Minggu, 11 November 2018

POTRET KINI INDONESIA DAN TEOLOGINYA


Yosep Belen Keban



Potret Kini Indonesia

Indonesia adalah sebuah Negara yang sedang berkembang di kawasan Asia. Negara berkembang itu berarti sebuah proses menuju kepada kesempurnaan agar mencapai titik yang dicita-citakan. Proses keberkembangan itu dibutuhkan energi yang mahadasyat untuk mampu bersaing dengan Negara-negara lainnya. Tentu proses menuju keberkembangan atau kebersaingan itu kirannya menjadi tangungjawab kita semua. Namun, hal yang sangat disayangkan adalah di sana-sini masih dipolesi beraneka persoalan yang menghiasi bingkai kehidupan ini. Persoalan-persoalan itu menjadi perhatian serius dari kita warga masyarakat Indonesia oleh  karena persoalan itu sebagai penghalang menuju persaingan dengan Negara-negara lainnya di dunia.
Permasalahan-permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini merupakan sebuah peristiwa sejarah. Peristiwa sejarah yang dimaksudkan di sini adalah terjadi secara riil pada sebuah tempat dan waktu tertentu. Peristiwa sejarah itu tidak hanya terjadi pada waktu lampau namun peristiwa itu sedang terjadi di masa ini (hit et nunc). Segala peristiwa yang sedang terjadi membuat potret atau wajah Indonesia menjadi murung. Oleh karena kemurungan itu maka membuat stabilitas atau pembangunan menuju Negara yang mampu bersaing dengan Negara-negara lain menjadi terhalang atau terhambat. Lalu, menjadi pertanyaannya adalah seperti apakah persoalan-persoalan yang mana menjadi tranding topic dewasa ini? Teologis apa yang mampu menjawab persoalan itu?
Dua pertanyaan besar di atas mengantar kita dalam menelaah secara mendalam realitas sosial yang sedang terjadi di Indonesia. Tulisan ini dibagi ke dalam dua bagian yakni pertama meneropong persoalan yang menjadi perhatian masyarakat dewasa ini dan yang kedua berbicara mengenai teologi yang cocok untuk menjawabi kelima persoalan terebut. Teologi itu merupakan jaminan untuk mengakhiri persoalan yang sedang terjadi di Negara Indonesia. Lalu, seperti apa gambaran kelima tema itu dan alasan pemilihan tema itu sebagai itu yang menjadi titik tolak pembicaraan di tulisan ini?
Dalam tulisan ini, kita meneropong realitas hidup yang sedang terjadi di Negara kita dan hal ini menjadi perhatian bagi banyak orang khususnya masyarakat Indonesia. Dalam meneropong realitas keindonesiaan kita menjumpai beraneka ragam persoalan yang terjadi namun pada bagian ini kita hanya berbicara atau mengulas lima (5) tema yang dianggap menjadi perhatian publik. Kelima tema besar itu adalah persoalan serius yang sudah dan sedang menggerogoti keindonesian kita. Itulah yang membuat potret keindonesiaan kita menjadi murung. Kelima tema itu adalah: terorisme, kemiskinan, korupsi, pendidikan, dan kerusakan lingkungan hidup. Mengapa kelima tema itu saya angkat dalam tulisan ini? Apa yang melatar belakanginya? Berikut akan dijelaskan secara singkat alasan pemilihan tema-tema itu.
Persoalan pertama adalah terorisme. Terorisme merupakan sebuah tindakan yang mengganggu stabilitas keamanan atau sebuah tindakan yang mengacaubalaukan sistem sosial. Terorisme selalu identik dengan kebanalan atau kekerasan. Dalam kasus terorisme ini biasanya atas motif tertentu baik itu bermotif politik ataupun agama. Kebanyakan dari kasus ini bermotif agama. Dewasa ini, terorisme menjadi ancaman yang serius bagi dunia termasuk Indonesia. Sebab eksistensi terorisme dipandang sebagai itu yang menghambat laju pertumbuhan dan perkembangan sebuah Negara. Terorisme sebagai sebuah tema sentral dalam tulisan ini sebab persoalan ini sedang melanda Negara kita akhir-akhir ini. Sebagai contoh terjadinya ledakan bom di jalan Thamrin Jakarta yang terjadi pada tanggal 14 Januari 2014.[1]
Persoalan kedua, kemiskinan Begitu banyak masyarakat Indonesia yang hidup dalam situasi pelik demikian. Dikatakan sebagai sebuah tantangan sebab dengan adanya hal ini maka secara otomatis pertumbuhan dan perkembangan mencapai kemakmuran atau kesejahteraan seperti yang tercantum dalam UUD 1945 belum terwujud dan juga dengan sendirinya menghambat pertumbuhan daya saing ekonomis dengan Negara-negara lainnya di dunia. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2015 bahwa angkah kemiskinan bertambah mencapai 28,59 juta atau 11,22 persen dari jumlah penduduk.[2] Sebagai bukti dari situasi kemiskinan ini adalah nenek Mina rela mengorbankan harga dirinya dengan mencuri beberapa batang kayu lalu dijual dan hasil penjualan itu ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ada begitu banyak lagi masalah kemiskinan yang ada di negeri ini. Masalah kemiskinan di sini tidak hanya berarti miskin sebab kalah akan akses sumber ekonomi akan tetapi karena kondisi perampasan sumber-sumber pemenuhan kebutuhan hidup baik itu sandang, pangan dan papan serta adanya celah dalam sistem keadilan sosial sehingga terjadinya ketimpangan atau ketidaksamarataan.Itulah potret kemiskinan rakyat Indonesia.[3]
Persoalan ketiga adalah Korupsi. Korupsi menjadi itu yang menjadi persoalan pelik di Indonesia. Korupsi yang terjadi di Indonesia selalu bermuara politik (politis) karena pelakunya adalah  pejabat Negara entah itu ditingkat lokal atau daerah maupun tingkat nasional atau pusat. Hal ini bagaikan jamur yang ganas sehingga pengusutan sampai dengan saat ini belum semaksimal yang didambakan. Sebagaimana diketahui bahwa ada Undang-undang yang mengatur hal ini yakni Undang-undang Nomor 3 tahun 1971 tentang KUHAP, Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas KKN yang kemudian diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 20 tahun2001 tentang pemberantasan tindakan pidana korupsi.[4]
Persoalan itu tidak dilakukan. Malahan para koruptor semakin banyak di negeri ini. Akibat dari korupsi membuat angkah kemiskinan meningkat dan daya persaingan menjadi lemah. Sebagai contoh kasus korupsi daging sapi beberapa bulan yang lalu, korupsi yang melibatkan para kepala daerah di Kalimantan, dll. Contoh korupsi seperti apa hanyalah bagian kecil dari jumlah korupsi yang ada di tanah air ini. Korupsi itu ada dalam beraneka macam rupa dan hal itu menggerogoti di setiap sendi kehidupan baik itu ruang keluarga maupun ruang publik seperti agama, masyarakat dan Negara. Pius Pandor dalam tulisannya mengatakan bahwa secara fenomenologis, orang melakukan tindakan korupsi ini karena memiliki hasrat atau nafsu dalam berkuasa, mementingkan kenikmatan, kesenjangan ekonomi dan minimnya pemahaman atau kepercayaan masyarakat.[5] Lebih lanjutlah ia mengatakan bahwa fenomena korupsi yang ada di Indonesia merupakan sebuah bentuk kejahatan sosial karena tidak hanya dilakukan oleh perorangan tetapi dilakukan oleh banyak orang.
Mengapa para penegak hukum tidak mampu mengusut tuntas kasus ini? Menurut Adrianus Nggoro kasus ini masih dijumpai dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sebab “para pelakunya saja sudah makan garam dalam dunia politik busuk; korupsikan terjadi dalam ruang gerak birokrasi”.[6] Sangatlah disayangkan jika para pelaku korupsi itu juga berasal dari kalangan kekuasaan yudikatif itu sendiri sebab bagimana ia mampu menghukum para pelaku korupsi lainnya sedangkan ia sendiri terlibat di dalamnya. Obyek dari korupsi tidak hanya materi atau uang tetapi juga kewenangan jabatan, waktu dan kesempatan dan anea akses yang memberi peluang untuk mendapatkan bkeuntungan apapun bentuknya.[7] Singkat kata korupsi yang terjadi di Indonesia membawa wajah keindonesiaan kita menjadi wajah yang murung.
 Persoalan berikut adalah pendidikan. Pendidikan di mana itu yang menjadi penting atau utama bagi masyarakat, di sana-sini menampilkan problem besar di mana jutaan anak Indonesia tidak mengenyam pendidikan. Memang begitu banyak program pemerintah dalam meningkatkan kemajuan dalam bidang pendidikan ini namun hal itu tidak menjaminnya. Faktor yang mempengaruhi banyak anak tidak melanjutkan sekolah atau kuliah (DO) adalah faktor ekonomis. Jawaban atas persoalan ini adalah kemiskinan yang dialami warga masyarakat Indonesia. Dengan alasan demikian tidaklah heran bagi kita jika kita menjumpai banyak anak-anak jalanan yang memenuhi jalan untuk meminta-minta. Tentu masalah itu menjadi perhatian serius bagi kita termasuk pemerintah.
Persoalan yang terakhir adalah kerusakan Lingkungan Hidup. Akhir-akhir ini masalah kerusakan lingkungan hidup menjadi sebuah tantangan baru bagi kita. Kerusakan lingkungan hidup itu bermacam-macam salah satunya adalah membakar hutan secara liar, pencemaran lingkungan seperti udara, air, dan tanah serta kerusakan lingkungan lainnya. Menurut Zenzi Suhadi, Anggota Dapertemen Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WAHLI), menjelaskan bahwa tingkat kerusakan hutan di Riau dan Kalimantan sangatlah tinggi sebab izin penerbitan usaha kelapa sawit dan tanaman industri tidak terkontrol.[8] Hal ini akan menyebabkan kerusakan hutan yang mengakibatkan banjir dan tanah longsor. Tentu masih segar dalam ingatan kita kejadian atau peristiwa beberapa bulan yang lalu di Kalimantan dan Sumatra. Kebakaran yang berakibat fatal itu mengganggu stabilitas hidup bersama. Hal itu tidak hanya menjadi perhatian bangsa Indonesia saja tapi dipersoalkan oleh dunia Internasional. Akhir-akhir ini kita kehilangan kesadaran untuk mencintai bumi tempat kita berpijak sehinggah bertindak semaunya untuk merusakkan lingkungan hidup yang ada. Menurut pandangan saya bahwa persoalan kerusakan lingkungan hidup yang terjadi di Indonesia ini terjadi karena faktor pemilik modal yang haus akan hal-hal material dan dalam proses pencapaian itu mereka bekerja sama dengan para penguasa (pemerintah) sehingga yang mendapat getahnya ialah rakyat kecil atau rakyat yang miskin. Di sini para pelaku bisnis atau kaum bermodal memandang alam sebagai obyek sehingga sedapatnya mereka menguras atau mengorek habis hasil-hasil alam.

Teologi Pembebasan: Sebagai Jawaban Atas Persoalan.

Masalah sekitar kemiskinan, terorisme, pendidikan, kerusakan lingkungan hidup, dan korupsi tidak hanya terjadi pada era kepemimpinan Presiden Jokowi tetapi juga sudah terjadi puluhan tahun sebelumnya ketika turunnya Soeharto. Permasalahan seputar kehidupan sosial selalu ada karena tingkat kesadaran para pelaku akan kaum marginal masih belum sampai pada taraf yang sesungguhnya. Para kaum kecil dianggap sebagai obyek sehingga hak mereka dirampas habis, ditelantarkan dan didiamkan dalam uang publik.
             Realitas persoalan yang diulas di atas membuat Gereja angkat bicara. Gereja katolik juga memiliki perhatian yang sungguh mendalam akan realitas sosial kemasyarakatan demikian sebab Gereja yakin bahwa masalah demikian akan berdampak atau memberi efek bagi kehidupan Gereja. Gereja juga melihat persoalan-persoalan demikian sebagai sebuah persoalan serius sehingga Gereja berusaha merumuskan atau mencari teologi agar dapat mengeluarkan umatnya dari jerat kemiskinan, korupsi, terorisme, kerusakkan lingkungan hidup dan pendidikan.  Di sini Gereja berpihak pada suara-suara yang tidak bersuara, minoritas, dan yang tidak didengarkan jeritan tangis mereka. Dengan demikian Gereja memiliki sebuah pisau bedah untuk mengupas atau membantu segala dinamika persoalan yang terjadi. Hal serupa demikian pun pernah dilakukan oleh Yesus di mana  dikenal sebagai tokoh revolusioner. Oleh karena tindakan atau misinya itu maka Gereja yang adalah umat Allah meneruskan apa yang dilakukan oleh Yesus sebagaimana tertuang dalam dokumen-dokumen resmi Gereja.
            Dengan meneropong realitas keindonesiaan kita yang mana terbelit atau terkurung dalam kelima persoalan mendasar demikian maka saya berasumsi bahwa semua permasalahan di atas merupakan sebuah kejahatan yang dilakukan oleh manusia. Manusia yang kehilangan nilai-nilai etika dalam perpolitikan dan nilai-nilai spiritual yang pupus atau tidak mendalam dalam kehidupannya. Akar dari segalah persoalan itu adalah kekuasaan, keserakahan, keirihatian, kemalasaan, dan lain sebagainya. Dengan demikian, saya sepakat dengan apa yang dikatakan oleh Ignacio Ellacuria yakni “Ciptaan telah menjadi buruk dihadapan Allah”.[9] Alasan Ellacuria mengatakan demikian sebab pengalaman nyatanya menjumpai segala persoalan hidup yang terjadi dalam kehidupan sosial itu sendiri. Persoalan itu berupa kemiskinan, korupsi, terorisme, penganguran,dll. Semua itu dianggap sebagai krisis nilai dalam kehidupan sosial. Nah, pendapat Ellacuria itu juga berlaku untuk Indonesia saat ini di mana manusia yang adalah ciptaan telah menjadi “tuan” atau menggeserkan posisi Allah yang adalah sumber Penciptaan itu sendiri. Sehingga semaunya memberlakukan orang-orang kecil atau kaum minoritas sebagai obyek atas tindak tanduknya.
            Menilik kelima tema  yang diangkat dalam paper ini saya menyimpulkan bahwa adanya diskriminasi dalam kehidupan bersama, keadilan tidak ditegakkan sehingga kebanyakan masyarakat kita hidup di dalam bayang-bayang kemiskinan. Oleh karena masyarakat tidak memiliki apa-apa maka penindasan dari yang kuat semakin nampak seperti contoh hukum yang tidak adil, adanya jual beli hukum atau perkoncoan dalam perpolitikan. Semua prilaku itu tentu menyimpang dari ranah etika. Penyimpangan itu tentu tidak membawa nilai-nilai keselamatan dalam hal iman. Dalam kehidupan bersama “situasi masyarakat yang tidak mencerminkan “keselamatan” seperti itu mendesak para teolog untuk mempertanyakan refleksi iman yang ada, dan mencermati kaitantentang ungkapan iman dan sekaligus perwujudannya”.[10] Dengan adanya persoalan demikian maka Gereja hadir untuk berpihak kepada mereka yang miskin, kecil dan tidak berdaya. Refleksi teologis Jon Sobrino mengenai masalah ini adalah “rakyat yang miskin sebagai rakyat yang tersalib”.[11] Pilihan Gereja Indonesia untuk mendahulukan kaum miskin dan tertindas, tentu bertitik tolak dari dari konteks sosial yang sedang terjadi. Oleh sebab itu menurut hemat saya teologi yang cocok untuk mengupas segala persoalan yang terjadi di Indonesia saat ini adalah teologi pembebasan. Teologi pembebasan ini adalah teologi yang muncul pada abad ke-20 di mana dunia dipenuhi dengan beraneka persoalan yang terjadi. Di mana-mana adanya sikap diskriminasi sehingga pandangan manusia yang adalah serupa atau segambar dengan Allah dinodai oleh para kelompok yang kuat dalam kehidupan sosial. Teologi ini menawarkan sebuah konsep keadilan dalam kehidupan bersama atau societas.
            Lalu, menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apa teologi pembebasan itu? Teologi pembebasan adalah sebuah usaha atau peran dari lembaga agama dalam urusan ruang publik. Dengan kata lain, teologi pembebasan adalah sebuah usaha kontektualisasi pada persoalan konkret disekitar kehidupan sosial.[12] Tentu teologi ini lahir sebagai bentuk tanggapan atau respon atas segala persoalan politik, ekonomis, sosial yang terjadi. Teologi pembebasan tentu bermaksud mengeluarkan masyarakat atau umat dari segala kungkungan derita yang melandainya.  Masalah-masalah itu dijabarkan dalam penindasan, rasisme, kemiskinan, penjajahan, bias ideologi, terorisme, kerusakan hutan,dll.[13] Segalah persolan itu merupakan ancaman bagi Negara yang berkembang sebab dapat menghambat laju pertumbuhan dan gerakan perubahan menuju persaingan internasional. Mengenai teologi pembebasan ini juga pernah dibicarakan dalam sinode para uskup tentang evangelisasi pada tahun 1974, dalam ensiklik Evangelii Nuntiandi menyatakan kewajiban Gereja untuk “membantu lahirnya pembebasan, memberi kesaksian tentang pembebasan dan menjamin supaya pembebasan mencapai pemenuhannya” hal ini merupakan bagian integral dari evangelisasi Gereja.[14]
            Dalam tugas pewartaan itu, Gereja berusaha semaksimal mungkin untuk merombak struktur sosial yang tidak berpihak itu menjadi sepihak sehingga kemiskinan, masalah pendidkan, kerusakan lingkungan hidup, terorisme, dan korupsi dengan sendirinya lenyap dari Negara Indonesia. Walaupun usaha ini dibutuhkan energy yang maha dahsyat namun Gereja yakin dan percaya dalam iman dan Roh akan Yesus Kristus semuanya akan menjadi mungkin. Gereja melihat kontek kehidupan dan bersinergi atau hadir bersama orang kecil, miskin dan menderita sebagaimana diajarkan atau dijalankan oleh Yesus selama masa  hidupnya. Yesus adalah Sang tokoh revolusioner sebab Ia membawa perubahan dalam kehidupan dengan mendobrak tembok struktural kaum Yahudi yang begitu kaku. Sebagaimana kita ketahui bahwa bangsa Yahudi menjunjung tinggi hukum dan mengabaikan nilai-nilai kemanusian itu sendiri. Nah, di sini Yesus sebagai pemerhati kaum kecil membawa impact yang luar dalam kehidupan pada zaman itu. Nah, di sini Gereja juga memiliki tugas demikian. Di sini Gereja hadir untuk mewartakan Kerajaan Allah.
            Teologi pembebasan yang diangkat dalam paper ini mau mengambarkan bahwa Gereja itu berpihak pada kaum kecil, miskin dan melarat. Tidak hanya itu tetapi Gereja juga menaruh perhatian juga bagi mereka yang kaya. Di sini Gereja membuka diri bagi siapa saja dan mau berdialog dengan siapa saja entah kaya atau miskin, entah mayoritas atau pun minoritas. Dengan demikian kehadiran Gereja menjadi sahabat. Gereja adalah sahabat, sebab Kristuslah sumber dari segalah roh persahabatan. Hal itu berarti, dialogitas teologis tidak mengalir dari sikap pragmatis atau kepentingan sementara, melainkan bersumber dari Roh Kristus sendiri.[15] Keberpihakan Gereja untuk membelah kaum marginal merupakan sebuah upaya yang sungguh luar biasa. Dalam teologi pembebasan sebagaimana merupakan itu yang cocok dengan persoalan konteks kekinian Indonesia maka perlu diperhatikan atau diperbaharui berbagai metode untuk mengatasi persoalan yang ada.
Hal menarik bagi saya dan merupakan sebuah refleksi   luar biasa dari Romo Pius Pandor adalah Potret Gereja yang menjadi.[16] Potret Gereja yang menjadi di sini berarti sebuah proses menuju yang sempurna. Hal itu berarti Gereja dalam arti kini belum sempurna. Menurut pemahaman saya demikian Gereja yang menjadi berarti sebuah proses untuk melepaskan matarantai persolan yang membelenggu Negara kita kini. Memang usaha itu sudah ada namun belum semaksimal yang didambahkan. Dalam proses menjadi bebas dari kemiskinan, masalah pendidikan, kerusakan hutan, terorisme, dan korupsi itu dibutuhkan waktu yang sangat lama. Gereja tentu dipolesi beragam ekspresi ketika bersentuhan dengan realitas demikian namun sangatlah penting Gereja hadiri berbagai duka, kecemasan dan harapan bersama umat atau masyarakat yang menderita sebab mereka juga adalah ciptaan Tuhan. Hal ini berarti Gereja sungguh hadir menyapa mereka baik secara jasmani maupun secara rohani. Kehadiran Gereja dengan teologinya yakni teologi pembebasan itu untuk bersuara agar keadilan ditegakan bagi semua orang sesuai dengan Pancasila sila ke-V, Gereja juga berusaha untuk mencari solusi dari setiap persoalan yang ada. Usaha Gereja untuk keluar dari persoalan demikian tentu dibarengi dengan sikap kesadaran, dialog, dan pembaharuan diri.




           
Daftar Pustaka


Sumber Buku:

 Budi, Hartono. Teologi Pendidkan & Pembebasan. Yogyakarta: Kanisius, 2003.

 Kirchberger, Georg. Allah Menggugat: Sebuah Dokmatik Kristiani. Maumere: Ledalero,   2012.
 Nggoro, Adrianus M.,S.H., Gagasan Populer Masalah Sosial Masyarakat, Bangsa & Negara. Jakarta: Nera Pustaka, 2012.

Riyanto, Armada., CM. Katolisitas Dialogal: Ajaran Sosial Katolik. Yogyakarta: Kanisius, 2014

 Sudhiarsa, Raymundus dan Paulinus Yan Olla, Menjadi Gereja Indonesia yang Gembira   dan Berbelaskasih. Vol.25 No. Seri 24. Malang: STFT,2015.

Sumber Internet:

Indonesia-investments.tk/…bom-sarina-jakarta diakses Minggu 31/01/2016.


R.W, Raymundus Rikang. “Dalam Satu Tahun 2 Juta Hektar Hutan Dibabat,” dalam http://www.tempo.co/read/news/2014/05/14, diakses pada Kamis 28 Januari 2014.


 https://Keadilan­­­­­­­­_ sosial. wordpress,com diakses Sabtu, 30/01/2016.




[1] Indonesia-investments.tk/…bom-sarina-jakarta diakses Minggu 31/01/2016. Pukul 18.24.
[3] Bdk. https://Keadilan­­­­­­­­_ sosial. wordpress,com diakses Sabtu, 30/01/2016. Pukul 18.02.
[4] Adrianus M. Nggoro, S.H., Gagasan Populer Masalah Sosial Masyarakat, Bangsa & Negara, Jakarta: Nera Pustaka,2012, hlm.48.
[5] Pius Pandor, CP, “Menghadirkan Wajah Gereja Berparas Kemanusian: Potret Gereja Menjadi” dalam Raymundus Sudhiarsa dan Paulinus Yan Olla, Menjadi Gereja Indonesia yang Gembira dan Berbelaskasih, Vol.25 No. Seri 24, 2015, Malang: STFT,2015, Hlm. 258.
[6] Ibid. hlm. 49.
[7] Robertus Wijanarko, CM, “Memahami Medan Pelayanan Gereja Indonesia Dewasa Ini” dalam Raymundus Sudhiarsa, SVD, Paulinus Yan Olla, MSF (eds.), Menjadi Gereja Indonesia Yang Gembira dan Berbelaskasih; dulu, kini dan esok, Malang: STFT Widya Sasana,2014, hlm.281.
[8] Raymundus Rikang R.W., “Dalam Satu Tahun 2 Juta Hektar Hutan Dibabat,” dalam http://www.tempo.co/read/news/2014/05/14, diakses pada Kamis 28 Januari 2014, Pukul 20:20.
 [9] Hartono Budi, Teologi Pendidkan & Pembebasan, Yogyakarta: Kanisius, 2003, hlm.21.
[10]Ibid.,hlm.31.
[11] Ibid., hlm. 57.
[12] https://id.wikipedia.org/wiki/teologi_pembebasan6. Diakses Sabtu,30 /01/2015. Pukul 18.17.
[13] Ibid.
[14] Georg Kirchberger, Allah Menggugat: Sebuah Dokmatik Kristiani, Maumere: Ledalero, 2012, hlm. 744.
[15] Armada Riyanto, CM, Katolisitas Dialogal: Ajaran Sosial Katolik, Yogyakarta: Kanisius, 2014, hlm. 242.
[16] Pius Pandor, Op.,cit.,hlm. 261.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar