Rabu, 07 November 2018

GAMBARAN MANUSIA DI PULAU SOLOR DAN RELEVANSINYA DALAM PEMIKIRAN KRISTIANI



(Yosep Belen Keban)


1.   Pendahuluan
         Pandangan tentang siapakah manusia itu? Dan apa yang menjadi esensi dari keberadaan manusia tersebut telah banyak melahirkan para pemikir dari zaman ke zaman untuk menguak kebenaran dibalik selubung ketidaktahuan. Konsep tentang manusia ini juga lahir dalam masyarakat tertentu yang ingin mencari dan menemukan sesuatu dibalik pengalaman dan kejadian-kejadian atau pertistiwa disekitarnya. Contohnya adalah masyarakat di Pulau Solor. Pemahaman tentang manusia menurut masyarakat Solor ini diteliti langsung oleh seorang etnolog SVD yakni Paul Arndt. Ia melakukan penelitian dengan segala kemampuannya membuka lembar pemahaman baru tentang masyarakat Solor yang sebenarnya. Dalam penelitian itu Paul Arndt mengupas dan menguraikan siapa itu manusia menurut masyarakat Lamaholot. Dalam penelitian itu ia melakukan beberapa wilayah sebagai sampel penelitian. Di sini tentu seorang Paul Arndt memberikan kontribusi yang berharga bagi masyarakat Lamaholot.
      Oleh karena itu dalam Paper ini penulis menguraikan kembali poin-poin penting tentang gambaran manusia di Lamaholot khususnya manusia di Pulau Solor menurut penelitian Paul Arndt lalu mengaitkannya dengan ajaran Kristiani. Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk membuka pemahaman dan cakrawala berpikir penulis  sebagai masyarakat di Pulau Solor mengenai konsep manusia itu sendiri. Dalam tulisan ini penulis mengedepankan hasil pemikirannya dan juga memberikan kritikan atas gagasan manusia di Pulau Solor.

2.   Mengenal Paul Arndt
        Paul Arndt lahir pada tanggal 10 januari 1886 di Rasselwitz (dahulu wilayah Jerman, sekarang Polandia). Ia bergabung dengan Kongregasi Sabda Allah dan ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1912. Wilayah kerja pertama sebagai misionaris adalah Togo (Afrika Barat) yakni dari tahun 1913 hingga tahun 1917.[1] Dengan jiwa misionarisnya kemudian ia dikirim ke Flores. Paul Arndt dikenal sebagai seorang misionaris peneliti karena ia membuat beberapa penelitian lapangan di antara berbagai suku di Flores (Sikka, Ngada, Lio, Solor-Adonara dan Larantuka). Paul Arndt terkenal sebagai seorang yang memiliki sikap tenang dan tak banyak bicara, rendah hati dan tanpa pamrih. Selalu terbuka pada berbagai pertanyaan. Sangat kritis dalam pola kerjanya, tidak cepat merasa puas dengan cuma bertanya satu kali kepada beberapa narasumbernya yang terpercaya dan membuat penelitian lapangan. Beberapa waktu kemudian ia selalu berusaha memeriksa kembali pernyataan-pernyataan yang telah dikumpulkannya, dan menanyakan kepada narasumber yang baru kemudian membuat perbandingan antara laporan yang satu dengan laporan yang lain. Sikap kritisnya ini dinyatakannya sebagai berikut:

“Dalam kalangan masyarakat di kepulauan Solor dan Flores aku memulai penelitianku tentang berbagai suku. Beberapa tahun sudah lewat sejak permulaan usaha itu. Dan penelitian-penelitian yang kubuat dalam rentang waktu itu di wilayah Sikka, Lio, Ngadha, Solor-Adonara dan Larantuka membuat aku yakin, bahwa apabila aku hendak mendapatkan satu gambaran yang dalam garis besarnya agak lengkap tentang sejumlah persoalan berkenaan dengan hal tersebut, sebenarnya tidak cukup kalau aku Cuma mendengar satu atau sejumlah kecil narasumber tentang pandangan mereka, walaupun narasumber itu adalah mereka yang sangat dan paling mengetahui dan mengenal secara baik adat-istiadat dan kebiasaan-kebiasaan tua. Oleh karena itu aku selalu berusaha mendapatkan narasumber dan kesaksian lebih banyak lagi.”[2]

       Penelitian-penelitian Paul Arndt tidak dapat dinilai terlalu berat sebelah dan tidak lengkap, seperti yang banyak dijumpai dalam karya para Etnolog yang hanya mengandalkan penelitiannya pada narasumber tertentu dan yang membutuhkan penerjemah, dengan segala macam kesulitan yang berkenaan dengan penerjemahan itu. Tetapi Paul Arndt menguasai secara baik bahasa-bahasa di daerah tempat ia membuat penelitian, dan mengenal baik mental orang-orang Flores berkat keberadaannya di tengah masyarakat selama kira-kira empat puluh tahun. Paul Arndt menderita penyakit sesak nafas yang kronis, tetapi ia tetap dan selalu sibuk dengan kegiatan-kegiatan etnologis sampai akhir hidupnya. Dua bulan setelah pesta emas imamatnya, ia meninggal dunia pada usia 70 tahun. 







3.   Panorama Singkat Pulau Solor

3.1.Suku Solor

Suku bangsa Solor disebut juga orang Holo, Solot, atau Ata Kiwan.[3]Suku ini mendiami daratan Pulau Solor yang terletak di sebelah selatan Pulau Adonara, di sebelah timur Pulau Flores. Daerah itu termasuk dalam wilayah Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dalam bukunya Karl-Heinz Kohl yang berjudul “Raran Tonu Wujo” dikatakan bahwa, penduduk asli di Kepulauan Solor atau para leluhur berasal dari dua suku besar yakni suku yang berasal dari Ile Jadi (manusia yang diperanakan dari gunung) atau suku asli dan suku-suku imigran. Hal ini juga sama dengan wilayah di Pulau Solor (salah satu wilayah di kepulauan Solor). Suku-suku imigran ada dua yakni: suku-suku dari Sina-jawa (lali haka) yang mana datang dari wilayah barat dan suku-suku tena mao(teti hau) yang datang dari wilayah timor[4]. Suku-suku teti hau diduga kuat berasal dari kroko pukan[5]. Namun sumber lain mengatakan bahwa suku-suku imigran di Pulau Solor diduga kuat berasal dari campuran Ras Negrito, proto Negrito dan Austronesia.[6]


Description: C:\Users\user\Documents\pulau solor.jpg



3.2. Bahasa Suku Solor

             Bahasa Solor termasuk ke dalam kelompok bahasa Melayu Polinesia atau Austronesia[7]atau sekarang yang dikenal dengan bahasa Lamaholot. Manusia Lamaholot  merupakan manusia yang mana menggunakan bahasa Lamaholot dalam keseharian. Mereka terdiri dari suku bangsa Lamaholot Barat yang mendiami bagian Barat Kabupaten Flores Timur, Suku bangsa Lamaholot Tengah terdiri dari penduduk daerah Tanjung Bunga, pulau Adonara, Solor. sebagian Lembata, suku bangsa Lamaholot Timur yang mana mendiami sebagian besar pulau Lembata.[8] Sedangkan di Pulau Solor sendiri bagahsa Lamaholot terbagi ke dalam tiga dialek, yakni  yaitu dialek Solor Barat, Solor selatan dan Solor Timur.

3.3. Masyarakat Suku Solor

 Pada zaman dulu orang Solor mendirikan desa-desa di daerah perbukitan sebelum kedatangan Belanda. Dan pada zaman Belanda mereka dipaksa untuk berdiam di dataran rendah dekat pantai. Hal ini bertujuan agar mudah dikontrol dan dijangkau. Namun ada beberapa wilayah yang tetap tinggal di pegunungan. Kehidupan ekonomi tradisionalnya tergantung kepada kegiatan perladangan, walaupun juga harus berburu dan menangkap ikan untuk menambah bahan makanan. Tanaman pokok adalah jagung dan padi. Tanaman lainnya adalah sorgum, keladi, singkong, ketimun, kacang tanah, pisang, kelapa, tembakau, kapas, dan lain-lain. Setiap suku (klan) mengerjakan ladang secara gotong royong setiap tahun sekali. Penduduk dekat pantai sudah banyak yang menggantungkan mata pencahariannya kepada pekerjaan nelayan. Kalau hasil ladangnya sangat buruk, maka kaum wanita Solor pergi ke hutan mengumpulkan lalapan untuk sayur, umbi-umbian dan buah-buahan hutan, siput air, kerang dan kepiting. Kaum lelakinya pergi berburu rusa, babi hutan, monyet dan burung. Juga ada yang beternak kambing, babi, kerbau dan ayam.

3.4. Kekeluargaan Suku Solor

Sistem kekerabatan keluarga amat berpengaruh dalam kehidupan sosial individu masyarkat di Pulau Solor. Orang Solor umumnya lebih mengutamakan hubungan kekerabatan patrilineal[9], walaupun begitu ada beberapa sub kelompok yang tidak lagi berorientasi kepada keluarga (klan). Hubungan perkawinan biasanya mengidealkan perkawinan pihak lelaki harus menyerahkan maskawin, yaitu gading gajah. Dalam perkawinan biasa pengantin perempuan segera tinggal di rumah orang tua suami paling tidak untuk satu tahun, sebelum mereka mendirikan rumahnya. Hubungan dalam perkawinan tentu sangat memberikan makna yang berarti yakni saling memahami dan adanya ikatan persuadaraan (opu-pei-kaka-ari-ina-bine). Dalam masyarakat Solor juga dikenal dengan keluarga inti dan keluarga besar. Sehingga dalam berbagai urusan masyarakat setempat merasa terbantu karena banyak anggota keluarga yang memberikan bantuan. Hal ini sangat terasa ketika ada orang dari suku tertentu merayakan akad nikah, atau acara sambut baru. Di sini sangat terlihat dengan jelas hubungan kekeluargaan.

Pemimpin paling utama dalam setiap lingkungan pemukiman adalah keturunan pemilik tanah asal yang disebut tuan alat (tuan tanah). Kemudian ada pula empat tingkat pemimpin keagamaan (kepercayan lama) yaitu koten, kelen, hurit dan marang. Di antara keempatnya kepala koten dianggap sebagai pemimpin utama. Kemudian kepala kelen sebagai asistennya, sedangkan yang dua lagi lebih banyak bertindak sebagai penasehat bagi kepala koten.

4.      Gambaran Manusia di Pulau Solor
4.1. Pengertian manusia
Konsep manusia ala Lamaholot berbeda jauh dengan konsep manusia yang kita kenal dalam ajaran kristiani yakni tentang badan, roh dan jiwa. Dalam masyarakat Lamaholot khususnya di Pulau Solor memahami manusia adalah jiwanya. sepintas terdengar sama dengan konsep manusia menurut Plato yakni manusia adalah jiwanya. Namun pemahaman ini tidak mengambil atau menyalin apa yang dikonsepkan oleh Plato. Pemahaman ini lahir dari pengalaman masyarakat Solor sendiri. Konsep mengenai jiwa di setiap daerah atau kampung di Pulau Solor memiliki bahasa yang berbeda. Misalnya di daerah Solor Barat yang pada saat itu disebut Hamente Lewolein[10] memahami jiwa manusia sebagai Tuber-manger.
 Sedangkan dibeberapa wilayah lain di Pulau Solor juga memiliki pemahaman yang berbeda ada yang memahaminyasebagai tuber dan ada pula yang memahami sebagai manger.
            Pertama, Tuber dapat diartikan sebagai jiwa manusia. Konsep ini menekankan peranan tuber dalam seluruh aktivitas kemanusiaan. Artinya posisi tuber menjadi lebih diidolakan dari pada badan. Salah satu alasan yang dapat dijadikan rujukan dalam mengerti konsep ini adalah berangkat dari kehidupan masyarakat Solor sendiri yang menjunjung tinggi Lera Wulan (Wujud Tertinggi) sehingga badan menjadi tidak penting karena badan adalah hal yang fanah sedangkan tuber adalah abadi. Oleh karena itu ketika seorang manusia meninggal dunia masyarakat Solor mempercayai bahwa tuber atau jiwa orang tersebut masih hidup dan tinggal disekitar manusia yang masih hidup. Kedua, kata manger memiliki kesamaan arti dengan tuber yakni jiwa manusia. Penggunaan kata ini dipakai dalam masyarakat Solor diwilayah timur.

4.2. Manusia Khusus di Pulau Solor
   Masyarakat di Pulau Solor khususnya memiliki konsep atau gambaran yang sama mengenai manusia. Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa manusia adalah jiwanya. Tentu gambaran ini sangat Platonisme namun bukan berarti masyarakat setempat menganut paham ini. Pemahaman masyarakat setempat mengenai manusia adalah jiwanya sudah berurat-berakar sejak pada zaman dahulu kala (nenek moyang). Namun harus diakui bahwa pemahaman mengenai manusia yang adalah jiwanya memiliki lapisan jiwa yang berbeda dibeberapa tempat atau wilayah Di Pulau Solor ini. Terlepas dari hal itu masyarakat setempat juga memiliki keyakinan kuat sampai dengan saat ini menyangkut pembedaan manusia. Manusia bagi masyarakat di Pulau Solor dapat digolongkan atau diklasifikasikan ke dalam tiga tingkatan. Tingkatan atau pembagian ini merupakan ciri khas atau pembeda antara satu dengan yang lainnya. Ketiga tingkatan manusia itu adalah manusia Molang, Menake, dan manusia Biasa. Mengenai ketiganya dapat diuraikan secara panjang lebar demikian.

4.2.1. Manusia Molang
     Dalam penelitian Paul Arndt di tanah Solor khususnya di Hamente Lewolein dan di Wulu Belolong mengenai manusia memiliki ciri khas yang berbeda dengan gambaran atau konsep manusia pada masyarakat Lamaholot lainnya. Manusia khusus menurut Paul Arndt di Pulau Solor memberikan kontribusi baru bagi pemahaman masyarakat umum bahwa ada juga manusia yang berbeda dengan gambaran manusia seperti biasanya. Lantas kita bertanya apa yang membedakannya atau seperti apa gambaran manusia khusus itu?
      Manusia khusus yang pertama dan yang diyakini ada sebagai benar-benar bereksistensi dalam dunia adalah Molang. Molang adalah manusia biasa seperti tampaknya namun memiliki kemampuan khusus yang melekat pada dirinya. Kemampuan inilah yang membedahkan seseorang itu disebut manusia biasa dan Molang. Kemampuan itu tidak lain adalah dalam soal menyembuhkan dan mematikan orang. Dalam istilah modern Molang digambarkan sebagai dokter atau dukun kampung. Setiap kampung atau daerah memiliki Molang-nya masing-masing dan bahkan bisa melebihi satu. Seseorang itu disebut Molang tidak berdasarkan status gendernya atau pula status kasta sosial yang ada dan asalkan pernah menyembuhkan seseorang yang sakit dari penderitaan yang dialaminya.
Pada zaman dahulu banyak sekali Molang yang terkenal dengan keampuhan mantranya atau kejituan magisnya dalam menyembuhkan orang lain. Fenomena Molang menjadi sebuah trend masa itu sehingga banyak orang berlomba-lomba mempelajari atau ingin menjadi Molang ini sehingga terkenal kedengarannya. Namun, keinginan itu membuat masyarakat pada zaman itu terperangap dalam pemikiran picik dan membuat mereka menjadi manusia pembenci, egois, dan kejam. Molang biasanya mewarisi kemampuan atau energi penyembuhan dari leluhurnya atau bersifat diturunkan namun ada pula yang menjadi Molang berkat belajar dari Molang yang lainnya. Molang yang terakhir ini bukan Molang yang benar sehingga kerap disebut Menake.[11] Dalam konteks kekinian kita bisa membahasakannya dengan “Molang abal-abalan”. Dikatakan abal-abal karena mereka menipu dirinya sebagai dokter kampung sehingga banyak pasien yang datang berobat kepada mereka sehingga mereka memperoleh materi. Materi itu berupa uang, beras, jagung, atau kekayaan material lainnya. Selain itu dikatakan abal-abal karena orang yang berobat selalu saja meninggal di tangannya mereka.
Dalam hasil penelitian di Wilayah Hamente Lewolein (Solor Barat) dan di daerah Wulu Belolong (Solor Timur) Paul Arndt membuat perbedaan yang cukup tajam antara Molang yang kekuatannya diturunkan atau diwariskan oleh leluhur dan Molang yang palsu.[12] Molang yang benar adalah Molang warisan dan kekuatan atau kemampuan mereka tidak perlu diragukan karena berasal dari Lera Wulan. Sedangkan Molang yang meniruh Molang yang lain mendapat kekuatan dari Molang palsu atau Menake. Tentu di sini peran roh jahat yang menghasut atau merasuki pemikiran para Molang palsu itu.
Molang itu memiliki beberapa kuasa yakni memiliki kuasa untuk menyembuhkan orang sakit, memiliki kemampuan untuk melindungi kampung-kampung, membantu dalam kesulitan, melihat dan menafsir mimpi, memeriksa sebab-sebab penyakit, entah oleh kesalahan sendiri atau dosa leluhur, dll. Molang mewariskan kuasanya kepada anak laki-lakinya yang sulung, atau kepada anak perempuan sulung. Sedangkan sebagai pembayarannya diminta aneka bentuk berupa uang, pakayan, parang, gading, ayam, kambing ,dll. Dan jika apabila seseorang tidak memiliki benda-benda yang diminta maka sang Molang tidak juga membantu megeluarkan sesuatu atau penyakit dalam diri orang yang sakit. Berkaitan dengan hal ini tentu sangat tidak rasional namun banyak masyarakat yang percaya dan meyakini sebagai benar. Bagi masyarakat modern tentu menanggapai hal ini secara kritis dan juga bersikap skeptis akan segala kemampuan dalam diri Molang.
Sebagai contoh jika terdapat seseorang dalam kampung yang jatuh dari pohon dan dipikul ke rumah maka yang dipikul adalah tubuhnya sedangkan jiwanya masih berada disekitar pohon itu. Oleh karena jiwanya masih berada di sana maka peran Molang sangat berpengaruh yakni memanggil jiwa seseorang tersebut.  Lalu menanyakan letak kesalahan orang tersebut. Jika menemukan maka setelah sembuh seseorag tersebut harus mengorbankan kurban di tempat yang pernah ia berbuat salah seperti memotong pohon di hutan terlarang dan lain-lain. Dan apabila ada orang jatuh sakit yang kritis maka Molang juga sangat berperan penting. Molang melakukan ritual khusus untuk mengusir penyakit yang dialami setelah adanya pengakuan dari si pesakit itu lalu berkata: “Rera Wulan, Tanah Ekan, Nubanara koke bale goong kae pi, meu kae pi, pana moon tepas mion! Atadiken nae pe mese hogo lega[13] yang berarti Rera Wulan Tana Ekan, Nubanara koke bale, sekarang kalian sudah makan, pergola ke tempatmu dan biarkan orang ini bangun dan berjalan. Setelah berkata demikian Molang tersebut masuk ke dalam rumah dan memasukan kapas itu ke dalam tubuh orang sakit itu. Inilah yang disebut tewu tube mange (tebusan jiwa).
Selain dapat menyembuhkan orang sakit Molang juga mampu meminta hujan dari Lera Wulan. Dari gambaran kuasa Molang di atas tentu kita berpikir bahwa manusia Molang adalah manusia yang memiliki kekuatan atau bermata terang (mata nelo) yang mampu melihat dan membaca sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh mata orang bodoh atau manusia biasa.  Selain itu juga Molang sering menggunakan juga bahan-bahan atau ramuan dari tetumbuhan untuk dijadikan sebagai obat serta mantra-mantra kecil. Gambaran manusia Molang juga bersifat paradoks sebab selain menampilkan sisi baik dalam menyembuhkan orang yang sakit Molang juga menampilkan diri sebagai manusia yang jahat atau dengan kata lain manusia Molang menampilkan sisi jahat yakni berkuasa membuat orang mati.[14] Alasan dirinya mengakhiri hak hidup orang lain tidak lain karena dalam mengada orang tersebut melukakan hatinya baik berupa kata-kata maupun perbuatan jahat lainnya. Seorang Molang tidak membutuhkan usaha untuk mengakhiri hidup orang yang menyakitinya. Ia hanya mengatakan saja demikian. “Dia itu harus mati”.[15] Dan benar hal itu terjadi.
Masyarakat di Pulau Solor sangat mempercayai sisi keparadoksalan manusia Molang sehingga meskipun sampai dengan saat ini belum terlepas dari pemikiran atau belenggu fenomena Molang namun banyak orang semakin kritis untuk tidak mempercayai semata keunggulan atau kemampuan natural para Molang. Kenyataan menjadi sangat kuat karena menyebabkan aneka persoalan dalam kehidupan bersosial yakni adanya pencemoohan dalam kehidupan bersama, sehingga mentelurkan ketidakharmonisan.

4.2.2.      Manusia Menaka (menake)
  Kata Menaka (Benaka, Ata Menakang) merupakan lawan dari manusia Molang yang baik atau warisan dari leluhur. Para Menaka selalu identik dengan orang jahat, orang degil hatinya, orang jelek.[16] Jika mereka meminta makanan atau minuman maka selalu ada makanan atau minuman bagi mereka sebab setanlah yang menyediakannya untuk mereka. Manusia Menaka sama seperti Molang yakni tidak memandang bulu entah tua-muda atau anak sekalipun. Mereka tentunya menerima kuasa dari setan. Menaka dapat menyebabkan orang sakit atau bencana dalam hidup lainnya. Mereka sangat mengetahui segala hal. Malahan juga mereka sangat baik apabila kita baik dan mereka jahat apabila kita jahat dengan mereka. Apabila jika mereka meminta sesuatu dari kita dan kita tidak melademi maka kita akan jatuh sakit bahkan meninggal juga.
Menaka memiliki aneka ramuan yang digunakan untuk menyihir masyarakat. Mereka bersekutu dengan setan. Bagaimana dapat mengenal atau mengetahui mereka? Kita dapat mengenal Menaka dari tanda-tanda fisik seperti matanya yang merah, pakayannya yang kotor atau compang-camping. Menaka selalu ditakiti di wilayah Pulau Solor ini sebab banyak orang yang belajar atau sudah terjerumus dalam lingkaran hitam ini. Alasannya tidak lain adalah belajar untuk melindugi diri dari hal yang jahat namun sangatlah paradoksal sebab merekalah akar atau sumber kejahatan itu sendiri. Menaka dapat membunuh manusia melalui angin jahat, makanan, minuman, dan lain sebagainya. Menaka adalah manusia jahat sehingga sering ditakuti oleh manusia biasa. Manusia biasa selalu dilindungi atau meminta perlindungan dari manusia Molang. 

4.2.3.      Manusia Biasa
    Kelompok manusia yang lainnya selain Molang dan Menaka adalah manusia biasa. Manusia biasa adalah manusia yang bukan Molang dan atau Menaka. Mereka adalah orang-orang baik yang tidak memiliki kemampuan dalam ilmu sihir-menyihir atau dukun dalam penyembuhan orang yang sakit. Manusia biasa dalam keseharian hidupnya selalu bersifat netral dan selalu mengontrol tindak-tanduk hidupnya. Mereka hidup dalam baying-bayang kegelisahan antara takut akan para Menaka dan merasa juga keyakinan bahwa ada sesuatu kekuatan yang melindungi mereka yakni Lera Wulan dan juga utusan Lera Wulan yakni Molang.
          Manusia biasa sangatlah yakin bahwa selama hidup atau mengada (being) bersama komplotan Molang dan Menaka yang perlu dilakukan adalah perbuatan baik. Perbuatan dilakukan dengan baik dan dengan hati tanpa ada unsur kebencian atau iri maka mereka selalu merasa terlindungi. Dengan adanya perbuatan baik maka dengan sendirinya mereka merasa berada dalam “zona nyaman” dari gangguan Menaka. Apa yang diminta Menaka selalu dikabulkan dan jika tidak ada maka manusia biasa ini mengatakannya dengan tutur kata yang ramah dan sopan kepada Menaka.

5.            Relevansi Gambaran Manusia di Pulau Solor Dengan Pemikiran Kristiani 
     5.1. Manusia Molang identik dengan Tabib
Gambaran manusia Molang di Pulau Solor tentu sangat kristiani di mana mereka adalah manusia yang mendapat kemapuan secara kodrati untuk menyembuhkan manusia yang sakit. Mereka adalah utusan dari Allah (Lera Wulan). Kehadiran mereka sangat membantu manusia biasa yang mana hidupnya selalu dibayang-bayang ketakutan atau kecemasan. Mereka hadir untuk mengusir roh-roh jahat yang disihir oleh Menake.
Dalam ajaran kristiani khususnya dalam Perjanjian Baru juga dikatakan oleh Paulus bahwa manusia hidup untuk melawan roh-roh jahat. Gagasan Paulus ini sangatlah berlaku bagi manusia Molang. Mereka adalah pahlawan kehidupan bagi manusia yang menderita. Mereka juga boleh dikatakan sebagai pelaku kasih yang menampilkan wajah Allah itu sendiri. Para Molang adalah tabib sama seperti Lukas menampilkan Yesus sebagai tabib dalam Perjanjian Baru. Dikatakan Yesus sebagai tabib karena dalam hidup dan karya-Nya Yesus selalu menyelamatkan atau menyembuhkan orang-orang yang kerasukan setan atau roh jahat.

5.2.       Manusia Menake identik dengan Iblis
              Gambaran manusia Menake yang ada di Pulau Solor khususnya mencerminkan manusia yang berseberangan dengan kehendak Allah (Lera Wulan). Mereka itu sering dilabeli dengan sebutan Iblis (diabolos) atau Setan (satana). Dalam ajaran Kristiani khususnya dalam Perjanjian Baru hidup manusia selalu dibayang-bayang dengan kuasa kegelapan dan gangguan Iblis atau Setan. Tidak hanya manusia tetapi Putera Allah yakni Yesus juga selalu berhadapan dengan Setan atau Iblis selama berkarya. Yesus selalu hadir menyembuhkan orang-orang yang dirasuki roh jahat, sakit dan orang-orang yang kerasukan.[17] Perlawanan Yesus dengan Iblis itu dikisahkan dalam cerita tentang penggodaan Yesus di padang gurun.[18]
         Walaupun dalam cerita itu Yesus ditampilkan sebagai pemenang namun tidak berarti hidup manusia tidak lagi dibayang-bayang oleh setan atau iblis. Kenyataan manusia selalu berhadapan dengan hal ini maka dari itu dalam doa manusia beriman selalu mendaraskan “Bebaskanlah kami dari yang jahat”. Dalam teologinya Paulus juga mengatakan hal demikian yakni manusia harus memerangi atau berjuang untuk melawan kekuatan jahat.[19] Bagi Paulus kekuatan jahat merupakan manifestasi atau pernyataan dari suatu kekuatan misterius yang menjiwai dan mengendalikan mereka sehingga mereka bertindak untuk merugikan manusia.[20] Sangatlah tentu bahwa akibat dari sini adalah kematian dan penyakit. Tentu dari sini kita bertanya apakah kuasa jahat ini berasal dari Allah?
Untuk menjawabi pertanyaan yang sejak dari dahulu digugat oleh manusia-manusia pemikir yang meragukan inti iman kristiani maka Gereja mengambil sebuah sikap untuk membendung atau menjawabi pertanyaan itu dengan mengadakan Konsili. Konsili itu diadakan pada tahun 1215 dan disebut sebagai Konsili Lateran IV yang berbicara mengenai Malaikat dan Iblis. Iblis bukanlah ciptaan dari Allah. Gagasan ini tentunya melawan kaum heretis pada waktu itu yang memandang iblis semacam allah kedua.[21]
     
5.3.          Konsep Manusia adalah Tuber-Manger dan pemikiran kristiani mengenai    Tubuh-jiwa-Roh.
Konsep Tuber-manger dalam masyarakat di Pulau Solor mempengaruhi pola kehidupan dan tata cara berelasi antara manusia dengan penciptanya atau dalam bahasa Solor disebut Lera Wulan. Tuber-manger adalah jiwa manusia itu sendiri. Pemahaman ini menggugah sebuah pengertian tentang hubungan badan dan jiwa. Masyarakat Solor dalam keseharian hidupnya tidak memperhitungkan eksistensi dari badan karena hal tersebut bukanlah yang terpenting dari keberadaan manusia. Prinsip ini didasarkan pada kebenaran pengalaman yang menyatakan secara tersirat dan tersurat bahwa manusia suatu saat akan mati. Dari pengalaman ini timbul pemahaman baru bahwa kematian bukanlah akhir dari kehidupan melainkan awal dari perjalanan baru menuju Lera Wulan (wujud tertinggi). Pada saat kematiaan ini dipercaya oleh masyarakat bahwa Tuber-manger terlepas dari badan dan berubah menjadi kewokot. [22] Orang-orang yang telah meninggal atau yang sudah menjadi kewokot tetap hidup didunia ini dalam keadaan tidak berwujud (tidak dapat dilihat oleh orang biasa) dan hanya dapat dilihat oleh orang-orang tertentu misalnya manusia Molang. Baru pada waktunya jiwa orang mati tersebut kembali kepada Sang Pencipta (Lera Wulan). Di sini sangatlah gamblang bahwa masyarakat di Pulau Solor tidak mengetahui secara baik konsep kristiani mengenai roh itu sendiri. Sejak zaman nenek moyang masyarkat setempat hanya mengetahui bahwa manusia memiliki satu sisi dan sisi itu adalah jiwa. Jiwalah yang menjadi peran utama dalam kehidupan dan ia berasal dari Lera Wulan.
Konsep kristiani tentang manusia secara keseluruhan (badan, jiwa dan roh) sangat paradoks dengan konsep manusia menurut masyarakat di Pulau Solor. Akan tetapi tentang jiwa (tuber-manger) memiliki kemiripan dengan konsep jiwa dalam ajaran Kristiani. Kemiripannya terletak pada jiwa yang kekal dan bergerak menuju kepada Sang Penciptanya. Di sisi lain kaum kristiani juga tidak menafikan konsep badan (corpus) walaupun badan adalah tidak kekal atau materi sifatnya. Badan manusia mengatakan kehadirannya atau mencetuskan “diri” manusia yang menghidupinya.[23] Sedangkan pemahaman roh merupakan itu yang membuat manusia yang adalah jiwanya itu merindukan yang ilahi atau Lera Wulan dalam bahasa setempat. Meskipun ada perbedaan namun di sini para misionaris mencoba membahasakan ajaran kristiani menurut pemahaman masyarakat setempat. Mereka mencoba mengawinkan atau mengelaborasikan apa yang sudah ada pada kebudayaan di Pulau Solor dengan inti ajaran Kristiani. Ajaran tersebut dibilang berhasil sebab sampai dengan saat ini pemahaman manusia yang adalah jiwanya sudah dirasuki oleh pemahan kristiani dan segala apa yang terjadi selalu dikaitkan dengan Yang Ilahi seperti kematian dan sakit.

6.            Penutup

Pertanyaan mendasar dan besar mengenai siapakah manusia itu tentu menjadi pencarian yang mendalam bagi para pemikir. Pertanyaan itu membutuhkan sebuah kepastian jawaban dan hal itu tentu diselidiki atau diteliti dalam penelitian. Penelitian mengenai pertanyaan itu tentu ditujukan kepada manusia yang membudaya. Oleh karena merasa tergugat Paul Arndt relah mengarungi samudra dan menghabiskan waktu untuk meneliti manusia di Kepulauan Solor. Dari hasil penelitian itu manusia yang adalah jiwanya memiliki jenis-jenisnya yakni manusia biasa, Menake, dan Molang. Namun patutlah disadari bahwa akibat perkembangan agama dalam hal ini agama Kristen Katolik sedikitnya dapat memberi angin segar dari pemahaman manusia Solor mengenai konsep mereka tentang manusia. Sementara itu berkaitan dengan jenis-jenis manusia masih sangat relevan sampai dengan saat ini. Manusia Solor masih sangat yakin dan masih hidup dalam dunia sihir-menyihir antara sesama baik itu orang biasa-Menake-Molang. Di sini agama hadir tidak hanya mengubah kebudayaan setempat namun harus mentobatkan manusia Solor dari balutan magis-sihir. Ini adalah perang melawan kekuatan kekuatan jahat atau roh jahat. Roh jahat adalah musuh dan harus dikalahkan.






DAFTAR PUSTAKA


  Adat Istiadat Daerah Nusa Tenggara Timur, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan 1977/1978.

Armada Riyanto. Menjadi Mencintai: Berfilsafat Teologi Sehari-hari. Yogyakarta: Kanisius, 2013.

Ernst Vatter.  Ata Kiwan. Ende: Nusa Indah, 1984.

     Georg Kirchberger. Allah Menggugat: Sebuah Dokmatik Kristiani. Maumere: Ledalero,   2007.

Heinz Kohl, Karl.  Raran Tonu Wujo: Aspek-aspek inti sebuah budaya lokal di Flores Timur.  Maumere: Ledalero, 2009.

Herin, Jacob J. Lewo Mayen Tana Doen: Kebudayaan suku Lamaku dan Lamaole di
                            Pulau Solor.  Maumere: [tanpa penerbit], 2008.

Paul Arndt. Demon dan Paji: Dua bersaudara yang bermusuhan di Kepulauan Solor.    Maumere: Puslit Candraditya, 2002.
                ,Falsafah dan Aktivitas Hidup Manusia di Kepulauan Solor, Maumere: Puslit      Candraditya, 1993

  



[1]Paul Arndt, Demon dan Paji: Dua bersaudara yang bermusuhan di Kepulauan Solor. Maumere: Puslit Candraditya, 2002 hlm. 126.
[2] Ibid., hlm. 128.
[3]“Ata kiwan” adalah sebutan dari orang-orang cina (pedagang) terhadap penduduk asli di kepulauan solor. AtaKiwan dapat diterjemahkan sebagai “orang gunung” Bdk. Ernst Vatter, Ata Kiwan, Ende: Nusa Indah, 1984 hlm. 14-15. Lihat juga http://suku-dunia.blogspot.co.id/2015/01/sejarah-suku-solor.html.
[4] Bdk. Karl- Heinz Kohl, Raran Tonu Wujo: Aspek-aspek inti sebuah budaya lokal di Flores Timur, Maumere: Ledalero, 2009. Hlm. 165.
[5]Krokopuken adalah nama sebuah pulau di Lepe bata yang saat ini dikenal  dengan tanah Lepe dan Bate yang kemudian tenggelam. Oleh karena peristiwa itu maka banyak masyarakat menyelamatkan diri dengan berlayar menggunakan sampan (tena laya). Pulau Lepe-Bate diketahui terletak di wilayah Pulau Lembata Lembata.
[6] Jacob J. Herin, Lewo Mayen Tana Doen: Kebudayaan suku Lamaku dan Lamaole di Pulau Solor, Maumere: [tanpa penerbit], 2008, hlm. 147.
[7]Bdk. Ernst Vatter, Ata Kiwan, Op.,cit., hlm. 40.
[8]  Adat Istiadat Daerah Nusa Tenggara Timur, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan 1977/1978, hlm. 18.
[10] Istilah Hamente berasal dari bahasa Belanda yang pada zaman ini dikenal dengan istilah kecamatan. HamenteLewolein pada waktu itu meliputi lewopito (tujuh kampung) meliputi Lewolein, Tanaedang, Tanalein, Lamawolo, Lamaole, Lewomako, dan Lamawohong. Pada zaman dahulu ada dua Hamente di Pulau Solor salah satunya adalah Hamente Lewolein.
[11]  Paul Arndt, Falsafah dan Aktivitas Hidup Manusia di Kepulauan Solor, Maumere: Puslit Candraditya, 1993, hlm. 74.
[12] Ibid.
[13] ibid., hlm. 75.
[14] ibid.
[15] ibid.
[16] Ibid., hlm. 84.
[17]  Georg Kirchberger, Allah Menggugat: Sebuah Dokmatik Kristiani, Maumere: Ledalero, 2007, hlm. 331.
[18] Bdk. Mrk 1: 12-13.
[19] Bdk. Ef 6: 10-20.
[20] Georg Kirchberger, Op.,cit., hlm. 334.
[21] Ibid., hlm. 338.
[22]Kewokot adalah sebutan bagi jiwa orang yang sudah meninggal sedangkan tuber-manger adalah sebutan bagi jiwa yang masih hidup.
[23]  Armada Riyanto, Menjadi Mencintai: Berfilsafat Teologi Sehari-hari, Yogyakarta: Kanisius, 2013, hlm. 9.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar