Senin, 20 November 2017

Akulturasi

 Filsafat Antropologi
Salahkah Akulturasi Itu?
(Sebuah Telaah Filosofis-Kultural Mengenai Korelasi Manusia-Alam dan Budaya)
Yosep Belen Keban


I.                   Pendahuluan

    Diskursus mengenai akulturasi tentu tidak asing lagi bagi kaum modern apalagi  kaum postmodern. Akulturasi sendiri semacam sebuah keniscayaan yang mana harus diterima sebab ia ada dalam pusaran globalisasi. Berbicara mengenai akulturasi berarti kita berbicara mengenai dua macam kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi. Dewasa ini kita sedang berhadapan atau bertatap muka dengan hal itu dan tidak semestinya dikibuli. De factonya demikian.
    Perubahan zaman yang kian dahsyat telah menerobos atau pun membongkar sekat-sekat kehidupan manusia yang rigid yang mana dibaluti dengan  aliran supersesionisme. Globalisasi telah mencukur dengan ganas tembok-tembok kaku kaum primitive itu sehingga mengubah mentalitas dan perspektif manusia tradisional. Sebagian manusia yang masih berpelukan dengan aliran supersesionisme menganggap hal ini sebagai sebuah bahaya yang mana harus dengan cepat ditangani sebab jika tidak maka nilai-nilai kebudayaan yang ada akan pupus. Cara pandang demikian tentu menafikan akulturasi itu sendiri. Namun sebagian juga manusia berpikir positif akan akulturasi itu sendiri. Di sini akulturasi mendapat ruang dalam dinamika hidup manusia yang mana terus berubah dalam pusaran waktu. Akulturasi dipandang sebagai suatu kemajuan, sebuah hal yang positif, integral dan inovatif. Kehadirannya membuka cakrawala berpikir manusia baik itu mengambil, memfilter lalu memutuskan apakah hal ini diterima atau tidak. Di sini peran rasio diutamakan.
Apakah akulturasi itu salah? Pertanyaan ini tentu lahir dari kaum pesimistis yang mana menafikan akulturasi itu sendiri. Pertanyaan ini tentu terasa sangat infantil namun mau manggambarkan perkara sikap manusia dalam menerima pengaruh akulturasi itu sendiri. Manusia cendrung berpikir salah akan akulturasi karena takut atau cemas akan nilai-nilai kebudayaan yang sudah ada. Kebudayaan lokal atau tradisionallah yang dianggap paling benar atau valid meskipun tanpa dipertimbangkan secara logis dan kritis. Eksistensi kebudayaan yang diwarisi diterima begitu saja sebagai itu yang benar. Nah, cara pandang demikianlah mendeskripsikan manusia ada dalam ranah primitif.
Pada hal akulturasi itu sendiri merupakan sebuah perkembangan yang baik. Hal itu tentu lahir dari tiga komponen utama yakni manusia-alam dan kebudayaan itu sendiri. Ketiga hal ini tidak dapat dilepaspisahkan. Nah, jika kita menerima akulturasi itu berarti manusia yang adalah subyek dari budaya dan alam menerima kebudayaan luar yang mana lahir dari alam itu sendiri lalu mengelaborasikannya ke dalam kebudayaan kita. Di sini tentu dibutuhkan kepekaan dan kekritisan dalam menilai dan menyerap kebudayaan yang masuk. Jadi, tidak salahkan alkuturasi itu kan.

II.                Bingkai Kehidupan Pra-akulturasi
        Manusia adalah makhluk  sosial. Sejak lahir ia merealisasikan dirinya dengan yang lain. Ia tidak lahir dari dan ada untuk dirinya sendiri. Manusia itu selalu ada bersama yang lain, tinggal dengan yang lain baik itu sesama-alam maupun budayanya.  Dengan keberadaannya itu, ia mencari esensi (esse) dirinya. Di titik ini, ia akan menyadari bahwa “aku” makhluk yang terbatas sekaligus melampaui keterbatasannya dengan berelasi dengan sesama-alam dan budaya. Manusia mengakui bahwa ia makhluk yang terbatas maka dengan sendiri ia sedang merindukan sesuatu yang mengatasi keterbatasannya. “Sesuatu” itu ia tidak menemukan dari keterbatasannya, melainkan ia menemukan pada diri yang lain, atau pada alam. Karena itu dapat disimpulkan manusia itu makhluk kolektif, karena kehadiran yang lain memberi sumbangsih untuk menemukan esensi hidupnya, kesejatian dan kesempurnaan hidupnya.  
Manusia pada zaman pra-akulturasi disebut juga masyarakat primitif.[1]  Manusia pada tahap itu sangat erat hubungan dengan alam. Manusia sungguh-sungguh menaruh seluruh harapannya pada alam. Alam menjadi subyek dalam menentukan masa depan dan hidupnya. Ia tidak bisa memisahkan dirinya dari alam, karena alam merupakan unsur terpenting dan sumber utama bagi manusia itu dalam mempertahankan hidupnya. Manusia hidup sebagai makhluk terbelakang yang tidak dapat berbuat apa-apa selain tunduk pada alam. 
Fenomen masyarakat tradisional, biasa menjadikan alam yang membentuk bahkan mendominasi hidupnya. Alam diakui memiliki kekuatan mitis yang harus diagungkan, disembah oleh manusia. Manusia tidak berani untuk  melawan keadaan alam tersebut, sehingga sikap pengeksploitasi maupun pengrusakan terhadap citra alam jarang terjadi bahkan tidak ada. Manusia dan alam memiliki relasi yang yang vertikal bukan horisontal. Alam lebih tinggi dari manusia, dengan sendirinya manusia harus taat padanya.     
Dalam bingkai hidup primitif, manusia pada tahap ini belum tunduk pada otoritas akal budi. Karena era tersebut yang didewakan bukan rasional melainkan kekuatan-kekutan mitos. Dengan demikian mentalitas masyarakat zaman itu memiliki alam pemikiran yang “pra-logis.”[2] Manusia itu memaknai hidupnya dengan lebih sederhana dan monoton. Monoton di sini bahwa manusia itu lebih mengarahkan hidupnya pada kekuatan-kekuatan gaib, yang memengaruhi akal budi dan batin manusia. Kekuatan ratio maupun kehendak hati diduafungsikan oleh manusia itu. Ia menjadi asing bagi kehendak dan akal budinya sendiri.
Perjumpaan manusia dengan alam bukan perjumpaan biasa, melainkan perjumpaan yang luar biasa. Perjumpaan tersebut melahirkn banyak kekayaan bagi manusia. Kekayaan itulah yang kami sebutkan sebagai kekayaan budaya. Budaya makan, budaya bercocok tanan, budaya seni bermusik, budaya komunikasi baik verbal maupun non-verbal dan sebagainya. Keanekaragaman budaya tersebut mau menggambarkan betapa kayanya manusia tinggal dalam budaya dan alam. Menyadari hal ini, maka kita berasumsi bahwa betapa indah hubungan antar manusia-alam dan budaya. Dengan demikian berbicara tentang manusia tidak terlepas dari alam dan budaya, begitu pula sebaliknya berbicara tentang budaya dan alam tidak terpisahkan dari manusia. Ketiga komponen itu tidak dapat dilepaspisahkan . Alam-budaya dan manusia merupakan sebuah relasi mata rantai yang tak dapat diputuskan. Bila terjadi pemutusan hubungan antar ketiganya maka gerakan, perputaran dengan sendirinya mogok.    
Ketika kesadaran semakin mendalam akan pentingnya alam bagi hidup manusia, maka manusia itu menjadi makhluk berbudaya, makhluk pecinta dan pelestari alam seperti dirinya sendiri. Manusia tinggal dan ada di dalam alam, bersejarah dan berkembang di dalam alam. Alam sungguh memberi warna kepada hidup manusia, sehingga ia dapat bersikap ramah terhadap alam, berperilaku baik dan adil terhadap alam yang melahirkan sikap khas manusia itu bahwa pada hakikatnya ia baik. Manusia mulai mengenal norma-norma kehidupan. Cara hidup demikian menunjukan bahwa manusia itu memiliki kemampuan bertanggung jawab kepada alam. Rasa solidaritas, tanggung jawab, rasa cinta, mengolah alam itulah yang menyadarkan manusia itu bahwa ia berbudaya, memilik norma budaya baik, memiliki akal budi (human mind)”[3] untuk menjaga keharmonisan dengan alam, dan memiliki daya untuk mempertahankan dan melestarikan bukan sekedar menjadi makhluk konsumtif.
Di sini identitas manusia mulai muncul, ia mulai menyadari akan eksistensi dirinya bahwa ia adalah makhluk berbudaya. Meskipun kesadaran sudah mulai terbersit dibenaknya namun ia belum menunjukkan jati dirinya secara penuh, karena hubungan manusia-alam dan budaya masih sebatas hubungan timbal balik, di mana alam menyediakan segala kebutuhan bagi hidup manusia dan manusia melestarikan alam, dengan membuat sesajian seperti korban bakar, maupun mengikuti seni kebudayaan yang menjadi warisan para leluhur. “Warisan sejarah itu lalu diturun-temurunkan ke generasi berikutnya dengan seperti melakukan pemburuan, pembajakan ladang, menciptakan alat-alat perang, dan usaha mempertahnkan keturunan itu sendiri yakni perkawinan.”[4]
Cerminan model masyarakat sebelum akulturasi merupakan suatu pergaulan hidup masyarakat yang berciri individulistik. Masing-masing mempertahankan kelompoknya, merperkokoh kelompok dan budayanya. Sinkretisme budaya jarang terjadi. Percampuran budaya dianggap sebagai pengganggu kenyamanan anggota kelompok lain. Ciri hidup masyarakat sebelum akulturasi sangat tertutup kepada perubahan atau modernisasi budaya. Maka, keadaan masyakat pra-akulturasi disebut juga masyarakat yang murni partisipatif dalam alam. Manusia meleburkan diri ke dalam alam secara total, karena kesadaran manusia bahwa kosmos memiliki kekuatan ilahi.
Sistem pengelolaan terhadap alam dan budaya belum mencirikan kebebasan pada manusia. Manusia seolah-olah berkutat pada suatu dunia yang disebut krisis identitas. Karena relasi yang di bangun manusia dengan alam masih bersumber pada persolaan ekspresi hidup karena perasaan “takut”[5] bukan pada suatu relasi pada tatanan rasional. Prasaan “takut” yang menyelimutinya membuat dia terbelenggu di dalam perasaannya sendiri bahwa tampak suatu kekuatan dari luar yang tak boleh disentuh oleh pikiran manusia. Budaya seperti itu hingga era modern-bahkan postmodern diam-diam masih diwariskan dikalangan masyarakat. Misalkan orang tua yang mewarisi kepada anak-anaknya suatu norma budaya yang sebenarnya tidak logis. Ketika anak menerima sesuatu  dari orang tua dewasa dengan tangan kiri dianggap jahat atau tidak sopan. Apa bedanya antar tangan kiri dengan tangan kanan? Apakah keduanya tidak membantu manusia untuk menghasilkan sesuatu bagi dirinya? Lantas mengapa ada larangan? Lukisan singkat itu hendak mengatakan bahwa karena dominasi perasaan takut orang melalaikan budaya nalarnya untuk merespon dengan logis.
Dari gambaran di atas mengenai kehidupan manusia sebelum akulturasi, mereka sungguh menegasikan gaya hidup profan. Mereka lebih menekankan hidup primitif yang dianggap jauh lebih sakral. Mereka sangat menekankan norma hidup yang menjaga kesucian alam dengan kekayaan budaya yang terkandung di dalamnya. Maka, prihal mengenai pengalihrupaan budaya minim terjadi, karena struktur hidup manusia pada tahap pra-akulturasi hanya bersifat “Order atau ketertaatan” dan “Regulation atau keterulangan.”[6] Pemaknaan hidup manusia pada tahap ini, di satu pihak menyenangkan karena  budaya lokal tepat terlestari namun agak membosankan karena monoton di pihak lain. Konsekuensinya, manusia pra-akulturasi bersifat eksklusif atau tertutup terhadap masuknya budaya luar, karena klaim-klaim akan budayaku lebih tinggi dari yang lain atau sebaliknya yang bisa melahirkan konflik budaya. Maka, bingkai singkat mengenai manusia yang berada pada pra-akulturasi akan bertentangan dengan manusia yang telah optimis terhadap akulturasi? Perihal tersebut akan digambarkan lebih jauh dalam bagian ketiga.

III.             Akulturasi Bersalahkah itu?

    Menelisik kembali panorama kehidupan manusia yang terbelenggu dalam penjara primitif tentu melahirkan seribu tanya dalam benak ini. Sebab perubahan yang terjadi tidak dimaknai atau tetap saja tidak membawa sedikit perubahan dalam cara pandang manusia. Manusia seolah-olah sedang menutup diri ataupun sedang mengkibuli bahwa perubahan itu ada namun kami menolak akulturasi. Padahal jika kita mengkaji lebih dalam akulturasi tidak pernah salah. Hal ini dikarenakan akulturasi terus saja bergerak dalam pusaran waktu. Ia selalu ada meskipun manusia tidak menyukai keberadaannya. Keberadaan yang tidak ada menurut segelintir orang yang menafikan atau menolak akulturasi akan tetapi pada faktanya mereka sedang mengakuinya secara bungkam.  Hal senada juga dikatakan oleh Jose Rizal dalam monolognya bahwa perubahan itu ada dan jika kita tidak berada dalam perubahan itu maka kita bukan kaum modern.
Modernisme adalah sebuah peralihan hidup dari tradisional. Di sini tidak dapat dipungkiri bahwa cara pandang manusia semakin terbuka sehingga mampu mengkritisi segala macam perubahan dalam setiap sendi-sendi  kehidupan termasuk pengaruh globalisasi itu sendiri yang melahirkan akulturasi. Di sini seolah-olah manusia sudah beralih dari tahap mitis menuju tahap ontologis atau fungsional menurut Van peursen.[7] Akulturasi bagi orang modern atau postmodern adalah sebuah keniscayaan dan meniscayakan subyek  memenerima dan mengkritisi secara kritis faedahnya dalam kehidupan kita jika kita menerimanya. Namun, yang menjadi persoalan di sini adalah sikap kita cendrung mengagung-gungkan budaya kita sebagai itu yang benar lalu menolak kebudayaan asing. “Hal ini adalah sebuah penyakit”, kata Jose Rizal.[8]
Kehadiran akulturasi tidak serta merta diterima begitu saja sebab adanya pengkritisan lebih lanjut dari subyek yang hendak menerimanya. Bisa saja adanya penolakan sebab hal itu dipandang buruk atau tidak berguna dalam kehidupan. Patut kita ketahui bahwa akulturasi itu selalu menyentuh tiga komponen utama dalam kehidupan yakni manusia yang adalah subyek dalam kosmos, alam yang adalah pusat atau tempat pijakan, dan kebudayaan yang mana adalah identitas subyek itu sendiri. Ketiga unsur ini saling berkaitan. Letak keberkaitannya dapat diuraikan demikian. Manusia yang adalah subyek yang mendunia melahirkan budayanya dalam dunia alam lalu mempermanenkan hal itu sebagai itu yang menjadi tradisi sehingga diwariskan turun temurun. Budaya itu lahir dari alam dan manusialah yang menemukannya namun manusia juga bisa ada karena budaya itu sendiri sebab budayalah yang membentuknya.  Hal senada juga diungkapkan oleh Dr. Theo Huijbers dalam bukunya. Ia mengatakan demikian;

Hubungan dunia dan manusia adalah hubungan yang bersifat intensional yang berarti manusia tidak pernah lepas dari dunia dan juga hubungan dialektis yang mana berarti hidup manusia berlangsung dalam hubungan relasional dengan dunia hidupnya.[9]
Nah, dari uraian di atas maka kita dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa manusia-alam dan budaya adalah sebuah mata rantai di mana hubungan ketiganya adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Kesatuan alam dan manusia sangat jelas dicerminkan dalam pandangan hidup orang primitif. Bagi orang Timur rasa ini sangat kuat karena memandang alam sebagai itu yang memberi hidup, itu yang gaib sehingga menjadikan alam sebagai bagian dari hidupnya.[10] Orang-orang primitif sering menggunakan ritus-ritus untuk mempertahankan keseimbangan dengan  alam. Hal ini dikarenakan alam mempunyai aspek religiusitas tersendiri sehingga mengharuskan manusia menciptakan tata cara penghormatan kepadanya. Dalam monolog atau teater, Jose Rizal mengatakan bahwa alam adalah unsur terpenting orang-orang Timur sehingga mereka menyapanya sebagai ibu pertiwi, karena dari dialah kita hidup. Ia mengatakan bahwa kita harus masuk ke dalam alam sebab dari alamlah kita menemukan hal-hal baru.[11] Dalam alam itu sendiri kita menemukan suasana rileks dan dari sanalah lahirlah yang namanya kebudayaan. Nah, hal-hal demikianlah wajib kita pelihara atau kita jaga dan apabila tradisi atau kebudayaan itu jelek wajib kita buang atau jauhkan. Sedangkan yang baik kita terima dan aktualisasikan dalam hidup. Di sini tentu peran rasionalitas dibutuhkan. Pengaktualisasian itu bisa melalui banyak cara salah satunya sebagai aspek edukatif adalah mengajar para generasi baru sama seperti Mas Jose Rizal melalui bengkel teater.
Uraian di atas mengenai korelasi antara alam-manusia dan kebudayaan tentu sudah menjawab persoalan utama kita yakni apakah akulturasi itu salah? Sebenarnya akultursi itu baik hanya saja sikap manusia yang adalah subyek yang mendunia dan berbudayalah yang menentukannya. Akulturasi itu lahir dari unsur-unsur itu juga tetapi hanya saja berbeda pandangan sehingga dibutuhkan sikap kritis di dalamnya.  Singkatnya akulturasi merupakan sebuah perubahan dan berciri inovatif yang mana lahir dari perjumpaan dua atau lebih budaya. Nah dengan menerimanya maka kita memperoleh kekayaan dalam kebudayaan.



IV.             Penutup
Akulturuasi di zaman Modern bahkan Post-modern, sadar maupun tidak bahwa ia telah merasuki jiwa setiap individu. Perncampuran budaya sejak kita dilahirkan telah kita alami. Seperti alat-alat teknologi: Hp, TV, dsbnya. Perjumpaan dua budaya dianggap negatif atau positif sejauh mana kita memandangnya. Bila pencampuran budaya merupakan sesuatu yang menolong hidup kita tentu itu sangat bermanfaat. Namun pencampuran dua budaya modern dan primitif itu merugikan, maka hal inilah yang perlu dihindari. Karena itu dalam cuplikan Jose Rizal, Beliau mengutip sebuah ungkapan dari Kihajar Dewantoro, bahwa dalam pertemuan budaya, kita perlu berani mengambil sikap untuk mengatakan “tidak” pada budaya modern jika itu merugikan budaya lokal, dan berani mengatakan “ya” jika hal itu bermanfaat bagi manusia.
 Akulturasi dalam posisi ini, meniadakan dua ekstrem supersionisme dan inferiorisme. Karena pada dua ekstrem ini hanya mendatangkan klaim pada diri manusia di satu sisi untuk menyombongkan budayanya, bahwa budayaku lebih baik, lebih benar. Di sisi lain, manusia merendahkan diri,bersikap pesimis bahwa budayaku lebih buruk dari pada budaya lain. Di sini yang ditekankan adalah bagaimana pencampuran budaya lokal dan modern dapat memberi satu warna hidup yang baru yang lebih inovatif. Patut dicamkan bahwa akulturasi adalah sebuah keniscayaan dan ia lahir dari tiga unsure itu yakni manusia-alam-dan budaya.
Dengan demikin ketiga komponen, manusia-budaya dan alam, saling memberi sumbangsi bagi potensi hidup manusia sejauh ia menerima dan mengaplikasikannya. Keadaan manusia-alam dan budaya merupakan suatu keadaan yang dinamis. Ketiga komponen tersebut mengalami perubahan sepangjang sejarah. Maka unsur ketertutupan sama sekali terhadap budaya luar tidaklah tepat. Atau unsur terbukaan sama sekali untuk meninggalkan budaya lokal dan menyerap budaya luar tanpa disaring itu juga tidaklah tepat. Maka manusia selain bersikap pesimis ia juga bersikap optimis. Karena peleburan ketiga komponen tersebut sebagai suatu ikatan yang terpisahkan. Manusia melebur dalam alam dan budaya, alam melebur dalam manusia dan budaya sebaliknya budaya melebur dalam alam dan manusia bagaikan kesatuan sebuah mata rantai .  





Daftar Pustaka


          
Huijbers, Theo., Dr.  Manusia Merenungkan Makna Hidupnya. Yogykarta: Kanisius, 1986.

            Putra, Heddy Shri Ahimsa. Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra, Yogyakarta: Galang Printika, 2001.


Rizal, Jose. “Magma Teater Anak.” dalam  KOMPAS. Minggu, 18 Oktober 2015.

Van Person, C.A., Prof. Dr. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: kanisius, 1976.



        













[1] Manusia primitive adalah manusia purba yang hidupnya masih dekat pada alam dan yang masih murni, dan belum terjamah oleh peradaban-peradaban modern. Dunia mereka dipenuhi unsure-unsur gaib, diliputi rahasia dan sangat interesan. Hal ini berbeda dengan kaum rasionalitas yang mengagung-agungkan rasio dan memandang rendah mitos. bdk Prof. Dr. C. Van Person, Strategi Kebudayaan, Yogyakarta: kanisius, 1976, hlm. 34-35.
[2]Ibid., hlm. 36.
[3] Heddy Shri Ahimsa-Putra, Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra, Yogyakarta: Galang Printika, 2001, hlm. 75.
[4] Van Person,Op.cit.,  hlm. 40.
[5] Ibid., hlm. 46.
[6] Heddy., Op.Cit., hlm. 67.  
[8] Maksud Jose Rizal di sini sebagai sebuah penyakit adalah sikap kita menolak kebudayaan orang lain sebagai itu yang salah dan mengatakan kebudayaan kita selalu benar padahal itu salah. Kita terlanjur mencintai lebih jauh sebuah kebudayaan yang salah. Hal ini diungkapkannya dalam monolognya ‘jose Rizal Manua-Monolog Mas Joko’ dalam https:// www.youtube.com.
[9] Dr. Theo Huijbers, Manusia Merenungkan Makna Hidupnya, Yogykarta: Kanisius, 1986, hlm. 16.
[10] ibid.,hlm. 30-31.
[11] Jose Rizal, Magma Teater Anak, dalam KOMPAS, Minggu, 18 Oktober 2015, hlm. 12.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar