Senin, 13 November 2017

KONSEP HUKUM MENURUT JEREMY BENTHAM
YOSEP BELEN KEBAN

Biografi dan Latar Belakang Pemikiran .
Jeremy Bentham lahir di Houndsditch, London  pada tanggal 15 Februari 1748 dan meninggal pada tanggal 06 Juni 1832.[1]Ia adalah seorang anak laki-laki dari cucu seorang pengacara dan juga lahir dari campuran takhayul yang saleh dari ibunya dan juga rasionalis abad pencerahan yang digemari ayahnya. Pada tahun 1760 ia masuk Queen's College, Oxford dan lulus pada tahun 1764 dan kemudian belajar hukum di Lincoln’s Inn. Jeremy Bentham sendiri awalnya bersekolah untuk menjadi seorang pengacara, tetapi ia merasa tidak betah.[2]Ia merasa bahwa ada begitu banyak bahasa yang sulit dan terdapat begitu banyak pula prinsip-prinsip yang bertentangan. Dengan alasan ini, Bentham kemudian memilih untuk bertanya tentang hal-hal mendasar yang berkaitan dengan hukum, moral dan politik yang kemudian digabungkan ke dalam satu prinsip yakni utilitarian.
Latar belakang pemikiran Bentham lahir dari reaksi terhadap empirisme yang menguasai pemikiran filsafat di Inggris. Di mana, empirisme ini menaruh perhatian terhadap dunia pengetahuan. Empirisme lahir dan berupaya untuk mengerti dunia ini. Dengan lahirnya empirisme maka, Bentham mendasarkan prinsip filsafatnya pada dua prinsip. Ada pun kedua prinsip itu yakni, “prinsip Asosiasi (Association principle)” dan “prinsip kebahagiaan-terbesar (greatest-happiness principle)”.[3]
Selain itu pula praktek ketidakadilan sosial yang terjadi Inggris membuat Bentham yang pada saat itu sebagai seorang mahasiswa hukum menaruh minat yang mendalam akan permasalahan-permasalahan demikian yang mana berkaitan dengan moralitas publik. Dengan adanya minat demikian maka mereka membentuk sebuah organisasi yang mana sangat radikal dalam cara berpikir sehingga melahirkan gerakan reformasi liberal dalam berbagai sektor kehidupan. Dalam pemikirannya mengenai utilitas ia menunjukkan bahwa kesepakatan di bidang hukum, etika dan politik semuanya dapat dituangkan dalam bahasa yang sederhana. Menurutnya prinsip ini hanya memaksimalkan hal-hal yang diinginkan dan meminimalkan hal yang ditakutkan.
 Pemikiran-pemikiran para filsuf sebelumnya sangat mempengaruhi pemikirannya untuk berfilsafat sehingga pada akhirnya ia mentelorkan filsafat utiliaterianisme. Para pemikir yang sangat berpengaruh dalam pemikirannya ialah Locke, David Hume, William Paley, Hartley, dan Helvetius yang mana menekankan aspek politis. Selain itu  Beccaria juga  memberipengaruh yang luar biasa bagi Bentham dalam bidang hukum sehingga membuatnya tertarik terhadap etika dan ilmu politik.        
Konsep  Hukum Bagi Masyarakat Menurut Jeremy Bentham
            Jeremy Bentham melihat bahwa individu adalah dasar dari kehidupan bersosial kiranya mendapat perhatian secara serius dan khusus dari pemerintah dalam hal ini Negara. Selain melihat manusia sebagai individu, Jeremy Bentham juga melihat manusia individu secara luas dalam sebuah perkumpulan sosial. Ia menegaskan “The Community is a fictitious body, composed of the individual  person who are considered as constituting as it were ite members.”[4] Dari sini  Bentham hendak mengatakan bahwa masyarakat merupakan sekelompok individu  yang berkumpul dan menganggap diri sebagai anggotanya. Mereka itu berkumpul karena dorongan dari kepentingan-kepentingan bersama. Kepentingan itu muncul dari minat setiap orang akan kebaikan umum, kepentingan umum dan kebutuhan umum yang melampaui kebutuhan individu. Kebutuhan akan keadilan, kebenaran, cinta dan kebahagiaan.
Sesuai dengan pemahaman awalinya mengenai dua hal kodrati yang ada dibawah pemerintah yakni kesenangan (pleasure) dan penderitaan (pain) kiranya menjadi itu yang seharusnya diporsikan. Negara seharusnya memenuhi segala kepentingan yang berbeda dari setiap individu dalam komunitas agar dapat terpenuhinya kesenangan dalam segala macam aktivitas. Hal itu dilakukan sebab kesenanganlah yang metelorkan kebahagian (happiness) dan itu dapat terpenuhi apabila rasa sakit (pain) itu dielakkan atau didepak dalam kehidupan bersama.[5] Maka, fokus prinsip utilitas menurut Bentham adalah “memaksimalkan hal yang diinginkan dan meminimalkan hal yang tidak diinginkan.[6] Kesenangan (pleasure) dan kesakitan (pain)  memang dua sifat kodrati manusia, selalu melekat dalam diri manusia, namun itu tidak berarti bahwa manusia tidak bisa menghindarinya. Manusia sebagai tuan atas dirinya, ia dapat mengkalkulasinya ketika manusia telah berada dalam kesadaran, ia akan berusaha semaksimal mungkin.
Oleh karena individu itu ada bersama orang lain (societas) maka sangatlah tentu dibutuhkan hukum Negara itu sendiri yang mana berfungsi sebagai mengatur atau mengayomi masyarakat yang ada. Dengan adanya hukum maka kebahagian dalam hidup dapat dipenuhi dengan melakukan hal-hal yang baik menurut aspek moral. Bentham juga mengatakan bahwa jika harus menghukum, maka hukuman itu dilakukan untuk tujuan perbaikan yang harus diperhitungkan dengan hati-hati kepentingan jangka panjang.[7]  Pemahaman itu kemudian melahirkan pemikirannya mengenai cara menilai kebahagian dan juga penderitaan yang dialami yakni dengan melakukan kalkulasi kedua rasa itu. Untuk memperoleh kebahagian demikian maka peran legislator sangatlah penting di mana ia bertugas menyelaraskan kepentingan-kepentingan yang ada dalam kehidupan bersama yakni kepentingan individu dan kepentingan sosial atau publik.
Bentham tidak hanya berpandangan bahwa kebaikan adalah kebahagian pada umumnya, tetapi juga bahwa setiap individu senantiasa memburu apa yang menurut keyakinannya merupakan kebahagiannya sendiri. Oleh sebab itu, tugas legislator adalah menghasilkan keserasian antara kepentingan publik dan kepentingan pribadi.[8]

 Bentham lebih lanjut menggolongkan hukum itu menjadi dua yakni hukum pidana dan perdata. Hukum-hukum itu tidak bukan adalah mengurangi kejahatan itu sendiri. Orang harus dihukum dengan hukum pidana dalam rangka mencegah kejahatan, bukan karena membenci sebuah tindakan kriminal. Berkaitan dengan hukum pidana Bentham juga mengatakan ketidaksetujuannya akan hukuman yang keras seperti hukuman mati atas pelanggaran-pelanggaran yang ringan pada zamannya. Ia kemudian mengusulkan agar hukuman mati dalam lingkup sosial ditiadakan untuk semua pelanggaran kecuali kejahatan yang terburuk.[9] Pandangan ini tentu berawal dari pengalaman nyatanya menyaksikan kekejaman hukum yang dipraktekan di Inggris di mana ada masyarakat sipil yang melakukan pelanggaran kecil maka ia harus menerima hukuman yang zalim bahkan dihukum mati. Hal inilah yang membuat Jeremy angkat bicara bahwa hukuman yang diberikan kiranya memperhatikan besar atau kecilnya juga persoalan atau masalah yang dilakukan.
Sementara itu untuk hukum perdata, ia mengatakan bahwa seharusnya memiliki empat tujuan. Keempat tujuan itu adalah: keberlanjutan hidup, kecukupan, keamanan, dan kesetaraan.[10] Menarik bahwa konsep kebebasan tidak disebutkan oleh Bentham sebagai tujuan di sini sebab baginya masalah mengenai HAM adalah sebuah masalah yang tidak dapat ditentukan oleh hukum. Dengan demikian ia tidak memperdulikan atau menafikan permasalahan mengenai kebebasan itu sendiri. Hak asasi manusia (HAM) menurut Bentham adalah omong-kosong. Dikatakan demikian sebab ranah ini tidak dapat ditentukan oleh hukum.
Selain itu dalam lingkup sosial Bentham juga mengamini opini dari Epicurus mengenai keamanan. Keamanan merupakan itu yang diidealkan sebab dari padanya semua manusia memperoleh kebahagian dalam ada bersama (hidup sosial). Ia juga mengatakan bahwa “perang dan badai bagus untuk diucapkan, tetapi perdamaian dan ketenangan lebih baik untuk dipikul.[11]Hal ini berarti Bentham menaruh perhatiannya pada nilai kebersamaan dalam hidup bersama yakni terciptanya iklim keamanan yang jauh dari kurungan konflik itu sendiri. Bentham juga dilain sisi menolak untuk percaya akan sesuatu yang tidak berlandasan rasional. Hal ini berarti rasional sebagai titik pijak atau tolok ukur dari segala bentuk aktivitas. Oleh sebab itu, ia menolak agama yang mana sebagai sebuah organisasi yang terhimpun dalam nama iman itu sendiri.
Sebagaimana tercantum dalam latarbelakang pemikirannya bahwa ia menggabungkan tiga dimensi besar menjadi satu prinsip mendasar dalam kehidupan bersama yang kemudian adalah inti dari filsafatnya itu sendiri yakni utilitarianisme. Prinsip ini merupakan peleburan dari tiga aspek atau dimensi besar itu yakni sosial, hukum, dan politik. Sementara itu filsafat utilitarianisme adalah system etika yang menyangkut aspek filsafat, budaya, dan sosial.[12] Di sini Negara berusaha sedemikian rupa agar kesenangan yang mana membawa personal kepada benar-benar terwujud dan kesakitan yang melahirkan penderitaan dapat diatasi. Inilah prinsip yang digaungkan oleh Jeremy Bentham yakni prinsip utilitarian atau prinsip kegunaan. Prinsip ini mengedepankan kebahagian bagi masyarakat atau individu itu sendiri.

Relevansi Pemikiran Jeremy Bentham Mengenai Hukum dan Gambaran Hukum di Indonesia
            Gagasan filsafat yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham filsuf utiliterianisme sangat berpengaruh besar bagi perdebatan atau diskursus selanjutnya. Perkembangan yang dimaksudkan adalah munculnya nada-nada kontroversi atau ketidaksetujuan atas pendapatnya terlebih khusus konsep kebahagian yang olehnya disebut kalkulus kebahagian. Baginya kalkulus kebahagian bukan terletak pada kualitas dari pada kebahagian akan tetapi pada kuantitasnya. Meskipun dikritik mengenai gagasannya namun konsep filsafatnya mengenai hukum mendapat tempat diberbagi Negara. Dia sangat berandil dalam bidang hukum khususnya diberbagai Negara yang menganut sistem demokrasi. Lalu bagaimana dengan Indonesia yang menganut sistem demokrasi? Bagaimana konsep hukum yang diberlakukan di negara ini? Nah, di sini penulis hendak meneropong lebih mendalam potret hukum yang ada di Negara Indonesia dalam terang pemikiran Jeremy Bentham. Apakah gagasan yang dikemukan oleh Jeremy Bentham memiliki sisi kesamaan atau tidak. Di sini juga penulis dalam paper ini melihat dan menjabarkan secara mendalam letak kesamaan dan perbedaan itu.
            Indonesia adalah Negara yang menganut sistem demokrasi yang mana memiliki tiga cabang hukum yakni hukum administrasi, hukum pidana dan hukum perdata. Berkaitan dengan itu maka penulis lebih memfokuskan pada hukum pidana dan perdata yang mana sesuai dengan konsep hukum yang dibangun oleh Bentham. Mengenai dua konsep hukum yang dikemukan oleh Jeremy Bentham dalam filsafatnya yakni hukum perdata dan pidana juga sama digunakan di Negara Indonesia. Berkaitan dengan hukum pidana yang berlaku di Negara Indonesia juga mengedepankan hukum-hukum yang mana sesuai dengan besar kecilnya pelanggaran yang dilakukan. Besar kecilnya pelanggaran itu ditentukan dalam peraturan-peraturan yang ada. Berkaitan dengan hukuman mati yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham, Negara Indonesia juga yang adalah Negara hukum sedang menjalankan atau melakukan tindakan atas perbuatan yang besar dengan menjatuhkan hukuman mati atau eksekusi mati bagi para pelaku kejahatan. Perbuatan kejahatan besar seperti gerbong narkoba tidak luput dari hukuman ini. Selama pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla ini sudah beberapa kali melakukan eksekusi mati atas kejahatan ini. Hal ini berarti pemerintahan sangat serius menangani atau memerangi kasus-kasus besar yang membawa impact negatif bagi generasi bangsa. Hukum pidana yang berlaku di Indonesia adalah warisan dari zaman Hindia-Belanda yang mana berlaku di Indonesia sejak tahun 1918.[13] Apabila seseorang melakukan kejahatan atau perbuatan dengan sengaja atau tidak dan bertentangan dengan hukum yang ada maka pihak berwajib seperti polisi akan mengusut tuntas dan menyelidikinya.
            Sementara hukum perdata yang berlaku di Indonesia  tentu berkaitan dengan  “privat materiil” yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan. Berkaitan dengan hukum ini dalam ilmu hukum di indonesia dapat diklasifikasikan dalam empat kelompok yakni hukum tentang diri sendiri, hukum kekeluargaan, hukum kekayaan dan hukum warisan.[14] Keempat kelompok ini tentu amat berbeda dengan tujuan yang dikemukakan oleh Bentham mengenai hukum perdata di atas yakni keberlanjutan hidup, kecukupan, keamanan, dan kesetaraan.  Di sini hukum apapun selalu berkaitan dengan Hak asasi manusia (HAM). Memang Negara Indonesia menghargai dan menghormati kebebasan manusia dan hal ini yang dinafikan oleh Bentham namun kebebasan manusia dibatasi atau harus tunduk pada hukum yang ada. Berkaitan HAM dapat ditemukan dalam pasal 28 J ayat 2 bahwa “dalam menjalankan hak dan kebebasan, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain…”.[15] Jadi, dapat disimpulkan bahwa semua orang wajib menjunjung tinggi hukum yang ada agar keamanan dan keadilan dapat terpenuhi dalam kehidupan bersama.
 Penutup
            Konsep hukum yang dikemukan oleh Bentham tentu mendapat banyak sorotan di sana-sini. Banyak orang yang mengapresiasikan idenya mengenai konsep hukum pidana dan perdata namun ada juga yang melahirkan nada-nada protes akan konsep hukumnya khususnya hukum perdata. Gambaran hukum yang bagi Bentham sangat cocok digunakan di Negara ideal yakni demokrasi tentu tidak semuanya diterima dengan begitu saja. Sama halnya dengan Indonesia yang menganut sistem demokrasi sebab jika ditelisik lebih jauh maka Inggris tempat lahirnya sang filsuf ini lebih menekankan kebijaksanaan dari hakim semantara di Indonesia hukumlah yang paling penting. Jadi otoritas kebijaksanaan hakim berperan penting dalam menjatuhkan hukuman atas orang-orang yang bersalah sesuai dengan aturan peraturan yang berlaku. Hukum selalu berkaitan dan mengatur hak asasi manusia. Eksistensi hukum justru untuk mengatur dan melindungi hak asasi manusia itu sendiri. Hukum bukan untuk menjamin kebahagian sesorang seperti yang dikatakan oleh Bentham. Jika demikian maka hukum berkaitan dengan ranah psikologis.














DAFTAR PUSTAKA


Bentham Jeremy, An Introduction to the Principles of Moral and Legislation, Oxford: Clarendon Press, 1789.
Kumara Ari Yuana, The Greatest Philosophers: 100 Tokoh Filsuf Barat dari Abad 6 SM-Abad 21 yang Menginspirasi Dunia Bisnis, Yogyakarta: Penerbit Andi, 2010, hal 223.

R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Bogor: Politeia, 1995.
Russell, Bertrand, Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya Dengan Kondisi Sosio-Politik Dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Soebekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta:  PT. intermasa, 2003.
UUD’ 45 Sebelum Dan Setelah Amandemen, Bandung: Nuansa Aulia, 2015.

http://id.wikipedia.org/wiki/Jeremy­­_Bentham, diakses Kamis,19/11/2015, Pukul:10.14.





[1]http://id.wikipedia.org/wiki/Jeremy­­_Bentham, diakses Kamis,19/11/2015, Pukul:10.14.
[2] Kumara Ari Yuana, The Greatest Philosophers: 100 Tokoh Filsuf Barat dari Abad 6 SM-Abad 21 yang Menginspirasi Dunia Bisnis, Yogyakarta: Penerbit Andi, 2010, hal 223.
[3] Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya Dengan Kondisi Sosio-Politik Dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 1007.
[4]  Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Moral and Legislation, Oxford: Clarendon Press, 1789, hlm. 3.
[5] Kumara Ari Yuana, Op.,cit.,hlm. 222.
[6] Ibid., hlm. 223.
[7]Ibid.
[8]Berthan Russell, Op.,cit , hlm. 1008.
[9]Ibid.,hlm. 1009.
[10]Ibid.
[11]Ibid.
[12]Kumara Ari Yuana,opcit.,hlm.223.
[13]  R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Bogor: Politeia, 1995, hlm. 23.
[14] Soebekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta:  PT. intermasa, 2003, hlm. 16.
[15] UUD’ 45 Sebelum Dan Setelah Amandemen, Bandung: Nuansa Aulia, 2015, hlm. 28.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar