“GASI ARE ATADIKEN”
Menggugat “Kesadaran”
Manusia
Lamaole Dalam Pendidikan Karakter
(Yosep
Belen Keban)
Panorama Gasi are
Gasi are merupakan
sebuah terminologi etika yang dihidupi oleh manusia (atadiken) Lamaholot dan secara
khusus bagi masyarakat Lamaole-Lewomaku. Terminologi
ini tentu saja berkaitan dengan relasi dengan orang lain (the other atau Liyan) dalam
ada bersama atau dalam hidup bersocietas. Gasi
are dalam bahasa Lewotanaole (Lamaole)
dapat diartikan sebagai hal “saling menghormati”. Prihal saling menghormati
tentu saja merujuk pada sebuah relasi yang dibangun. Relasi yang dibangun
adalah sebuah relasi yang berkesadaran antara Aku-Engkau, kami-kamu. Aku-Engkau, kami-kamu tidak berarti
dipandang sebagai sebuah relasi obyektif di mana “Engkau-kamu (the other atau Liyan)”
dijadikan sebagai obyek dari ke-aku-anku
atau ke-kami-an. Eksistensi
Aku atau kami tidak memandang renda atau menjadikan
orang lain yang adalah atadiken
dijadikan sebagai pelampiasan ego dari aku. Terminologi
gasi are ini sudah ditanam sejak dini
dalam kehidupan keluarga. Orang tua berperan penting dalam mengajarkan
nilai-nilai gasi are ini. Dengan
demikian, keluarga merupakan sekolah pertama yang mengajarkan banyak hal kepada
anak-anak. Banyak nilai-nilai kebudayaan yang diketahui dan diperoleh anak dari
orang tuanya. Dengan itu, peran orang tua dalam mengajarkan nilai-nilai hidup
yang tentunya sudah terpatri dengan indah dalam kebudayaan yang dihidupi
sangatlah penting. Masyarakat Lamaole-Lewomaku
berkeyakinan kuat bahwa yang penting dalam hidup ini adalah perihal boke maye (tegur sapa) antarmanusia.
Dalam boke maye itu seseorang harus memperhatikan unsur-unsur dalam
berelasi. Unsur-unsur
itu meliputi siapa yang akan disapa? Berapakah usianya? Bagaimana bertutur kata
atau bertindak-tanduk yang baik dan benar? Bahasa apa yang cocok digunakan
untuk menyapa seseorang? Bagimana konteksnya? Semua unsur yang disebut di atas
disebut sebagai unsur dasar dalam berelasi atau dalam bahasa setempat disebut
sebagai gasi are. Gasi are ini menjadi fondasi dasar dalam
hidup sosial. Terminologi ini lahir dari konsep manusia Lamaholot pada umumnya
mengenai manusia tradisional. Konsep tradisional manusia Lamaholot disebut
sebagai atadiken. Secara harfia
terminologi Atadiken terdiri dari dua
suku kata, yaitu term “ata” dan term
“diken”.[1] Ata berarti orang atau julukan
kehormatan bagi makhluk yang bernama manusia. Sedangkan term diken berarti baik atau bernas, tidak
rusak. Jadi, terminologi atadiken
dapat diartikan sebagai orang atau manusia yang mengedepankan nilai-nilai baik
atau dengan kata lain atadiken
berarti manusia yang baik.[2]
Dari gambaran pengertian manusia ini, maka terminologi gasi are mendapat tempatnya. Manusia dalam dinamika keseharian
hidupnya harus memperlakukan manusia yang lainnya dengan baik sebab pada
dasarnya manusia sejak lahir itu memiliki sifat baik. Secara kodrati manusia
sudah memiliki sifat ini. Dengan demikian, relasi dalam tata hidup bersama atau
societas dengan orang lain selalu
difondasikan pada nilai-nilai baik
itu sendiri.
Gasi are Sebagai Etika Lokal Lamaole
Terminologi Gasi are yang dipraktikkan dalam ada
bersama dengan orang lain di wilayah Lamaole
dapat
disebut sebagai etika tradisional setempat. Disebut etika tradisional sebab gasi are dijadikan fondasi dasar yang
mengatur cara hidup masyarakat setempat. Etika hidup baik merupakan landasan
dasar dalam cara berada dalam hidup dan itu dibangun dalam sebuah relasi yang
terdalam yakni lahir dari “rasa cinta”. Dengan itu relasi gasi are lahir dari relasi cinta antara Aku-Engkau, kami-kamu. Relasi cinta tentu
tidak diartikan secara sempit Hal itu berarti relasi dalam gasi are mengandung nilai-nilai universal dalam kehidupan.
Nilai-nilai hidup demikianlah yang mengatur cara hidup baik itu pola tutur dan
tindak-tanduk seseorang dalam kehidupan bersama.
Nilai-nilai itu dengan
sendirinya termaktub dalam kebudayaan yang dihidupi oleh masyarakat Lamaole. Yang menjadi pelaku
etika dalam budaya Lamaole adalah
segenap warga setempat atau para pelaku etika dalam relasi dan ini merupakan
ajaran yang terus diwariskan bagi generasi baru. Saya mengingat dengan baik wejangan yang selalu diberikan oleh orang
tua atau siapa pun yang memiliki hubungan darah mengenai hal ini. Ketika prilaku
dan tutur kata yang dipertontonkan itu menyimpang dari apa yang diharapkan maka
kita dilabeli sebagai atadiken yang klese
ata hela. Frase ini memiliki arti bahwa manusia yang tidak menghormati atau
mempedulikan eksistensi orang lain. Dengan demikian, gasi are di
sini sebagai petunjuk atau pedoman dalam kehidupan. Hal
ini dilakukan agar dalam kehidupan masyarakat setempat mengedepankan nilai baik
itu sendiri.
Term ‘baik’ dalam filsafat merujuk pada etika
kehidupan manusia. Adalah Aristoteles yang mengatakan dengan baik mengenai hal
itu. Menurut Aristoteles, baik merupakan itu yang dijadikan tujuan. Oleh karena
menjadi tujuan, maka hal itu terus
dikejar dan diusahakan. Yang dikejar dan diusahakan tidak lain adalah
kebahagian. Manusia atau seseorang berusaha melakukan kebaikan agar ia dapat
menemukan nilai baik dari tindakannya itu sendiri. Ia akan bahagia apabila
mempraktikkan kebaikan itu sendiri.
Berkaitan dengan etika hidup itu, gasi are merupakan itu yang dijadikan dasar atau fondasi dalam
berelasi. Tujuan dari itu tidak lain adalah mencapai tujuan yang idealkan.
Dengan adanya gasi are, maka
seseorang merasa dihormati atau dihargai dalam berelasi. Dengan demikian, dalam
diri seseorang tersebut dibangunlah sebuah penilaian sikap atas orang lain (the other atau Liyan). Sebagai contohnya, si A dalam bertatap muka atau berelasi
dengan si B yang mana mengedepankan nilai-nilai atau kaidah relasi yang benar,
maka si B itu dapat menilai si A ini sebagai atadiken atau manusia yang baik. Dan apabila si A ini dalam
berelasi dengan si B tidak menghargai atau menghormati keberadaan si B, maka si
B membangun konsep yang negatif kepada si A dengan orang yang jelek atau dalam
bahasa Lamaholot disebut atadate.
Penilaian ini tentu
saja agak bertolak belakang dengan definisi manusia Lamaholot di atas. Hal yang mau
dikatakan mengenai atadate adalah
manusia yang menolak atau menyimpang dari nilai-nilai universal. Nilai universal yang dimaksud seperti klese ata hela, le’a weki hela, nulu wale
date, dll. Atau
dengan kata lain, atadate atau
manusia yang tidak baik atau jelek dalam bertutur kata atau berpola laku
merupakan manusia yang mengabaikan kebaikan itu sendiri dalam hidup bersama.
Oleh karena demikian, maka dapat diambil kesimpulan bahwa mereka itu mengabaikan
etika hidup manusia Lamaole.
Di sini nampak absennya nilai baik dalam kehidupan. Pada dasarnya, manusia
menurut orang Lamaholot umumnya adalah baik.
Menggugat Kesadaran Hidup Manusia Lamaole
Berkaitan
dengan etika hidup masyarakat Lamaholot yakni gasi are ini, tentunya sangat dianjurkan untuk dipraktikkan dalam
kehidupan sosial. Gasi are berlaku
bagi siapa pun entah itu yang kaya atau miskin, tua atau mudah. Singkat kata gasi are tidak memandang status sosial
dalam hidup bersama. Hal ini dapat dilakukan oleh siapa pun dan di mana pun
keberadaannya. Dengan demikian Gasi are sendiri
memiliki makna umum. Salah satunya adalah meredam adanya konflik dalam
kehidupan bersama dan juga memperkuat relasi dalam kehidupan.
Konflik
dalam kehidupan sosial tidak mungkin terjadi apabila Gasi are ini dilakukan atau diutamakan dalam hidup bersama. Itulah
tujuan dari orang mempraktikkan etika itu sendiri. Relasi yang ditemukan tidak
hanya seputar relasi kawin-mawin (opu-pei-lake-kaka-ari-ina-bine)
tetapi melampaui relasi kawin mawin itu sendiri. Hal yang mau dikatakan juga
dalam terminologi Gasi are dalam
berelasi adalah aku tidak memandang aku yang lain sebagai obyek. Bentuk relasi ini bisa digambarkan dengan sikap atau
prilaku yang memandang rendah orang lain, konflik internal dalam hubungan
keluarga lalu berakhir dengan dendam yang berkepanjangan,dll.
Hal ini tentu saja bertolak belakang dengan yang diharapkan
dalam berelasi. Dalam berelasi, manusia Lamaole memperlakukan orang
lain sebagai mitra, sahabat. Orang lain dalam berelasi ala manusia Lamaole adalah dia yang baik (atadike). Oleh karena demikian,
sangatlah penting untuk menghormati dan mengakui keberadaannya (eksistensi)
sebagai manusia yang agung dan luhur sama seperti aku atau kami. Manusia Lamaole-Lewomaku umumnya
memperlakukan manusia sangat istimewa dalam berelasi. Masyarakat setempat tidak
pernah memperlakukan orang lain sebagai obyek untuk ditindas, dieksploitasi
ataupun dijajah. Manusia begitu luhur dimata masyarakat di tempat ini.
Pandangan masyarakat Lamaole-Lewomaku dalam hal
berelasi yang kemudian menelurkan etika hidup lokal ini tentunya sangat mirip
dengan pemikiran para filsuf
eksistensialisme. Martin Buber berpendapat bahwa dalam ada bersama
dengan orang lain pentingnya dibangun sikap komunikatif. Sikap ini tentu saja
disebut relasi. Relasi yang dimaksudkan oleh Buber adalah relasi kesadaran
mengenai eksistensi Liyan atau orang
lain. Tanpa yang lain atau engkau tentu sangat tidak mungkin aku dapat
berelasi.
Dengan
demikian, aku harus memberikan ruang bagi orang lain untuk berelasi. Pemberian
diri dalam berelasi kiranya dapat memperhatikan unsur atau etika komunikatif
agar tidak terjadinya konflik. Pemberian diri atau peleburan diri dalam
berelasi merupakan sebuah sikap dasar dalam hidup societas. Selain itu,
Heidegger juga mengatakan bahwa eksistensi manusia sebagai ada-di-dalam-dunia sesungguhnya dipandang sebagai Ada yang
menyingkapkan diri, menyatakan diri, dan mewahyukan dirinya. Hal ini merujuk pada
relasi “ada” dengan dunia baik dengan sesama (Liyan) ataupun dengan hal-hal (things).
Di sinilah pentingnya sikap keterbukaan. Sikap ini sangat penting dalam
berelasi.
Dari uraian di atas, saya hendak menggugat soal kesadaran hidup manusia
Lamaole dewasa ini. Sebagaimana yang diketahui bahwa dengan adanya kemajuan
disegala aspek kehidupan terminologi gasi
are pun secara perlahan luntur dalam kebudayaan kita. Hal ini ditandai
dengan aneka fenomena unik di mana hubungan keluarga putus hanya karena
persoalan sepele seperti geni nura tana,
dll. Dan terkadang itu amat mengherankan dan ironis memang sebab dendam dalam
hidup pun berkepanjangan sampai maut memisahkan. Di kala tubuh kaku terbaring
tanpa nyawa, air mata dan tangisan tidak ada faedahnya sama sekali. Selain itu
pula sikap apatis terhadap pemimpin, dan sikap harga-menghargai yang semakin
tidak dihiraukan. Relasi opu-pei-kaka-ari-ina-bine
hanya akan berdiam di kepala manusia dan terbersit dikala itu diucapkan tanpa
makna. Semua yang disinggung di sini adalah sebagian kecil dari aneka persoalan
yang dihidupi. Lalu, menjadi pertanyaannya adalah seberapa jauhkah kita
menjalin relasi dengan orang lain? Masih relevankah gasi are itu di era ini? Seberapa dalam kesadaran kita atas
kehadiran orang lain?
Kesimpulan
Terminologi Gasi are merupakan kebijaksanaan
universal yang dihidupi oleh masyarakat Lamaole.
Sebagai kebijaksanaan universal tentunya mengandung aneka nilai hidup. Nilai
hidup itu bertumbuh dan ditemukan dalam kebudayaan lokal yang dihidupi. Terminologi
etika lokal Lamaole
ini merupakan sebuah kearifan lokal (lokal
wisdom). Adapun nilai-nilai yang
terkandung dalam terminologi ini adalah nilai sosial, nilai persaudaraan dan
nilai etika. Nilai-nilai yang terdapat dalam terminologi gasi are ini menurut masyarakat setempat harus dilakukan. Dengan
kata lain gasi are itu bersifat
“harus”. Kata “harus” merujuk pada etika
yang mana bersifat harus untuk dilakukan. Dalam berproses menjadi atadiken atau manusia yang baik,
masyarakat setempat harus mengedepankan dan menjalankan etika dasar ini. Ini merupakan sebuah pendidikan karekter yang diwarisi
oleh para pewaris nilai. Oleh karena demikian, kesadaran diri dalam kehidupan
harus menjadi prioritas utama sehingga bisa menjadi atadiken sebagaimana dijelaskan di atas.
Dari
pandangan relasi yang disampaikan di atas dapat diambil kesimpulan demikian. Pertama, relasi hidup manusia Lamaole harus dibangun atau
difondasikan pada etika lokal manusia Lamaholot sendiri yakni Gasi are. Kedua, dalam berelasi hendaknya mengabaikan kepentingan-kepentingan
pribadi atau mengejar keuntungan dari dan dalam berelasi. Orang lain hendaknya
diperhitungkan eksistensinya sebagai manusia yang luhur dan agung. Ia bukan
obyek kepuasan dari aku dalam berelasi. Ia ada dan dipandang sebagai subyek
yang dari padanya aku menjadi atadiken.
Ketiga, manusia Lamaholot dipanggil
untuk terlibat atau berproses menjadi manusia yang baik (atadiken) dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu dapat dilakukan
dengan cara bertutur kata dan bertindak-tanduk sesuai dengan nilai-nilai
kehidupan yang dihidupi dalam kebudayaan. Keempat, kesadaran
diri dalam berelasi merupakan titik awal sehingga kita disebut sebagai manusia
yang berkesadaran dalam membangun kehidupan social yang aman, damai, dan
tentram.
Biodata
Nama : Yosep Belen Keban
Domisili : Malang-Jawa Timur
No Tlf / Wa : 085235312315
[1] Terminologi Atadiken ini dapat juga ditemukan dalam
tulisan Max Boli Sabon, “Manusia Menurut Orang Lamaholot”, dalam Warta Flobamora, XXXXVII (Desember,
2016), hlm. 3.
[2] Kesimpulan ini dapat
dilihat dalam tulisan Yosep Belen Keban (Skripsi)
dengan judul “Memahami Ritus Wu’u Lolo Dalam Masyarakat
Lamaole-Lewomaku: Sebuah Tinjauan Antropologis Clifford Geertz”, STFT Widya
Sasana Malang, 2017, hlm. 15.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar