Konsep
Manusia Lamaholot
Yosep
Belen Keban
Konsep tentang Manusia
Diskursus
mengenai siapakah manusia menjadi semacam perbincangan yang terus menerus
digumuli. Salah satunya adalah para filsuf yang terus bertanya mengenai apakah
manusia itu? Pertanyaan itu tentu menjadi titik awal pergumulan filsafat
mengenai manusia. Tidak hanya para filsuf, masyarakat Lamaole-Lewomaku juga
bertanya dan bergumul mengenai konsep manusia itu. Pemikiran
masyarakat Lamaole-Lewomaku mengenai manusia tidak terlepas dari pemikiran
manusia Lamaholot umumnya
yakni “atadike” (= atadik’en dalam dialek Lamaholot umumnya).[1]
Kata
“atadike” terdiri dari dua kata,
yakni kata “ata” dan kata “dike”.[2]
Ata artinya orang atau julukan kehormatan bagi makhluk yang bernama
manusia. Dalam kehidupan sehari-hari term “ata”
ini sering digunakan dan merujuk pada pribadi seseorang. Sebagai contohnya
adalah “ata dike pe nulu wale sene”
artinya orang tersebut memiliki sifat yang baik. Berkaitan dengan kata ata, dalam masyarakat Lamaholot umumnya
mengidentifikasinya menjadi beberapa jenis manusia yakni:[3] ata bele (orang besar), ata molang (manusia yang memiliki
kekuatan dalam hal penyembuhan), ata mua (manusia
dengan keahlian khusus seperti guru, dokter dan pastor), ata menake (manusia jahat, penyihir). Sedangkan kata dike (dik’en) sendiri berarti baik atau bernas, tidak rusak.
Kata dike (dik’en) digunakan untuk memperjelas suatu hal di mana sifat dari
suatu hal itu memiliki kualitas yang baik.
Dari
ulasan mengenai terminologi atadike (atadik’en) di atas, dapat dimengerti
konsep manusia Lamaholot khususnya dalam masyarakat Lamaole-Lewomaku. Atadike merujuk atau memiliki arti orang
atau manusia yang baik. Jika demikian maka menjadi pertanyaanya adalah seperti
apakah manusia yang baik itu? Bagaimana menjadi manusia yang baik? Pertanyaan
ini adalah fondasi dasar, pergumulan awali untuk memahami manusia yang adalah atadike. Manusia yang baik (atadike) menurut masyarakat
Lamaole-Lewomaku adalah manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai etis,
menjunjungi tinggi nilai-nilai kebudayaan dan juga nilai-nilai agama.[4]
Jika, seorang dalam ada bersama dengan orang lain (the other/ Lyan) menyimpang dari nilai-nilai tersebut, maka
seseorang tersebut dilabeli bukan sebagai atadike
tetapi sebagai atadate (orang yang
jahat).
Menjadi
atadike adalah sebuah proses menuju
di mana proses itu ditunjukkan dalam dinamika kehidupan dengan kata-kata atau
tindak-tanduk. Untuk menjadi atadike,
Max Boli mengatakan bahwa harus memenuhi lima (5) indikator utama. Kelima
indikator itu adalah demikian.[5] Pertama, dalam kehidupan sehari-hari
manusia harus berani berjuang untuk melawan aneka persoalan yang menghadang. Kedua, manusia dalam kehidupannya harus
bebas atau tidak mau dijajah. Ketiga, manusia
dalam kebebasannya harus tetap memperhatian kaidah dalam ada bersama atau
kebebasan yang memiliki batas dalam kehidupan bukan bebas sebebasnya. Hal ini
juga tampak dalam proses bermusyawarah. Kebebasan seseorang dibatasi oleh orang
lain (the other/ Lyan). Keempat, manusia untuk menjadi atadike tidak sembarangan dalam
kehidupan. Artinya harus memperhatikan stratifikasi sosial. Manusia harus tahu
betul status atau kedudukannya dalam hidup bermasyarakat. Kelima, manusia Lamaholot harus berdiri lurus atau tidak boleh
miring. Hal ini berarti manusia Lamaholot harus tahu betul kewajiban dan haknya
agar tidak melanggar hak dan kewajiban orang lain dalam kehidupan bersosial.
Pion
dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa menjadi manusia yang baik atau atadike adalah sebuah proses hidup yang
terus menerus dilakukan. Manusia Lamaole-Lewomaku harus tetap berusaha untuk
hidup baik dengan orang lain. Dalam usaha itu, tentu digandengi dengan prilaku
hidup sehari-hari yang sudah tersirat secara langsung dalam kebudayaan dan
agama. Singkat kata, dalam mengadanya sebagai manusia Lamaholot khususnya dalam
masyarakat Lamaole-Lewomaku harus memperhatikan unsur etis sebagaimana dalam
bahasa setempat disebut sebagai gasi are
atadike.[6]
[1] Felysianus
Sanga, “Nilai-nilai Dasar Budaya Lamaholot” dalam Stanis Soda Herin (Peny.), Sketsa Budaya Lamaholot Etika &
Moralitas Publik, Larantuka: Yayasan Cinta Kasih, 2007, hlm. 33.
[2] Max Boli
Sabon, “ Manusia Menurut Orang Lamaholot”, dalam Warta Flobamora, XXXXVII (Desember, 2016), hlm. 3.
[3] Marianus
Kleden, Hak Asasi Manusia dalam
Masyarakat Komunal: Kajian Atas Konsep HAM dalam Teks-teks Adat Lamaholot dan
Relevansinya Terhadap HAM dalam UUD 1945, Yogyakarta: Lamalera, 2008, hlm.
153-155.
[4] Pendapat ini
disampaikan oleh Bapak Stefanus Toti Keban dalam wawancara via telephone pada
hari Minggu, 5 Februari 2016.
[6] Gasi are atadike adalah sebuah etika hidup masyarakat Lamaole-Lewomaku. Gasi are berarti sikap manusia untuk
menghormati, menghargai dan berlaku sopan bagi manusia lainnya. Sedangkan atadike adalah manusia. Dengan demikian Gasi are atadike adalah sebuah bentuk
penghargaan bagi manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar