acuan dalam menelisik secara mendalam dan menukik tentang demokrasi itu sendiri. Menjadi pertanyaan mendasar dalam penggarapan paper ini adalah sebagai berikut:
·         Bagaimana sejarah perkembangan demokrasi itu sampai pada puncak pengakuannya?
·         Bagaimana gereja melihat tantangan  dalam berdemokrasi?
·         Dokumen apa yang berbicara tentang hal itu?
·         Mengapa gereja mengakui demokrasi?
1.3. Alasan Pemilihan  Judul

         Berkaitan dengan hal ini, adapun alasan saya untuk mengangkat tema ini kepermukaan sebagai bahan diskursus yang mendalam sebab demokrasi merupakan sebuah bentuk Negara yang paling diminati termasuk Indonesia. Alasan berikutnya ialah saya ingin mengetahui secara mendalam bagimana intervensi Gereja dalam demokrasi serta mempelajari sejarah Gereja mengakui demokrasi sebagi sebuah bentuk dari pemerintahan itu sebab pada tahun-tahun sebelumnya demokrasi menjadi musuh Gereja. Dari dua alasan ini kemudian saya ingin mengelaborasikannya dengan praktek demokrasi yang dijalankan Negara saat ini dengan melihat nilai-nilai yang diajarkan dalam Ajaran Sosial Gereja Katolik.
Penting untuk diketahui bahwa saya mengangkat tema ini di mana pernah dimuat dalam sebuah jurnal ilmiah yang bernama Studia Gilsoniana 3 yang diterbitkan pada tahun 2014 dan ditulis oleh V. Bradley Lewis. Secara umum saya mempredikasikan tulisannya kembali dan kemudian memberikan komentar sebagai tanggapan saya atas artikel ini berdasarkan Ajaran Sosial Gereja.



BAB II
DISKURSUS DAN PENGAKUAN DEMOKRASI DALAM GEREJA


2.1. Sejarah Awal-mula Demokrasi
            Demokrasi merupakan sebuah bentuk dari pemerintahan dan hal itu tentu sangat berbeda dengan zaman kuno atau antik dengan zaman modern atau post-modernisme. Bentuk pemerintahan ini merupakan hasil temuan dari bangsa Yunani kuno yang pada saat itu memahami demokrasi secara dangkal dengan arti harafia yakni “rule of the people”.[3] Dalam artian demikian ada dua hal yang dijumpai mengenai keaslian, keklasikkan pengertian atau pemahaman dari demokrasi itu sendiri yakni lebih demokratis dan kurang demokratis dari pada yang dipikirkan dalam konteks kini.[4] Pemahaman mengenai lebih demokratis dijumpai di Atena di mana adanya pemilihan para pejabat publik yang dilakukan secara demokratis. Hal ini merupakan sebuah metode perpolitikan yang lahir dari sebuah kemurnian intensi sehingga adanya pengakuan bahwa ini merupakan bentuk murni dari demokrasi itu sendiri.
            Sedangkan konsep kurang demokratis dari pada demokrasi modern yang diamini saat ini adalah keminiman partisipasi warga Negara secara langsung dalam ranah politik. Hal itu tentu menjadi kendala dan juga adanya penyimpangan atau pelanggaran HAM di mana perempuan dijadikan sebagai budak. Oleh karena adanya berbagai praktek demikian maka dalam perkembangan waktu adalah Aristoteles seorang filosof Yunani mengidentifikasikan bahwa demokrasi adalah sebuah bentuk pemerintahan yang sesat selain tirani dan oligarki. Aristoteles mengatakan edemikian sebab rezim ini sering merong-rong eksistensinya sendiri dengan cara orang miskin mengambil barang atau milik beberapa orang kaya. Hal inilah yang melahirkan destruksi ekonomi dalam sebuah Negara.
            Demokrasi adalah sebuah bentuk dari pemerintahan atau rezim yang mana sebagai pusat perhatian bagi dunia perpolitikkan Yunani kuno ternyata hal ini tidak sebegitu pentingnya bagi para pemikir politik Kristen. Beberapa abad pertama dalam sejarah Gereja terdapat beberapa sikap utama terhadap politik:[5] Pertama, semacam penolakakan keras akan hal demikian sebab mereka berasumsi bahwa urusan akan hal duniawi sangat tidak penting. Mereka mengharapkan kembalinya Kristus yang imanen. Kedua, mereka mengharapkan apa yang dinamakan imperialisme Kristen. Gagasan bahwa permasalahan politik akan dapat diselesaikan jika adanya konversi dari kekaisaran Romawi dengan iman, sehingga dapat menjadi simetri yang tepat antara Gereja Kristian dan Kekuasaan Kristian. Hal senada juga disampaikan oleh Eusebius dari Caesarea khususnya dalam tulisannya tentang Constantine namun pandangannya itu tidak berkembang di Gereja Barat dan ditolak oleh pemikir besar lainnya yakni Agustinus dari Hippo. Agustinus dalam teori politik minimalis menerima kekuasaan dari pemerintaan kafir yang mana mempertahankan tatanan sosial yang mana sangat berfaedah bagi orang-orang Kristen. Pemikirannya ini tentu dipengaruhi oleh filsafat Stoa dan Cicero. Dari pada Agustinuslah lahirlah pemikir besar dalam Gereja yang terkenal. Dia adalah St.Thomas Aquinas (1225-1274).[6]
            Aquinas mengaffirmasikan persoalan ide rezim dan mengatakan bahwa itu ada karena adanya pencampuran unsur-unsur dari monarki, aristokrasi, dan demokrasi itu sendiri. Akan tetapi ia selalu lebih peduli akan issu legitimasi kekuasaan serta parameter moral yang digunakan oleh pemimpin. Kekewatiran ini juga ditemukan disejumlah pemikir setelah Aquinas khususnya para pemikir abad pertengahan dan renaissance. Pemikir Katolik abad pertengahan membuat perbedaan di mana kekuasaan atau otoritas adalah jalan dari Allah untuk kehidupan politik.[7] Pertama, mengenai teori ilahi adalah benar akan tetapi hal ini menjadi problem sebab ada sejumlah pemikir Gereja abad pertengahan menolaknya sebab salah seorang pemimpin Gereja terdahulu yakni St. Petrus ditentukan secara langsung oleh Yesus Kristus sendiri. Kedua, pilihan nyata yang mana dikatakan sebagai “designation” teori dan “trans-mission” teori. Teori penunjukkan berarti kekuatan politik itu datang dari Allah sedangkan teori transmisi mengatakan bahwa kekuasaan jatuh dari Tuhan untuk masyarakat dan dari situ ke pejabat politik menurut tekad masyarakat, yang tersirat semacam demokrasi alami, karena masyarakat bisa mengalihkan kekuasaan politik sepenuhnya. Dari penjelasan ini, Aquinas lebih cendrung menerima teori transmisi sebagi itu yang dapat dipertanggungjawabkan dalam kehidupan bersama dan dapat dijelaskan kepada para kaum Kristiani. Meskipun adanya pengakuan dari sebagian orang bahwa ini adalah arah demokrasi yang positif namun juga ada penolakan di sana-sini yang terlihat.
            Dalam perkembangannya selanjutnya khusnya pada abad 18 dan 19 Gereja tampaknya sangat menentang demokrasi.[8] Tentu hal itu dilatarbelakangi oleh lahirnya reformasi Prancis pada tahun 1789. Gereja berpendapat bahwa pada waktu itu ada pertentangan antara Gereja dan para kaum reformis. Peristiwa kelam lainnya adalah pada September 1792 ratusan imam katolik di Paris dibantai dan pada tahun berikutnya 1793, adanya pngeksekusian terhadap raja, pemerintah yang menganjam dan juga kepada pihak gereja. Selain itu, pada tahun 1798 Paus Pius VI ditangkap dan diasingkan. Ditengah polemik dan kekacauan yang ada munculnya sejumlah orang yang bertekad menjaga altar suci. Mereka boleh dikatakan sebagi anti-revolusi atau counter-revolutionary.  Mereka adalah Josepah De Maistre, Juan Donoso Cortes, dan Louis de Bonald.[9]  
            Dalam realitas demikian sangatlah disayangkan sebab pada zaman itu Paus Pius IX melarikan diri dari terror atau ancaman kaum reformis. Pada abad 19, ada perubahan dalam Gereja. Perubahan itu terlihat janggal sebab para pemikir membuat argumen atau mentelorkan ide berdasarkan atau berfondasikan akan sejarah suci dan bukan dalam perspektif filsafat. Hal ini tentu sangatlah berbeda dengan Paus Leo XIII yang mana memprakarsai lahirnya ajaran sosial gereja modern dan kebangkitan filsafat Thomistik dalam gereja.

2.2.   Perkembanga Demokrasi dalam Gereja Selanjutnya
            Leo XIII adalah paus pertama yang tidak termasuk dalam kategori kepausan duniawi sebab penghapusan negara Kepausan sudah terjadi pada tahun 1870.[10] Dengan adanya hal demikian maka dibutuhkan usaha keras untuk melahirkan atau menciptakan kepausan modern. Dalam kerja kerasnya maka dihasilkan sejumlah besar ensiklik yang mana digunakan sebagai ajaran atau himbauan kepada masyarakat umum. Dalam ensikliknya yang kedua, Aeterni Patris, ia menyerukan kebangkitan filsafat Thomistik sebagai dasar untuk pendidikan Katolik, tetapi juga untuk keterlibatan kuat dengan dunia non-Katolik.
Tulisan-tulisan paus Leo mewujudkan perhatian menarik dalam bidang  politik dan isu-isu sosial yang mana bisa merangsang masyarakat untuk  selalu tepat tinggal dalam kedamaian, kesejahteraan dan kehidupan tanpa kelas sebab pada dasarnya manusia itu makhluk kodrati sehingga patut menghormati manusia siapa pun dia. Sebagai misal dalam satu paragraf (no. 3) dari 1.885 surat ensikliknya, Immortale Dei, Leo menekankan tesis Aristoteles bahwa manusia adalah kodrat sosial dan hewan politik serta menyatakan bahwa satu-satunya dasar yang benar dari otoritas politik adalah berakar langsung dalam otoritas Allah. Mengenai hal ini ia kemudian mengutip Roma 13: 1,22 sebagai pendukung.[11] Demikian pula ia mengabdikan bagian dari ensiklik ini untuk menegaskan kembali perlunya negara untuk mengakui agama.
 Sehubungan dengan demokrasi, elemen yang paling penting dari ajaran Leo adalah banyak pernyataan bahwa Gereja tidak mendukung atau mengutuk setiap bentuk khusus dari pemerintah dan asalkan itu diarahkan kepada kehidupan umum. Pada tahun 1901, Ia mengeluarkan sebuah ensiklik mengenai pergerakan demokrasi Kristen, Graves de Communi Re. Leo mengatakan kenetralitasannya antara bentuk pemerintahan dengan pertimbangan bahwa orang Kristen seharusnya tidak bertujuan untuk mengubah bentuk yang sudah ada.[12]
Pada 1878 Leo mengutuk pandangan bahwa otoritas publik berasal dari kehendak individu dan berkeberatan bahwa pendapat mayoritas adalah dasar dan prinsip legitimasi dari politik otoritas. Ia berpendapat sesuai yang tersurat dalam Roma 13 bahwa otoritas memiliki sumbernya yakni dari Allah.[13] Hal senada pula digambarkan dalam Gaudium et Spes pada bab keempat mengenai Hidup Negara dikatakan secara gamblang bahwa keberadaan sebuah Negara adalah kehendak Tuhan sebab Negara itu terbentuk dari kodrat manusia yang mana adalah makhluk sosial dan relasional (bdk.GS art.74). Dengan demikian Negara adalah wadah bagi seluruh rakyat termasuk Gereja agar dapat menikmati nilai-nilai kemanusiaan.[14]  
Lebih lanjut paus Pius XI mengulangi prinsip Leo bahwa Gereja telah ada disukai rezim politik. Dia juga mengulangi tesis bahwa otoritas datang dari Allah dan mengutuk lagi pandangan yang mana mengatakan bahwa sumbernya adalah kehendak mayoritas. Pius menyatakan bahwa kerajaan Kristus adalah sumber otoritas politik sehingga pangeran dan hakim "sepatutnya dipilih" (legitime delectis).[15] Dengan adanya demikian maka Gereja sesungguhnya diam-diam menerima kemungkinan pemerintahan demokratis dengan meninggalkan secara terbuka proses seleksi. Sekali lagi, tekanan dari pernyataannya adalah otoritas Allah dan hukum alam. Penerimaan diam-diam dari demokrasi semakin diakui ketika terjadinya perang dunia kedua dan juga sebagai bentuk reaksi lembaga  Gereja terhadap munculnya semakin banyak ideologi politik yang jahat.
Lebih lanjut St. Yohanes Paulus XXIII, menegaskan kembali sumber otoritas Allah dalam ensiklik Pacem in Terris pada tahun 1963 dan juga menambahkan bahwa ajaran ini sama sekali tidak menghalangi demokrasi.[16] Selain itu, ia juga menyatakan bahwa sangatlah penting partisipasi dalam urusan publik, persetujuan memperbolehkan pertumbuhan Negara-negara, serta hak manusia.  Selain itu pula, dalam dokumen mater et magistra Paus Yohanes XXIII mengatakan sebuah tuntutan agar pemerintah memainkan peran besar atau aktif sebab mengingat manusia yang makin independent.  Hal ini kemudian disebut dalam dokumen ini sebagai “prinsip sosialisasi.” [17] Poin mengenai partisipasi ini disahkan oleh Konsili Vatikan II dan Paus Paulus VI.  Prinsip partisipasi ini didukung juga oleh Yohanes Paulus II.

2.3. Puncak Pengakuan Demokrasi dalam Gereja
            Paus Yohanes Paulus II adalah sosok unik dalam Gereja yang mana mengfokuskan diri pada permasalahan demokrasi. Dari padanyalah puncak demokrasi itu diakui eksistensinya secara gamblang dalam Gereja. Melalui ensikliknya, Centisimus Annus (1991) ditegaskan kembali ajaran bahwa dalam Gereja tidak diakui adanya satu rezim, tetapi ia hadir secara dekat untuk mengesahkan demokrasi.[18] Ia membuat lebih jelas ujian dari setiap rezim politik adalah fakultas untuk melindungi martabat manusia akan tetapi martabat manusia itu berurat berakar dalam kehidupan manusia yakni dalam kebebasan dan kebenaran, yang mana selalu berkoneksi. Dengan demikian demokrasi dapat dipahami dalam tiga dimensi:[19] Pertama, partisipasi warga Negara dalam pengambilan keputusan politik; Kedua, pemilihan dan adanya pertanggungjawaban kepada para pemilih dari pejabat politik; ketiga, gagasan bahwa demokrasi adalah lebih memungkinkan untuk mengejar kebaikan bersama (common good). Inilah yang oleh paus Yohanes Paulus menyebutnya sebagai “demokrasi otentik”.
            Demokrasi otentik itu hanya mungkin ada dalam suatu Negara yang diperintah oleh hukum dan dasar dari kebenaran konsepsi dari pribadi manusia. Dengan demikian dibutuhkan kondisi di mana hadir untuk memajukan individu melalui pendidikan dan pembentukan cita-cita sejati dan dari "subjektivitas" masyarakat melalui penciptaan struktur partisipasi dan tanggung jawab bersama.  Yohanes Paulus menjelaskan “subyektif” dari societas berarti kebebasan masyarakat sipil yang diberikan kesempatan luas untuk berpartisipasi. Dalam arti penting, ini disebut sebagai subsidiaritas, pluralisme diperlukan dalam kehidupan sosial yang memungkinkan untuk pemenuhan potensi laten pada kodrat manusia.[20]
            Dalam perkembangan selanjutnya ada beberapa filsuf Thomistik yang berbicara mengenai perkembangan demokrasi dalam kehidupan bersama. Yang paling terkenal adalah  Jacques Maritain yang berpendapat bahwa perkembangan demokrasi adalah buah dari Injil itu sendiri dan yang berlangsung dalam sejarah.[21] Demokrasi akan mempromosikan pengembangan kepribadian manusia dalam keadilan dan amal di mana ditujukan terhadap realisasi sebuah komunitas persaudaraan. Sebaliknya, mantan mahasiswa Maritain dan teman dekatnya yang bernama Yves Simon melihat demokrasi sebagai cara untuk mencegah eksploitasi yang diperintah oleh penguasa mereka; ia menolak apa yang dianggap terlalu optimis atau pandangan romantis demokrasi agar rasa keras kepala demokrasi sebagai pelembagaan hak rakyat diperlawankan dengan kezaliman. Artinya, ia melihat demokrasi itu secara negatif.[22] Selanjutnya Yohanes Paulus II, mengambil jalan tengah dari kedua pemikir ini. Ia menulis demikian, “Gereja menganut sistem nilai-nilai demokrasi sebab itu menjamin partisipasi warga Negara dalam menentukan pilihan politiknya”.[23] Selanjutnya ia menegaskan kembali pendapat Jean-Rousseau yang mana mengatakan bahwa demokrasi adalah sebuah bentuk pemerintahan yang cocok untuk dewa atau anak-anak dewa. Di sini, paus Yohanes Paulus II, mengkhendaki agar demokrasi benar-benar diterapkan atau dijalnkan sesuai dengan perkembangan moral dan intelektual manusia.
            Mengenai hal demikian, Yohanes Paulus II dalam eksikliknya, Veritas Splendor yang dikeluarkan pada tahun 1993 mengenai teologi moral menyentil juga konsep moralitas manusia dan hubungannya dengan demokrasi di mana semua orang sama.[24] Demikian pula, Yohanes Paulus menulis dalam sebuah ensikliknya pada tahun 1995, Evangelium vitae, tentang peran opini publik dalam budaya demokrasi politi. "Demokrasi tidak bisa," tulisnya, "menjadi idola yang mana sebagai point untuk pengganti moralitas atau obat mujarab untuk amoralitas. "Demokrasi pada dasarnya merupakan suatu "sistem" dan oleh karena itu, demokrasi adalah "itu yang sangat berarti dan bukan tujuan akhir."[25] Dengan demikian dasar dari perubahan moral adalah hukum alam. Sehingga Pada saat itu, Gereja dalam arti mencakup demokrasi tidak hanya sebagai bentuk yang dapat diterima pemerintah, tetapi sebagai yang disukai, keunggulannya tentu terletak pada hukum moral alam sebagai batas pada semua aksi politik dan ini juga  mengingatkan agar adanya kecenderungan demokrasi untuk menguduskan opini publik dengan tingkat legitimasi  yang mana tidak pernah dinikmati oleh sebelumnya.

2.4. Pluralisme: Sebuah Tantangan dalam Demokrasikah?
           
            Pertanyaan mengenai di mana tempat demokrasi dalam ajaran sosial Katolik atau ajaran sosial Gereja bagi Benediktus XVI mungkin paling dipahami dalam terang frase yang dikemukan oleh paus emeritus. Frase itu adalah "kediktatoran relativisme."[26] Benediktus bersama dengan Yohanes Paulus II menaruh perhatian yang lebih akan perlindungan martabat manusia. Bagi Benediktus ancaman terbesar bagi martabat yang harus dilihat adalah:[27] pertama adalah perkembangan ilmu pengetahua modern dan teknologi yang mencerai beraikan penalaran moral. Kedua, dalam proses politik. Dalam permasalahan pertama Benediktus melihat kemungkinan semacam adanya kediktatoran teknis penalaran yang dapat menyebabkan manipulasi dan penindasan sedangkan dalam permasalahan yang kedua yakni kediktatoran politik yang terkenal dengan relativisme yang bisa saja menyebabkan persoalan yang pertama.
 Menurut Benediktus jantung demokrasi yang otentik adalah perlindungan hak asasi manusia itu sendiri sebab diri mereka adalah bagian dari hukum moral alami. Tanpa adanya kesadaran hukum moral maka demokrasi tidak bisa dipertahankan dan diturunkan ke dalam kediktatoran relativisme atau seperti apa yang dikemukan oleh Tocqueville yang terkenal yang mana disebut sebagai "tirani mayoritas."[28] Semua tema ini disampaikan oleh Benediktus dalam ensiklik Caritas in Veritate. Menurutnya demokrasi harus selalu berorientasi pada hal-hal yang menyangkut kehidupan bersama.
            Dengan adanya pemahaman demikian maka sebagian orang mempertanyakan atau mendiskursuskan fenomena pluralisme yang ada dan menurut mereka sebagai sebuah ancaman yang serius bagi demokrasi itu sendiri. Namun, Benediktus melihatnya secara berbeda. Ia mengatakan bahwa tidak sedemikian mudahnya memahami konsep pluralisme sebab pluralisme itu berbeda-beda.  Pada satu tingkat pluralisme dapat merujuk berbagai jenis yang berbeda dari tubuh sosial atau bentuk asosiasi dalam masyarakat yang paling komprehensif. Pluralisme dalam lingkup sosial telah menjadi topik yang diakui dalam ajaran sosial Katolik setidaknya sejak zaman Leo XIII.
            Mengenai pluralisme sebagai sebuah tantangan, Benediktus lebih lanjut mengatakan  pandangan kontemporer mengenai pluralisme itu sendiri. Pertama, pluralisme moderat [29]di mana dipahami bahwa demokrasi merupakan sebuah tantangan itu benar sebab mereka memahami pluralisme berarti semacam perselisihan antara orang-orang tentang kebenaran agama atau moral. Orang setuju tentang aborsi, pernikahan sesama jenis, hukuman mati, penggunaan narkoba, dll. Hal ini ada karena tidak adanya kesepakatan dalam kehidupan bersama. Kedua, pluralisme empiris[30] yang mana melarang orang lain untuk tidak melakukan sebuah hal sebagai misal pembangunan gedung Gereja dan lain sebaginya. Ketiga, pluralisme ideologis[31], di mana adanya indikasi untuk penghapusan bentuk pluralisme yang lain. Hal ini tentu tidak diterima sehingga tidak berlanjut sebab dapat merusak moralitas itu sendiri baik pribadi maupun moralitas sosial.
            Menilik tantangan demikian ada beberapa cara masyarakat dalam menghadapi tantangan pluralisme, praktik toleransi seperti pemberian pembebasan dan status penentang untuk beberapa hukum. Ini semua adalah hal kehati-hatian politik dan harus dilakukan oleh pejabat politik dan pemilih dalam rezim demokratis bertindak untuk mempromosikan kebaikan bersama, termasuk perlindungan mendasar akan hak asasi manusia.


BAB III

DEMOKRASI DALAM ENSIKLIK CENTESIMUS ANNUS ART.46.


            Pembahasan di atas menurut hemat saya lebih menekankan aspek historitas demokrasi dalam pengakuan atau pengaffirmasian Gereja di mana diuraikan oleh penulis jurnal, V. Bradley Lewis secara sistematis.  Pengakuan demokrasi sebagai sebuah bentuk pemerintahan tidak secara sertamerta diakui oleh Gereja begitu saja namun secara garadual atau bertahap dapat ditemukan ketika kita melihat secara sekilas sejarah atau historisitas tersebut.
Menilik sisi historisitas yang dibicarakan di atas saya mau mengatakan bahwa ajaran sosial Gereja tidak mengajukan bentuk khusus atau pemahaman secara khusus mengenai demokrasi. [32] Akan tetapi Gereja berhak menyuarakan beberapa kepentingan yang mana sejalan atau selaras dengan prinsip-prinsip iman Kristiani terhadap kehidupan bernegara. Hal ini berarti Gereja dengan teliti dan betul-betul menghayati nilai-nilai Injili dan menyandingkannya dengan nilai-nilai hidup bersama. Dalam kajian demikian Gereja melihat bahwa pentingnya memperjuangkan keluhuran kodrat manusia dan tata hidup bersama yang penuh dengan kedamaian, kerukunan, penuh cinta dalam konstelasi atau kedudukan pemerintahan demokratis. Lebih lanjut Armada mengatakan bahwa demokrasi hanya akan menjadi bentuk pemerintahan ideal sejauh ia mengabdi hidup manusia, merawat, menjaga, dan melestarikannya.[33]
Dalam tanggapan ini saya menyuguhkan sebuah dokumen dalam Gereja Katolik yang mana berbicara secara singkat mengenai demokrasi. Dokumen itu adalah Centesimus Annus yang ditulis oleh Yohanes Paulus II. Dalam dokumen ini, Yohanes Paulus II secara gamblang mengakui bahwa Gereja menerima demokrasi sebagai itu yang ideal sebagimana sudah dibicarakan dalam pembahasan di atas. Lalu, apa yang dikatakan dalam dokumen ini mengenai demokrasi? Dalam dokumen Centesimus Annus art. 46 paus Yohanes Paulus II mengatakan demikian:
Gereja menghargai sistem demokrasi, karena membuka wewenang yang luas bagi warga Negara untuk berperan serta dalam penentuan kebijakan-kebijakan politik, lagi pula memberi peluang kepada rakyat bawaan untuk memilih para pemimpin, tetapi juga meminta pertanggungjawaban dari mereka, dan-bila itu memang sudah selayaknya menggantikan mereka secara damai.[34]


Dari kutipan di atas sangat jelas berbicara soal keterlibatan warga Negara dalam menyatakan haknya baik itu dalam pemberian suara untuk memilih pemimpin ataupun memberhentikannya seturut jalur hukum yang ada sebab dianggap melanggar peraturan hidup bernegara. Hal itu berarti prinsip demokratis benar-benar tercipta dan Gereja mengakuinya sebab Negara demokrasi menjunjung tinggi hak kodrati manusia. Selain itu, Gereja juga berbicara mengenai sikapnya yang sedemikian tegas terhadap segala bentuk penyimpangan dalam demokrasi itu sendiri sebagaimana tertuang dalam kutipan dibawah ini.
Gereja juga tidak dapat mendukung pembentukan kelompok-kelompok kepemimpinan yang “tertutup”, dan menyalah-gunakan kekuasaan Negara demi keuntungan-keuntungan perorangan, atau berdasarkan asas-asas ideology tertentu. Demokrasi yang sejati hanyalah dapat berlangsung dalam Negara hukum, dan berdasarkan paham yang tepat tentang pribadi manusia. Sebab demokrasi menuntut dipenuhinya syarat-syarat, yang sungguh perlu untuk mengembangkan warga perorangan, melalui pendidikan dan pembinaan dalam menerapkan prinsip-prinsip yang sejati, dan untuk meningkatkan peran serta masyarakat yang semakin sadar melalui struktur-struktur partisipasi dan tanggung jawab bersama. sedangkan siapa saja, yang penuh kesadaran meyakini kebenaran dan dengan teguh berpegang padanya, dari sudut demokrasi tidak dapat dipercaya, karena mereka sama sekali tidak menyetujui, bahwa kebenaran ditentukan oleh mayoritas masyarakat, atau serba berubah-ubah akibat pengaruh aneka arus politik. Akan tetapi di sini perlu diperhatikan, bahwa bila tidak ada kebenaran paling asisi, yang mengarahkan dan mengatur kegiatan politik, di situ ide-ide dan keyakinan dengan mudah dapat dimanipulasi sebagai upaya untuk merebut kekuasaan. Akhirnya, seperti terbukti juga dari sejarah, demokrasi tanpa prinsip-prinsip dengan mudah berubah menjadi totalitarisme terang-terangan atau terselubung.[35]


                 Ensiklik tersebut merupakan salah satu pembelaan Gereja Katolik paling kuat dan eksplisit mengenai demokrasi dan HAM. Dengan demikian sebuah sejarah kelam atau noda hitam akan demokrasi seakan-akan mendapat cahaya atau pencerahan baru dalam lingkup Gereja. Dengan demikian refleksi iman atas martabat manusia menuntut dukungan penuh akan pola demokrasi yang diakui. Di sini, paus mengkehendaki agar hak kebebasan suara hati dan kebebasan dalam beragama juga diperhatikan dalam Negara demokrasi di mana diatur dalam hukum yang ada. Selain itu pula pentingnya partisipasi warga Negara dalam mengamati, mengawas dan menilai kebijakan-kebijakan pemerintahan agar tidakadanya praktek manipulasi dalam kehidupan bersama.
                Demokrasi sebagai itu yang diidealkan sebab dalam demokrasi kebebasan individu dalam berekspresi sangat terbuka artinya bahwa hak-hak individual yang mana merupakan hak kodrati betul-betul dihargai atau dihormati dalam kehidupan bersama. Gereja mengharapkan agar demokrasi benar-benar dipraktekan dalam kehidupan bersama sesuai dengan prinsip-prinsip yang ada agar tidak melahirkan bentuk lain yang mana sebagai tantangan dalam demokrasi itu sendiri seperti totalitarisme yang tersembunyi. Inti dari penjabaran artikel 46 ini adalah pengakuan demokrasi itu sendiri serta upaya menjalankan prinsip demokrasi yang sungguh demokratis dalam kehidupan bersama serta peran Gereja dalam melawan bahaya yang mengancam demokrasi. Di sini berarti Gereja juga ikut berandil di dalam pergolakan hidup berdemokrasi itu sendiri.



BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
            Perkembangan demokarasi dalam kehidupan Gereja tidak sertamerta diterima begitu saja. Dibutuhkan waktu yang sedemikian panjang dan bertahap bagi Gereja Katolik untuk menerima demokrasi sebagai sebuah bentuk Negara yang ideal. Demokrasi yang terkenal dengan definisinya yakni dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat mendapat tempat yang sungguh sempurna sebagai sebuah bentuk Negara sebab praktek demokrasi menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia dalam kehidupan bersama. Oleh karena demokrasi itu terbuka sehingga Gereja secara perlahan menerima atau mengaffirmasikannya sebagai itu yang paling baik atau cocok sebab apa apa yang diajarkan atau nilai-nilai iman kristiani sesuai dengan prinsip demokrasi itu sendiri.
            Gereja Katolik dalam perkembangannya tidak hanya mengakui demokrasi sebagai itu yang ideal saja akan tetapi bagaimana Gereja katolik berandil di dalam menjawabi tantangan-tantangan demokrasi, berpartisipasi bersuara dalam praktek manipulatif segelintir orang atau elit politik yang menodai keagungan demokrasi itu sendiri sebab kehadiran Gereja dan Negara adalah bagaikan dua sisi mata uang. Hal ini sudah dijalankan sejak pada zaman dahulu di mana Gereja katolik menunjukkan keprihatinannya yang mendalam akan nilai-nilai hidup manusia yang sering diabaikan dalam kehidupan bersama seperti; pelanggran HAM, situasi kemiskinan, penderitaan, pembagian kelas dalam masyarakat, dll. Semua realitas sosial yang terjadi itu membuat Gereja merefleksikan lebih jauh dan pada akhirnya mengeluarkan dokumen yang penting dalam Gereja yakni Ajaran Sosial Gereja. Dokumen-dokumen itu merupakan sebuah  pisau bedah zaman ini untuk meneropong realitas-realitas sosial yang terjadi pada saat ini sebagaimana yang terungkap dalam paper ini.
            Bagaimana pun juga Gereja selalu berandil dalam kancah hidup bernegara sebab ada begitu banyak tantangan yang masih terlihat di sana-sini. Tantangan-tantangan demikianlah menaruh perhatian yang mendalam dari Gereja akan kehidupan demokrasi.
           





Daftar Pustaka

Curran, Charles E. Buruh, Petani, dan Perang Nuklir. Yogyakarta: Kanisius, 2007.

Held, David. Demokrasi & Tatanan Global. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.


        Lewis, V. Bradley.  “Democracy and Catholich Social Teaching: Continuity, Development,    and Challenge.”  Jurnal Studia Gilsoniana 3 (2014).

Raharso, A. Tjatur. Sistem Legislasi Gereja Katolik. Malang: Dioma, 2012.


Riyanto, Armada. (ed), Gereja Kegembiraan & Harapan. Yogyakarta: Kanisius 2011.


  -------, Katolisitas Dialog: Ajaran Sosial Katolik. Yogyakarta; Kanisius, 2014.





[1] David Held, Demokrasi & Tatanan Global, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004,hlm.3.
[2] A. Tjatur Raharso, Sistem Legislasi Gereja Katolik, Malang: Dioma,2012,hlm.144.
[3]  V. Bradley Lewis, “Democracy and Catholich Social Teaching: Continuity, Development, and Challenge”  Jurnal Studia Gilsoniana 3 (2014),hlm. 169.
[4] Ibid.
[5] Ibid.,hlm.171-172.
[6] ibid.
[7] Ibid.
[8] ibid.,hlm.173.
[9] ibid.,hlm.174.
[10] ibid.
[11] ibid., hlm.174-175.
[12] ibid.
[13]  ibid., hlm.176.
[14] Armada Riyanto (ed), Gereja Kegembiraan & Harapan, Yogyakarta: Kanisius 2011, hlm.239.
[15] V. Bradley Lewis, op.cit., hlm.177.
[16] ibid.
[17] Charles E. Curran, Buruh, Petani, dan Perang Nuklir, Yogyakarta: Kanisius, 2007,hlm.218.
[18]  V. Bradley Lewis,op.cit.,hlm.178.
[19] ibid.,hlm. 179.
[20] ibid.
[21] ibid.,hlm. 180.
[22] ibid.,hlm. 180-181.
[23] ibid.
[24] ibid., hlm 183.
[25] ibid.
[26] ibid., hlm.185.
[27] ibid.
[28] ibid.
[29]ibid., hlm. 187.
[30] ibid.
[31] ibid., hlm.188.
[32]  Armada Riyanto, Katolisitas Dialog: Ajaran Sosial Katolik, Yogyakarta; Kanisius, 2014, hlm. 154.
[33] Ibid.
[34] Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja Tahun1891-1991: dari RERUM Novarum sampai dengan CENTESIMUS ANNUS, Jakarta: Dapertemen Dokumentasi dan Penerangan KWI,1999,hlm. 871.
[35] Ibid.,hlm.871-872.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar