KONSEP HUKUM MENURUT JEREMY BENTHAM
YOSEP BELEN KEBAN
Biografi dan Latar Belakang
Pemikiran .
Jeremy
Bentham lahir di Houndsditch, London
pada tanggal 15 Februari 1748 dan meninggal pada tanggal 06 Juni 1832.[1]Ia
adalah seorang anak laki-laki dari cucu seorang pengacara dan juga lahir dari
campuran takhayul yang saleh dari ibunya dan juga rasionalis abad pencerahan
yang digemari ayahnya. Pada tahun 1760 ia masuk Queen's College, Oxford dan
lulus pada tahun 1764 dan kemudian belajar hukum di Lincoln’s Inn. Jeremy
Bentham sendiri awalnya bersekolah untuk menjadi seorang pengacara, tetapi ia
merasa tidak betah.[2]Ia
merasa bahwa ada begitu banyak bahasa yang sulit dan terdapat begitu banyak
pula prinsip-prinsip yang bertentangan. Dengan alasan ini, Bentham kemudian
memilih untuk bertanya tentang hal-hal mendasar yang berkaitan dengan hukum,
moral dan politik yang kemudian digabungkan ke dalam satu prinsip yakni
utilitarian.
Latar belakang
pemikiran Bentham lahir dari reaksi terhadap empirisme yang menguasai pemikiran
filsafat di Inggris. Di mana, empirisme ini menaruh perhatian terhadap dunia
pengetahuan. Empirisme lahir dan berupaya untuk mengerti dunia ini. Dengan
lahirnya empirisme maka, Bentham mendasarkan prinsip filsafatnya pada dua
prinsip. Ada pun kedua prinsip itu yakni, “prinsip
Asosiasi (Association principle)” dan “prinsip kebahagiaan-terbesar
(greatest-happiness principle)”.[3]
Selain
itu pula praktek ketidakadilan sosial yang terjadi Inggris membuat Bentham yang
pada saat itu sebagai seorang mahasiswa hukum menaruh minat yang mendalam akan
permasalahan-permasalahan demikian yang mana berkaitan dengan moralitas publik.
Dengan adanya minat demikian maka mereka membentuk sebuah organisasi yang mana
sangat radikal dalam cara berpikir sehingga melahirkan gerakan reformasi
liberal dalam berbagai sektor kehidupan. Dalam pemikirannya mengenai utilitas
ia menunjukkan bahwa kesepakatan di bidang hukum, etika dan politik semuanya
dapat dituangkan dalam bahasa yang sederhana. Menurutnya prinsip ini hanya
memaksimalkan hal-hal yang diinginkan dan meminimalkan hal yang ditakutkan.
Pemikiran-pemikiran para filsuf sebelumnya
sangat mempengaruhi pemikirannya untuk berfilsafat sehingga pada akhirnya ia
mentelorkan filsafat utiliaterianisme. Para pemikir yang sangat berpengaruh
dalam pemikirannya ialah Locke, David Hume, William Paley, Hartley, dan
Helvetius yang mana menekankan aspek politis. Selain itu Beccaria juga
memberipengaruh yang luar biasa bagi Bentham dalam bidang hukum sehingga
membuatnya tertarik terhadap etika dan ilmu politik.
Konsep Hukum Bagi Masyarakat Menurut Jeremy Bentham
Jeremy
Bentham melihat bahwa individu adalah dasar dari kehidupan bersosial kiranya
mendapat perhatian secara serius dan khusus dari pemerintah dalam hal ini
Negara. Selain melihat manusia sebagai individu, Jeremy Bentham
juga melihat manusia individu secara luas dalam sebuah perkumpulan sosial. Ia menegaskan “The
Community is a fictitious body, composed of the individual person who are considered as constituting as
it were ite members.”[4]
Dari
sini Bentham hendak
mengatakan bahwa masyarakat
merupakan sekelompok individu yang
berkumpul dan menganggap diri sebagai anggotanya. Mereka itu berkumpul karena dorongan dari
kepentingan-kepentingan bersama. Kepentingan itu muncul dari minat setiap orang
akan kebaikan umum, kepentingan umum dan kebutuhan umum yang melampaui
kebutuhan individu. Kebutuhan akan keadilan, kebenaran, cinta dan kebahagiaan.
Sesuai
dengan pemahaman awalinya mengenai dua hal kodrati yang ada dibawah pemerintah
yakni kesenangan (pleasure) dan penderitaan (pain)
kiranya menjadi itu yang seharusnya diporsikan. Negara seharusnya memenuhi
segala kepentingan yang berbeda dari setiap individu dalam komunitas agar dapat
terpenuhinya kesenangan dalam segala macam aktivitas. Hal itu dilakukan sebab
kesenanganlah yang metelorkan kebahagian (happiness)
dan itu dapat terpenuhi apabila rasa sakit (pain)
itu dielakkan atau didepak dalam kehidupan bersama.[5] Maka, fokus prinsip utilitas
menurut Bentham adalah “memaksimalkan hal yang diinginkan dan
meminimalkan hal yang tidak diinginkan“.[6] Kesenangan (pleasure)
dan kesakitan (pain) memang dua sifat kodrati manusia, selalu
melekat dalam diri manusia, namun itu tidak berarti bahwa manusia tidak bisa
menghindarinya. Manusia sebagai tuan atas dirinya, ia dapat mengkalkulasinya
ketika manusia telah berada dalam kesadaran, ia akan berusaha semaksimal
mungkin.
Oleh
karena individu itu ada bersama orang lain (societas)
maka sangatlah tentu dibutuhkan hukum Negara itu sendiri yang mana berfungsi
sebagai mengatur atau mengayomi masyarakat yang ada. Dengan adanya hukum maka
kebahagian dalam hidup dapat dipenuhi dengan melakukan hal-hal yang baik
menurut aspek moral. Bentham juga mengatakan bahwa jika harus menghukum, maka hukuman itu dilakukan untuk tujuan perbaikan
yang harus diperhitungkan dengan hati-hati kepentingan jangka panjang.[7] Pemahaman itu kemudian melahirkan
pemikirannya mengenai cara menilai kebahagian dan juga penderitaan yang dialami
yakni dengan melakukan kalkulasi kedua rasa itu. Untuk memperoleh kebahagian
demikian maka peran legislator sangatlah penting di mana ia bertugas
menyelaraskan kepentingan-kepentingan yang ada dalam kehidupan bersama yakni
kepentingan individu dan kepentingan sosial atau publik.
Bentham tidak hanya berpandangan bahwa kebaikan
adalah kebahagian pada umumnya, tetapi juga bahwa setiap individu senantiasa
memburu apa yang menurut keyakinannya merupakan kebahagiannya sendiri. Oleh
sebab itu, tugas legislator adalah menghasilkan keserasian antara kepentingan
publik dan kepentingan pribadi.[8]
Bentham lebih lanjut menggolongkan hukum itu
menjadi dua yakni hukum pidana dan perdata. Hukum-hukum itu tidak bukan adalah
mengurangi kejahatan itu sendiri. Orang harus dihukum dengan hukum pidana dalam
rangka mencegah kejahatan, bukan karena membenci sebuah tindakan kriminal. Berkaitan
dengan hukum pidana Bentham juga mengatakan ketidaksetujuannya akan hukuman
yang keras seperti hukuman mati atas pelanggaran-pelanggaran yang ringan pada
zamannya. Ia kemudian mengusulkan agar hukuman mati dalam lingkup sosial
ditiadakan untuk semua pelanggaran kecuali kejahatan yang terburuk.[9] Pandangan
ini tentu berawal dari pengalaman nyatanya menyaksikan kekejaman hukum yang
dipraktekan di Inggris di mana ada masyarakat sipil yang melakukan pelanggaran
kecil maka ia harus menerima hukuman yang zalim bahkan dihukum mati. Hal inilah
yang membuat Jeremy angkat bicara bahwa hukuman yang diberikan kiranya
memperhatikan besar atau kecilnya juga persoalan atau masalah yang dilakukan.
Sementara
itu untuk hukum perdata, ia mengatakan bahwa seharusnya memiliki empat tujuan.
Keempat tujuan itu adalah: keberlanjutan
hidup, kecukupan, keamanan, dan kesetaraan.[10]
Menarik bahwa konsep kebebasan tidak disebutkan oleh Bentham sebagai tujuan
di sini sebab baginya masalah mengenai HAM adalah sebuah masalah yang tidak
dapat ditentukan oleh hukum. Dengan demikian ia tidak memperdulikan atau
menafikan permasalahan mengenai kebebasan itu sendiri. Hak asasi manusia (HAM)
menurut Bentham adalah omong-kosong. Dikatakan demikian sebab ranah ini tidak
dapat ditentukan oleh hukum.
Selain
itu dalam lingkup sosial Bentham juga mengamini opini dari Epicurus mengenai
keamanan. Keamanan merupakan itu yang diidealkan sebab dari padanya semua
manusia memperoleh kebahagian dalam ada bersama (hidup sosial). Ia juga
mengatakan bahwa “perang dan badai bagus
untuk diucapkan, tetapi perdamaian dan ketenangan lebih baik untuk dipikul.”[11]Hal
ini berarti Bentham menaruh perhatiannya pada nilai kebersamaan dalam hidup
bersama yakni terciptanya iklim keamanan yang jauh dari kurungan konflik itu
sendiri. Bentham juga dilain sisi menolak untuk percaya akan sesuatu yang tidak
berlandasan rasional. Hal ini berarti rasional sebagai titik pijak atau tolok
ukur dari segala bentuk aktivitas. Oleh sebab itu, ia menolak agama yang mana
sebagai sebuah organisasi yang terhimpun dalam nama iman itu sendiri.
Sebagaimana
tercantum dalam latarbelakang pemikirannya bahwa ia menggabungkan tiga dimensi
besar menjadi satu prinsip mendasar dalam kehidupan bersama yang kemudian
adalah inti dari filsafatnya itu sendiri yakni utilitarianisme. Prinsip ini merupakan peleburan dari tiga aspek
atau dimensi besar itu yakni sosial, hukum, dan politik. Sementara itu filsafat utilitarianisme adalah system etika
yang menyangkut aspek filsafat, budaya, dan sosial.[12] Di
sini Negara berusaha sedemikian rupa agar kesenangan yang mana membawa personal
kepada benar-benar terwujud dan kesakitan yang melahirkan penderitaan dapat
diatasi. Inilah prinsip yang digaungkan oleh Jeremy Bentham yakni prinsip utilitarian atau prinsip kegunaan.
Prinsip ini mengedepankan kebahagian bagi masyarakat atau individu itu sendiri.
Relevansi
Pemikiran Jeremy Bentham Mengenai Hukum dan Gambaran Hukum di Indonesia
Gagasan filsafat
yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham filsuf
utiliterianisme sangat berpengaruh besar bagi perdebatan atau diskursus
selanjutnya. Perkembangan yang dimaksudkan adalah munculnya nada-nada
kontroversi atau ketidaksetujuan atas pendapatnya terlebih khusus konsep
kebahagian yang olehnya disebut kalkulus kebahagian. Baginya kalkulus
kebahagian bukan terletak pada kualitas dari pada kebahagian akan tetapi pada
kuantitasnya. Meskipun dikritik mengenai gagasannya namun konsep filsafatnya
mengenai hukum mendapat tempat diberbagi Negara. Dia sangat berandil dalam
bidang hukum khususnya diberbagai Negara yang menganut sistem demokrasi. Lalu
bagaimana dengan Indonesia yang menganut sistem demokrasi? Bagaimana konsep
hukum yang diberlakukan di negara ini? Nah, di sini penulis hendak meneropong
lebih mendalam potret hukum yang ada di Negara Indonesia dalam terang pemikiran
Jeremy Bentham. Apakah gagasan yang dikemukan oleh Jeremy Bentham memiliki sisi
kesamaan atau tidak. Di sini juga penulis dalam paper ini melihat dan
menjabarkan secara mendalam letak kesamaan dan perbedaan itu.
Indonesia adalah Negara yang menganut sistem demokrasi
yang mana memiliki tiga cabang hukum yakni hukum administrasi, hukum pidana dan
hukum perdata. Berkaitan dengan itu maka penulis lebih memfokuskan pada hukum pidana
dan perdata yang mana sesuai dengan konsep hukum yang dibangun oleh Bentham. Mengenai
dua konsep hukum yang dikemukan oleh Jeremy Bentham dalam filsafatnya yakni
hukum perdata dan pidana juga sama digunakan di Negara Indonesia. Berkaitan
dengan hukum pidana yang berlaku di Negara Indonesia juga mengedepankan
hukum-hukum yang mana sesuai dengan besar kecilnya pelanggaran yang dilakukan.
Besar kecilnya pelanggaran itu ditentukan dalam peraturan-peraturan yang ada.
Berkaitan dengan hukuman mati yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham, Negara Indonesia
juga yang adalah Negara hukum sedang menjalankan atau melakukan tindakan atas
perbuatan yang besar dengan menjatuhkan hukuman mati atau eksekusi mati bagi
para pelaku kejahatan. Perbuatan kejahatan besar seperti gerbong narkoba tidak
luput dari hukuman ini. Selama pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla ini sudah
beberapa kali melakukan eksekusi mati atas kejahatan ini. Hal ini berarti
pemerintahan sangat serius menangani atau memerangi kasus-kasus besar yang
membawa impact negatif bagi generasi
bangsa. Hukum pidana yang berlaku di Indonesia adalah warisan dari zaman
Hindia-Belanda yang mana berlaku di Indonesia sejak tahun 1918.[13]
Apabila seseorang melakukan kejahatan atau perbuatan dengan sengaja atau tidak
dan bertentangan dengan hukum yang ada maka pihak berwajib seperti polisi akan
mengusut tuntas dan menyelidikinya.
Sementara hukum perdata yang berlaku di Indonesia tentu berkaitan dengan “privat materiil” yaitu segala hukum pokok
yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan. Berkaitan dengan hukum ini
dalam ilmu hukum di indonesia dapat diklasifikasikan dalam empat kelompok yakni
hukum tentang diri sendiri, hukum
kekeluargaan, hukum kekayaan dan hukum warisan.[14] Keempat
kelompok ini tentu amat berbeda dengan tujuan yang dikemukakan oleh Bentham
mengenai hukum perdata di atas yakni keberlanjutan
hidup, kecukupan, keamanan, dan kesetaraan. Di sini hukum apapun selalu berkaitan dengan
Hak asasi manusia (HAM). Memang Negara Indonesia menghargai dan menghormati
kebebasan manusia dan hal ini yang dinafikan oleh Bentham namun kebebasan
manusia dibatasi atau harus tunduk pada hukum yang ada. Berkaitan HAM dapat
ditemukan dalam pasal 28 J ayat 2 bahwa “dalam
menjalankan hak dan kebebasan, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang
ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain…”.[15]
Jadi, dapat disimpulkan bahwa semua orang wajib menjunjung tinggi hukum yang
ada agar keamanan dan keadilan dapat terpenuhi dalam kehidupan bersama.
Penutup
Konsep hukum
yang dikemukan oleh Bentham tentu mendapat banyak sorotan di sana-sini. Banyak
orang yang mengapresiasikan idenya mengenai konsep hukum pidana dan perdata
namun ada juga yang melahirkan nada-nada protes akan konsep hukumnya khususnya
hukum perdata. Gambaran hukum yang bagi Bentham sangat cocok digunakan di
Negara ideal yakni demokrasi tentu tidak semuanya diterima dengan begitu saja.
Sama halnya dengan Indonesia yang menganut sistem demokrasi sebab jika
ditelisik lebih jauh maka Inggris tempat lahirnya sang filsuf ini lebih
menekankan kebijaksanaan dari hakim semantara di Indonesia hukumlah yang paling
penting. Jadi otoritas kebijaksanaan hakim berperan penting dalam menjatuhkan
hukuman atas orang-orang yang bersalah sesuai dengan aturan peraturan yang
berlaku. Hukum selalu berkaitan dan mengatur hak asasi manusia. Eksistensi
hukum justru untuk mengatur dan melindungi hak asasi manusia itu sendiri. Hukum
bukan untuk menjamin kebahagian sesorang seperti yang dikatakan oleh Bentham.
Jika demikian maka hukum berkaitan dengan ranah psikologis.
DAFTAR
PUSTAKA
Bentham Jeremy, An Introduction to the Principles of Moral and Legislation, Oxford:
Clarendon Press, 1789.
Kumara Ari Yuana, The Greatest Philosophers: 100 Tokoh Filsuf
Barat dari Abad 6 SM-Abad 21 yang Menginspirasi Dunia Bisnis, Yogyakarta:
Penerbit Andi, 2010, hal 223.
R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Bogor: Politeia, 1995.
Russell, Bertrand, Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya
Dengan Kondisi Sosio-Politik Dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002.
Soebekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta:
PT. intermasa, 2003.
UUD’ 45 Sebelum Dan Setelah Amandemen,
Bandung: Nuansa Aulia, 2015.
http://id.wikipedia.org/wiki/Jeremy_Bentham,
diakses Kamis,19/11/2015,
Pukul:10.14.
[2] Kumara
Ari Yuana, The Greatest Philosophers: 100
Tokoh Filsuf Barat dari Abad 6 SM-Abad 21 yang Menginspirasi Dunia Bisnis,
Yogyakarta: Penerbit Andi, 2010, hal 223.
[3] Bertrand
Russell, Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya Dengan Kondisi Sosio-Politik Dari
Zaman Kuno Hingga Sekarang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 1007.
[4] Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Moral and Legislation, Oxford:
Clarendon Press, 1789, hlm. 3.
[5]
Kumara Ari Yuana, Op.,cit.,hlm. 222.
[7]Ibid.
[8]Berthan
Russell, Op.,cit , hlm. 1008.
[9]Ibid.,hlm. 1009.
[10]Ibid.
[11]Ibid.
[13] R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Bogor: Politeia, 1995, hlm. 23.
[14] Soebekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. intermasa, 2003, hlm. 16.
[15] UUD’ 45 Sebelum Dan Setelah Amandemen,
Bandung: Nuansa Aulia, 2015, hlm. 28.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar