Sabtu, 11 November 2017

Filsafat Manusia Lamaholot



Konsep Manusia Lamaholot
Yosep Belen Keban
Konsep tentang Manusia
Diskursus mengenai siapakah manusia menjadi semacam perbincangan yang terus menerus digumuli. Salah satunya adalah para filsuf yang terus bertanya mengenai apakah manusia itu? Pertanyaan itu tentu menjadi titik awal pergumulan filsafat mengenai manusia. Tidak hanya para filsuf, masyarakat Lamaole-Lewomaku juga bertanya dan bergumul mengenai konsep manusia itu. Pemikiran masyarakat Lamaole-Lewomaku mengenai manusia tidak terlepas dari pemikiran manusia Lamaholot umumnya yakni atadike” (= atadik’en dalam dialek Lamaholot umumnya).[1]
Kata “atadike” terdiri dari dua kata, yakni kata “ata” dan kata “dike”.[2] Ata artinya orang atau julukan kehormatan bagi makhluk yang bernama manusia. Dalam kehidupan sehari-hari term “ata” ini sering digunakan dan merujuk pada pribadi seseorang. Sebagai contohnya adalah “ata dike pe nulu wale sene” artinya orang tersebut memiliki sifat yang baik. Berkaitan dengan kata ata, dalam masyarakat Lamaholot umumnya mengidentifikasinya menjadi beberapa jenis manusia yakni:[3] ata bele (orang besar), ata molang (manusia yang memiliki kekuatan dalam hal penyembuhan), ata mua (manusia dengan keahlian khusus seperti guru, dokter dan pastor), ata menake (manusia jahat, penyihir). Sedangkan kata dike (dik’en) sendiri berarti baik atau bernas, tidak rusak. Kata dike (dik’en) digunakan untuk memperjelas suatu hal di mana sifat dari suatu hal itu memiliki kualitas yang baik.
Dari ulasan mengenai terminologi atadike (atadik’en) di atas, dapat dimengerti konsep manusia Lamaholot khususnya dalam masyarakat Lamaole-Lewomaku. Atadike merujuk atau memiliki arti orang atau manusia yang baik. Jika demikian maka menjadi pertanyaanya adalah seperti apakah manusia yang baik itu? Bagaimana menjadi manusia yang baik? Pertanyaan ini adalah fondasi dasar, pergumulan awali untuk memahami manusia yang adalah atadike. Manusia yang baik (atadike) menurut masyarakat Lamaole-Lewomaku adalah manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai etis, menjunjungi tinggi nilai-nilai kebudayaan dan juga nilai-nilai agama.[4] Jika, seorang dalam ada bersama dengan orang lain (the other/ Lyan) menyimpang dari nilai-nilai tersebut, maka seseorang tersebut dilabeli bukan sebagai atadike tetapi sebagai atadate (orang yang jahat).
Menjadi atadike adalah sebuah proses menuju di mana proses itu ditunjukkan dalam dinamika kehidupan dengan kata-kata atau tindak-tanduk. Untuk menjadi atadike, Max Boli mengatakan bahwa harus memenuhi lima (5) indikator utama. Kelima indikator itu adalah demikian.[5] Pertama, dalam kehidupan sehari-hari manusia harus berani berjuang untuk melawan aneka persoalan yang menghadang. Kedua, manusia dalam kehidupannya harus bebas atau tidak mau dijajah. Ketiga, manusia dalam kebebasannya harus tetap memperhatian kaidah dalam ada bersama atau kebebasan yang memiliki batas dalam kehidupan bukan bebas sebebasnya. Hal ini juga tampak dalam proses bermusyawarah. Kebebasan seseorang dibatasi oleh orang lain (the other/ Lyan). Keempat, manusia untuk menjadi atadike tidak sembarangan dalam kehidupan. Artinya harus memperhatikan stratifikasi sosial. Manusia harus tahu betul status atau kedudukannya dalam hidup bermasyarakat. Kelima, manusia Lamaholot harus berdiri lurus atau tidak boleh miring. Hal ini berarti manusia Lamaholot harus tahu betul kewajiban dan haknya agar tidak melanggar hak dan kewajiban orang lain dalam kehidupan bersosial.
Pion dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa menjadi manusia yang baik atau atadike adalah sebuah proses hidup yang terus menerus dilakukan. Manusia Lamaole-Lewomaku harus tetap berusaha untuk hidup baik dengan orang lain. Dalam usaha itu, tentu digandengi dengan prilaku hidup sehari-hari yang sudah tersirat secara langsung dalam kebudayaan dan agama. Singkat kata, dalam mengadanya sebagai manusia Lamaholot khususnya dalam masyarakat Lamaole-Lewomaku harus memperhatikan unsur etis sebagaimana dalam bahasa setempat disebut sebagai gasi are atadike.[6]






[1] Felysianus Sanga, “Nilai-nilai Dasar Budaya Lamaholot” dalam Stanis Soda Herin (Peny.), Sketsa Budaya Lamaholot Etika & Moralitas Publik, Larantuka: Yayasan Cinta Kasih, 2007, hlm. 33.
[2] Max Boli Sabon, “ Manusia Menurut Orang Lamaholot”, dalam Warta Flobamora, XXXXVII (Desember, 2016), hlm. 3.
[3] Marianus Kleden, Hak Asasi Manusia dalam Masyarakat Komunal: Kajian Atas Konsep HAM dalam Teks-teks Adat Lamaholot dan Relevansinya Terhadap HAM dalam UUD 1945, Yogyakarta: Lamalera, 2008, hlm. 153-155.
[4] Pendapat ini disampaikan oleh Bapak Stefanus Toti Keban dalam wawancara via telephone pada hari Minggu, 5 Februari 2016.
[5] Max Boli Sabon, Op.Cit., hlm.5.
[6] Gasi are atadike adalah sebuah etika hidup masyarakat Lamaole-Lewomaku. Gasi are berarti sikap manusia untuk menghormati, menghargai dan berlaku sopan bagi manusia lainnya. Sedangkan atadike adalah manusia. Dengan demikian Gasi are atadike adalah sebuah bentuk penghargaan bagi manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar