MANUSIA YANG BEBAS MENURUT JEAN PAUL SARTRE
Telaah Filsafat Eksistensialisme
Yosep Belen Keban
Pendahuluan
Lahirnya
zaman modern membawa dampak yang begitu hebat di mana peran rasionalitas
manusia ditekankan atau ditonjolkan. Rasio manusia seakan menjadi itu yang
didewa-dewakan. Hal ini ditandai dengan pemikiran dari Rene Descartes mengenai
Cogito Ergo Sum. Pemikiran ini
merujuk kepada subyektivitas, kritik dan kemajuan. Kemajuan dan titik tekan
rasionalitas pada zaman modern mendapat sorotan tajam dan menukik dari kaum
eksistensialis. Filsafat eksistensialisme lahir karena adanya krisis dalam
kehidupan yang dibawakan oleh zaman pencerahan dan modernisme. Oleh karena krisis
akan makna kehidupan yang dialami maka kaum eksistensialisme mengkritik akal
budi. Sebab rasionalitas bukanlah satu-satunya yang dibanggakan dari manusia.
Salah satu tokoh eksistensialisme yang tersohor adalah Jean Paul Sartre. Ia
terkenal dengan eksistensialisme atheistik, sebab filsafatnya yang menegasikan
Tuhan. Lantas, apa yang menjadi dasar pemikiran filsafat Sartre? Bagimana
Sartre memahami takdir eksistensi? Bagaimana pandangan Sartre mengenai orang
lain? Mengapa kebebasan selalu berkaitan dengan tanggung jawab?
Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan pengantar untuk memahami kerangka pemikiran
eksistesialisme Sartre yang dibahas dalam paper ini.
Riwayat
Hidup Sartre[1]
Jean
Paul Sartre adalah seorang filsuf eksistensialisme hidup pada abad XX. Sartre
lahir di Paris-Prancis tepatnya pada tanggal 21 Juni 1905 dan meninggal pada
tanggal 15 April 1980. Ayahnya seorang perwira Angkatan Laut dan meninggal
ketika Sartre masih berusia satu tahun. Sartre hidup bersama ibunya-Anna Marie
dan kakeknya-Karl Schweitzer di pinggiran kota Paris. Sartre kecil sangat anti
dengan kaum borjuis sebab ia sendiri anti dengan kebiasaan dan gaya hidup kaum
borjuis. Sartre kecil dikenal dengan keadaan fisik yang lemah. Pada tahun
1924-1928, Sartre belajar di Ecole
Normale Superieuri. Selanjutnya Sartre menerima guru besar di Lyeum, Le
Havre pada tahun 1931-1933. Le Havre merupakan kota pelabuhan lainnya di
Prancis.[2]
Dan pada tahun 1933-1935 ia menjadi mahasiswa penyelidik di Institut Prancis,
Berlin, dan Universitas Freiburg. Sesudah tamat ia kembali mengajar lagi di Le
Havre dan kemudian di Lycee Pasteur.
Pada
saat di Prancis mengalami krisis Perang Dunia II, Sartre secara terpaksa
mengikuti wajib militer. Oleh karena keterlibatan itu, ia ditangkap oleh
tentara Jerman di Laroine dan kemudian dibebaskan. Berakhirnya Perang Dunia II,
Sartre pun mengakhiri karirnya sebagai seorang pengajar. Ia berkecimpung dalam
dunia tulis-menulis. Pada tahun 1943, Sartre berhasil menyelesaikan karya
puncaknya yang berjudul Leotre et le
Neant. Essai d’ ontologie phenomenologique. Sartre juga mendirikan sebuah
majalah yang diberi nama “Les Tems Modern” yang mana berdiskursus seputar
persoalan politik, kesusasteraan, dan sosial dari pandangan-pandangan
Eksistensialisme bersama Maurice Merleui Ponty dan Simone de Beauvoir. Simone de
Beauvoir dikenal sebagai rekan diskusi dan kemudian sebagai rekan kencang
Sartre. Mereka hidup bersama tanpa nikah.
Sartre sangat terkenal
dengan pemikirannya yang tajam dan menukik. Aktivitas politiknya terbilang cemerlang
dan pada akhirnya ia bergabung dengan partai Komunis Prancis setelah beliau
terlibat dalam diskusi yang hebat dengan Albert Camus dan Merleui Ponty. Kedua
rekannya itu meninggalkannya sebab adanya perbedaan pandangan dalam diskusi.
Sartre tidak hanya terkenal dengan pemikiran-pemikiran filosofisnya akan tetapi
juga ia dikenal sebagai seorang sastrawan. Pada tahun 1964, Sartre menolak
menerima hadia nobel dalam bidang kesusasteraan, yakni lewat karyanya yang
berjudul Les Mots. Ia mengkritik
panita penyelenggara bahwa pilihan itu sudah terkontaminasi dengan pengaruh
politik dan ia menekankan diri sebagai seorang penulis yang berdiri sendiri.
Sartre memandang hadia itu akan membatasi kebebasannya sebagai seorang penulis.
Sartre dalam hidupnya selalu melibatkan diri dalam diskusi seputar persoalan-persoalan
yang terjadi. Pada tahun 1966, Sartre bersama Bertand Russell berinisiatif
mendirikan sebua lembaga yang akan mengadakan penelitian dan penyidikan
kejahatan perang yang dilakukan oleh Amerika Serikat di Vietnam. Tidak hanya
itu, Sartre juga terlibat dalam diskursus seputar kaum buruh.
Tokoh
yang Mempengaruhi Sartre[3]
Pemikiran
filsafat Sartre tentunya dipengaruhi oleh beberapa filsuf terdahulu. Filsuf
pertama yang mempengaruhi Sartre adalah Descartes. Pengaruh Descartes pada
Sartre ialah subyektivitas yakni cogito.
Keyakinan Descartes mengenai kepastian absolut dalam berfilsafat yakni aku yang
berpikir (Cogito Ergo Sum). Ini mau
mengatakan bahwa kesadaranku atas diriku yang berpikir adalah hal utama yang
mana menunjukan eksistensiku dalam ada di dunia.
Tokoh
kedua yang juga ikut mempengaruhi filsafat Sartre adalah Edmund Husserl. Edmund
Husserl menekankan kemiripan atas pemikiran Descartes yakni kepastian dalam
berfilsafat yang ditemukan dalam cogito.
Akan tetapi pada titik tertentu, Husserl tidak setuju dengan pernyataan
Descartes bahwa cogito adalah zat
akhir dari kepastian berpikir. Bagi Husserl, kesadaranlah yang menjadi suatu
yang penting, selalu diniatkan dan ditujukan langsung pada sebuah obyek. Tokoh
berikut yang ikut mempengaruhi Sartre adalah Martin Heidegger. Dari
Heidegger-lah, Sartre mengambil konsep eksistensi sadar berada di dunia;
pemilihan mendasar antara dunia makhluk berkesadaran dan dunia benda; konsep
dan eksistensi; rasa derita; kehampaan; pembedaan antara fakta dan angan-angan;
dan konsep manusia yang membentuk dirinya sendiri akan masa depannya. Sartre
mengubah analisis Heidegger mengenai ada
yang mendalam dari pemikiran atau konsep kepada tindakan.[4]
Selain
ketiga tokoh di atas, Sartre juga mengambil bahan untuk berfilsafat dari pada
para filsuf dialektika yakni Hegel dan Marx, serta dua kaum eksistensialis
lainnya yakni Kierkegaard dan Nietzsche. Dari Hegel, Sartre mengambil
pemikirannya mengenai obyek yang berada di dalam diri obyek itu sendiri (in se) dan obyek yang diperuntukan suatu
obyek, konsep perjuangan sampai mati dan kebutuhan akan pengakuan. tuan-budak,
kesadaran tak bahagia, dan alienasi. Selain tema-tema di atas, Sartre juga
mengambil konsep dialetika Hegel yakni wujud dan kehampaan serta prinsip peniadaan.
Sedangkan dari Karl Marx, Sartre mengambil tema keseluruhannya lalu merivisi
dan mengaitkannya dengan eksistensialisme yang ada. Dari Kierkegaard, Sartre
mengambil penekanan pada eksistensi sadar individu, dan perbedaan antara
ketakutan obyektif dan derita eksistensial. Sedangkan dari Nietzsche, Sartre
mengambil pemikiran Nietzsche mengenai konsep kematian Tuhan.
Konsep
Manusia Sartre
Dirkusursus
Sartre mengenai kehidupan manusia tidak terlepas dari konsepnya mengenai
manusia itu sendiri. Manusia menurut Sartre ditakdirkan untuk bebas, “condemned to freedom”.[5]
Manusia otentik adalah manusia yang memiliki kebebasan mutlak untuk menjatuhkan
atau membuat pilihan-pilihan bebas dalam hidupnya. Kebebasan menjadi itu yang
sangat penting dalam pemikiran Sartre dan itu merupakan sebuah takdir yang mau
tak mau harus dipilih oleh manusia walaupun apa yang dipilih oleh manusia itu
tidak memiliki dasar yang jelas. Sartre kemudian mengatakan bahwa jika manusia
itu menolak atau menafikan pilihan-pilihan bebasnya dalam dinamika kehidupan,
maka manusia itu hidupnya tidak otentik atau manusia tersebut sedang berada di
jalan yang salah di mana manusia tersebut tidak menyadari kebebasannya lagi
sebagai manusia yang bebas.
Sartre
kemudian menguraikan lebih lanjut mengenai kebebasan manusia dalam keseharian
hidupnya. Manusia dalam bereksistensinya terkadang terjebak dalam
pilihan-pilihan hidup orang lain. Hal itu berarti manusia terkurung atau
dipenjarakan oleh kebudayaan masif yang dianggap “benar” dan “tepat”. Manusia
seakan-akan takut membuat pilihan hidupnya sendiri. Hal ini dikarenakan,
manusia tersebut merasa kurang percaya diri atau cemas akan pilihan otentiknya
yang berbeda dengan kebudayaan masif yang dihidupi. Bagi Sartre, inilah
kesalahan manusia yang kebebasannya dibiarkan meredup atau mati dalam
kebudayaan masif. Sartre menekankan pentingnya membuat pilihan sendiri sebab
seorang individu mengambil kontrol atas kehidupannya sendiri. Dengan adanya
otonomi dan kebebasan manusia itulah, seseorang dapat memaknai hidupnya secara
jujur dan otentik, tanpa terjebak dalam realitas pemaknaaan yang umum.
Kebebasan
dalam pandangan Sartre tentu saja didahului dengan konsep kesadaran manusia.
Kesadaran itulah merupakan penghayatan pertama dari kebebasan manusia sendiri.
Sementara kebebasan merupakan kesadaran ketika manusia mampu mengisi dan
mengerti makna sesuatu. Kebebasan merupakan syarat bertindak dalam memberikan
makna eksistensinya. Kebebasan menurut Sartre adalah sebuah kutukan, bukan
sebuah kondisi ideal yang diidealkan.[6] Pandangan
Sartre mengenai kebebasan ini diulas dengan baik olehnya dalam sebuah
pembicaraan yakni “Existence precedes
Essence” (1905-1980), yang diterjemahkan dengan “Eksistensi mendahului
esensi”. Pandangan Sartre ini tentu bertentangan dengan pemikiran sebelumnya
yakni Aristoteles yang mengatakan bahwa Esensi mendahului Eksistensi. Dalam
teks Is Existentialism a Humanism, Sartre
mengatakan demikian.[7]
Manusia pertama-tama ada, eksis. Dalam
eksistensinya, manusia berjumpa dengan dirinya sendiri dan muncul di dunia
sebelum segala sesuatu didefinisikan dan dipahami. Perjalanan hidup manusia
adalah dalam proses aktualisasinya, kebebasannya, pilihan-pilihannya, dan
tanggung jawabnya.
Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan
bahwa manusia itu pertama-tama ada, ia menciptakan dirinya sendiri, ia mengada
dan mendapatkan dirinya terlempar di dunia, dan kemudian manusia tersebut
mempertahankan dirinya. Jadi, manusia itu adalah ada untuk dirinya atau pour soi atau for-it-self.[8]
Dalam mempertahankan dirinya manusia menggunakan kebebasannya itu sendiri.
Dengan adanya kebebasan itulah manusia menciptakan dirinya sendiri dan
menciptakan esensinya. Sartre mengatakan bahwa “man is free, or rather, man is freedom”[manusia itu bebas, bahkan
manusia adalah kebebasan itu sendiri].[9]
Bagi Sartre kebebasan manusia berarti tidak ditentukan atau direduksir oleh
siapa pun atau apapun. Kebebasan menurut Sartre adalah hal yang otonom dan
mutlak. Oleh karena demikian, manusia harus terus mengatasi dirinya dan harus
memilih dari kemungkinan-kemungkinan berdasarkan kebebasannya. Dengan demikian,
manusia adalah pilihan-pilihannya.[10]
Dari pilihan yang dilakukan itu manusia bertanggung jawab penuh atas pilihannya
itu. Dan dalam melakukan pemilihan tidak berdasarkan nilai moral yang ada. Bagi
Sartre tidak melakukan adalah juga pilihan bebas manusia.
Kebebasan
adalah keberadaan manusia itu sendiri. Kebebasan bukan suatu hal yang
ditambahkan bagi eksistensi manusia. Kebebasan adalah dasar semua essensi selama
manusia menampilkan hal-hal pada dunia. Kebebasan ada begitu ada manusia,
kebebasan itu ada jika ada kesadaran. Dalam menentukan pilihan yang bebas tentu
adanya kecemasan. Kecemasan bukanlah tekanan mental tetapi mau mengatakan bahwa
harus dibuatnya sebuah pilihan, menentukan dirinya sendiri dan bertanggung
jawab akan dirinya sendiri dan juga terhadap orang lain akan pilihannya. Dengan
demikian, kebebasan adalah hukuman, kata Sartre.[11]
Kebebasan tidak dapat didefinisikan, ia adalah pre-essensi. Kebebasan adalah
kesadaran manusia itu sendiri. Sartre kemudian menyatakan bahwa manusia tidak ditentukan oleh motif-motif
tertentu atau hubungan sebab-akibat tertentu sebab semuanya itu adalah penggangu
kebebasan manusia itu sendiri. Manusia itu bebas total. Oleh karena manusia itu
bebas total maka Sartre dalam filsafatnya menolak adanya Tuhan sebagai
pencipta. Dengan demikian, pemikirannya dikenal sebagai “atheist humanisme”.[12]
Adapun pernyataan Sartre mengenai hal ini adalah demikian. “ Neither man is free and does not derive his meaning from God, or he is
dependant on God and not free”.[13]
Manusia bebas berarti tidak berasal dari Tuhan, atau jika tergantung pada Tuhan
berarti ia tidak bebas. Sartre menolak adanya eksistensi Allah, kebebasan
manusia adalah takdir baginya. Kebebasan
menurut Sartre adalah untuk memilih menjadi Tuhan.[14]
Dalam mengadanya manusia membuat pilihan-pilihan yang mana semua pilihan itu
terlepas dari nilai-nilai yang ada baik itu moral atau pun perintah Tuhan. Nilai-nilai
diciptakan oleh manusia dalam kebebasan yang mutlak. Pilihan yang dibuat adalah
menjadi dirinya sendiri yang bebas. Dengan demikian manusia bukanla by design tetapi by choice.[15]
Pilihan yang dibuat oleh manusia dalam bereksistensi adalah sebuah kemutlakan
dan walaupun dalam menentukan kebebasan ia selalu berbenturan dengan faktisitas
(kenyataan). Meskipun ada faktisatas, namun Sartre berpendapat bahwa manusia
itu tetap bebas. Faktisitas yang dimaksudkan oleh Sartre berupa tempat, masa
lampau, lingkungan, relasi dengan orang lain, dan kematian.[16]
Kebebasan
Manusia dan Relasi dengan Liyan
Pandangan
Sartre mengenai manusia yang bebas mutlak tentu berdampak pada relasi individu
dengan orang lain (the other/ Liyan).
Sartre yang memandang kebebasan merupakan sumber satu-satunya nilai dan arti
tentu menutup adanya kemungkinan-kemungkinan lain di luar kebebasan itu
sendiri. Hal ini dikarenakan manusia sendiri membentuk eksistensi dan dunianya
sendiri. Pandangan demikian menafikan relasi dengan orang lain dan
intersubyektivitas itu sendiri atau dengan kata lain antisosial. Kehadiran
orang lain seolah-olah menjadi ancaman bagi diriku atau eksistensiku.[17]
Demikianlah pernyataan kontroversial yang disampaikan Sartre mengenai kehadiran
orang lain. Kehadiran orang lain menjadi ancaman sebab ketika orang lain
memandang diriku, maka di saat itu diriku dijadikan obyek penglihatannya atau
pengamatannya. Dia sebagai subyek di atas aku atau aku dijadikan sebagai obyek
bagi dirinya. Oleh karena demikian, maka aku menjadi tidak bebas dihadapannya.
Menurut Sartre, dalam kebebasan tanpa batas, kesadaran yang diarahkan kepada
orang lain atau the other tidak lebih
dari peniadaan.[18]
Hal ini dikerenakan kesadaran adalah ketiadaan. Oleh karena demikian, kesadaran
yang diarahkan untuk orang lain merupakan peniadaan atas obyek itu sendiri.
Dalam
berelasi dengan orang lain yang muncul adalah konflik ketika diriku dijadikan
sebagai obyek pengmatan bagi orang lain. Di saat itulah orang yang memandang
aku (subyek) menelanjangi aku, menyampaikan pendapatnya tentang aku, dan lain
sebagainya. Relasi demikian adalah relasi subyek-obyek yang mana saling
mengancam eksistensinya masing-masing. Dengan adanya konflik relasi itu, maka
berlakulah diktum yang digagas oleh Hobbes yakni, “Homo Homini Lupus” yang berarti manusia adalah serigala bagi
manusia lainnya. Meskipun demikian, manusia tidak mungkin lari dari faktisitas
hidup demikian. Artinya bahwa dalam berelasi manusia tetap menjadikan dirinya
sebagai manusia yang berkesadaraan atau sebagai “for-itself”. Dalam poin ini, Sartre mengemukakan beberapa bentuk
relasi antarmanusia dalam mengadanya. Bentuk relasi itu adalah sikap indifference atau acuh tak acuh, sikap love atau cinta, sikap hate atau benci, sexuality atau hubungan seksual, Bentuk-bentuk relasi antarmanusia
yang disampaikan oleh Sartre ini merupakan bentuk penolakan atau penegasian
akan eksistensi Lyan. Hal ini
dikarenakan kehadiran Lyan mengganggu
dan melenyapkan eksistensi aku yang bebas. “Neraka
adalah orang lain”[19]-itulah
salah satu ungkapan tersohor dari Sartre. Pertemuan antarmanusia dalam bentuk
relasi di atas menurut Sartre tidak mencampai titik persatuan atau penghayatan
akan kebersamaan secara mendalam tetapi hanya sampai pada hal-hal dasar saja.
Kebebasan
dan Tanggung Jawab
Diskurus
Sartre mengenai kebebasan manusia dalam bertindak dan menjatuhkan
pilihan-pilihan tentu saja bertalian dengan adanya tanggung jawab. Kebebasan
dan tanggung jawab adalah poin penting yang diutarakan Sartre. Kebebasan
manusia akan menjadi bermakna jika dibarengi dengan tanggung jawab dalam setiap
tindakan. Hal ini berarti manusia dalam memvonis pilihan secara bebas tidak
hanya berada dalam ranah retorika semu tetapi lebih dari pada itu yakni
tindakan praktis atau aksi yang bertanggung jawab akan keputusan yang diambil.
Jika sebuah tindakan yang diputuskan terlepas dari nilai tanggung jawab, maka
dengan sendirinya menghilangkan akibat sebagai kondisi sentral dari manusia
yang bebas. Sartre mengatakan dengan baik bahwa tanggung jawab merupakan efek
pertama dari eksistensialisme yang berhubungan dengan kebebasan manusia.[20]
Kebebasan
manusia membuat pilihan tanpa melihat aneka keterikatan nilai untuk
merealisasikan diri dalam bereksistensi merupakan ciri filsafat Sartre. Sartre
berpandangan bahwa dalam bereksistensi manusia mencoba dan berusaha untuk
memperjuangkan dan menentukan sendiri akan menjadi apa dia. Manusia sendirilah
yang bertanggung jawab sendiri atas dirinya dan atas pilihan-pilihannya. Ini
merupakan usaha nyata manusia, yakni merealisakan diri sendiri dalam ada di dalam
dunia. Meskipun manusia bereksistensi dalam dunia namun eksistensi manusia
tidak dikuasai oleh peliknya situasi dunia. Dengan demikian, dalam
merealisasikan diri dalam situasi dunia manusia harus menemukan dirinya dan
bertanggung jawab penuh atas itu. Sartre juga berpendapat bahwa walaupun
pilihan dibuat oleh diri sendiri namun manusia yang bebas dalam pilihan itu
bertanggung jawab tidak hanya atas dirinya atau pilihanya tetapi bertanggung
jawab juga atas semua orang. Tentu pernyataan ini sangat paradoks dengan
pemikiran Sartre sebelumnya mengenai orang lain adalah neraka. Meskipun
demikian, Sartre juga memberikan titik perhatian kepada “kemanusiaan manusia”.
Hal ini mau menunjukkan kesentralan eksistensialisme yang di bawah oleh Sartre.
Inilah yang kemudian dikatakan Sartre sebagai eksistensi dan humanisme.
Perkataan ini tentu merujuk pada eksistensialisme yang didasarkan pada
subyektivitas bukan subyektivisme.
Sartre
juga menolak kemanusiaan yang terstruktur yang di dalamnya terkandung aneka
nilai universal, cinta kasih, respect,
dan lain sebagainya. Sartre memandang bahwa kaum eksistensialis tidak
menempatkan manusia sebagai tujuan. Tidak ada nilai-nilai moral yang dijadikan
dasar pertangggungjawaban. Manusia sebagai eksistensi dalam merealisasikan diri
dengan tindakan yang bebas, nilai moral atau baik-buruk tergantung dari pada
itu sendiri. Hal ini dikarenakan manusia itu keluar-dari-dirinya sendiri,
menentukan, dan merencanakan diri sendiri (for-it-self).
Dengan demikian, manusia yang bebas adalah takdir. Takdir manusia yang bebas
itu tentu saja selalu bersanding dengan tanggung jawab. Tanggung jawab akan
segala hal baik itu dari pilihan, terhadap apa adanya aku dan juga bertanggung
jawab penuh untuk memaknai dan menilai duniaku tanpa sokongan dari Tuhan, atau
pedoman kebenaran dan nilai yang lainnya.[21]
Penderitaan, kecemasan dan persoalan adalah tanggung jawab aku untuk
memaknainya secara bebas pula. Dengan demikian, menurut Sartre manusia yang
bebas adalah manusia yang bertanggung jawab akan eksistensinya.[22]
Penutup
Eksistensialisme Sartre
tidak lain adalah sebuah kesimpulan yang utuh dari posisi atheistik yang konsisten.
Tujuannya bukan menjerumuskan manusia ke dalam keputusasaan akan nilai-nilai
universal yang diakui masyarakat umum. Eksistensialisme menolak atau
menegasikan hal demikian seperti adanya Tuhan dan nilai-nilai umum. Sebab jika
ada Tuhan atau nilai-nilai universal seperti nilai moral dan cinta kasih, maka
kebebasanku menjadi tidak bebas. Aku menjadi terperangkap dalam nilai-nilai
demikian. Takdir eksistensiku dibelenggu. Oleh karena demikian, Sartre sangat
menekankan eksistensi manusia yang mutlak dan otentik yakni manusia yang bebas.
Kebebasan tentu saja dibarengi dengan sikap bertanggung jawab. Sebab eksistensi
manusia adalah kebebasan yang bertanggung jawab. Manusialah yang menciptakan
dirinya dan bertanggung jawab penuh atas dirinya.
DAFTAR PUSTAKA
H.
Muzairi. Eksistensialisme Jean Paul Sartre: Sumur Tanpa Dasar Kebebasan Manusia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Lavine, T.
Z. SARTRE: Filsafat Eksistensialisme
Humanis. Yogyakarta: Jendela, 2003.
Matindas,
B. E. Meruntuhkan Renteng Ateisme Modern.
Yogyakarta: ANDI, 2010.
Prasetyono,
Emanuel .Tema-Tema Eksistensialisme.
Surabaya: Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, 2014.
Strathern,
Paul. 90 Menit Bersama Sartre. Jakarta:
Erlangga, 2001.
Suseno, Franz Magis. ”Otentisitas” Jean Paul Sartre dalam Franz
Magis-Suseno, Etika Abad Kedua Puluh.
Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Wibowo,
A. Setyo. “Eksistensi Kontingen: Satu Sudut Kandang Kisah Hidup dan Pemikiran
Jean Paul Sartre” dalam Filsafat
Eksistensialisme. A. Setyo Wibowo dan Majalah Diryarkara, Yogyakarta:
Kanisius, 2011.
Paper
Filsafat Kontemporer
TAKDIR EKSISTENSI
(Tinjauan Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre)
Oleh:
Yoseph Belen Keban
Sekolah Tinggi Filsafat
Teologi
Widya Sasana Malang
2017
[1] H. Muzairi, Eksistensialisme Jean Paul Sartre: Sumur
Tanpa Dasar Kebebasan Manusia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hlm.
71-77.
[2] Paul Strathern, 90 Menit Bersama Sartre, Jakarta:
Erlangga, 2001, hlm. 23.
[3] T. Z. Lavine, SARTRE: Filsafat Eksistensialisme Humanis, Yogyakarta: Jendela,
2003, hlm 32-35.
[4] Paul Strathern, Op. Cit., hlm. 49.
[5] Emanuel Prasetyono, Tema-Tema Eksistensialisme, Surabaya:
Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, 2014, hlm. 75.
[6] B. E. Matindas, Meruntuhkan Renteng Ateisme Modern,
Yogyakarta: ANDI, 2010, hlm. 221.
[7] Emanuel Prasetyono, Op. Cit., hlm. 78-79.
[9] H. Muzairi, Op. Cit., hlm. 133.
[10] Bdk., Jean Paul Sartre,”Otentisitas”
dalam Franz Magis-Suseno, Etika Abad
Kedua Puluh, Yogyakarta: Kanisius, 2006, hlm. 60.
[11] H. Muzairi, Op. Cit., hlm. 134.
[12] Ibid., hlm. 146-147.
[13] Ibid., hlm 147.
[14] Paul Strathern, Op. Cit., hlm.62.
[15] Emanuel Prasetyono, Op. Cit., jlm. 80-81.
[16] H. Muzairi, Op. Cit., hlm. 152-153.
[17] Ibid., hlm. 166.
[19] Ibid.
[20] H. Muzairi, Op. Cit., hlm. 182.
[22] A.
Setyo Wibowo, “Eksistensi Kontingen: Satu Sudut Kandang Kisah Hidup dan
Pemikiran Jean Paul Sartre” dalam Filsafat
Eksistensialisme, A. Setyo Wibowo dan Majalah Diryarkara, Yogyakarta:
Kanisius, 2011, hlm. 13.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar