Jumat, 09 November 2018

MENOLAK LUPA AKAN DUKA (Sebuah Refleksi Kritis atas Kebijakan Zonasi)


MENOLAK LUPA AKAN DUKA
(Sebuah Refleksi Kritis atas Kebijakan Zonasi)
Yosep Belen Keban

Pendahuluan
Dalam penyelenggaraan pendidikan ditemukan begitu banyak persoalan yang segera diatasi baik dari segi infrastruktur, kualitas guru, peningkatan mutu, dan juga soal pemerataan pendidikan. Aneka upaya dilakukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan salah satunya adalah upaya pemerintah dalam pemerataan pendidikan di Indonesia. Pemerataan yang dimaksud adalah pemerataan layanan yang sama. Layanan sama artinya layanan pendidikan yang adil dan dirasakan oleh semua pihak (Imron, 2008: 114). Menjadi persoalan di sini adalah bagaimana pemerataan itu dapat dirasakan oleh semua pihak?
De facto, pendidikan kita belum adil-merata dan hal ini dapat ditelisik dengan adanya perspektif masyarakat soal sekolah dalam tanda petik sekolah unggul dan non-unggul. Di sini adanya diskriminasi dalam pendidikan sehingga masyarakat dengan ekonomi-finansial mampu atau di atas rata-rata dapat menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah favorit sebab sekolah favorit memberikan potret positif kepada masyarakat luas baik soal mutu pendidikan maupun outcomes dari peserta didik. Berkaiatan dengan hal itu, maka tidak heran kalau setiap kali tahun ajaran baru sekolah-sekolah non favorit sangat sulit mendapatkan peserta didik baru. Ini adalah tantangan atau ancaman bagi lembaga pendidikan. Tidak hanya minimnya peserta didik tetapi bisa juga menjadi ancaman bagi lembaga pendidikan untuk gulung tikar. Melihat realita demikian, pemerintah pun mulai berupaya menyudahi persoalan mengenai pemerataan pendidikan.
Upaya pemerataan dalam penerimaan peserta didik baru, pemerintah melalui Kemendikbud memberlakukan kebijakan zonasi yang dikemas dalam Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 tentang PPDK sistem zonasi. Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Efendy, kebijakan ini bertujuan untuk melaksanakan reformasi pendidikan yang dimulai dari sekolah. Hal ini lahir sebagai bentuk jawaban atas salah satu permasalahan dasar dalam dunia pendidikan yakni pemerataan pendidikan yang berkualitas. Ini sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo.
Upaya pemerintah mengatasi permasalahan pemerataan pendidikan dengan dikeluarkannya keputusan mengenai zonasi tentu saja menelurkan pro-kontra di masyarakat. Ada yang mendukung program pemerintah namun ada segelintir orang dan lembaga yang merasa dirugikan sehingga melahirkan nada-nada protes. Ironisnya kebijakan itu membawa duka bagi peserta didik seperti yang diketahui pada permulaan penerapan kebijakan zonasi di tahun ajaran baru tahun kemarin (2017/2018). Salah satu yang menyentakan publik, menjadi trend topic beberapa pekan dimedsos dan media masa adalah bunuh diri yang dilakukan oleh El. El adalah seorang siswi Sekolah Menengah Pertama di kota Blitar, yang ditemukan meninggal dunia dengan cara gantung diri pada Selasa, 29 Mei 2018. Ia didiga melakukan aksi ini karena tidak bisa masuk  ke sekolah favoritnya sebab terganjal sistem zonasi. Ini sebuah sejarah yang terus dikenang. Kami menolak lupa. Dengan adanya kisah ini publik kembali bertanya-tanya mempersoalkan kebijakan ini. Bagi sebagian masyarakat berpendapat bahwa kebijakan ini tentu saja mengebiri kebebasan manusia, membatasi ruang gerak peserta didik, membendung keinginan, dan lain-lain. Pemerintah dalam upaya pemerataan pendidikan bukan seharusnya membatasi kebebasan peserta didik, namun berupaya menciptakan, mensubsidi dana dan mensejahterakaan lembaga pendidikan yang dianggap kurang favorit di mata masyarakat itu. Sehingga banyak asumsi terdengar bahwa kebijakan ini memiliki muatan politik. Lalu, apakah benar demikian? Kebijakan zonasi ini belum terlalu awam di telinga para masyarakat dengan demikian perlu adanya sosialisasi lebih lanjut. Tulisan ini akan menyibak tirai kebijakan zonasi yang dikeluarkan oleh pemerintah dan mengingatkan akan generasi untuk tidak melupakan peristiwa duka. Kami menolak lupa. Tulisan ini merupakan sebah bentuk refleksi kritis atas kebijakan sistem zonasi.

Zonasi Pendidikan
Pengertian secara umum mengenai zonasi merupakan sebuah sistem yang mewajibkan sekolah menerima peserta didik baru sebesar 90% dari total daya tamping sekolah bagi peserta didik yang tempat tinggalnya berada pada radius zona terdekat dari sekolah.  Dasar hukum sistem zonasi ini diatur dalam Permendikbud nomor 14 tahun 2018 yang merupakan pengganti dari peraturan Kementerian  Pendidikan dan Kebudayaan sebelumnya yakni Permendikbud nomor 17 Tahun 2017 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) baik pada Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan, atau bentuk lain yang sederajat yang dinilai tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan layanan pendidkan. Adapun alasan dikeluarkannya   kebijakan sistem zonasi oleh Permendikbud adalah sebagai strategi pemerintah untuk mewujudkan pemerataan akses dan mutu pendidikan secara nasional. Sistem zonasi PPDB bertujuan untuk menjamin penerimaan peserta didik baru berjalan secara objektif, akuntabel, transparan, dan tanpa diskriminasi sehingga meningkatkan image pendidikan kita.
Salah satu poin penting yang diangkat dalam zonasi adalah Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDP). Mendikbud menekankan radius jarak antar domisili siswa dengan sekolah sehingga ada kedekatan lingkungan sekolah dengan lingkungan keluarga.  Pada Pasal 15 menyatakan dengan gamblang bahwa sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah wajib menerima calon peserta didik baru yang berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah. Paling sedikit menerima sebesar 90% dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima ketika pendaftaran. Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy dalam Diskusi Media Forum Merdeka Barat 9 bahwa kebijakan zonasi bukan hanya soal Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDK) tetapi zonasi ini terkait dengan banyak hal terkait upaya pemerintah untuk melakukan reformasi sekolah. Kebijakan Zonasi ini  memiliki kaitan dengan penguatan pendidikan karakter yang diatur dalam  Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017, dan juga pengaturan reposisi kepala sekolah dengan permendikbud.
Mengenai kebijakan zonasi ini salah seorang anggota komisi X DPR RI yakni My Esti Wiyanti dalam kesempatan yang sama mengatakan bahwa “kebijakan zonasi merupakan sebuah kebijakan yang sudah tepat, dan perlu didukung semua pihak”. Ia juga berpendapat bahwa dengan adanya kebijakan zonasi ini maka kualitas pendidikan dapat ditingkatkan dan dapat dirasakan secara adil merata. Dengan demikian, kebijakan ini membutuhkan komitmen yang tinggi dari pemerintah pusat dan daerah.
Sedangkan pemerataan pendidikan merupakan sebuah upaya keadilan  dalam bidang pendidikan (Imron, 2008: 114). Pendidikan yang adil berarti merupakan sebuah cita-cita negara yang termaktub dalam Pancasila. Sejak zaman para founder fathers, terminologi pemerataan pendidikan menjadi topik sentral dalam pendiskursusan. Begitu banyak nada-nada minor lahir dari masyarakat mempersoalkan aneka kebijakan yang tidak menguntungkan masyarakat dan tidak berkeadilan. “Wajah pendidikan kita belum mengambarkan pendidikan yang berkeadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia”. Begitulah penggalan kalimat yang sering terdengar dari bibir masyarakat kecil. Mereka tentu saja prihatin dengan kondisi pendidikan kita yang dalam notabene-nya masih penuh ketimpangan di sana-sini.  Ketimpangan dalam pendidikan secara de facto dapat ditelisik dengan gamblang yakni adanya diskriminasi sekolah. Sekolah dikategorikan oleh masyarakat sebagai sekolah favorit dan non favorit. Hal ini kemudian membawa keuntungan bagi sekolah-sekolah yang dikategorikan dalam sekolah favorit tiap tahunnya yang ditandai dengan berjudelnya peserta didik baru sedangkan akan membawa dampak negatif bagi sekolah non favorit karena minat peserta didik baru berkurang bahkan tidak ada sehingga ada begitu banyak lembaga pendidikan yang terpaksa harus guling tikar. Menyikapi hal itu, pemerintah tidak tinggal diam. Upaya pemerintah untuk meminimalisir dan mengatasi persoalan pemerataan pendidikan adalah dengan dikeluarnya kebijakan baru yakni zonasi.
Efenddy (2017) menyatakan bahwa ke depan tidak ada lagi sekolah favorit dan tidak favorit. Kebijakan ini tentu membuat sekolah menjadi sekolah favorit. Sebab dengan adanya kebijakan ini semua sekolah memiliki kualitas dalam pendidikan. Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dilakukan dengan dua cara yakni pendaftaran melalui jejaring (daring) yaitu melalaui laman (website) resmi PPDB di daerah masing-masing dan pendaftaran melalui luring (luar jaringan) yaitu mendaftar langsung ke sekolah.
 Menteri pendidikan dan kebudayaan, Muhadjir Effendy menyampaikan bahwa sistem zonasi ini merupakan uapaya pemerintah dalam pemerataan kualitas pendidikan di berbagai penjuru daerah Indonesia. Selain itu, para calon siswa yang memiliki kemampuan di atas rata-rata dalam hal akademik akan menyebar dan tidak lagi berkumpul dibeberapa sekolah yang dalam tanda kutip sebagai sekolah favorit. Sedangkan sisa 10% dari jumlah total penerimaan peserta didik dapat dibagi menjadi dua yakni: pertama jalur prestasi bagi peserta didik yang berdomisili di luar zona terdekat dari sekolah. Kedua bagi  jalur peserta didik yang berdomisili di luar zona terdekat dari sekolah dengan alasan tertentu seperti perpindahan domisili orang tua, terjadi bencana alam. Domisili peserta didik harus sesuai dengan alamat domisili yang ada di kartu keluarga orang tua yang diterbitkan paling lambat enam (6) bulan sebelum penerimaan peserta didik dibuka.
Pada pasal 16 menyatakan bahwa untuk SMA, SMK dan bentuk sederajat lainnya yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah provinsi wajib menerima peserta didik baru yang berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu di satu wilayah daerah provinsi paling sedikit 20% dari jumlah peserta didik yang diterima. Peserta didik yang diterima itu harus  dibuktikan dengan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) atau bukti lainya yang diterbitkan oleh pemerintah daerah setempat.  Sedangkan pada pasal 17 menyatakan bahwa “Ketentuan zonasi ini tidak berlaku bagi SMK, Sekolah Indonesia di luar negeri, Sekolah berasrama, Satuan Pendidikan kerja sama, sekolah di daerah 3 T (TERTINGGAL-TERDEPAN-TERLUAR).
Kritik soal Zonasi: Kami Menolak Lupa
            Kebijakan zonasi yang dikeluarkan pemerintah sebagai jawaban atas persoalan pemerataan pendidikan tidak hanya membawa angin segar bagi pendidikan kita sehingga mendapat dukungan penuh dari masyarakat, namun nada-nada kontra pun lahir dari para masyarakat. Di dunia maya terdapat banyak sekali polemik soal ini. Masyarakat dalam hal ini orang tua menilai bahwa kebijakan zonasi ini tentu saja membawa ketidakadilan dalam dunia pendidikan. Zona radius tempat tinggal menjadi penentu utama, maka anak kami yang dipinggiran tetap harus sekolah dipinggiran padahal ada keinginan kuat anak kamu untuk melanjutkan pendidikan di kota. Mereka khawatir anak mereka yang memiliki potensi tidak dapat meningkatkan prestasi sebab sekolah yang selama ini dinilai favorit kebanyakan terletak di tengah kota. Mereka juga cukup kecewa sebab terdapat perbedaan dalam hal ini fasilitas sekolah antara sekolah yang dinilai favorit dahulu karena memang memiliki fasilitas lengkap dan non favorit. Sehingga perkembangan anak terutama dalam menggali minat dan bakat di sekolah yang dulunya non vaforit dipertanyakan atau menjadi bahan diskursus.
            Kebijakan zonasi semacam menjadi tembok penghalang bagi peserta didik untuk menjawabi keinginan dan kebebasannya. Orang tua merasa kebijakan ini seakan membunuh, menguburkan, dan membatasi ruang kebebasan (freedom) peserta didik kami. Pemerintah sendiri menguburkan hak anak-anak kami untuk bebas memilih sekolah. Kebijakan ini sudah memakan korban. Kami kehilangan anak kami sebab dengan adanya kebijakan ini. Kita sendiri melihat dan menyaksikan kasus bunuh diri yang dilakukan oleh El, seorang siswi di SMP kota Blitar. Ia nekad mengakhiri hidupnya sebab ia merasa ruang kekebasan direnggut oleh para pemangku birokrasi. Kebebasan untuk memilih (chooise to freedom) merupakan hak tiap orang. Jadi, kalau pemerintah membatasi ruang kebebasan peserta didik melalui zonasi, maka pemerintah sedang mengebiri, mengubur kebebasan manusia dalam hal ini peserta didik. Padahal menurut seorang pemkir kondang, Jean-Paul Sarte mengatakan dengan keras bahwa “manusia adalah kebebasannya”. Takdir manusia adalah kebebasan. Kebebasan itu Nampak dalam pilihan-pilihannya. Ia mengisi hidupnya dengan kebeasan yang dibuatnya. Gambaran pemikiran Sarte ini tentu saja bertolak belakang dengan kebijakan zonasi yang dibuat oleh pemerintah. Di sini pemerintah hadir semacam sebuah raksasa yang mencaplok kebebasan manusia untuk memilih, ia hadir sebagai pembunuh impian peserta didik.
            Dalam Media CNN Indonesia yang dikeluarkan pada tanggal 10/07/2018 menyatakan bahwa ditemukan sejumlah aksi dilapangan sebagai akibat dari penerapan sistem zonasi. Di sejumlah daerah seperti di Bandung, Manado, dan Tangerang ditemukan adanya aksi demonstran, ada juga bunuh diri, serta kasus penyanderaan. Di Bandung banyak orang turun ke jalan-jalan berunjukrasa sebab mereka tidak sanggup membiayai anaknya di sekolah-sekolah swasta apabila mengikuti regulasi sistem zonasi pemerintah. Sedangkan di Tangerang, Banten, kisruh sistem zonasi berlangsung panas. Mereka merangsek ke dalam gedung SMP 23 Pinang dan menyandera Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kota Tangerang. Mereka menyandera sebab mereka tidak terima anaknya yang tidak diakomodir di sekolah tersebut. Tidak hanya menyandera tetapi juga menyegel gedung sekolah.
Kebijakan ini menuai protes di berbagai daerah. Salah satunya  di Kupang-NTT. Ratusan orang tua murid di kota Kupang menggelar aksi unjuk rasa di kantor DPRD NTT dan Dinas Pendidikan NTT. Mereka memprotes kebijakan zonasi ini sebab mereka menilai kebijakan ini akan menghambat anak-anak. Mereka memprotes sebab anak mereka tidak diakomodir  di sekolah negeri karena penerapaan sistem zonasi dalam PPDB. Mereka juga menilai sistem ini membunuh keinginan anak untuk melanjutkan pendidikan. Berkaitan dengan praktik kebijakan zonasi pada tahun 2018, Antonio Soares, salah satu orang tua murid mengaku kecewa sebab banyak anak-anak yang tinggal paling dekat dengan radius sedkolah SMAN 3 malah tidak diterima, ujarnya kepada wartawan, rabu 11/07/2018. Ia kecewa sebab ada murid di kecamatan lain bisa diakomodir di SMAN 3. Nada-nada protes tidak hanya terjadi di sini tetapi hampir disetiap pelosok daerah memprotes kebijakan zonasi ini sebab diangap membawa kepincangan. 
Berkaca dari kisruh-kisruh itu, ada baiknya dilakukan evaluasi lebih lanjut. Niat baik pemerintah untuk melenyapkan kastanisasi sekolah antara sekolah favorit dan non favorit berujung tidak mulus seperti yang direncanakan. Sungguh ironis, bukan? Hal yang paling kentara adalah tidak seimbangnya daya tampung sekolah dengan jumlah siswa. Akibatnya, banyak di antara siwa yang tidak tertampung oleh sekolah padahal jarak sekolah dengan rumah begitu dekat. Ironis lagi, bukan?
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) lewat pantauan langsung mereka diberbagai daerah menyatakan bahwa ada empat persoalan sistem zonasi ini (Apinio, 2018). Kempat persoalan itu adalah: Pertama, munculah jalur SKTM. Menurut Satriwan Salim, Wasekjen FSGI bahwa jalur SKTM itu mengada-ada soalnya di pasal 16 ayat 1 sampai 6 Pemendikbud Nomor 14 Tahun 2018 tentang PPDB tidak ada istilah jalur SKTM. Kedua, perpindahan tempat tinggal secara tiba-tiba. FSGI menilai perpindahan peserta didik secara tiba-tiba yakni menampung namanya di kartu keluarga (KK) saudaranya atau handaitaulannya di tempat tertentu demi bisa sekolah di daerah itu bisa terjadi. Dan hal itu menurut pantaun Tim FSGI terjadi di Kramat Jati-Jakarta dan tentu saja berbenturan dengan pasal 16 ayat 2 mengenai penerbitakan kartu keluarga paling lambat 6 bulan sebelum pelaksanaan PPDB. Menurut Satrian pasal ini tidak menjelaskan secara baik soal alasan migrasi. Jangan sampai migrasi diperuntukan bagi siswa yang berkeinginan sekolah di sekolah favorit. Hal ini kemudian disimpulkan bahwa sistem zonasi bisa dikelabui.  Ketiga,soal sekolah didaerah pemukiman pasti sepih peminat. Hal ini kemudian akan berpengaruh pada guru soal jam mengajar sehingga guru bisa saja tidak mendapat sertifikasi. Keempat, ada  persoalan sekolah yang kelebihan siswa dan ada sekolah yang kekurangan siswa. Dengan demikian ditemukan aneka ruang kelas yang malah kurang dan juga lebih atau kosong.          
Sebuah Refleksi Kritis atas Zonasi
Sistem zonasi yang diimplementasikan pada tahun ajaran kemarin 2017/2018 membawa “kegaduhan publik”. Tidak saja membawa kegaduan, tetapi juga “membawa duka” bagi pendidikan kita. Wajah pendidikan kita kembali menjadi trending topic. Potretnya yang dulunya sedikit bercahaya kini redup-suram terhempas kebijakan yang dinilai prematur. Sunggu ironis! Ada apa dengan pendidikan ini? Oh sungguh teramat miris nasibmu generasi milenial atau “generasi zaman now”. Anda tidak bisa lagi ke sana dan ke situ, berpijak pada sekolah impianmu. Kau tak bisa lagi bermimpi tentang itu, anakku. Zonasi sudah mencekalmu. Zonasi membunuh kebebasanmu. Miris bukan? Ataukah zonasi membuatmu sumbringah? Tapi aku yakin itu tidak. Tiliklah temanmu, El di kota Blitar yang kini sudah menjadi jasad. Ia menangis piluh ketika ada mengada. Ketika ia tau bahwa dirinya tak mungkin berpijak di sekolah itu, ia merasa semuanya telah usai. Ia pun memilih gantung diri, tragis oh tragis. Zonasi membawa korban.  Kemarin, sebelum dan setelah aksi bunuh diri El,  terdengar nada protes di sana sini. Ratusan, ribuan massa termasuk orang tuamu menelusuri lorong dan jalan-jalan menantang zonasi ini. Mereka membawa aneka tulisan, menghujat dan mengutuk kebijakan zonasi. Kecewa, marah bercampuraduk. Mereka berjalan sepanjang jalan menuju penampung aspirasi. Mereka berteriak lantang, pekikan keras menggetarkan jagad. Namun, apakah nada itu didengar? Nada-nada tanpa suara. Suara orang-orang bisu-suara orang-orang kalah yang tak digubris oleh para pendulang suara. Kami menolak lupa.  “Zonasi untuk apa? Zonasi untuk siapa? Kami tak butuh zonasi? Zonasi melahir duka, zonasi melahir gaduh”. Kau anggap ini pemerataan namun yang ada adalah diskriminasi, kau anggap sudah beras tapi kami angap ini belum, ini belum usai wahai para pemikir elit. Ini untuk kami miskinkah, lalu bagaimana dengan yang kaya? Apakah kami harus berebut kuota di sekolah itu? Kami anak kampong, tak punya hakkah untuk kami merasakan hawa kota? Atau kami anak kampung dikadirkan untuk menghabiskan waktu dibangku sekolah dikampung? Aku anak pinggiran, hakku sudah direnggut hingga aku tetap menjadi anak pinggiran bahkan pendidikan pun membatasiku, mencekalku untuk keluar dari zona kepingiranku. Tidak hanya itu. Ini soal SKTM yang juga menjadi incaran kaum borjuis. Bukan hanya incaran tapi malah dimiliki anaknya. Anak si petani singkong, anak si tukang batu, anak si tukang jamu, anak-anak kaum marginal, dan anak-anak kaum bermodal kita sama-sama mempunyai SKTM. Ironis bukan. SKTM untuk kami miskin ataukah untuk mereka juga yang kaya? Jika untuk kami, mengapah mereka juga memilikinya? Ini pembohongan, pembohongan publik. Oh sampai kapankah ini? Ini potret pendidikan kita. Pendidikan yang masih banyak harus dibenahi. Ini duka kita, ini kegaduhan yang kita gaduhi di ruang publik hingga muncul sentiment antar kelas. Ini sampai kapan? Duka dan gaduh akhiri saja soal pendidikan adalah tanggungjawab kita.
Rekomendasi
Menilik aneka kegaduhan yang terjadi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDP) sistem zonasi pada tahun ajaran 2017/2018 yang bersandar pada Permendikbud nomor 14/2018, maka yang menjadi bahan rekomendasinya adalah demikian. Perluh adanya penegasan lebih lanjut soal pasal 16 ayat 2 tentang migrasi yang diatur dalam KK paling lambat enam bulan sebelum PPDP. Hal ini perlu ditegaskan kembali agar tidak menemukan kecurangan, dan praktik-praktik lain yang menyimpang. Selain itu pula, pemerintah bersama Dinas Pendidikan terkait untuk melakukan pemetaan ulang terkait zonasi secara cermat dan mendirikan atau meningkatkan sarana-prasarana disetiap kecamatan. Hal ini bertujuan agar pemerataan pendidikan seperti yang diidealkan oleh pemerintah bisa terjawab. Dan hal lain yang paling penting adalah, pemerintah harus melakukan sosialisasi ke masyarakat mengenai ini sehingga masyarakat dapat menyadari sistem zonasi ini, dan mereka juga jujur terutama dalam pembuatan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Sebab pembuatan SKTM hanya untuk masyarakat dengan ekonomi rendah ke bawah.
Penutup
Point-point yang disampaikan di atas merupakan temuan,kajian lapangan yang menjadi permasalahan mendasar dari implementasi kebijakan sistem zonasi ini. Dengan adanya perubahan seperti yang telah disarankan di atas maka paling tidak dapat meminimalisir atau menghilangkan noda hitam persoalan sistem zonasi. Singkat kata kebijakan zonasi perlu di daur ulang. Meskipun didaur ulang namun tetap kami menolak lupa.


Daftar Pustaka
Apinino, Rio, “Empat Kelemahan Sistem Zonasi dalam PPDB 2018” dalam https://www.google.co.id/amp/s/amp.tirto.id/empat-kelemahan-sistem-zonasi-dalam-ppdp-2018-cNP9. Diakses Senin, 05/11/2018.
Imron, Ali, 2008, Kebijakan Pendidikan di Indonesia, PT. Bumi Aksara, Jakarta.
Pengelolah web Kemdikbud, Langkah Strategis Perbaikan Sekolah Di Tahun Ajaran Baru, 14 Juli 2017.
Prasetyono, Emanuel, 2014. Tema-tema Eksistensialisme, Fakltas Filsafat Unika Widya Mandala, Surabaya.
Putri, Zunita Amelia, “Mendikbud: PPDP Pakai Sistem Zonasi agar Sekolah Dekat Keluarga” dalam https://m.detik.com/news/berita/4082734/mendikbud-ppdp-pakai-sistem-zonasi-agar-dekat-keluarga diakses Selasa,06 /11/2018.
Sindhunata (edi.), 2000, Mengagas Paradigma Baru Pendidikan, Kanisius, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar