Sabtu, 11 November 2017

Filsafat Jean Paul Sartre

MANUSIA YANG BEBAS MENURUT JEAN PAUL SARTRE
Telaah Filsafat Eksistensialisme
Yosep Belen Keban




Pendahuluan
            Lahirnya zaman modern membawa dampak yang begitu hebat di mana peran rasionalitas manusia ditekankan atau ditonjolkan. Rasio manusia seakan menjadi itu yang didewa-dewakan. Hal ini ditandai dengan pemikiran dari Rene Descartes mengenai Cogito Ergo Sum. Pemikiran ini merujuk kepada subyektivitas, kritik dan kemajuan. Kemajuan dan titik tekan rasionalitas pada zaman modern mendapat sorotan tajam dan menukik dari kaum eksistensialis. Filsafat eksistensialisme lahir karena adanya krisis dalam kehidupan yang dibawakan oleh zaman pencerahan dan modernisme. Oleh karena krisis akan makna kehidupan yang dialami maka kaum eksistensialisme mengkritik akal budi. Sebab rasionalitas bukanlah satu-satunya yang dibanggakan dari manusia. Salah satu tokoh eksistensialisme yang tersohor adalah Jean Paul Sartre. Ia terkenal dengan eksistensialisme atheistik, sebab filsafatnya yang menegasikan Tuhan. Lantas, apa yang menjadi dasar pemikiran filsafat Sartre? Bagimana Sartre memahami takdir eksistensi? Bagaimana pandangan Sartre mengenai orang lain? Mengapa kebebasan selalu berkaitan dengan tanggung jawab? Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan pengantar untuk memahami kerangka pemikiran eksistesialisme Sartre yang dibahas dalam paper ini. 

Riwayat Hidup Sartre[1]
            Jean Paul Sartre adalah seorang filsuf eksistensialisme hidup pada abad XX. Sartre lahir di Paris-Prancis tepatnya pada tanggal 21 Juni 1905 dan meninggal pada tanggal 15 April 1980. Ayahnya seorang perwira Angkatan Laut dan meninggal ketika Sartre masih berusia satu tahun. Sartre hidup bersama ibunya-Anna Marie dan kakeknya-Karl Schweitzer di pinggiran kota Paris. Sartre kecil sangat anti dengan kaum borjuis sebab ia sendiri anti dengan kebiasaan dan gaya hidup kaum borjuis. Sartre kecil dikenal dengan keadaan fisik yang lemah. Pada tahun 1924-1928, Sartre belajar di Ecole Normale Superieuri. Selanjutnya Sartre menerima guru besar di Lyeum, Le Havre pada tahun 1931-1933. Le Havre merupakan kota pelabuhan lainnya di Prancis.[2] Dan pada tahun 1933-1935 ia menjadi mahasiswa penyelidik di Institut Prancis, Berlin, dan Universitas Freiburg. Sesudah tamat ia kembali mengajar lagi di Le Havre dan kemudian di Lycee Pasteur.
            Pada saat di Prancis mengalami krisis Perang Dunia II, Sartre secara terpaksa mengikuti wajib militer. Oleh karena keterlibatan itu, ia ditangkap oleh tentara Jerman di Laroine dan kemudian dibebaskan. Berakhirnya Perang Dunia II, Sartre pun mengakhiri karirnya sebagai seorang pengajar. Ia berkecimpung dalam dunia tulis-menulis. Pada tahun 1943, Sartre berhasil menyelesaikan karya puncaknya yang berjudul Leotre et le Neant. Essai d’ ontologie phenomenologique. Sartre juga mendirikan sebuah majalah yang diberi nama “Les Tems Modern” yang mana berdiskursus seputar persoalan politik, kesusasteraan, dan sosial dari pandangan-pandangan Eksistensialisme bersama Maurice Merleui Ponty dan Simone de Beauvoir. Simone de Beauvoir dikenal sebagai rekan diskusi dan kemudian sebagai rekan kencang Sartre. Mereka hidup bersama tanpa nikah.
Sartre sangat terkenal dengan pemikirannya yang tajam dan menukik. Aktivitas politiknya terbilang cemerlang dan pada akhirnya ia bergabung dengan partai Komunis Prancis setelah beliau terlibat dalam diskusi yang hebat dengan Albert Camus dan Merleui Ponty. Kedua rekannya itu meninggalkannya sebab adanya perbedaan pandangan dalam diskusi. Sartre tidak hanya terkenal dengan pemikiran-pemikiran filosofisnya akan tetapi juga ia dikenal sebagai seorang sastrawan. Pada tahun 1964, Sartre menolak menerima hadia nobel dalam bidang kesusasteraan, yakni lewat karyanya yang berjudul Les Mots. Ia mengkritik panita penyelenggara bahwa pilihan itu sudah terkontaminasi dengan pengaruh politik dan ia menekankan diri sebagai seorang penulis yang berdiri sendiri. Sartre memandang hadia itu akan membatasi kebebasannya sebagai seorang penulis. Sartre dalam hidupnya selalu melibatkan diri dalam diskusi seputar persoalan-persoalan yang terjadi. Pada tahun 1966, Sartre bersama Bertand Russell berinisiatif mendirikan sebua lembaga yang akan mengadakan penelitian dan penyidikan kejahatan perang yang dilakukan oleh Amerika Serikat di Vietnam. Tidak hanya itu, Sartre juga terlibat dalam diskursus seputar kaum buruh.

Tokoh yang Mempengaruhi Sartre[3]
            Pemikiran filsafat Sartre tentunya dipengaruhi oleh beberapa filsuf terdahulu. Filsuf pertama yang mempengaruhi Sartre adalah Descartes. Pengaruh Descartes pada Sartre ialah subyektivitas yakni cogito. Keyakinan Descartes mengenai kepastian absolut dalam berfilsafat yakni aku yang berpikir (Cogito Ergo Sum). Ini mau mengatakan bahwa kesadaranku atas diriku yang berpikir adalah hal utama yang mana menunjukan eksistensiku dalam ada di dunia.
            Tokoh kedua yang juga ikut mempengaruhi filsafat Sartre adalah Edmund Husserl. Edmund Husserl menekankan kemiripan atas pemikiran Descartes yakni kepastian dalam berfilsafat yang ditemukan dalam cogito. Akan tetapi pada titik tertentu, Husserl tidak setuju dengan pernyataan Descartes bahwa cogito adalah zat akhir dari kepastian berpikir. Bagi Husserl, kesadaranlah yang menjadi suatu yang penting, selalu diniatkan dan ditujukan langsung pada sebuah obyek. Tokoh berikut yang ikut mempengaruhi Sartre adalah Martin Heidegger. Dari Heidegger-lah, Sartre mengambil konsep eksistensi sadar berada di dunia; pemilihan mendasar antara dunia makhluk berkesadaran dan dunia benda; konsep dan eksistensi; rasa derita; kehampaan; pembedaan antara fakta dan angan-angan; dan konsep manusia yang membentuk dirinya sendiri akan masa depannya. Sartre mengubah analisis Heidegger mengenai ada yang mendalam dari pemikiran atau konsep kepada tindakan.[4]
            Selain ketiga tokoh di atas, Sartre juga mengambil bahan untuk berfilsafat dari pada para filsuf dialektika yakni Hegel dan Marx, serta dua kaum eksistensialis lainnya yakni Kierkegaard dan Nietzsche. Dari Hegel, Sartre mengambil pemikirannya mengenai obyek yang berada di dalam diri obyek itu sendiri (in se) dan obyek yang diperuntukan suatu obyek, konsep perjuangan sampai mati dan kebutuhan akan pengakuan. tuan-budak, kesadaran tak bahagia, dan alienasi. Selain tema-tema di atas, Sartre juga mengambil konsep dialetika Hegel yakni wujud dan kehampaan serta prinsip peniadaan. Sedangkan dari Karl Marx, Sartre mengambil tema keseluruhannya lalu merivisi dan mengaitkannya dengan eksistensialisme yang ada. Dari Kierkegaard, Sartre mengambil penekanan pada eksistensi sadar individu, dan perbedaan antara ketakutan obyektif dan derita eksistensial. Sedangkan dari Nietzsche, Sartre mengambil pemikiran Nietzsche mengenai konsep kematian Tuhan.

Konsep Manusia Sartre
            Dirkusursus Sartre mengenai kehidupan manusia tidak terlepas dari konsepnya mengenai manusia itu sendiri. Manusia menurut Sartre ditakdirkan untuk bebas, “condemned to freedom”.[5] Manusia otentik adalah manusia yang memiliki kebebasan mutlak untuk menjatuhkan atau membuat pilihan-pilihan bebas dalam hidupnya. Kebebasan menjadi itu yang sangat penting dalam pemikiran Sartre dan itu merupakan sebuah takdir yang mau tak mau harus dipilih oleh manusia walaupun apa yang dipilih oleh manusia itu tidak memiliki dasar yang jelas. Sartre kemudian mengatakan bahwa jika manusia itu menolak atau menafikan pilihan-pilihan bebasnya dalam dinamika kehidupan, maka manusia itu hidupnya tidak otentik atau manusia tersebut sedang berada di jalan yang salah di mana manusia tersebut tidak menyadari kebebasannya lagi sebagai manusia yang bebas.
            Sartre kemudian menguraikan lebih lanjut mengenai kebebasan manusia dalam keseharian hidupnya. Manusia dalam bereksistensinya terkadang terjebak dalam pilihan-pilihan hidup orang lain. Hal itu berarti manusia terkurung atau dipenjarakan oleh kebudayaan masif yang dianggap “benar” dan “tepat”. Manusia seakan-akan takut membuat pilihan hidupnya sendiri. Hal ini dikarenakan, manusia tersebut merasa kurang percaya diri atau cemas akan pilihan otentiknya yang berbeda dengan kebudayaan masif yang dihidupi. Bagi Sartre, inilah kesalahan manusia yang kebebasannya dibiarkan meredup atau mati dalam kebudayaan masif. Sartre menekankan pentingnya membuat pilihan sendiri sebab seorang individu mengambil kontrol atas kehidupannya sendiri. Dengan adanya otonomi dan kebebasan manusia itulah, seseorang dapat memaknai hidupnya secara jujur dan otentik, tanpa terjebak dalam realitas pemaknaaan yang umum.
            Kebebasan dalam pandangan Sartre tentu saja didahului dengan konsep kesadaran manusia. Kesadaran itulah merupakan penghayatan pertama dari kebebasan manusia sendiri. Sementara kebebasan merupakan kesadaran ketika manusia mampu mengisi dan mengerti makna sesuatu. Kebebasan merupakan syarat bertindak dalam memberikan makna eksistensinya. Kebebasan menurut Sartre adalah sebuah kutukan, bukan sebuah kondisi ideal yang diidealkan.[6] Pandangan Sartre mengenai kebebasan ini diulas dengan baik olehnya dalam sebuah pembicaraan yakni “Existence precedes Essence” (1905-1980), yang diterjemahkan dengan “Eksistensi mendahului esensi”. Pandangan Sartre ini tentu bertentangan dengan pemikiran sebelumnya yakni Aristoteles yang mengatakan bahwa Esensi mendahului Eksistensi. Dalam teks Is Existentialism a Humanism, Sartre mengatakan demikian.[7]
Manusia pertama-tama ada, eksis. Dalam eksistensinya, manusia berjumpa dengan dirinya sendiri dan muncul di dunia sebelum segala sesuatu didefinisikan dan dipahami. Perjalanan hidup manusia adalah dalam proses aktualisasinya, kebebasannya, pilihan-pilihannya, dan tanggung jawabnya.

Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa manusia itu pertama-tama ada, ia menciptakan dirinya sendiri, ia mengada dan mendapatkan dirinya terlempar di dunia, dan kemudian manusia tersebut mempertahankan dirinya. Jadi, manusia itu adalah ada untuk dirinya atau pour soi atau for-it-self.[8] Dalam mempertahankan dirinya manusia menggunakan kebebasannya itu sendiri. Dengan adanya kebebasan itulah manusia menciptakan dirinya sendiri dan menciptakan esensinya. Sartre mengatakan bahwa “man is free, or rather, man is freedom”[manusia itu bebas, bahkan manusia adalah kebebasan itu sendiri].[9] Bagi Sartre kebebasan manusia berarti tidak ditentukan atau direduksir oleh siapa pun atau apapun. Kebebasan menurut Sartre adalah hal yang otonom dan mutlak. Oleh karena demikian, manusia harus terus mengatasi dirinya dan harus memilih dari kemungkinan-kemungkinan berdasarkan kebebasannya. Dengan demikian, manusia adalah pilihan-pilihannya.[10] Dari pilihan yang dilakukan itu manusia bertanggung jawab penuh atas pilihannya itu. Dan dalam melakukan pemilihan tidak berdasarkan nilai moral yang ada. Bagi Sartre tidak melakukan adalah juga pilihan bebas manusia.
            Kebebasan adalah keberadaan manusia itu sendiri. Kebebasan bukan suatu hal yang ditambahkan bagi eksistensi manusia. Kebebasan adalah dasar semua essensi selama manusia menampilkan hal-hal pada dunia. Kebebasan ada begitu ada manusia, kebebasan itu ada jika ada kesadaran. Dalam menentukan pilihan yang bebas tentu adanya kecemasan. Kecemasan bukanlah tekanan mental tetapi mau mengatakan bahwa harus dibuatnya sebuah pilihan, menentukan dirinya sendiri dan bertanggung jawab akan dirinya sendiri dan juga terhadap orang lain akan pilihannya. Dengan demikian, kebebasan adalah hukuman, kata Sartre.[11] Kebebasan tidak dapat didefinisikan, ia adalah pre-essensi. Kebebasan adalah kesadaran manusia itu sendiri. Sartre kemudian menyatakan bahwa  manusia tidak ditentukan oleh motif-motif tertentu atau hubungan sebab-akibat tertentu sebab semuanya itu adalah penggangu kebebasan manusia itu sendiri. Manusia itu bebas total. Oleh karena manusia itu bebas total maka Sartre dalam filsafatnya menolak adanya Tuhan sebagai pencipta. Dengan demikian, pemikirannya dikenal sebagai “atheist humanisme”.[12] Adapun pernyataan Sartre mengenai hal ini adalah demikian. “ Neither man is free and does not  derive his meaning from God, or he is dependant on God and not free”.[13] Manusia bebas berarti tidak berasal dari Tuhan, atau jika tergantung pada Tuhan berarti ia tidak bebas. Sartre menolak adanya eksistensi Allah, kebebasan manusia adalah takdir baginya. Kebebasan menurut Sartre adalah untuk memilih menjadi Tuhan.[14] Dalam mengadanya manusia membuat pilihan-pilihan yang mana semua pilihan itu terlepas dari nilai-nilai yang ada baik itu moral atau pun perintah Tuhan. Nilai-nilai diciptakan oleh manusia dalam kebebasan yang mutlak. Pilihan yang dibuat adalah menjadi dirinya sendiri yang bebas. Dengan demikian manusia bukanla by design tetapi by choice.[15] Pilihan yang dibuat oleh manusia dalam bereksistensi adalah sebuah kemutlakan dan walaupun dalam menentukan kebebasan ia selalu berbenturan dengan faktisitas (kenyataan). Meskipun ada faktisatas, namun Sartre berpendapat bahwa manusia itu tetap bebas. Faktisitas yang dimaksudkan oleh Sartre berupa tempat, masa lampau, lingkungan, relasi dengan orang lain, dan kematian.[16]

Kebebasan Manusia dan Relasi dengan Liyan
            Pandangan Sartre mengenai manusia yang bebas mutlak tentu berdampak pada relasi individu dengan orang lain (the other/ Liyan). Sartre yang memandang kebebasan merupakan sumber satu-satunya nilai dan arti tentu menutup adanya kemungkinan-kemungkinan lain di luar kebebasan itu sendiri. Hal ini dikarenakan manusia sendiri membentuk eksistensi dan dunianya sendiri. Pandangan demikian menafikan relasi dengan orang lain dan intersubyektivitas itu sendiri atau dengan kata lain antisosial. Kehadiran orang lain seolah-olah menjadi ancaman bagi diriku atau eksistensiku.[17] Demikianlah pernyataan kontroversial yang disampaikan Sartre mengenai kehadiran orang lain. Kehadiran orang lain menjadi ancaman sebab ketika orang lain memandang diriku, maka di saat itu diriku dijadikan obyek penglihatannya atau pengamatannya. Dia sebagai subyek di atas aku atau aku dijadikan sebagai obyek bagi dirinya. Oleh karena demikian, maka aku menjadi tidak bebas dihadapannya. Menurut Sartre, dalam kebebasan tanpa batas, kesadaran yang diarahkan kepada orang lain atau the other tidak lebih dari peniadaan.[18] Hal ini dikerenakan kesadaran adalah ketiadaan. Oleh karena demikian, kesadaran yang diarahkan untuk orang lain merupakan peniadaan atas obyek itu sendiri.
            Dalam berelasi dengan orang lain yang muncul adalah konflik ketika diriku dijadikan sebagai obyek pengmatan bagi orang lain. Di saat itulah orang yang memandang aku (subyek) menelanjangi aku, menyampaikan pendapatnya tentang aku, dan lain sebagainya. Relasi demikian adalah relasi subyek-obyek yang mana saling mengancam eksistensinya masing-masing. Dengan adanya konflik relasi itu, maka berlakulah diktum yang digagas oleh Hobbes yakni, “Homo Homini Lupus” yang berarti manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Meskipun demikian, manusia tidak mungkin lari dari faktisitas hidup demikian. Artinya bahwa dalam berelasi manusia tetap menjadikan dirinya sebagai manusia yang berkesadaraan atau sebagai “for-itself”. Dalam poin ini, Sartre mengemukakan beberapa bentuk relasi antarmanusia dalam mengadanya. Bentuk relasi itu adalah sikap indifference atau acuh tak acuh, sikap love atau cinta, sikap hate atau benci, sexuality atau hubungan seksual, Bentuk-bentuk relasi antarmanusia yang disampaikan oleh Sartre ini merupakan bentuk penolakan atau penegasian akan eksistensi Lyan. Hal ini dikarenakan kehadiran Lyan mengganggu dan melenyapkan eksistensi aku yang bebas. “Neraka adalah orang lain[19]-itulah salah satu ungkapan tersohor dari Sartre. Pertemuan antarmanusia dalam bentuk relasi di atas menurut Sartre tidak mencampai titik persatuan atau penghayatan akan kebersamaan secara mendalam tetapi hanya sampai pada hal-hal dasar saja.

Kebebasan dan Tanggung Jawab  
            Diskurus Sartre mengenai kebebasan manusia dalam bertindak dan menjatuhkan pilihan-pilihan tentu saja bertalian dengan adanya tanggung jawab. Kebebasan dan tanggung jawab adalah poin penting yang diutarakan Sartre. Kebebasan manusia akan menjadi bermakna jika dibarengi dengan tanggung jawab dalam setiap tindakan. Hal ini berarti manusia dalam memvonis pilihan secara bebas tidak hanya berada dalam ranah retorika semu tetapi lebih dari pada itu yakni tindakan praktis atau aksi yang bertanggung jawab akan keputusan yang diambil. Jika sebuah tindakan yang diputuskan terlepas dari nilai tanggung jawab, maka dengan sendirinya menghilangkan akibat sebagai kondisi sentral dari manusia yang bebas. Sartre mengatakan dengan baik bahwa tanggung jawab merupakan efek pertama dari eksistensialisme yang berhubungan dengan kebebasan manusia.[20]
            Kebebasan manusia membuat pilihan tanpa melihat aneka keterikatan nilai untuk merealisasikan diri dalam bereksistensi merupakan ciri filsafat Sartre. Sartre berpandangan bahwa dalam bereksistensi manusia mencoba dan berusaha untuk memperjuangkan dan menentukan sendiri akan menjadi apa dia. Manusia sendirilah yang bertanggung jawab sendiri atas dirinya dan atas pilihan-pilihannya. Ini merupakan usaha nyata manusia, yakni merealisakan diri sendiri dalam ada di dalam dunia. Meskipun manusia bereksistensi dalam dunia namun eksistensi manusia tidak dikuasai oleh peliknya situasi dunia. Dengan demikian, dalam merealisasikan diri dalam situasi dunia manusia harus menemukan dirinya dan bertanggung jawab penuh atas itu. Sartre juga berpendapat bahwa walaupun pilihan dibuat oleh diri sendiri namun manusia yang bebas dalam pilihan itu bertanggung jawab tidak hanya atas dirinya atau pilihanya tetapi bertanggung jawab juga atas semua orang. Tentu pernyataan ini sangat paradoks dengan pemikiran Sartre sebelumnya mengenai orang lain adalah neraka. Meskipun demikian, Sartre juga memberikan titik perhatian kepada “kemanusiaan manusia”. Hal ini mau menunjukkan kesentralan eksistensialisme yang di bawah oleh Sartre. Inilah yang kemudian dikatakan Sartre sebagai eksistensi dan humanisme. Perkataan ini tentu merujuk pada eksistensialisme yang didasarkan pada subyektivitas bukan subyektivisme.
            Sartre juga menolak kemanusiaan yang terstruktur yang di dalamnya terkandung aneka nilai universal, cinta kasih, respect, dan lain sebagainya. Sartre memandang bahwa kaum eksistensialis tidak menempatkan manusia sebagai tujuan. Tidak ada nilai-nilai moral yang dijadikan dasar pertangggungjawaban. Manusia sebagai eksistensi dalam merealisasikan diri dengan tindakan yang bebas, nilai moral atau baik-buruk tergantung dari pada itu sendiri. Hal ini dikarenakan manusia itu keluar-dari-dirinya sendiri, menentukan, dan merencanakan diri sendiri (for-it-self). Dengan demikian, manusia yang bebas adalah takdir. Takdir manusia yang bebas itu tentu saja selalu bersanding dengan tanggung jawab. Tanggung jawab akan segala hal baik itu dari pilihan, terhadap apa adanya aku dan juga bertanggung jawab penuh untuk memaknai dan menilai duniaku tanpa sokongan dari Tuhan, atau pedoman kebenaran dan nilai yang lainnya.[21] Penderitaan, kecemasan dan persoalan adalah tanggung jawab aku untuk memaknainya secara bebas pula. Dengan demikian, menurut Sartre manusia yang bebas adalah manusia yang bertanggung jawab akan eksistensinya.[22]

Penutup
Eksistensialisme Sartre tidak lain adalah sebuah kesimpulan yang utuh dari posisi atheistik yang konsisten. Tujuannya bukan menjerumuskan manusia ke dalam keputusasaan akan nilai-nilai universal yang diakui masyarakat umum. Eksistensialisme menolak atau menegasikan hal demikian seperti adanya Tuhan dan nilai-nilai umum. Sebab jika ada Tuhan atau nilai-nilai universal seperti nilai moral dan cinta kasih, maka kebebasanku menjadi tidak bebas. Aku menjadi terperangkap dalam nilai-nilai demikian. Takdir eksistensiku dibelenggu. Oleh karena demikian, Sartre sangat menekankan eksistensi manusia yang mutlak dan otentik yakni manusia yang bebas. Kebebasan tentu saja dibarengi dengan sikap bertanggung jawab. Sebab eksistensi manusia adalah kebebasan yang bertanggung jawab. Manusialah yang menciptakan dirinya dan bertanggung jawab penuh atas dirinya.



DAFTAR PUSTAKA

H. Muzairi.  Eksistensialisme Jean Paul Sartre: Sumur Tanpa Dasar Kebebasan Manusia.  Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Lavine, T. Z. SARTRE: Filsafat Eksistensialisme Humanis. Yogyakarta: Jendela, 2003.

Matindas, B. E. Meruntuhkan Renteng Ateisme Modern. Yogyakarta: ANDI, 2010.

Prasetyono, Emanuel .Tema-Tema Eksistensialisme. Surabaya: Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, 2014.

Strathern, Paul. 90 Menit Bersama Sartre. Jakarta: Erlangga, 2001.

                Suseno, Franz Magis.  ”Otentisitas” Jean Paul Sartre dalam Franz Magis-Suseno, Etika Abad Kedua Puluh. Yogyakarta:    Kanisius, 2006.

Wibowo, A. Setyo. “Eksistensi Kontingen: Satu Sudut Kandang Kisah Hidup dan Pemikiran Jean Paul Sartre” dalam Filsafat Eksistensialisme. A. Setyo Wibowo dan Majalah Diryarkara, Yogyakarta: Kanisius, 2011.
























Paper Filsafat Kontemporer
TAKDIR EKSISTENSI
 (Tinjauan Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre)



Oleh:
Yoseph Belen Keban


Sekolah Tinggi Filsafat Teologi
Widya Sasana Malang
2017




[1] H. Muzairi, Eksistensialisme Jean Paul Sartre: Sumur Tanpa Dasar Kebebasan Manusia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 71-77.
[2] Paul Strathern, 90 Menit Bersama Sartre, Jakarta: Erlangga, 2001, hlm. 23.

[3]  T. Z. Lavine, SARTRE: Filsafat Eksistensialisme Humanis, Yogyakarta: Jendela, 2003, hlm 32-35.
[4] Paul Strathern, Op. Cit., hlm. 49.
[5] Emanuel Prasetyono, Tema-Tema Eksistensialisme, Surabaya: Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, 2014, hlm. 75.
[6] B. E. Matindas, Meruntuhkan Renteng Ateisme Modern, Yogyakarta: ANDI, 2010, hlm.  221.
[7] Emanuel Prasetyono, Op. Cit., hlm. 78-79.
[8] B. E. Matindas, Op. Cit.,  hlm. 220.
[9] H. Muzairi, Op. Cit.,  hlm. 133.
[10] Bdk., Jean Paul Sartre,”Otentisitas” dalam Franz Magis-Suseno, Etika Abad Kedua Puluh, Yogyakarta: Kanisius, 2006, hlm. 60.
[11] H. Muzairi, Op. Cit., hlm. 134.
[12] Ibid., hlm. 146-147.
[13] Ibid., hlm 147.
[14] Paul Strathern, Op. Cit., hlm.62.
[15] Emanuel Prasetyono, Op. Cit., jlm. 80-81.
[16] H. Muzairi, Op. Cit., hlm. 152-153.
[17] Ibid., hlm. 166.
[18] B. E. Matindas, Op. Cit.,  hlm. 220-221.
[19] Ibid.
[20] H. Muzairi, Op. Cit., hlm. 182.
[21] T. Z. Lavine, Op. Cit., hlm.70.
[22] A. Setyo Wibowo, “Eksistensi Kontingen: Satu Sudut Kandang Kisah Hidup dan Pemikiran Jean Paul Sartre” dalam Filsafat Eksistensialisme, A. Setyo Wibowo dan Majalah Diryarkara, Yogyakarta: Kanisius, 2011, hlm. 13.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar