MENOLAK
LUPA AKAN DUKA
(Sebuah
Refleksi Kritis atas Kebijakan Zonasi)
Yosep Belen Keban
Pendahuluan
Dalam
penyelenggaraan pendidikan ditemukan begitu banyak persoalan yang segera
diatasi baik dari segi infrastruktur, kualitas guru, peningkatan mutu, dan juga
soal pemerataan pendidikan. Aneka upaya dilakukan oleh pihak-pihak yang
berkepentingan salah satunya adalah upaya pemerintah dalam pemerataan
pendidikan di Indonesia. Pemerataan yang dimaksud adalah pemerataan layanan
yang sama. Layanan sama artinya layanan pendidikan yang adil dan dirasakan oleh
semua pihak (Imron, 2008: 114). Menjadi persoalan di sini adalah bagaimana
pemerataan itu dapat dirasakan oleh semua pihak?
De
facto, pendidikan kita belum adil-merata dan hal ini dapat ditelisik dengan adanya
perspektif masyarakat soal sekolah dalam tanda petik sekolah unggul dan
non-unggul. Di sini adanya diskriminasi dalam pendidikan sehingga masyarakat
dengan ekonomi-finansial mampu atau di atas rata-rata dapat menyekolahkan
anaknya di sekolah-sekolah favorit sebab sekolah favorit memberikan potret
positif kepada masyarakat luas baik soal mutu pendidikan maupun outcomes dari peserta didik. Berkaiatan
dengan hal itu, maka tidak heran kalau setiap kali tahun ajaran baru
sekolah-sekolah non favorit sangat sulit mendapatkan peserta didik baru. Ini
adalah tantangan atau ancaman bagi lembaga pendidikan. Tidak hanya minimnya
peserta didik tetapi bisa juga menjadi ancaman bagi lembaga pendidikan untuk
gulung tikar. Melihat realita demikian, pemerintah pun mulai berupaya menyudahi
persoalan mengenai pemerataan pendidikan.
Upaya
pemerataan dalam penerimaan peserta didik baru, pemerintah melalui Kemendikbud
memberlakukan kebijakan zonasi yang dikemas dalam Permendikbud Nomor 14 Tahun
2018 tentang PPDK sistem zonasi. Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Muhadjir Efendy, kebijakan ini bertujuan untuk melaksanakan reformasi
pendidikan yang dimulai dari sekolah. Hal ini lahir sebagai bentuk jawaban atas
salah satu permasalahan dasar dalam dunia pendidikan yakni pemerataan
pendidikan yang berkualitas. Ini sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo.
Upaya
pemerintah mengatasi permasalahan pemerataan pendidikan dengan dikeluarkannya
keputusan mengenai zonasi tentu saja menelurkan pro-kontra di masyarakat. Ada
yang mendukung program pemerintah namun ada segelintir orang dan lembaga yang
merasa dirugikan sehingga melahirkan nada-nada protes. Ironisnya kebijakan itu
membawa duka bagi peserta didik seperti yang diketahui pada permulaan penerapan
kebijakan zonasi di tahun ajaran baru tahun kemarin (2017/2018). Salah satu
yang menyentakan publik, menjadi trend
topic beberapa pekan dimedsos dan media masa adalah bunuh diri yang
dilakukan oleh El. El adalah seorang siswi Sekolah Menengah Pertama di kota
Blitar, yang ditemukan meninggal dunia dengan cara gantung diri pada Selasa, 29
Mei 2018. Ia didiga melakukan aksi ini karena tidak bisa masuk ke sekolah favoritnya sebab terganjal sistem
zonasi. Ini sebuah sejarah yang terus dikenang. Kami menolak lupa. Dengan
adanya kisah ini publik kembali bertanya-tanya mempersoalkan kebijakan ini.
Bagi sebagian masyarakat berpendapat bahwa kebijakan ini tentu saja mengebiri
kebebasan manusia, membatasi ruang gerak peserta didik, membendung keinginan,
dan lain-lain. Pemerintah dalam upaya pemerataan pendidikan bukan seharusnya
membatasi kebebasan peserta didik, namun berupaya menciptakan, mensubsidi dana
dan mensejahterakaan lembaga pendidikan yang dianggap kurang favorit di mata
masyarakat itu. Sehingga banyak asumsi terdengar bahwa kebijakan ini memiliki
muatan politik. Lalu, apakah benar demikian? Kebijakan zonasi ini belum terlalu
awam di telinga para masyarakat dengan demikian perlu adanya sosialisasi lebih
lanjut. Tulisan ini akan menyibak tirai kebijakan zonasi yang dikeluarkan oleh
pemerintah dan mengingatkan akan generasi untuk tidak melupakan peristiwa duka.
Kami menolak lupa. Tulisan ini merupakan sebah bentuk refleksi kritis atas
kebijakan sistem zonasi.
Zonasi Pendidikan
Pengertian
secara umum mengenai zonasi merupakan sebuah sistem yang mewajibkan sekolah
menerima peserta didik baru sebesar 90% dari total daya tamping sekolah bagi
peserta didik yang tempat tinggalnya berada pada radius zona terdekat dari
sekolah. Dasar hukum sistem zonasi ini
diatur dalam Permendikbud nomor 14 tahun 2018 yang merupakan pengganti dari
peraturan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan sebelumnya yakni Permendikbud nomor 17 Tahun 2017 tentang Penerimaan
Peserta Didik Baru (PPDB) baik pada Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah
Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan, atau bentuk
lain yang sederajat yang dinilai tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan
layanan pendidkan. Adapun alasan dikeluarkannya
kebijakan sistem zonasi oleh
Permendikbud adalah sebagai strategi pemerintah untuk mewujudkan pemerataan
akses dan mutu pendidikan secara nasional. Sistem zonasi PPDB bertujuan untuk
menjamin penerimaan peserta didik baru berjalan secara objektif, akuntabel,
transparan, dan tanpa diskriminasi sehingga meningkatkan image pendidikan kita.
Salah
satu poin penting yang diangkat dalam zonasi adalah Penerimaan Peserta Didik
Baru (PPDP). Mendikbud menekankan radius jarak antar domisili siswa dengan
sekolah sehingga ada kedekatan lingkungan sekolah dengan lingkungan keluarga. Pada Pasal 15 menyatakan dengan gamblang bahwa
sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah wajib menerima calon
peserta didik baru yang berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah. Paling
sedikit menerima sebesar 90% dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang
diterima ketika pendaftaran. Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,
Muhadjir Effendy dalam Diskusi Media Forum Merdeka Barat 9 bahwa kebijakan
zonasi bukan hanya soal Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDK) tetapi zonasi ini
terkait dengan banyak hal terkait upaya pemerintah untuk melakukan reformasi
sekolah. Kebijakan Zonasi ini memiliki
kaitan dengan penguatan pendidikan karakter yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017, dan
juga pengaturan reposisi kepala sekolah dengan permendikbud.
Mengenai
kebijakan zonasi ini salah seorang anggota komisi X DPR RI yakni My Esti
Wiyanti dalam kesempatan yang sama mengatakan bahwa “kebijakan zonasi merupakan sebuah kebijakan yang sudah tepat, dan perlu
didukung semua pihak”. Ia juga berpendapat bahwa dengan adanya kebijakan
zonasi ini maka kualitas pendidikan dapat ditingkatkan dan dapat dirasakan
secara adil merata. Dengan demikian, kebijakan ini membutuhkan komitmen yang
tinggi dari pemerintah pusat dan daerah.
Sedangkan pemerataan pendidikan merupakan sebuah
upaya keadilan dalam bidang pendidikan
(Imron, 2008: 114). Pendidikan yang adil berarti merupakan sebuah cita-cita
negara yang termaktub dalam Pancasila. Sejak zaman para founder fathers, terminologi pemerataan pendidikan menjadi topik
sentral dalam pendiskursusan. Begitu banyak nada-nada minor lahir dari
masyarakat mempersoalkan aneka kebijakan yang tidak menguntungkan masyarakat
dan tidak berkeadilan. “Wajah pendidikan
kita belum mengambarkan pendidikan yang berkeadilan sosial bagi seluruh
masyarakat Indonesia”. Begitulah penggalan kalimat yang sering terdengar
dari bibir masyarakat kecil. Mereka tentu saja prihatin dengan kondisi
pendidikan kita yang dalam notabene-nya masih penuh ketimpangan di sana-sini. Ketimpangan dalam pendidikan secara de facto
dapat ditelisik dengan gamblang yakni adanya diskriminasi sekolah. Sekolah
dikategorikan oleh masyarakat sebagai sekolah favorit dan non favorit. Hal ini
kemudian membawa keuntungan bagi sekolah-sekolah yang dikategorikan dalam
sekolah favorit tiap tahunnya yang ditandai dengan berjudelnya peserta didik
baru sedangkan akan membawa dampak negatif bagi sekolah non favorit karena
minat peserta didik baru berkurang bahkan tidak ada sehingga ada begitu banyak
lembaga pendidikan yang terpaksa harus guling tikar. Menyikapi hal itu,
pemerintah tidak tinggal diam. Upaya pemerintah untuk meminimalisir dan
mengatasi persoalan pemerataan pendidikan adalah dengan dikeluarnya kebijakan
baru yakni zonasi.
Efenddy
(2017) menyatakan bahwa ke depan tidak ada lagi sekolah favorit dan tidak
favorit. Kebijakan ini tentu membuat sekolah menjadi sekolah favorit. Sebab
dengan adanya kebijakan ini semua sekolah memiliki kualitas dalam pendidikan.
Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dilakukan dengan dua cara yakni
pendaftaran melalui jejaring (daring) yaitu melalaui laman (website) resmi PPDB
di daerah masing-masing dan pendaftaran melalui luring (luar jaringan) yaitu
mendaftar langsung ke sekolah.
Menteri pendidikan dan kebudayaan, Muhadjir
Effendy menyampaikan bahwa sistem zonasi ini merupakan uapaya pemerintah dalam
pemerataan kualitas pendidikan di berbagai penjuru daerah Indonesia. Selain
itu, para calon siswa yang memiliki kemampuan di atas rata-rata dalam hal
akademik akan menyebar dan tidak lagi berkumpul dibeberapa sekolah yang dalam
tanda kutip sebagai sekolah favorit. Sedangkan sisa 10% dari jumlah total
penerimaan peserta didik dapat dibagi menjadi dua yakni: pertama jalur prestasi
bagi peserta didik yang berdomisili di luar zona terdekat dari sekolah. Kedua
bagi jalur peserta didik yang
berdomisili di luar zona terdekat dari sekolah dengan alasan tertentu seperti
perpindahan domisili orang tua, terjadi bencana alam. Domisili peserta didik
harus sesuai dengan alamat domisili yang ada di kartu keluarga orang tua yang
diterbitkan paling lambat enam (6) bulan sebelum penerimaan peserta didik
dibuka.
Pada
pasal 16 menyatakan bahwa untuk SMA, SMK dan bentuk sederajat lainnya yang
diselenggarakan oleh pemerintah daerah provinsi wajib menerima peserta didik
baru yang berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu di satu wilayah daerah
provinsi paling sedikit 20% dari jumlah peserta didik yang diterima. Peserta
didik yang diterima itu harus dibuktikan
dengan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) atau bukti lainya yang diterbitkan
oleh pemerintah daerah setempat. Sedangkan pada pasal 17 menyatakan bahwa “Ketentuan
zonasi ini tidak berlaku bagi SMK, Sekolah Indonesia di luar negeri, Sekolah
berasrama, Satuan Pendidikan kerja sama, sekolah di daerah 3 T
(TERTINGGAL-TERDEPAN-TERLUAR).
Kritik soal Zonasi: Kami Menolak
Lupa
Kebijakan
zonasi yang dikeluarkan pemerintah sebagai jawaban atas persoalan pemerataan
pendidikan tidak hanya membawa angin segar bagi pendidikan kita sehingga
mendapat dukungan penuh dari masyarakat, namun nada-nada kontra pun lahir dari
para masyarakat. Di dunia maya terdapat banyak sekali polemik soal ini.
Masyarakat dalam hal ini orang tua menilai bahwa kebijakan zonasi ini tentu
saja membawa ketidakadilan dalam dunia pendidikan. Zona radius tempat tinggal
menjadi penentu utama, maka anak kami yang dipinggiran tetap harus sekolah
dipinggiran padahal ada keinginan kuat anak kamu untuk melanjutkan pendidikan
di kota. Mereka khawatir anak mereka yang memiliki potensi tidak dapat
meningkatkan prestasi sebab sekolah yang selama ini dinilai favorit kebanyakan
terletak di tengah kota. Mereka juga cukup kecewa sebab terdapat perbedaan
dalam hal ini fasilitas sekolah antara sekolah yang dinilai favorit dahulu
karena memang memiliki fasilitas lengkap dan non favorit. Sehingga perkembangan
anak terutama dalam menggali minat dan bakat di sekolah yang dulunya non
vaforit dipertanyakan atau menjadi bahan diskursus.
Kebijakan zonasi semacam menjadi
tembok penghalang bagi peserta didik untuk menjawabi keinginan dan
kebebasannya. Orang tua merasa kebijakan ini seakan membunuh, menguburkan, dan
membatasi ruang kebebasan (freedom)
peserta didik kami. Pemerintah sendiri menguburkan hak anak-anak kami untuk
bebas memilih sekolah. Kebijakan ini sudah memakan korban. Kami kehilangan anak
kami sebab dengan adanya kebijakan ini. Kita sendiri melihat dan menyaksikan
kasus bunuh diri yang dilakukan oleh El, seorang siswi di SMP kota Blitar. Ia
nekad mengakhiri hidupnya sebab ia merasa ruang kekebasan direnggut oleh para
pemangku birokrasi. Kebebasan untuk memilih (chooise to freedom) merupakan hak tiap orang. Jadi, kalau
pemerintah membatasi ruang kebebasan peserta didik melalui zonasi, maka
pemerintah sedang mengebiri, mengubur kebebasan manusia dalam hal ini peserta
didik. Padahal menurut seorang pemkir kondang, Jean-Paul Sarte mengatakan
dengan keras bahwa “manusia adalah kebebasannya”. Takdir manusia adalah
kebebasan. Kebebasan itu Nampak dalam pilihan-pilihannya. Ia mengisi hidupnya
dengan kebeasan yang dibuatnya. Gambaran pemikiran Sarte ini tentu saja
bertolak belakang dengan kebijakan zonasi yang dibuat oleh pemerintah. Di sini
pemerintah hadir semacam sebuah raksasa yang mencaplok kebebasan manusia untuk
memilih, ia hadir sebagai pembunuh impian peserta didik.
Dalam Media CNN Indonesia yang
dikeluarkan pada tanggal 10/07/2018 menyatakan bahwa ditemukan sejumlah aksi
dilapangan sebagai akibat dari penerapan sistem zonasi. Di sejumlah daerah
seperti di Bandung, Manado, dan Tangerang ditemukan adanya aksi demonstran, ada
juga bunuh diri, serta kasus penyanderaan. Di Bandung banyak orang turun ke
jalan-jalan berunjukrasa sebab mereka tidak sanggup membiayai anaknya di
sekolah-sekolah swasta apabila mengikuti regulasi sistem zonasi pemerintah. Sedangkan
di Tangerang, Banten, kisruh sistem zonasi berlangsung panas. Mereka merangsek
ke dalam gedung SMP 23 Pinang dan menyandera Kepala Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan kota Tangerang. Mereka menyandera sebab mereka tidak terima anaknya
yang tidak diakomodir di sekolah tersebut. Tidak hanya menyandera tetapi juga
menyegel gedung sekolah.
Kebijakan
ini menuai protes di berbagai daerah. Salah satunya di Kupang-NTT. Ratusan orang tua murid di
kota Kupang menggelar aksi unjuk rasa di kantor DPRD NTT dan Dinas Pendidikan
NTT. Mereka memprotes kebijakan zonasi ini sebab mereka menilai kebijakan ini
akan menghambat anak-anak. Mereka memprotes sebab anak mereka tidak
diakomodir di sekolah negeri karena
penerapaan sistem zonasi dalam PPDB. Mereka juga menilai sistem ini membunuh
keinginan anak untuk melanjutkan pendidikan. Berkaitan dengan praktik kebijakan
zonasi pada tahun 2018, Antonio Soares, salah satu orang tua murid mengaku
kecewa sebab banyak anak-anak yang tinggal paling dekat dengan radius sedkolah
SMAN 3 malah tidak diterima, ujarnya kepada wartawan, rabu 11/07/2018. Ia
kecewa sebab ada murid di kecamatan lain bisa diakomodir di SMAN 3. Nada-nada
protes tidak hanya terjadi di sini tetapi hampir disetiap pelosok daerah
memprotes kebijakan zonasi ini sebab diangap membawa kepincangan.
Berkaca
dari kisruh-kisruh itu, ada baiknya dilakukan evaluasi lebih lanjut. Niat baik
pemerintah untuk melenyapkan kastanisasi sekolah antara sekolah favorit dan non
favorit berujung tidak mulus seperti yang direncanakan. Sungguh ironis, bukan?
Hal yang paling kentara adalah tidak seimbangnya daya tampung sekolah dengan
jumlah siswa. Akibatnya, banyak di antara siwa yang tidak tertampung oleh
sekolah padahal jarak sekolah dengan rumah begitu dekat. Ironis lagi, bukan?
Federasi
Serikat Guru Indonesia (FSGI) lewat pantauan langsung mereka diberbagai daerah
menyatakan bahwa ada empat persoalan sistem zonasi ini (Apinio, 2018). Kempat
persoalan itu adalah: Pertama,
munculah jalur SKTM. Menurut Satriwan Salim, Wasekjen FSGI bahwa jalur SKTM itu
mengada-ada soalnya di pasal 16 ayat 1 sampai 6 Pemendikbud Nomor 14 Tahun 2018
tentang PPDB tidak ada istilah jalur SKTM. Kedua,
perpindahan tempat tinggal secara tiba-tiba. FSGI menilai perpindahan peserta
didik secara tiba-tiba yakni menampung namanya di kartu keluarga (KK)
saudaranya atau handaitaulannya di tempat tertentu demi bisa sekolah di daerah
itu bisa terjadi. Dan hal itu menurut pantaun Tim FSGI terjadi di Kramat Jati-Jakarta
dan tentu saja berbenturan dengan pasal 16 ayat 2 mengenai penerbitakan kartu
keluarga paling lambat 6 bulan sebelum pelaksanaan PPDB. Menurut Satrian pasal
ini tidak menjelaskan secara baik soal alasan migrasi. Jangan sampai migrasi
diperuntukan bagi siswa yang berkeinginan sekolah di sekolah favorit. Hal ini
kemudian disimpulkan bahwa sistem zonasi bisa dikelabui. Ketiga,soal
sekolah didaerah pemukiman pasti sepih peminat. Hal ini kemudian akan
berpengaruh pada guru soal jam mengajar sehingga guru bisa saja tidak mendapat
sertifikasi. Keempat, ada persoalan sekolah yang kelebihan siswa dan
ada sekolah yang kekurangan siswa. Dengan demikian ditemukan aneka ruang kelas
yang malah kurang dan juga lebih atau kosong.
Sebuah Refleksi Kritis atas Zonasi
Sistem
zonasi yang diimplementasikan pada tahun ajaran kemarin 2017/2018 membawa
“kegaduhan publik”. Tidak saja membawa kegaduan, tetapi juga “membawa duka”
bagi pendidikan kita. Wajah pendidikan kita kembali menjadi trending topic. Potretnya yang dulunya sedikit
bercahaya kini redup-suram terhempas kebijakan yang dinilai prematur. Sunggu
ironis! Ada apa dengan pendidikan ini? Oh sungguh teramat miris nasibmu
generasi milenial atau “generasi zaman now”.
Anda tidak bisa lagi ke sana dan ke situ, berpijak pada sekolah impianmu. Kau
tak bisa lagi bermimpi tentang itu, anakku. Zonasi sudah mencekalmu. Zonasi
membunuh kebebasanmu. Miris bukan? Ataukah zonasi membuatmu sumbringah? Tapi
aku yakin itu tidak. Tiliklah temanmu, El di kota Blitar yang kini sudah
menjadi jasad. Ia menangis piluh ketika ada mengada. Ketika ia tau bahwa
dirinya tak mungkin berpijak di sekolah itu, ia merasa semuanya telah usai. Ia
pun memilih gantung diri, tragis oh tragis. Zonasi membawa korban. Kemarin, sebelum dan setelah aksi bunuh diri
El, terdengar nada protes di sana sini.
Ratusan, ribuan massa termasuk orang tuamu menelusuri lorong dan jalan-jalan
menantang zonasi ini. Mereka membawa aneka tulisan, menghujat dan mengutuk
kebijakan zonasi. Kecewa, marah bercampuraduk. Mereka berjalan sepanjang jalan
menuju penampung aspirasi. Mereka berteriak lantang, pekikan keras menggetarkan
jagad. Namun, apakah nada itu didengar? Nada-nada tanpa suara. Suara
orang-orang bisu-suara orang-orang kalah yang tak digubris oleh para pendulang
suara. Kami menolak lupa. “Zonasi untuk
apa? Zonasi untuk siapa? Kami tak butuh zonasi? Zonasi melahir duka, zonasi
melahir gaduh”. Kau anggap ini pemerataan namun yang ada adalah diskriminasi,
kau anggap sudah beras tapi kami angap ini belum, ini belum usai wahai para
pemikir elit. Ini untuk kami miskinkah, lalu bagaimana dengan yang kaya? Apakah
kami harus berebut kuota di sekolah itu? Kami anak kampong, tak punya hakkah
untuk kami merasakan hawa kota? Atau kami anak kampung dikadirkan untuk
menghabiskan waktu dibangku sekolah dikampung? Aku anak pinggiran, hakku sudah
direnggut hingga aku tetap menjadi anak pinggiran bahkan pendidikan pun
membatasiku, mencekalku untuk keluar dari zona kepingiranku. Tidak hanya itu.
Ini soal SKTM yang juga menjadi incaran kaum borjuis. Bukan hanya incaran tapi
malah dimiliki anaknya. Anak si petani singkong, anak si tukang batu, anak si
tukang jamu, anak-anak kaum marginal, dan anak-anak kaum bermodal kita
sama-sama mempunyai SKTM. Ironis bukan. SKTM untuk kami miskin ataukah untuk
mereka juga yang kaya? Jika untuk kami, mengapah mereka juga memilikinya? Ini
pembohongan, pembohongan publik. Oh sampai kapankah ini? Ini potret pendidikan
kita. Pendidikan yang masih banyak harus dibenahi. Ini duka kita, ini kegaduhan
yang kita gaduhi di ruang publik hingga muncul sentiment antar kelas. Ini
sampai kapan? Duka dan gaduh akhiri saja soal pendidikan adalah tanggungjawab
kita.
Rekomendasi
Menilik
aneka kegaduhan yang terjadi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDP) sistem
zonasi pada tahun ajaran 2017/2018 yang bersandar pada Permendikbud nomor 14/2018,
maka yang menjadi bahan rekomendasinya adalah demikian. Perluh adanya penegasan
lebih lanjut soal pasal 16 ayat 2 tentang migrasi yang diatur dalam KK paling
lambat enam bulan sebelum PPDP. Hal ini perlu ditegaskan kembali agar tidak
menemukan kecurangan, dan praktik-praktik lain yang menyimpang. Selain itu
pula, pemerintah bersama Dinas Pendidikan terkait untuk melakukan pemetaan
ulang terkait zonasi secara cermat dan mendirikan atau meningkatkan
sarana-prasarana disetiap kecamatan. Hal ini bertujuan agar pemerataan
pendidikan seperti yang diidealkan oleh pemerintah bisa terjawab. Dan hal lain
yang paling penting adalah, pemerintah harus melakukan sosialisasi ke
masyarakat mengenai ini sehingga masyarakat dapat menyadari sistem zonasi ini,
dan mereka juga jujur terutama dalam pembuatan Surat Keterangan Tidak Mampu
(SKTM). Sebab pembuatan SKTM hanya untuk masyarakat dengan ekonomi rendah ke
bawah.
Penutup
Point-point
yang disampaikan di atas merupakan temuan,kajian lapangan yang menjadi
permasalahan mendasar dari implementasi kebijakan sistem zonasi ini. Dengan
adanya perubahan seperti yang telah disarankan di atas maka paling tidak dapat
meminimalisir atau menghilangkan noda hitam persoalan sistem zonasi. Singkat
kata kebijakan zonasi perlu di daur ulang. Meskipun didaur ulang namun tetap
kami menolak lupa.
Daftar Pustaka
Apinino,
Rio, “Empat Kelemahan Sistem Zonasi dalam PPDB 2018” dalam https://www.google.co.id/amp/s/amp.tirto.id/empat-kelemahan-sistem-zonasi-dalam-ppdp-2018-cNP9. Diakses Senin, 05/11/2018.
Imron, Ali, 2008, Kebijakan Pendidikan di Indonesia, PT.
Bumi Aksara, Jakarta.
Pengelolah
web Kemdikbud, Langkah Strategis
Perbaikan Sekolah Di Tahun Ajaran Baru, 14 Juli 2017.
Prasetyono,
Emanuel, 2014. Tema-tema Eksistensialisme,
Fakltas Filsafat Unika Widya Mandala, Surabaya.
Putri,
Zunita Amelia, “Mendikbud: PPDP Pakai Sistem Zonasi agar Sekolah Dekat
Keluarga” dalam https://m.detik.com/news/berita/4082734/mendikbud-ppdp-pakai-sistem-zonasi-agar-dekat-keluarga diakses Selasa,06 /11/2018.
Sindhunata (edi.), 2000, Mengagas
Paradigma Baru Pendidikan, Kanisius, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar