Sabtu, 11 November 2017

Etika Lokal Manusia Lamaholot (Suku Lamaole-Lewomaku) di Pulau Solor

“GASI ARE ATADIKEN”
 Menggugat “Kesadaran” Manusia Lamaole Dalam Pendidikan Karakter
(Yosep Belen Keban)

Panorama Gasi are
            Gasi are merupakan sebuah terminologi etika yang dihidupi oleh manusia (atadiken) Lamaholot dan secara khusus bagi masyarakat Lamaole-Lewomaku. Terminologi ini tentu saja berkaitan dengan relasi dengan orang lain (the other atau Liyan) dalam ada bersama atau dalam hidup bersocietas. Gasi are dalam bahasa Lewotanaole (Lamaole) dapat diartikan sebagai hal “saling menghormati”. Prihal saling menghormati tentu saja merujuk pada sebuah relasi yang dibangun. Relasi yang dibangun adalah sebuah relasi yang berkesadaran antara Aku-Engkau, kami-kamu. Aku-Engkau, kami-kamu tidak berarti dipandang sebagai sebuah relasi obyektif di mana “Engkau-kamu (the other atau Liyan)” dijadikan sebagai obyek dari ke-aku-anku atau ke-kami-an. Eksistensi Aku atau kami tidak memandang renda atau menjadikan orang lain yang adalah atadiken dijadikan sebagai pelampiasan ego dari aku.            Terminologi gasi are ini sudah ditanam sejak dini dalam kehidupan keluarga. Orang tua berperan penting dalam mengajarkan nilai-nilai gasi are ini. Dengan demikian, keluarga merupakan sekolah pertama yang mengajarkan banyak hal kepada anak-anak. Banyak nilai-nilai kebudayaan yang diketahui dan diperoleh anak dari orang tuanya. Dengan itu, peran orang tua dalam mengajarkan nilai-nilai hidup yang tentunya sudah terpatri dengan indah dalam kebudayaan yang dihidupi sangatlah penting. Masyarakat Lamaole-Lewomaku berkeyakinan kuat bahwa yang penting dalam hidup ini adalah perihal boke maye (tegur sapa) antarmanusia.
Dalam boke maye itu seseorang harus memperhatikan unsur-unsur dalam berelasi. Unsur-unsur itu meliputi siapa yang akan disapa? Berapakah usianya? Bagaimana bertutur kata atau bertindak-tanduk yang baik dan benar? Bahasa apa yang cocok digunakan untuk menyapa seseorang? Bagimana konteksnya? Semua unsur yang disebut di atas disebut sebagai unsur dasar dalam berelasi atau dalam bahasa setempat disebut sebagai gasi are. Gasi are ini menjadi fondasi dasar dalam hidup sosial. Terminologi ini lahir dari konsep manusia Lamaholot pada umumnya mengenai manusia tradisional. Konsep tradisional manusia Lamaholot disebut sebagai atadiken. Secara harfia terminologi Atadiken terdiri dari dua suku kata, yaitu term “ata” dan term “diken”.[1] Ata berarti orang atau julukan kehormatan bagi makhluk yang bernama manusia. Sedangkan term diken berarti baik atau bernas, tidak rusak. Jadi, terminologi atadiken dapat diartikan sebagai orang atau manusia yang mengedepankan nilai-nilai baik atau dengan kata lain atadiken berarti manusia yang baik.[2] Dari gambaran pengertian manusia ini, maka terminologi gasi are mendapat tempatnya. Manusia dalam dinamika keseharian hidupnya harus memperlakukan manusia yang lainnya dengan baik sebab pada dasarnya manusia sejak lahir itu memiliki sifat baik. Secara kodrati manusia sudah memiliki sifat ini. Dengan demikian, relasi dalam tata hidup bersama atau societas dengan orang lain selalu difondasikan pada nilai-nilai baik itu sendiri.

Gasi are Sebagai Etika Lokal Lamaole
Terminologi Gasi are yang dipraktikkan dalam ada bersama dengan orang lain di wilayah Lamaole dapat disebut sebagai etika tradisional setempat. Disebut etika tradisional sebab gasi are dijadikan fondasi dasar yang mengatur cara hidup masyarakat setempat. Etika hidup baik merupakan landasan dasar dalam cara berada dalam hidup dan itu dibangun dalam sebuah relasi yang terdalam yakni lahir dari “rasa cinta”. Dengan itu relasi gasi are lahir dari relasi cinta antara Aku-Engkau, kami-kamu. Relasi cinta tentu tidak diartikan secara sempit Hal itu berarti relasi dalam gasi are mengandung nilai-nilai universal dalam kehidupan. Nilai-nilai hidup demikianlah yang mengatur cara hidup baik itu pola tutur dan tindak-tanduk seseorang dalam kehidupan bersama.
Nilai-nilai itu dengan sendirinya termaktub dalam kebudayaan yang dihidupi oleh masyarakat Lamaole. Yang menjadi pelaku etika dalam budaya Lamaole adalah segenap warga setempat atau para pelaku etika dalam relasi dan ini merupakan ajaran yang terus diwariskan bagi generasi baru. Saya mengingat dengan baik wejangan yang selalu diberikan oleh orang tua atau siapa pun yang memiliki hubungan darah mengenai hal ini. Ketika prilaku dan tutur kata yang dipertontonkan itu menyimpang dari apa yang diharapkan maka kita dilabeli sebagai atadiken yang klese ata hela. Frase ini memiliki arti bahwa manusia yang tidak menghormati atau mempedulikan eksistensi orang lain. Dengan demikian, gasi are di sini sebagai petunjuk atau pedoman dalam kehidupan. Hal ini dilakukan agar dalam kehidupan masyarakat setempat mengedepankan nilai baik itu sendiri.
Term ‘baik’ dalam filsafat merujuk pada etika kehidupan manusia. Adalah Aristoteles yang mengatakan dengan baik mengenai hal itu. Menurut Aristoteles, baik merupakan itu yang dijadikan tujuan. Oleh karena menjadi tujuan, maka hal itu terus  dikejar dan diusahakan. Yang dikejar dan diusahakan tidak lain adalah kebahagian. Manusia atau seseorang berusaha melakukan kebaikan agar ia dapat menemukan nilai baik dari tindakannya itu sendiri. Ia akan bahagia apabila mempraktikkan kebaikan itu sendiri.
Berkaitan dengan etika hidup itu, gasi are merupakan itu yang dijadikan dasar atau fondasi dalam berelasi. Tujuan dari itu tidak lain adalah mencapai tujuan yang idealkan. Dengan adanya gasi are, maka seseorang merasa dihormati atau dihargai dalam berelasi. Dengan demikian, dalam diri seseorang tersebut dibangunlah sebuah penilaian sikap atas orang lain (the other atau Liyan). Sebagai contohnya, si A dalam bertatap muka atau berelasi dengan si B yang mana mengedepankan nilai-nilai atau kaidah relasi yang benar, maka si B itu dapat menilai si A ini sebagai atadiken atau manusia yang baik. Dan apabila si A ini dalam berelasi dengan si B tidak menghargai atau menghormati keberadaan si B, maka si B membangun konsep yang negatif kepada si A dengan orang yang jelek atau dalam bahasa Lamaholot disebut atadate.
Penilaian ini tentu saja agak bertolak belakang dengan definisi manusia Lamaholot di atas. Hal yang mau dikatakan mengenai atadate adalah manusia yang menolak atau menyimpang dari nilai-nilai universal. Nilai universal yang dimaksud seperti klese ata hela, le’a weki hela, nulu wale date, dll. Atau dengan kata lain, atadate atau manusia yang tidak baik atau jelek dalam bertutur kata atau berpola laku merupakan manusia yang mengabaikan kebaikan itu sendiri dalam hidup bersama. Oleh karena demikian, maka dapat diambil kesimpulan bahwa mereka itu mengabaikan etika hidup manusia Lamaole. Di sini nampak absennya nilai baik dalam kehidupan. Pada dasarnya, manusia menurut orang Lamaholot umumnya adalah baik.
Menggugat Kesadaran Hidup Manusia Lamaole
Berkaitan dengan etika hidup masyarakat Lamaholot yakni gasi are ini, tentunya sangat dianjurkan untuk dipraktikkan dalam kehidupan sosial. Gasi are berlaku bagi siapa pun entah itu yang kaya atau miskin, tua atau mudah. Singkat kata gasi are tidak memandang status sosial dalam hidup bersama. Hal ini dapat dilakukan oleh siapa pun dan di mana pun keberadaannya. Dengan demikian Gasi are sendiri memiliki makna umum. Salah satunya adalah meredam adanya konflik dalam kehidupan bersama dan juga memperkuat relasi dalam kehidupan.
Konflik dalam kehidupan sosial tidak mungkin terjadi apabila Gasi are ini dilakukan atau diutamakan dalam hidup bersama. Itulah tujuan dari orang mempraktikkan etika itu sendiri. Relasi yang ditemukan tidak hanya seputar relasi kawin-mawin (opu-pei-lake-kaka-ari-ina-bine) tetapi melampaui relasi kawin mawin itu sendiri. Hal yang mau dikatakan juga dalam terminologi Gasi are dalam berelasi adalah aku tidak memandang aku yang lain sebagai obyek. Bentuk relasi ini bisa digambarkan dengan sikap atau prilaku yang memandang rendah orang lain, konflik internal dalam hubungan keluarga lalu berakhir dengan dendam yang berkepanjangan,dll. Hal ini tentu saja bertolak belakang dengan yang diharapkan dalam berelasi. Dalam berelasi, manusia Lamaole memperlakukan orang lain sebagai mitra, sahabat. Orang lain dalam berelasi ala manusia Lamaole adalah dia yang baik (atadike). Oleh karena demikian, sangatlah penting untuk menghormati dan mengakui keberadaannya (eksistensi) sebagai manusia yang agung dan luhur sama seperti aku atau kami. Manusia Lamaole-Lewomaku umumnya memperlakukan manusia sangat istimewa dalam berelasi. Masyarakat setempat tidak pernah memperlakukan orang lain sebagai obyek untuk ditindas, dieksploitasi ataupun dijajah. Manusia begitu luhur dimata masyarakat di tempat ini.
 Pandangan masyarakat Lamaole-Lewomaku dalam hal berelasi yang kemudian menelurkan etika hidup lokal ini tentunya sangat mirip dengan pemikiran para filsuf  eksistensialisme. Martin Buber berpendapat bahwa dalam ada bersama dengan orang lain pentingnya dibangun sikap komunikatif. Sikap ini tentu saja disebut relasi. Relasi yang dimaksudkan oleh Buber adalah relasi kesadaran mengenai eksistensi Liyan atau orang lain. Tanpa yang lain atau engkau tentu sangat tidak mungkin aku dapat berelasi.
Dengan demikian, aku harus memberikan ruang bagi orang lain untuk berelasi. Pemberian diri dalam berelasi kiranya dapat memperhatikan unsur atau etika komunikatif agar tidak terjadinya konflik. Pemberian diri atau peleburan diri dalam berelasi merupakan sebuah sikap dasar dalam hidup societas. Selain itu, Heidegger juga mengatakan bahwa eksistensi manusia sebagai ada-di-dalam-dunia sesungguhnya dipandang sebagai Ada yang menyingkapkan diri, menyatakan diri, dan mewahyukan dirinya. Hal ini merujuk pada relasi “ada” dengan dunia baik dengan sesama (Liyan) ataupun dengan hal-hal (things).  Di sinilah pentingnya sikap keterbukaan. Sikap ini sangat penting dalam berelasi.
Dari uraian di atas, saya hendak menggugat soal kesadaran hidup manusia Lamaole dewasa ini. Sebagaimana yang diketahui bahwa dengan adanya kemajuan disegala aspek kehidupan terminologi gasi are pun secara perlahan luntur dalam kebudayaan kita. Hal ini ditandai dengan aneka fenomena unik di mana hubungan keluarga putus hanya karena persoalan sepele seperti geni nura tana, dll. Dan terkadang itu amat mengherankan dan ironis memang sebab dendam dalam hidup pun berkepanjangan sampai maut memisahkan. Di kala tubuh kaku terbaring tanpa nyawa, air mata dan tangisan tidak ada faedahnya sama sekali. Selain itu pula sikap apatis terhadap pemimpin, dan sikap harga-menghargai yang semakin tidak dihiraukan. Relasi opu-pei-kaka-ari-ina-bine hanya akan berdiam di kepala manusia dan terbersit dikala itu diucapkan tanpa makna. Semua yang disinggung di sini adalah sebagian kecil dari aneka persoalan yang dihidupi. Lalu, menjadi pertanyaannya adalah seberapa jauhkah kita menjalin relasi dengan orang lain? Masih relevankah gasi are itu di era ini? Seberapa dalam kesadaran kita atas kehadiran orang lain?
Kesimpulan
Terminologi Gasi are merupakan kebijaksanaan universal yang dihidupi oleh masyarakat Lamaole. Sebagai kebijaksanaan universal tentunya mengandung aneka nilai hidup. Nilai hidup itu bertumbuh dan ditemukan dalam kebudayaan lokal yang dihidupi. Terminologi etika lokal Lamaole ini merupakan sebuah kearifan lokal (lokal wisdom).  Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam terminologi ini adalah nilai sosial, nilai persaudaraan dan nilai etika. Nilai-nilai yang terdapat dalam terminologi gasi are ini menurut masyarakat setempat harus dilakukan. Dengan kata lain gasi are itu bersifat “harus”. Kata  “harus” merujuk pada etika yang mana bersifat harus untuk dilakukan. Dalam berproses menjadi atadiken atau manusia yang baik, masyarakat setempat harus mengedepankan dan menjalankan etika dasar ini. Ini merupakan sebuah pendidikan karekter yang diwarisi oleh para pewaris nilai. Oleh karena demikian, kesadaran diri dalam kehidupan harus menjadi prioritas utama sehingga bisa menjadi atadiken sebagaimana dijelaskan di atas.
Dari pandangan relasi yang disampaikan di atas dapat diambil kesimpulan demikian. Pertama, relasi hidup manusia Lamaole harus dibangun atau difondasikan pada etika lokal manusia Lamaholot sendiri yakni Gasi are. Kedua, dalam berelasi hendaknya mengabaikan kepentingan-kepentingan pribadi atau mengejar keuntungan dari dan dalam berelasi. Orang lain hendaknya diperhitungkan eksistensinya sebagai manusia yang luhur dan agung. Ia bukan obyek kepuasan dari aku dalam berelasi. Ia ada dan dipandang sebagai subyek yang dari padanya aku menjadi atadiken. Ketiga, manusia Lamaholot dipanggil untuk terlibat atau berproses menjadi manusia yang baik (atadiken) dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu dapat dilakukan dengan cara bertutur kata dan bertindak-tanduk sesuai dengan nilai-nilai kehidupan yang dihidupi dalam kebudayaan. Keempat, kesadaran diri dalam berelasi merupakan titik awal sehingga kita disebut sebagai manusia yang berkesadaran dalam membangun kehidupan social yang aman, damai, dan tentram.

Biodata
Nama                           : Yosep Belen Keban
Domisili                       : Malang-Jawa Timur
No Tlf / Wa                 : 085235312315
Email                           : yosephbelen@gmail.com






[1] Terminologi Atadiken ini dapat juga ditemukan dalam tulisan Max Boli Sabon, “Manusia Menurut Orang Lamaholot”, dalam Warta Flobamora, XXXXVII (Desember, 2016), hlm. 3.

[2] Kesimpulan ini dapat dilihat dalam tulisan Yosep Belen Keban (Skripsi) dengan judul “Memahami  Ritus Wu’u Lolo Dalam Masyarakat Lamaole-Lewomaku: Sebuah Tinjauan Antropologis Clifford Geertz”, STFT Widya Sasana Malang, 2017, hlm. 15.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar