(Yosep Belen Keban)
1.
Pendahuluan
Pandangan tentang siapakah manusia itu? Dan
apa yang menjadi esensi dari
keberadaan manusia tersebut telah banyak melahirkan para pemikir dari zaman ke
zaman untuk menguak kebenaran dibalik selubung ketidaktahuan. Konsep tentang
manusia ini juga lahir dalam masyarakat tertentu yang ingin mencari dan
menemukan sesuatu dibalik pengalaman dan kejadian-kejadian atau pertistiwa
disekitarnya. Contohnya adalah masyarakat di Pulau Solor. Pemahaman tentang
manusia menurut masyarakat Solor ini diteliti langsung oleh seorang etnolog SVD
yakni Paul Arndt. Ia melakukan
penelitian dengan segala kemampuannya membuka lembar pemahaman baru tentang
masyarakat Solor yang sebenarnya. Dalam penelitian itu Paul Arndt mengupas dan
menguraikan siapa itu manusia menurut masyarakat Lamaholot. Dalam penelitian
itu ia melakukan beberapa wilayah sebagai sampel penelitian. Di sini tentu
seorang Paul Arndt memberikan kontribusi yang berharga bagi masyarakat
Lamaholot.
Oleh karena itu dalam Paper ini penulis menguraikan
kembali poin-poin penting tentang gambaran manusia di Lamaholot khususnya
manusia di Pulau Solor menurut penelitian Paul Arndt lalu mengaitkannya dengan
ajaran Kristiani. Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk membuka
pemahaman dan cakrawala berpikir penulis
sebagai masyarakat di Pulau Solor mengenai konsep manusia itu sendiri.
Dalam tulisan ini penulis mengedepankan hasil pemikirannya dan juga memberikan
kritikan atas gagasan manusia di Pulau Solor.
2.
Mengenal
Paul Arndt
Paul Arndt lahir pada tanggal 10
januari 1886 di Rasselwitz (dahulu wilayah Jerman, sekarang Polandia). Ia
bergabung dengan Kongregasi Sabda Allah dan ditahbiskan menjadi imam pada tahun
1912. Wilayah kerja pertama sebagai misionaris adalah Togo (Afrika Barat) yakni
dari tahun 1913 hingga tahun 1917.[1]
Dengan jiwa misionarisnya kemudian ia dikirim ke Flores. Paul Arndt dikenal
sebagai seorang misionaris peneliti karena ia membuat beberapa penelitian
lapangan di antara berbagai suku di Flores (Sikka, Ngada, Lio, Solor-Adonara
dan Larantuka). Paul Arndt terkenal sebagai seorang yang memiliki sikap tenang
dan tak banyak bicara, rendah hati dan tanpa pamrih. Selalu terbuka pada
berbagai pertanyaan. Sangat kritis dalam pola kerjanya, tidak cepat merasa puas
dengan cuma bertanya satu kali kepada beberapa narasumbernya yang terpercaya
dan membuat penelitian lapangan. Beberapa waktu kemudian ia selalu berusaha
memeriksa kembali pernyataan-pernyataan yang telah dikumpulkannya, dan
menanyakan kepada narasumber yang baru kemudian membuat perbandingan antara
laporan yang satu dengan laporan yang lain. Sikap kritisnya ini dinyatakannya
sebagai berikut:
“Dalam kalangan masyarakat di kepulauan Solor dan
Flores aku memulai penelitianku tentang berbagai suku. Beberapa tahun sudah
lewat sejak permulaan usaha itu. Dan penelitian-penelitian yang kubuat dalam
rentang waktu itu di wilayah Sikka, Lio, Ngadha, Solor-Adonara dan Larantuka
membuat aku yakin, bahwa apabila aku hendak mendapatkan satu gambaran yang
dalam garis besarnya agak lengkap tentang sejumlah persoalan berkenaan dengan
hal tersebut, sebenarnya tidak cukup kalau aku Cuma mendengar satu atau
sejumlah kecil narasumber tentang pandangan mereka, walaupun narasumber itu
adalah mereka yang sangat dan paling mengetahui dan mengenal secara baik
adat-istiadat dan kebiasaan-kebiasaan tua. Oleh karena itu aku selalu berusaha
mendapatkan narasumber dan kesaksian lebih banyak lagi.”[2]
Penelitian-penelitian Paul Arndt tidak
dapat dinilai terlalu berat sebelah dan tidak lengkap, seperti yang banyak
dijumpai dalam karya para Etnolog yang hanya mengandalkan penelitiannya pada
narasumber tertentu dan yang membutuhkan penerjemah, dengan segala macam
kesulitan yang berkenaan dengan penerjemahan itu. Tetapi Paul Arndt menguasai
secara baik bahasa-bahasa di daerah tempat ia membuat penelitian, dan mengenal
baik mental orang-orang Flores berkat keberadaannya di tengah masyarakat selama
kira-kira empat puluh tahun. Paul Arndt menderita penyakit sesak nafas yang
kronis, tetapi ia tetap dan selalu sibuk dengan kegiatan-kegiatan etnologis
sampai akhir hidupnya. Dua bulan setelah pesta emas imamatnya, ia meninggal
dunia pada usia 70 tahun.
3.
Panorama
Singkat Pulau Solor
3.1.Suku Solor
Suku bangsa
Solor disebut juga orang Holo, Solot, atau Ata Kiwan.[3]Suku
ini mendiami daratan Pulau Solor yang terletak di sebelah selatan Pulau
Adonara, di sebelah timur Pulau Flores. Daerah itu termasuk dalam wilayah
Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dalam bukunya Karl-Heinz
Kohl yang berjudul “Raran Tonu Wujo”
dikatakan bahwa, penduduk asli di Kepulauan Solor atau para leluhur berasal
dari dua suku besar yakni suku yang berasal dari Ile Jadi (manusia yang diperanakan dari gunung) atau suku asli dan
suku-suku imigran. Hal ini juga sama dengan wilayah di Pulau Solor (salah satu
wilayah di kepulauan Solor). Suku-suku imigran ada dua yakni: suku-suku dari
Sina-jawa (lali haka) yang mana
datang dari wilayah barat dan suku-suku tena
mao(teti hau) yang datang dari
wilayah timor[4].
Suku-suku teti hau diduga kuat
berasal dari kroko pukan[5].
Namun sumber lain mengatakan bahwa suku-suku imigran di Pulau Solor diduga kuat
berasal dari campuran Ras Negrito, proto Negrito dan Austronesia.[6]
3.2. Bahasa Suku Solor
Bahasa Solor termasuk ke dalam
kelompok bahasa Melayu Polinesia atau Austronesia[7]atau
sekarang yang dikenal dengan bahasa Lamaholot. Manusia
Lamaholot merupakan manusia yang mana
menggunakan bahasa Lamaholot dalam keseharian. Mereka terdiri dari suku bangsa
Lamaholot Barat yang mendiami bagian Barat Kabupaten Flores Timur, Suku bangsa
Lamaholot Tengah terdiri dari penduduk daerah Tanjung Bunga, pulau Adonara,
Solor. sebagian Lembata, suku bangsa Lamaholot Timur yang mana mendiami
sebagian besar pulau Lembata.[8] Sedangkan di Pulau Solor sendiri
bagahsa Lamaholot terbagi ke dalam tiga dialek, yakni yaitu dialek Solor Barat, Solor selatan dan
Solor Timur.
3.3. Masyarakat Suku Solor
Pada zaman dulu orang Solor mendirikan
desa-desa di daerah perbukitan sebelum kedatangan Belanda. Dan pada zaman
Belanda mereka dipaksa untuk berdiam di dataran rendah dekat pantai. Hal ini
bertujuan agar mudah dikontrol dan dijangkau. Namun ada beberapa wilayah yang
tetap tinggal di pegunungan. Kehidupan ekonomi tradisionalnya tergantung kepada
kegiatan perladangan, walaupun juga harus berburu dan menangkap ikan untuk
menambah bahan makanan. Tanaman pokok adalah jagung dan padi. Tanaman lainnya
adalah sorgum, keladi, singkong, ketimun, kacang tanah, pisang, kelapa,
tembakau, kapas, dan lain-lain. Setiap suku (klan) mengerjakan ladang secara
gotong royong setiap tahun sekali. Penduduk dekat pantai sudah banyak yang
menggantungkan mata pencahariannya kepada pekerjaan nelayan. Kalau hasil
ladangnya sangat buruk, maka kaum wanita Solor pergi ke hutan mengumpulkan
lalapan untuk sayur, umbi-umbian dan buah-buahan hutan, siput air, kerang dan
kepiting. Kaum lelakinya pergi berburu rusa, babi hutan, monyet dan burung.
Juga ada yang beternak kambing, babi, kerbau dan ayam.
3.4. Kekeluargaan Suku Solor
Sistem kekerabatan keluarga amat berpengaruh dalam kehidupan
sosial individu masyarkat di Pulau Solor. Orang Solor umumnya lebih
mengutamakan hubungan kekerabatan patrilineal[9],
walaupun begitu ada beberapa sub kelompok yang tidak lagi berorientasi kepada
keluarga (klan). Hubungan perkawinan biasanya mengidealkan perkawinan pihak
lelaki harus menyerahkan maskawin, yaitu gading gajah. Dalam perkawinan biasa
pengantin perempuan segera tinggal di rumah orang tua suami paling tidak untuk
satu tahun, sebelum mereka mendirikan rumahnya. Hubungan dalam perkawinan tentu
sangat memberikan makna yang berarti yakni saling memahami dan adanya ikatan
persuadaraan (opu-pei-kaka-ari-ina-bine).
Dalam masyarakat Solor juga dikenal dengan keluarga inti dan keluarga besar.
Sehingga dalam berbagai urusan masyarakat setempat merasa terbantu karena
banyak anggota keluarga yang memberikan bantuan. Hal ini sangat terasa ketika
ada orang dari suku tertentu merayakan akad nikah, atau acara sambut baru. Di
sini sangat terlihat dengan jelas hubungan kekeluargaan.
Pemimpin paling utama dalam setiap lingkungan pemukiman
adalah keturunan pemilik tanah asal yang disebut tuan alat (tuan tanah).
Kemudian ada pula empat tingkat pemimpin keagamaan (kepercayan lama) yaitu
koten, kelen, hurit dan marang. Di antara keempatnya kepala koten dianggap
sebagai pemimpin utama. Kemudian kepala kelen sebagai asistennya, sedangkan
yang dua lagi lebih banyak bertindak sebagai penasehat bagi kepala koten.
4. Gambaran Manusia di Pulau Solor
4.1.
Pengertian manusia
Konsep
manusia ala Lamaholot berbeda jauh dengan konsep manusia yang kita kenal dalam
ajaran kristiani yakni tentang badan, roh dan jiwa. Dalam masyarakat Lamaholot
khususnya di Pulau Solor memahami manusia adalah jiwanya. sepintas terdengar
sama dengan konsep manusia menurut Plato yakni manusia adalah jiwanya. Namun
pemahaman ini tidak mengambil atau menyalin apa yang dikonsepkan oleh Plato.
Pemahaman ini lahir dari pengalaman masyarakat Solor sendiri. Konsep mengenai
jiwa di setiap daerah atau kampung di Pulau Solor memiliki bahasa yang berbeda.
Misalnya di daerah Solor Barat yang pada saat itu disebut Hamente Lewolein[10]
memahami jiwa manusia sebagai Tuber-manger.
Sedangkan dibeberapa wilayah lain di Pulau
Solor juga memiliki pemahaman yang berbeda ada yang memahaminyasebagai tuber dan ada pula yang memahami sebagai
manger.
Pertama,
Tuber dapat diartikan sebagai jiwa
manusia. Konsep ini menekankan peranan tuber
dalam seluruh aktivitas kemanusiaan. Artinya posisi tuber menjadi lebih diidolakan dari pada badan. Salah satu alasan
yang dapat dijadikan rujukan dalam mengerti konsep ini adalah berangkat dari
kehidupan masyarakat Solor sendiri yang menjunjung tinggi Lera Wulan (Wujud Tertinggi) sehingga badan menjadi tidak penting
karena badan adalah hal yang fanah sedangkan tuber adalah abadi. Oleh karena itu ketika seorang manusia
meninggal dunia masyarakat Solor mempercayai bahwa tuber atau jiwa orang tersebut masih hidup dan tinggal disekitar
manusia yang masih hidup. Kedua, kata manger
memiliki kesamaan arti dengan tuber
yakni jiwa manusia. Penggunaan kata ini dipakai dalam masyarakat Solor
diwilayah timur.
4.2. Manusia Khusus di Pulau Solor
Masyarakat di Pulau Solor khususnya memiliki
konsep atau gambaran yang sama mengenai manusia. Sebelumnya sudah dijelaskan
bahwa manusia adalah jiwanya. Tentu gambaran ini sangat Platonisme namun bukan
berarti masyarakat setempat menganut paham ini. Pemahaman masyarakat setempat
mengenai manusia adalah jiwanya sudah berurat-berakar sejak pada zaman dahulu
kala (nenek moyang). Namun harus diakui bahwa pemahaman mengenai manusia yang
adalah jiwanya memiliki lapisan jiwa yang berbeda dibeberapa tempat atau wilayah
Di Pulau Solor ini. Terlepas dari hal itu masyarakat setempat juga memiliki
keyakinan kuat sampai dengan saat ini menyangkut pembedaan manusia. Manusia
bagi masyarakat di Pulau Solor dapat digolongkan atau diklasifikasikan ke dalam
tiga tingkatan. Tingkatan atau pembagian ini merupakan ciri khas atau pembeda
antara satu dengan yang lainnya. Ketiga tingkatan manusia itu adalah manusia Molang, Menake, dan manusia Biasa.
Mengenai ketiganya dapat diuraikan secara panjang lebar demikian.
4.2.1. Manusia Molang
Dalam penelitian Paul Arndt di tanah Solor
khususnya di Hamente Lewolein dan di Wulu Belolong mengenai manusia memiliki
ciri khas yang berbeda dengan gambaran atau konsep manusia pada masyarakat
Lamaholot lainnya. Manusia khusus menurut Paul Arndt di Pulau Solor memberikan
kontribusi baru bagi pemahaman masyarakat umum bahwa ada juga manusia yang
berbeda dengan gambaran manusia seperti biasanya. Lantas kita bertanya apa yang
membedakannya atau seperti apa gambaran manusia khusus itu?
Manusia khusus yang pertama dan yang
diyakini ada sebagai benar-benar bereksistensi dalam dunia adalah Molang. Molang adalah manusia biasa
seperti tampaknya namun memiliki kemampuan khusus yang melekat pada dirinya.
Kemampuan inilah yang membedahkan seseorang itu disebut manusia biasa dan Molang. Kemampuan itu tidak lain adalah
dalam soal menyembuhkan dan mematikan orang. Dalam istilah modern Molang digambarkan sebagai dokter atau
dukun kampung. Setiap kampung atau daerah memiliki Molang-nya masing-masing dan bahkan bisa melebihi satu. Seseorang
itu disebut Molang tidak berdasarkan
status gendernya atau pula status kasta sosial yang ada dan asalkan pernah
menyembuhkan seseorang yang sakit dari penderitaan yang dialaminya.
Pada zaman dahulu
banyak sekali Molang yang terkenal
dengan keampuhan mantranya atau kejituan magisnya dalam menyembuhkan orang
lain. Fenomena Molang menjadi sebuah trend masa itu sehingga banyak orang
berlomba-lomba mempelajari atau ingin menjadi Molang ini sehingga terkenal kedengarannya. Namun, keinginan itu
membuat masyarakat pada zaman itu terperangap dalam pemikiran picik dan membuat
mereka menjadi manusia pembenci, egois, dan kejam. Molang biasanya mewarisi kemampuan atau energi penyembuhan dari
leluhurnya atau bersifat diturunkan namun ada pula yang menjadi Molang berkat belajar dari Molang yang lainnya. Molang yang terakhir ini bukan Molang yang benar sehingga kerap disebut
Menake.[11]
Dalam konteks kekinian kita bisa membahasakannya dengan “Molang abal-abalan”. Dikatakan abal-abal karena mereka menipu
dirinya sebagai dokter kampung sehingga banyak pasien yang datang berobat
kepada mereka sehingga mereka memperoleh materi. Materi itu berupa uang, beras,
jagung, atau kekayaan material lainnya. Selain itu dikatakan abal-abal karena
orang yang berobat selalu saja meninggal di tangannya mereka.
Dalam hasil penelitian
di Wilayah Hamente Lewolein (Solor Barat) dan di daerah Wulu Belolong (Solor
Timur) Paul Arndt membuat perbedaan yang cukup tajam antara Molang yang kekuatannya diturunkan atau
diwariskan oleh leluhur dan Molang yang
palsu.[12] Molang yang benar adalah Molang warisan dan kekuatan atau
kemampuan mereka tidak perlu diragukan karena berasal dari Lera Wulan. Sedangkan Molang yang
meniruh Molang
yang
lain mendapat kekuatan dari Molang palsu atau
Menake. Tentu di sini peran roh jahat
yang menghasut atau merasuki pemikiran para Molang
palsu itu.
Molang
itu
memiliki beberapa kuasa yakni memiliki kuasa untuk menyembuhkan orang sakit, memiliki
kemampuan untuk melindungi kampung-kampung, membantu dalam kesulitan, melihat
dan menafsir mimpi, memeriksa sebab-sebab penyakit, entah oleh kesalahan
sendiri atau dosa leluhur, dll.
Molang mewariskan kuasanya kepada
anak laki-lakinya yang sulung, atau kepada anak perempuan sulung. Sedangkan
sebagai pembayarannya diminta aneka bentuk berupa uang, pakayan, parang,
gading, ayam, kambing ,dll.
Dan jika apabila seseorang tidak memiliki benda-benda yang diminta maka sang Molang tidak juga membantu megeluarkan
sesuatu atau penyakit dalam diri orang yang sakit. Berkaitan dengan hal ini
tentu sangat tidak rasional namun banyak masyarakat yang percaya dan meyakini
sebagai benar. Bagi masyarakat modern tentu menanggapai hal ini secara kritis
dan juga bersikap skeptis akan segala kemampuan dalam diri Molang.
Sebagai contoh jika
terdapat seseorang dalam kampung yang jatuh dari pohon dan dipikul ke rumah
maka yang dipikul adalah tubuhnya sedangkan jiwanya masih berada disekitar
pohon itu. Oleh karena jiwanya masih berada di sana maka peran Molang sangat berpengaruh yakni
memanggil jiwa seseorang tersebut. Lalu
menanyakan letak kesalahan orang tersebut. Jika menemukan maka setelah sembuh
seseorag tersebut harus mengorbankan kurban di tempat yang pernah ia berbuat
salah seperti memotong pohon di hutan terlarang dan lain-lain. Dan apabila ada
orang jatuh sakit yang kritis maka Molang
juga sangat berperan penting. Molang
melakukan ritual khusus untuk mengusir penyakit yang dialami setelah adanya
pengakuan dari si pesakit itu lalu berkata: “Rera Wulan, Tanah Ekan, Nubanara koke bale goong kae pi, meu kae pi,
pana moon tepas mion! Atadiken nae pe
mese hogo lega[13]
yang berarti Rera Wulan Tana Ekan, Nubanara koke bale, sekarang kalian sudah
makan, pergola ke tempatmu dan biarkan orang ini bangun dan berjalan. Setelah
berkata demikian Molang tersebut
masuk ke dalam rumah dan memasukan kapas itu ke dalam tubuh orang sakit itu.
Inilah yang disebut tewu tube mange (tebusan
jiwa).
Selain dapat
menyembuhkan orang sakit Molang juga
mampu meminta hujan dari Lera Wulan. Dari
gambaran kuasa Molang di atas tentu
kita berpikir bahwa manusia Molang adalah
manusia yang memiliki kekuatan atau bermata terang (mata nelo) yang mampu melihat dan membaca sesuatu yang tidak bisa
dilihat oleh mata orang bodoh atau manusia biasa. Selain itu juga Molang sering menggunakan juga bahan-bahan atau ramuan dari
tetumbuhan untuk dijadikan sebagai obat serta mantra-mantra kecil. Gambaran
manusia Molang juga bersifat paradoks
sebab selain menampilkan sisi baik dalam menyembuhkan orang yang sakit Molang juga menampilkan diri sebagai
manusia yang jahat atau dengan kata lain manusia Molang menampilkan sisi jahat yakni berkuasa membuat orang mati.[14]
Alasan dirinya mengakhiri hak hidup orang lain tidak lain karena dalam mengada
orang tersebut melukakan hatinya baik berupa kata-kata maupun perbuatan jahat
lainnya. Seorang Molang tidak
membutuhkan usaha untuk mengakhiri hidup orang yang menyakitinya. Ia hanya
mengatakan saja demikian. “Dia itu harus
mati”.[15]
Dan benar hal itu terjadi.
Masyarakat di Pulau
Solor sangat mempercayai sisi keparadoksalan manusia Molang sehingga meskipun sampai dengan saat ini belum terlepas dari
pemikiran atau belenggu fenomena Molang namun
banyak orang semakin kritis untuk tidak mempercayai semata keunggulan atau
kemampuan natural para Molang.
Kenyataan menjadi sangat kuat karena menyebabkan aneka persoalan dalam
kehidupan bersosial yakni adanya pencemoohan dalam kehidupan bersama, sehingga
mentelurkan ketidakharmonisan.
4.2.2.
Manusia
Menaka (menake)
Kata Menaka
(Benaka, Ata Menakang) merupakan lawan dari manusia Molang yang baik
atau warisan dari leluhur. Para Menaka
selalu identik dengan orang jahat, orang degil hatinya, orang jelek.[16]
Jika mereka meminta makanan atau minuman maka selalu ada makanan atau minuman
bagi mereka sebab setanlah yang menyediakannya untuk mereka. Manusia Menaka sama seperti Molang yakni tidak memandang bulu entah tua-muda atau anak
sekalipun. Mereka tentunya menerima kuasa dari setan. Menaka dapat menyebabkan orang sakit atau bencana dalam hidup
lainnya. Mereka sangat mengetahui segala hal. Malahan juga mereka sangat baik
apabila kita baik dan mereka jahat apabila kita jahat dengan mereka. Apabila
jika mereka meminta sesuatu dari kita dan kita tidak melademi maka kita akan
jatuh sakit bahkan meninggal juga.
Menaka
memiliki aneka ramuan yang digunakan untuk menyihir masyarakat. Mereka
bersekutu dengan setan. Bagaimana dapat mengenal atau mengetahui mereka? Kita
dapat mengenal Menaka dari
tanda-tanda fisik seperti matanya yang merah, pakayannya yang kotor atau
compang-camping. Menaka selalu
ditakiti di wilayah Pulau Solor ini sebab banyak orang yang belajar atau sudah
terjerumus dalam lingkaran hitam ini. Alasannya tidak lain adalah belajar untuk
melindugi diri dari hal yang jahat namun sangatlah paradoksal sebab merekalah
akar atau sumber kejahatan itu sendiri. Menaka
dapat membunuh manusia melalui angin jahat, makanan, minuman, dan lain
sebagainya. Menaka adalah manusia
jahat sehingga sering ditakuti oleh manusia biasa. Manusia biasa selalu
dilindungi atau meminta perlindungan dari manusia Molang.
4.2.3.
Manusia
Biasa
Kelompok manusia yang
lainnya selain Molang dan Menaka adalah manusia biasa. Manusia
biasa adalah manusia yang bukan Molang
dan atau Menaka. Mereka adalah orang-orang baik yang tidak memiliki
kemampuan dalam ilmu sihir-menyihir atau dukun dalam penyembuhan orang yang
sakit. Manusia biasa dalam keseharian hidupnya selalu bersifat netral dan
selalu mengontrol tindak-tanduk hidupnya. Mereka hidup dalam baying-bayang
kegelisahan antara takut akan para Menaka
dan merasa juga keyakinan bahwa ada sesuatu kekuatan yang melindungi mereka
yakni Lera Wulan dan juga utusan Lera Wulan yakni Molang.
Manusia biasa
sangatlah yakin bahwa selama hidup atau mengada (being) bersama komplotan Molang
dan Menaka yang perlu dilakukan
adalah perbuatan baik. Perbuatan dilakukan dengan baik dan dengan hati tanpa
ada unsur kebencian atau iri maka mereka selalu merasa terlindungi. Dengan
adanya perbuatan baik maka dengan sendirinya mereka merasa berada dalam “zona
nyaman” dari gangguan Menaka. Apa
yang diminta Menaka selalu dikabulkan
dan jika tidak ada maka manusia biasa ini mengatakannya dengan tutur kata yang
ramah dan sopan kepada Menaka.
5.
Relevansi
Gambaran Manusia di Pulau Solor Dengan Pemikiran Kristiani
5.1. Manusia Molang identik dengan Tabib
Gambaran
manusia Molang di Pulau Solor tentu
sangat kristiani di mana mereka adalah manusia yang mendapat kemapuan secara
kodrati untuk menyembuhkan manusia yang sakit. Mereka adalah utusan dari Allah
(Lera Wulan). Kehadiran mereka sangat
membantu manusia biasa yang mana hidupnya selalu dibayang-bayang ketakutan atau
kecemasan. Mereka hadir untuk mengusir roh-roh jahat yang disihir oleh Menake.
Dalam
ajaran kristiani khususnya dalam Perjanjian Baru juga dikatakan oleh Paulus
bahwa manusia hidup untuk melawan roh-roh jahat. Gagasan Paulus ini sangatlah
berlaku bagi manusia Molang. Mereka
adalah pahlawan kehidupan bagi manusia yang menderita. Mereka juga boleh
dikatakan sebagai pelaku kasih yang menampilkan wajah Allah itu sendiri. Para Molang adalah tabib sama seperti Lukas
menampilkan Yesus sebagai tabib dalam Perjanjian Baru. Dikatakan Yesus sebagai
tabib karena dalam hidup dan karya-Nya Yesus selalu menyelamatkan atau
menyembuhkan orang-orang yang kerasukan setan atau roh jahat.
5.2. Manusia Menake
identik dengan
Iblis
Gambaran manusia Menake yang ada di Pulau Solor khususnya
mencerminkan manusia yang berseberangan dengan kehendak Allah (Lera Wulan). Mereka itu sering dilabeli
dengan sebutan Iblis (diabolos) atau
Setan (satana). Dalam ajaran
Kristiani khususnya dalam Perjanjian Baru hidup manusia selalu dibayang-bayang
dengan kuasa kegelapan dan gangguan Iblis atau Setan. Tidak hanya manusia
tetapi Putera Allah yakni Yesus juga selalu berhadapan dengan Setan atau Iblis
selama berkarya. Yesus selalu hadir menyembuhkan orang-orang yang dirasuki roh
jahat, sakit dan orang-orang yang kerasukan.[17]
Perlawanan Yesus dengan Iblis itu dikisahkan dalam cerita tentang penggodaan
Yesus di padang gurun.[18]
Walaupun dalam cerita itu Yesus
ditampilkan sebagai pemenang namun tidak berarti hidup manusia tidak lagi dibayang-bayang
oleh setan atau iblis. Kenyataan manusia selalu berhadapan dengan hal ini maka
dari itu dalam doa manusia beriman selalu mendaraskan “Bebaskanlah kami dari yang jahat”. Dalam teologinya Paulus juga
mengatakan hal demikian yakni manusia harus memerangi atau berjuang untuk
melawan kekuatan jahat.[19]
Bagi Paulus kekuatan jahat merupakan manifestasi atau pernyataan dari suatu
kekuatan misterius yang menjiwai dan mengendalikan mereka sehingga mereka
bertindak untuk merugikan manusia.[20]
Sangatlah tentu bahwa akibat dari sini adalah kematian dan penyakit. Tentu dari
sini kita bertanya apakah kuasa jahat ini berasal dari Allah?
Untuk
menjawabi pertanyaan yang sejak dari dahulu digugat oleh manusia-manusia
pemikir yang meragukan inti iman kristiani maka Gereja mengambil sebuah sikap
untuk membendung atau menjawabi pertanyaan itu dengan mengadakan Konsili.
Konsili itu diadakan pada tahun 1215 dan disebut sebagai Konsili Lateran IV
yang berbicara mengenai Malaikat dan Iblis. Iblis bukanlah ciptaan dari Allah.
Gagasan ini tentunya melawan kaum heretis pada waktu itu yang memandang iblis
semacam allah kedua.[21]
5.3.
Konsep Manusia adalah Tuber-Manger dan pemikiran kristiani mengenai Tubuh-jiwa-Roh.
Konsep Tuber-manger dalam masyarakat di Pulau
Solor mempengaruhi pola kehidupan dan tata cara berelasi antara manusia dengan
penciptanya atau dalam bahasa Solor disebut Lera
Wulan. Tuber-manger adalah jiwa
manusia itu sendiri. Pemahaman ini menggugah sebuah pengertian tentang hubungan
badan dan jiwa. Masyarakat Solor dalam keseharian hidupnya tidak
memperhitungkan eksistensi dari badan karena hal tersebut bukanlah yang
terpenting dari keberadaan manusia. Prinsip ini didasarkan pada kebenaran
pengalaman yang menyatakan secara tersirat dan tersurat bahwa manusia suatu
saat akan mati. Dari pengalaman ini timbul pemahaman baru bahwa kematian
bukanlah akhir dari kehidupan melainkan awal dari perjalanan baru menuju Lera Wulan (wujud tertinggi). Pada saat kematiaan ini dipercaya oleh
masyarakat bahwa Tuber-manger
terlepas dari badan dan berubah menjadi kewokot.
[22]
Orang-orang yang telah meninggal atau yang sudah menjadi kewokot tetap hidup didunia ini dalam
keadaan tidak berwujud (tidak dapat dilihat oleh orang biasa) dan hanya dapat
dilihat oleh orang-orang tertentu misalnya manusia Molang. Baru pada waktunya jiwa orang mati tersebut kembali kepada
Sang Pencipta (Lera Wulan). Di sini sangatlah gamblang bahwa
masyarakat di Pulau Solor tidak mengetahui secara baik konsep kristiani
mengenai roh itu sendiri. Sejak zaman nenek moyang masyarkat setempat hanya
mengetahui bahwa manusia memiliki satu sisi dan sisi itu adalah jiwa. Jiwalah
yang menjadi peran utama dalam kehidupan dan ia berasal dari Lera Wulan.
Konsep kristiani
tentang manusia secara keseluruhan (badan, jiwa dan roh) sangat paradoks dengan
konsep manusia menurut masyarakat di Pulau Solor. Akan tetapi tentang jiwa (tuber-manger) memiliki kemiripan dengan
konsep jiwa dalam ajaran Kristiani. Kemiripannya terletak pada jiwa yang kekal
dan bergerak menuju kepada Sang Penciptanya. Di sisi lain kaum kristiani juga
tidak menafikan konsep badan (corpus)
walaupun badan adalah tidak kekal atau materi sifatnya. Badan manusia
mengatakan kehadirannya atau mencetuskan “diri” manusia yang menghidupinya.[23]
Sedangkan pemahaman roh merupakan itu yang membuat manusia yang adalah jiwanya
itu merindukan yang ilahi atau Lera Wulan
dalam bahasa setempat. Meskipun ada perbedaan namun di sini para misionaris
mencoba membahasakan ajaran kristiani menurut pemahaman masyarakat setempat.
Mereka mencoba mengawinkan atau mengelaborasikan apa yang sudah ada pada
kebudayaan di Pulau Solor dengan inti ajaran Kristiani. Ajaran tersebut
dibilang berhasil sebab sampai dengan saat ini pemahaman manusia yang adalah
jiwanya sudah dirasuki oleh pemahan kristiani dan segala apa yang terjadi
selalu dikaitkan dengan Yang Ilahi seperti kematian dan sakit.
6.
Penutup
Pertanyaan
mendasar dan besar mengenai siapakah manusia itu tentu menjadi pencarian yang
mendalam bagi para pemikir. Pertanyaan itu membutuhkan sebuah kepastian jawaban
dan hal itu tentu diselidiki atau diteliti dalam penelitian. Penelitian
mengenai pertanyaan itu tentu ditujukan kepada manusia yang membudaya. Oleh
karena merasa tergugat Paul Arndt relah mengarungi samudra dan menghabiskan
waktu untuk meneliti manusia di Kepulauan Solor. Dari hasil penelitian itu
manusia yang adalah jiwanya memiliki jenis-jenisnya yakni manusia biasa, Menake, dan Molang. Namun patutlah disadari bahwa akibat perkembangan agama
dalam hal ini agama Kristen Katolik sedikitnya dapat memberi angin segar dari
pemahaman manusia Solor mengenai konsep mereka tentang manusia. Sementara itu
berkaitan dengan jenis-jenis manusia masih sangat relevan sampai dengan saat
ini. Manusia Solor masih sangat yakin dan masih hidup dalam dunia
sihir-menyihir antara sesama baik itu orang biasa-Menake-Molang. Di sini agama
hadir tidak hanya mengubah kebudayaan setempat namun harus mentobatkan manusia
Solor dari balutan magis-sihir. Ini adalah perang melawan kekuatan kekuatan
jahat atau roh jahat. Roh jahat adalah musuh dan harus dikalahkan.
DAFTAR PUSTAKA
Adat
Istiadat Daerah Nusa Tenggara Timur, Proyek Penelitian dan Pencatatan
Kebudayaan Daerah Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan 1977/1978.
Armada Riyanto. Menjadi Mencintai: Berfilsafat Teologi Sehari-hari. Yogyakarta:
Kanisius, 2013.
Ernst
Vatter. Ata Kiwan. Ende: Nusa
Indah, 1984.
Georg Kirchberger. Allah Menggugat: Sebuah Dokmatik Kristiani. Maumere: Ledalero, 2007.
Heinz
Kohl, Karl. Raran Tonu Wujo: Aspek-aspek inti sebuah budaya lokal di Flores Timur. Maumere: Ledalero, 2009.
Herin, Jacob J. Lewo Mayen Tana Doen: Kebudayaan suku Lamaku
dan Lamaole di
Pulau Solor. Maumere:
[tanpa penerbit], 2008.
Paul
Arndt. Demon dan Paji: Dua bersaudara
yang bermusuhan di Kepulauan Solor. Maumere:
Puslit Candraditya, 2002.
,Falsafah dan Aktivitas Hidup Manusia di Kepulauan Solor, Maumere:
Puslit Candraditya, 1993
http://suku-dunia.blogspot.co.id/2015/01/sejarah-suku-solor.htmldiakses
pada tanggal 17 Oktober 2016.
[1]Paul Arndt, Demon dan Paji: Dua bersaudara yang bermusuhan di Kepulauan Solor. Maumere:
Puslit Candraditya, 2002 hlm. 126.
[2] Ibid., hlm. 128.
[3]“Ata kiwan” adalah sebutan dari orang-orang cina
(pedagang) terhadap penduduk asli di kepulauan solor. AtaKiwan dapat diterjemahkan sebagai “orang gunung” Bdk. Ernst Vatter, Ata Kiwan, Ende: Nusa Indah, 1984 hlm. 14-15. Lihat juga http://suku-dunia.blogspot.co.id/2015/01/sejarah-suku-solor.html.
[4] Bdk. Karl- Heinz Kohl, Raran Tonu Wujo: Aspek-aspek inti sebuah
budaya lokal di Flores Timur, Maumere: Ledalero, 2009. Hlm. 165.
[5]Krokopuken adalah nama sebuah pulau di Lepe
bata yang saat ini dikenal dengan tanah
Lepe dan Bate yang kemudian tenggelam. Oleh karena peristiwa itu maka banyak
masyarakat menyelamatkan diri dengan berlayar menggunakan sampan (tena laya). Pulau Lepe-Bate diketahui terletak
di wilayah Pulau Lembata Lembata.
[6] Jacob J. Herin, Lewo Mayen Tana Doen: Kebudayaan suku Lamaku
dan Lamaole di Pulau Solor, Maumere: [tanpa penerbit], 2008, hlm. 147.
[7]Bdk. Ernst Vatter, Ata Kiwan, Op.,cit., hlm. 40.
[8]
Adat Istiadat Daerah Nusa Tenggara
Timur, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Depertemen
Pendidikan dan Kebudayaan 1977/1978, hlm. 18.
[9]http://suku-dunia.blogspot.co.id/2015/01/sejarah-suku-solor.htmldiakses pada
tanggal 17 oktober 2016.
[10] Istilah Hamente berasal dari bahasa Belanda yang pada zaman ini dikenal
dengan istilah kecamatan. HamenteLewolein
pada waktu itu meliputi lewopito
(tujuh kampung) meliputi Lewolein, Tanaedang, Tanalein, Lamawolo, Lamaole,
Lewomako, dan Lamawohong. Pada zaman dahulu ada dua Hamente di Pulau Solor salah satunya adalah Hamente Lewolein.
[11]
Paul Arndt, Falsafah dan Aktivitas
Hidup Manusia di Kepulauan Solor, Maumere: Puslit Candraditya, 1993, hlm.
74.
[12] Ibid.
[13] ibid., hlm. 75.
[14] ibid.
[15] ibid.
[16] Ibid., hlm. 84.
[17]
Georg Kirchberger, Allah Menggugat:
Sebuah Dokmatik Kristiani, Maumere: Ledalero, 2007, hlm. 331.
[18] Bdk. Mrk 1: 12-13.
[19] Bdk. Ef 6: 10-20.
[20] Georg Kirchberger, Op.,cit., hlm. 334.
[21] Ibid., hlm. 338.
[22]Kewokot adalah sebutan bagi jiwa orang
yang sudah meninggal sedangkan tuber-manger
adalah sebutan bagi jiwa yang masih hidup.
[23]
Armada Riyanto, Menjadi Mencintai:
Berfilsafat Teologi Sehari-hari, Yogyakarta: Kanisius, 2013, hlm. 9.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar