Yosep Belen Keban
Potret Kini Indonesia
Indonesia adalah sebuah Negara
yang sedang berkembang di kawasan Asia. Negara berkembang itu berarti sebuah
proses menuju kepada kesempurnaan agar mencapai titik yang dicita-citakan.
Proses keberkembangan itu dibutuhkan energi yang mahadasyat untuk mampu
bersaing dengan Negara-negara lainnya. Tentu proses menuju keberkembangan atau
kebersaingan itu kirannya menjadi tangungjawab kita semua. Namun, hal yang
sangat disayangkan adalah di sana-sini masih dipolesi beraneka persoalan yang
menghiasi bingkai kehidupan ini. Persoalan-persoalan itu menjadi perhatian
serius dari kita warga masyarakat Indonesia oleh karena persoalan itu sebagai penghalang
menuju persaingan dengan Negara-negara lainnya di dunia.
Permasalahan-permasalahan yang
diangkat dalam tulisan ini merupakan sebuah peristiwa sejarah. Peristiwa
sejarah yang dimaksudkan di sini adalah terjadi secara riil pada sebuah tempat
dan waktu tertentu. Peristiwa sejarah itu tidak hanya terjadi pada waktu lampau
namun peristiwa itu sedang terjadi di masa ini (hit et nunc). Segala peristiwa yang sedang
terjadi membuat potret atau wajah Indonesia menjadi murung. Oleh karena
kemurungan itu maka membuat stabilitas atau pembangunan menuju Negara yang
mampu bersaing dengan Negara-negara lain menjadi terhalang atau terhambat.
Lalu, menjadi pertanyaannya adalah seperti apakah persoalan-persoalan yang mana
menjadi tranding
topic dewasa ini? Teologis apa yang
mampu menjawab persoalan itu?
Dua pertanyaan besar di atas
mengantar kita dalam menelaah secara mendalam realitas sosial yang sedang
terjadi di Indonesia. Tulisan ini dibagi ke dalam dua bagian yakni pertama
meneropong persoalan yang menjadi perhatian masyarakat dewasa ini dan yang
kedua berbicara mengenai teologi yang cocok untuk menjawabi kelima persoalan
terebut. Teologi itu merupakan jaminan untuk mengakhiri persoalan yang sedang
terjadi di Negara Indonesia. Lalu, seperti apa gambaran kelima tema itu dan
alasan pemilihan tema itu sebagai itu yang menjadi titik tolak pembicaraan di
tulisan ini?
Dalam tulisan ini, kita meneropong realitas hidup
yang sedang terjadi di Negara kita dan hal ini menjadi perhatian bagi banyak
orang khususnya masyarakat Indonesia. Dalam meneropong realitas keindonesiaan
kita menjumpai beraneka ragam persoalan yang terjadi namun pada bagian ini kita
hanya berbicara atau mengulas lima (5) tema yang dianggap menjadi perhatian
publik. Kelima tema besar itu adalah persoalan serius yang sudah dan sedang
menggerogoti keindonesian kita. Itulah yang membuat potret keindonesiaan kita
menjadi murung. Kelima tema itu adalah: terorisme, kemiskinan,
korupsi, pendidikan, dan kerusakan lingkungan hidup. Mengapa kelima tema itu saya
angkat dalam tulisan ini? Apa yang melatar belakanginya? Berikut akan
dijelaskan secara singkat alasan pemilihan tema-tema itu.
Persoalan pertama adalah terorisme. Terorisme merupakan
sebuah tindakan yang mengganggu stabilitas keamanan atau sebuah tindakan yang
mengacaubalaukan sistem sosial. Terorisme selalu identik dengan kebanalan atau
kekerasan. Dalam kasus terorisme ini biasanya atas motif tertentu baik itu
bermotif politik ataupun agama. Kebanyakan dari kasus ini bermotif agama. Dewasa
ini, terorisme menjadi ancaman yang serius bagi dunia termasuk Indonesia. Sebab
eksistensi terorisme dipandang sebagai itu yang menghambat laju pertumbuhan dan
perkembangan sebuah Negara. Terorisme sebagai sebuah tema sentral dalam tulisan
ini sebab persoalan ini sedang melanda Negara kita akhir-akhir ini. Sebagai
contoh terjadinya ledakan bom di jalan Thamrin Jakarta yang terjadi pada
tanggal 14 Januari 2014.[1]
Persoalan
kedua, kemiskinan Begitu banyak masyarakat Indonesia yang hidup dalam situasi
pelik demikian. Dikatakan sebagai sebuah tantangan sebab dengan adanya hal ini
maka secara otomatis pertumbuhan dan perkembangan mencapai kemakmuran atau
kesejahteraan seperti yang tercantum dalam UUD 1945 belum terwujud dan juga
dengan sendirinya menghambat pertumbuhan daya saing ekonomis dengan
Negara-negara lainnya di dunia. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada
Maret 2015 bahwa angkah kemiskinan bertambah mencapai 28,59 juta atau 11,22
persen dari jumlah penduduk.[2]
Sebagai bukti dari situasi kemiskinan ini adalah nenek Mina rela mengorbankan
harga dirinya dengan mencuri beberapa batang kayu lalu dijual dan hasil
penjualan itu ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ada begitu banyak
lagi masalah kemiskinan yang ada di negeri ini. Masalah kemiskinan di sini
tidak hanya berarti miskin sebab kalah akan akses sumber ekonomi akan tetapi
karena kondisi perampasan sumber-sumber pemenuhan kebutuhan hidup baik itu
sandang, pangan dan papan serta adanya celah dalam sistem keadilan sosial
sehingga terjadinya ketimpangan atau ketidaksamarataan.Itulah potret kemiskinan
rakyat Indonesia.[3]
Persoalan ketiga adalah Korupsi. Korupsi menjadi
itu yang menjadi persoalan pelik di Indonesia. Korupsi yang terjadi di
Indonesia selalu bermuara politik (politis) karena pelakunya adalah pejabat Negara entah itu ditingkat lokal atau
daerah maupun tingkat nasional atau pusat. Hal ini bagaikan jamur yang ganas
sehingga pengusutan sampai dengan saat ini belum semaksimal yang didambakan. Sebagaimana
diketahui bahwa ada Undang-undang yang mengatur hal ini yakni Undang-undang
Nomor 3 tahun 1971 tentang KUHAP, Undang-undang Nomor 28 tahun 1999
tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas KKN yang kemudian
diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 20 tahun2001 tentang pemberantasan
tindakan pidana korupsi.[4]
Persoalan itu tidak dilakukan. Malahan para
koruptor semakin banyak di negeri ini. Akibat dari korupsi membuat angkah
kemiskinan meningkat dan daya persaingan menjadi lemah. Sebagai contoh kasus
korupsi daging sapi beberapa bulan yang lalu, korupsi yang melibatkan para
kepala daerah di Kalimantan, dll. Contoh korupsi seperti apa hanyalah bagian
kecil dari jumlah korupsi yang ada di tanah air ini. Korupsi itu ada dalam
beraneka macam rupa dan hal itu menggerogoti di setiap sendi kehidupan baik itu
ruang keluarga maupun ruang publik seperti agama, masyarakat dan Negara. Pius
Pandor dalam tulisannya mengatakan bahwa secara fenomenologis, orang melakukan
tindakan korupsi ini karena memiliki hasrat atau nafsu dalam berkuasa,
mementingkan kenikmatan, kesenjangan ekonomi dan minimnya pemahaman atau
kepercayaan masyarakat.[5]
Lebih lanjutlah ia mengatakan bahwa fenomena korupsi yang ada di Indonesia
merupakan sebuah bentuk kejahatan sosial karena tidak hanya dilakukan oleh
perorangan tetapi dilakukan oleh banyak orang.
Mengapa para penegak hukum tidak
mampu mengusut tuntas kasus ini? Menurut Adrianus Nggoro kasus ini masih
dijumpai dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sebab “para
pelakunya saja sudah makan garam dalam dunia politik busuk; korupsikan terjadi
dalam ruang gerak birokrasi”.[6]
Sangatlah disayangkan jika para pelaku korupsi itu juga berasal dari kalangan
kekuasaan yudikatif itu sendiri sebab bagimana ia mampu menghukum para pelaku
korupsi lainnya sedangkan ia sendiri terlibat di dalamnya. Obyek
dari korupsi tidak hanya materi atau uang tetapi juga kewenangan jabatan, waktu
dan kesempatan dan anea akses yang memberi peluang untuk mendapatkan bkeuntungan
apapun bentuknya.[7] Singkat kata korupsi yang terjadi
di Indonesia membawa wajah keindonesiaan kita menjadi wajah yang murung.
Persoalan berikut adalah pendidikan. Pendidikan
di mana itu yang menjadi penting atau utama bagi masyarakat, di sana-sini
menampilkan problem besar di mana jutaan anak Indonesia tidak mengenyam
pendidikan. Memang begitu banyak program pemerintah dalam meningkatkan kemajuan
dalam bidang pendidikan ini namun hal itu tidak menjaminnya. Faktor yang
mempengaruhi banyak anak tidak melanjutkan sekolah atau kuliah (DO) adalah
faktor ekonomis. Jawaban atas persoalan ini adalah kemiskinan yang dialami
warga masyarakat Indonesia. Dengan alasan demikian tidaklah heran bagi kita
jika kita menjumpai banyak anak-anak jalanan yang memenuhi jalan untuk
meminta-minta. Tentu masalah itu menjadi perhatian serius bagi kita termasuk
pemerintah.
Persoalan yang terakhir adalah kerusakan
Lingkungan Hidup. Akhir-akhir ini masalah kerusakan lingkungan hidup menjadi
sebuah tantangan baru bagi kita. Kerusakan lingkungan hidup itu bermacam-macam
salah satunya adalah membakar hutan secara liar, pencemaran lingkungan seperti
udara, air, dan tanah serta kerusakan lingkungan lainnya. Menurut Zenzi Suhadi,
Anggota Dapertemen Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WAHLI), menjelaskan
bahwa tingkat kerusakan hutan di Riau dan Kalimantan sangatlah tinggi sebab
izin penerbitan usaha kelapa sawit dan tanaman industri tidak terkontrol.[8]
Hal ini akan menyebabkan kerusakan hutan yang mengakibatkan banjir dan tanah
longsor. Tentu masih segar dalam ingatan kita kejadian atau peristiwa beberapa
bulan yang lalu di Kalimantan dan Sumatra. Kebakaran yang berakibat fatal itu
mengganggu stabilitas hidup bersama. Hal itu tidak hanya menjadi perhatian
bangsa Indonesia saja tapi dipersoalkan oleh dunia Internasional. Akhir-akhir
ini kita kehilangan kesadaran untuk mencintai bumi tempat kita berpijak
sehinggah bertindak semaunya untuk merusakkan lingkungan hidup yang ada. Menurut
pandangan saya bahwa persoalan kerusakan lingkungan hidup yang terjadi di
Indonesia ini terjadi karena faktor pemilik modal yang haus akan hal-hal
material dan dalam proses pencapaian itu mereka bekerja sama dengan para
penguasa (pemerintah) sehingga yang mendapat getahnya ialah rakyat kecil atau
rakyat yang miskin. Di sini para pelaku bisnis atau kaum bermodal memandang
alam sebagai obyek sehingga sedapatnya mereka menguras atau mengorek habis
hasil-hasil alam.
Teologi Pembebasan: Sebagai
Jawaban Atas Persoalan.
Masalah sekitar kemiskinan, terorisme, pendidikan,
kerusakan lingkungan hidup, dan korupsi tidak hanya terjadi pada era
kepemimpinan Presiden Jokowi tetapi juga sudah terjadi puluhan tahun sebelumnya
ketika turunnya Soeharto. Permasalahan seputar kehidupan sosial selalu ada
karena tingkat kesadaran para pelaku akan kaum marginal masih belum sampai pada
taraf yang sesungguhnya. Para kaum kecil dianggap sebagai obyek sehingga hak
mereka dirampas habis, ditelantarkan dan didiamkan dalam uang publik.
Realitas persoalan yang diulas di atas membuat
Gereja angkat bicara. Gereja katolik juga memiliki perhatian yang sungguh
mendalam akan realitas sosial kemasyarakatan demikian sebab Gereja yakin bahwa
masalah demikian akan berdampak atau memberi efek bagi kehidupan Gereja. Gereja
juga melihat persoalan-persoalan demikian sebagai sebuah persoalan serius
sehingga Gereja berusaha merumuskan atau mencari teologi agar dapat
mengeluarkan umatnya dari jerat kemiskinan, korupsi, terorisme, kerusakkan
lingkungan hidup dan pendidikan. Di sini
Gereja berpihak pada suara-suara yang tidak bersuara, minoritas, dan yang tidak
didengarkan jeritan tangis mereka. Dengan demikian Gereja memiliki sebuah pisau
bedah untuk mengupas atau membantu segala dinamika persoalan yang terjadi. Hal
serupa demikian pun pernah dilakukan oleh Yesus di mana dikenal sebagai tokoh revolusioner. Oleh
karena tindakan atau misinya itu maka Gereja yang adalah umat Allah meneruskan
apa yang dilakukan oleh Yesus sebagaimana tertuang dalam dokumen-dokumen resmi
Gereja.
Dengan
meneropong realitas keindonesiaan kita yang mana terbelit atau terkurung dalam
kelima persoalan mendasar demikian maka saya berasumsi bahwa semua permasalahan
di atas merupakan sebuah kejahatan yang dilakukan oleh manusia. Manusia yang
kehilangan nilai-nilai etika dalam perpolitikan dan nilai-nilai spiritual yang
pupus atau tidak mendalam dalam kehidupannya. Akar dari segalah persoalan itu
adalah kekuasaan, keserakahan, keirihatian, kemalasaan, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, saya sepakat dengan apa yang dikatakan oleh Ignacio Ellacuria
yakni “Ciptaan
telah menjadi buruk dihadapan Allah”.[9]
Alasan Ellacuria mengatakan demikian sebab pengalaman nyatanya menjumpai segala
persoalan hidup yang terjadi dalam kehidupan sosial itu sendiri. Persoalan itu
berupa kemiskinan, korupsi, terorisme, penganguran,dll. Semua itu dianggap
sebagai krisis nilai dalam kehidupan sosial. Nah, pendapat Ellacuria itu juga
berlaku untuk Indonesia saat ini di mana manusia yang adalah ciptaan telah
menjadi “tuan” atau menggeserkan posisi Allah yang adalah sumber Penciptaan itu
sendiri. Sehingga semaunya memberlakukan orang-orang kecil atau kaum minoritas
sebagai obyek atas tindak tanduknya.
Menilik
kelima tema yang diangkat dalam paper
ini saya menyimpulkan bahwa adanya diskriminasi dalam kehidupan bersama,
keadilan tidak ditegakkan sehingga kebanyakan masyarakat kita hidup di dalam
bayang-bayang kemiskinan. Oleh karena masyarakat tidak memiliki apa-apa maka
penindasan dari yang kuat semakin nampak seperti contoh hukum yang tidak adil,
adanya jual beli hukum atau perkoncoan dalam perpolitikan. Semua prilaku itu
tentu menyimpang dari ranah etika. Penyimpangan itu tentu tidak membawa
nilai-nilai keselamatan dalam hal iman. Dalam kehidupan bersama “situasi
masyarakat yang tidak mencerminkan “keselamatan” seperti itu mendesak para
teolog untuk mempertanyakan refleksi iman yang ada, dan mencermati kaitantentang
ungkapan iman dan sekaligus perwujudannya”.[10]
Dengan adanya persoalan demikian
maka Gereja hadir untuk berpihak kepada mereka yang miskin, kecil dan tidak
berdaya. Refleksi teologis Jon Sobrino mengenai masalah ini adalah “rakyat
yang miskin sebagai rakyat yang tersalib”.[11]
Pilihan Gereja Indonesia untuk mendahulukan kaum miskin dan tertindas, tentu
bertitik tolak dari dari konteks sosial yang sedang terjadi. Oleh sebab itu
menurut hemat saya teologi yang cocok untuk mengupas segala persoalan yang
terjadi di Indonesia saat ini adalah teologi pembebasan. Teologi pembebasan ini
adalah teologi yang muncul pada abad ke-20 di mana dunia dipenuhi dengan
beraneka persoalan yang terjadi. Di mana-mana adanya sikap diskriminasi
sehingga pandangan manusia yang adalah serupa atau segambar dengan Allah
dinodai oleh para kelompok yang kuat dalam kehidupan sosial. Teologi ini
menawarkan sebuah konsep keadilan dalam kehidupan bersama atau societas.
Lalu,
menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apa teologi pembebasan itu? Teologi
pembebasan adalah sebuah usaha atau peran dari lembaga agama dalam urusan ruang
publik. Dengan kata lain, teologi pembebasan adalah sebuah usaha
kontektualisasi pada persoalan konkret disekitar kehidupan sosial.[12]
Tentu teologi ini lahir sebagai bentuk tanggapan atau respon atas segala
persoalan politik, ekonomis, sosial yang terjadi. Teologi pembebasan tentu
bermaksud mengeluarkan masyarakat atau umat dari segala kungkungan derita yang
melandainya. Masalah-masalah itu
dijabarkan dalam penindasan, rasisme, kemiskinan,
penjajahan, bias ideologi, terorisme, kerusakan hutan,dll.[13] Segalah persolan itu merupakan
ancaman bagi Negara yang berkembang sebab dapat menghambat laju pertumbuhan dan
gerakan perubahan menuju persaingan internasional. Mengenai teologi pembebasan
ini juga pernah dibicarakan dalam sinode para uskup tentang evangelisasi
pada tahun 1974, dalam ensiklik Evangelii Nuntiandi menyatakan kewajiban Gereja
untuk “membantu
lahirnya pembebasan, memberi kesaksian tentang pembebasan dan menjamin supaya
pembebasan mencapai pemenuhannya” hal ini merupakan bagian integral dari
evangelisasi Gereja.[14]
Dalam
tugas pewartaan itu, Gereja berusaha semaksimal mungkin untuk merombak struktur
sosial yang tidak berpihak itu menjadi sepihak sehingga kemiskinan, masalah
pendidkan, kerusakan lingkungan hidup, terorisme, dan korupsi dengan sendirinya
lenyap dari Negara Indonesia. Walaupun usaha ini dibutuhkan energy yang maha
dahsyat namun Gereja yakin dan percaya dalam iman dan Roh akan Yesus Kristus
semuanya akan menjadi mungkin. Gereja melihat kontek kehidupan dan bersinergi
atau hadir bersama orang kecil, miskin dan menderita sebagaimana diajarkan atau
dijalankan oleh Yesus selama masa
hidupnya. Yesus adalah Sang tokoh revolusioner sebab Ia membawa
perubahan dalam kehidupan dengan mendobrak tembok struktural kaum Yahudi yang
begitu kaku. Sebagaimana kita ketahui bahwa bangsa Yahudi menjunjung tinggi
hukum dan mengabaikan nilai-nilai kemanusian itu sendiri. Nah, di sini Yesus
sebagai pemerhati kaum kecil membawa impact yang luar dalam kehidupan pada
zaman itu. Nah, di sini Gereja juga memiliki tugas demikian. Di sini Gereja
hadir untuk mewartakan Kerajaan Allah.
Teologi
pembebasan yang diangkat dalam paper ini mau mengambarkan bahwa Gereja itu
berpihak pada kaum kecil, miskin dan melarat. Tidak hanya itu tetapi Gereja
juga menaruh perhatian juga bagi mereka yang kaya. Di sini Gereja membuka diri
bagi siapa saja dan mau berdialog dengan siapa saja entah kaya atau miskin,
entah mayoritas atau pun minoritas. Dengan demikian kehadiran Gereja menjadi
sahabat.
Gereja adalah sahabat, sebab Kristuslah sumber dari segalah roh persahabatan. Hal
itu berarti, dialogitas teologis tidak mengalir dari sikap pragmatis atau
kepentingan sementara, melainkan bersumber dari Roh Kristus sendiri.[15] Keberpihakan Gereja untuk
membelah kaum marginal merupakan sebuah upaya yang sungguh luar biasa. Dalam
teologi pembebasan sebagaimana merupakan itu yang cocok dengan persoalan
konteks kekinian Indonesia maka perlu diperhatikan atau diperbaharui berbagai metode
untuk mengatasi persoalan yang ada.
Hal
menarik bagi saya dan merupakan sebuah refleksi luar biasa dari Romo Pius Pandor adalah Potret
Gereja yang menjadi.[16]
Potret Gereja yang menjadi di sini berarti sebuah proses menuju yang sempurna.
Hal itu berarti Gereja dalam arti kini belum sempurna. Menurut pemahaman saya
demikian Gereja yang menjadi berarti sebuah proses untuk melepaskan matarantai
persolan yang membelenggu Negara kita kini. Memang usaha itu sudah ada namun
belum semaksimal yang didambahkan. Dalam proses menjadi bebas dari kemiskinan,
masalah pendidikan, kerusakan hutan, terorisme, dan korupsi itu dibutuhkan
waktu yang sangat lama. Gereja tentu dipolesi beragam ekspresi ketika
bersentuhan dengan realitas demikian namun sangatlah penting Gereja hadiri
berbagai duka, kecemasan dan harapan bersama umat atau masyarakat yang
menderita sebab mereka juga adalah ciptaan Tuhan. Hal ini berarti Gereja
sungguh hadir menyapa mereka baik secara jasmani maupun secara rohani.
Kehadiran Gereja dengan teologinya yakni teologi pembebasan itu untuk bersuara
agar keadilan ditegakan bagi semua orang sesuai dengan Pancasila sila ke-V,
Gereja juga berusaha untuk mencari solusi dari setiap persoalan yang ada. Usaha
Gereja untuk keluar dari persoalan demikian tentu dibarengi dengan sikap
kesadaran, dialog, dan pembaharuan diri.
Daftar Pustaka
Sumber Buku:
Budi, Hartono. Teologi
Pendidkan & Pembebasan. Yogyakarta:
Kanisius, 2003.
Kirchberger, Georg. Allah
Menggugat: Sebuah Dokmatik Kristiani. Maumere: Ledalero, 2012.
Nggoro, Adrianus M.,S.H., Gagasan Populer
Masalah Sosial Masyarakat, Bangsa & Negara. Jakarta: Nera Pustaka, 2012.
Riyanto, Armada., CM. Katolisitas Dialogal:
Ajaran Sosial Katolik. Yogyakarta: Kanisius, 2014
Sudhiarsa, Raymundus dan Paulinus Yan Olla,
Menjadi Gereja Indonesia yang Gembira
dan Berbelaskasih. Vol.25 No. Seri 24. Malang: STFT,2015.
Sumber Internet:
Indonesia-investments.tk/…bom-sarina-jakarta
diakses Minggu 31/01/2016.
www.bijaks.net/news/article/3-209912/bps-angka-kemiskinan-di-indonesia-bertambah-pada-maret-2015,diakses Sabtu, 30/01/2016.
R.W, Raymundus Rikang. “Dalam Satu Tahun 2 Juta Hektar
Hutan Dibabat,” dalam http://www.tempo.co/read/news/2014/05/14, diakses pada Kamis 28 Januari 2014.
[2]www.bijaks.net/news/article/3-209912/bps-angka-kemiskinan-di-indonesia-bertambah-pada-maret-2015, Diakses Sabtu, 30/01/2016. Pukul. 18.19.
[4] Adrianus
M. Nggoro, S.H., Gagasan
Populer Masalah Sosial Masyarakat, Bangsa & Negara, Jakarta: Nera Pustaka,2012, hlm.48.
[5] Pius
Pandor, CP, “Menghadirkan
Wajah Gereja Berparas Kemanusian: Potret Gereja Menjadi” dalam Raymundus Sudhiarsa dan Paulinus Yan Olla, Menjadi Gereja
Indonesia yang Gembira dan Berbelaskasih, Vol.25 No. Seri 24, 2015, Malang:
STFT,2015, Hlm. 258.
[7] Robertus
Wijanarko, CM, “Memahami
Medan Pelayanan Gereja Indonesia Dewasa Ini” dalam
Raymundus Sudhiarsa, SVD, Paulinus Yan Olla, MSF (eds.), Menjadi Gereja
Indonesia Yang Gembira dan Berbelaskasih; dulu, kini dan esok, Malang: STFT
Widya Sasana,2014, hlm.281.
[8] Raymundus
Rikang R.W., “Dalam Satu Tahun 2 Juta Hektar Hutan Dibabat,” dalam http://www.tempo.co/read/news/2014/05/14, diakses
pada Kamis 28 Januari 2014, Pukul 20:20.
[13] Ibid.
[14] Georg Kirchberger,
Allah Menggugat: Sebuah Dokmatik Kristiani, Maumere:
Ledalero, 2012, hlm. 744.
[15] Armada
Riyanto, CM, Katolisitas
Dialogal: Ajaran Sosial Katolik, Yogyakarta: Kanisius, 2014, hlm.
242.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar