Selasa, 14 November 2017

Cerita Rakyat Flores Timur

” WAI MATAN PITO”
(Cerita Rakyat Lamaole-Lewomaku-Flores Timur)
Yosep Belen Keban


Dahulu kala disebuah tempat di Flores Timur yang sekarang ini disebut Lamaole hiduplah seorang pria dan wanita. Mereka berdua adalah kakak beradik. Mereka adalah Mata Nebi dan Uto Yawa. Keduanya selalu bersamaan dalam mengarungi hidup, menapaki beraneka realitas penderitaan yang membelenggu kehidupan mereka. Hari-hari berlalu dengan penuh kesepihan. Kesepihan karena tidak ada siapa pun selain mereka. Kesepihan karena tak ada apa-apa yang dapat menghibur mereka dari kelelahan aktivitas yang dijalani dan juga gejolak jiwa yang terlahir dari realitas hidup yang terperangkap dalam zona kesusahan. Kesusahan akan segala-galanya baik dari segi materi berupa makanan, air, uang dan juga kesusahan akan hal spiritual. Meskipun berada dalam realitas hidup yang demikian tapi toh mereka tetap tabah mengarungi samudra hidup yang tiada bertepi dengan penuh cinta. Cintalah yang menahan niat dan kaki mereka untuk tidak meninggalkan tempat itu walaupun mereka tahu bahwa hal itu sangatlah pelik. Di sebuah kelak, ketika asyk bercerita dibawah sebuah pohon mereka dihadapkan sebuah pandangan yang tak menarik. Mereka melihat sepasang cecak yang sedang melakukan hubungan intim. Karena hal itu begitu tabu bagi mereka maka mereka memutuskan untuk memalingkan pandangan mereka. Akan tetapi pasangan cecak ini tetap mengikuti arah pandangan mereka. Melihat hal demikian mereka beranggapan bahwa kedua cecak ini adalah utusan dari Lera Wule (Wujud yang Ilahi) yang mana mengendaki atau menyetujui hubungan di antara mereka. Oleh karena hanya berdua yang mendiami Lewo Hone Kebo pada waktu itu, maka pada akhirnya mereka memutuskan untuk menjadi suami istri. Hal itu pun berawal dari pandangan mereka kepada dua ekor cecak yang sedang melakukan hubungan intim tadi. Mereka kemudian dikaruniahi dua orang anak yang kemudian diketahui bahwa mereka adalah keturunan dari suku Ole. Kedua orang anaknya itu adalah Laba laba Wolo Weli dan Rugi rugi Duli Lali. Mereka mendiami kampung lama yakni Honi Kebo tanah Kumaebe bersama suku asli lainnya yakni suku Gapu. Kedua suku asli ini merupakan suku asli dari wilayah Lamaole sekarang yang memiliki latar belakang kedatangan yang berbeda. Kalau Ole itu datang dari atas atau dalam bahasa Lamaholot “deka teti lodo ne’e Tayo Leme” dan Gapun berasal dari dalam tanah atau bahasa Lamaolenya “bego lali gere dengan Tayo Leme”. Meskipun memiliki latar belakang kedatangan yang berbeda namun mereka tetap hidup bersosial dengan damai dan penuh cinta. Meskipun mereka meretas sebuah kehidupan penuh cinta damai namun ada juga sebuah persoalan yang teramat berat. Pada saat itu, di tempat itu tidak ada mata air. Nah. air adalah persoalannya. Karena daerah itu tidak ada air maka, mereka berupaya untuk mempertahankan diri dari kehausan yang berkecamuk dengan mencicipi makanan yang bersumber air seperti tebu. Namun, hal itu sangatlah mustahil sebab dahaga mereka tidak mungkin dipuaskan dengan tananaman tebu itu. Apalagi mengingat musim kemarau yang berkepanjangn di daerah ini. Mereka terus berusaha mencari jalan untuk mengobati rasa dahaga. Berbagai usaha dijalankan mulai dari melintasi jurang yang terjal, lembah yang curam, onak duri, hutan yang lebat untuk mencari sumber air hingga menampung embun pada malam hari. Walaupun bagi mereka, usaha yang terakhir ini cukup membantu mereka namun hal ini merupakan sebuah pekerjaan yang sia-sia sebab apa yang dipikirkan ternyata jauh dari yang diharapkan. Hal ini dikarenakan pada siang hari di mana sang surya memancarkan cahaya ke bumi, air embun yang ditampungi mereka pada kumbang-kumbang yang terbuat dari tanah liat itu kering. Menilik hal demikian tentunya mereka tidak tinggal dalam zona demikian. Pada suatu kelak, dalam kurungan derita yang dialami lahirlah sebuah rasa optimisme yang tinggi di mana seolah-olah ada pengharapan yang terlahir, sebuah jawaban akan pencarian yang panjang ketika mereka melihat tubuh seekor anjing peliharaan mereka penuh dengan lumpur dan hal ini terus saja diamati mereka sampai beberapa harinya lamanya. Mereka mengira bahwa anjing itu sudah menemukan mata air sehingga setiap harinya ia terus saja ke tempat itu untuk mengobati dahaganya. Melihat hal itu, mereka tidak tinggal diam. Mereka langsung saja menganyam sebuah ketupat kecil (Kewowo) dan di dalam ketupat itu mereka memasukan abu dapur secukupnya lalu menggantungkannya pada leher anjing itu. Mengapa harus demikian? Hal itu dilakukan agar mereka tidak kehilangan jejak ketika membuntuti anjing itu. Ketika sampai ditempat di mana biasanya anjing itu berada mereka tidak menemukan mata air. Yang ada hanyalah tanah berlumpur yang basah. Oleh karena di tempat itu anjing yang menemukannya maka tempat itu kemudian diberi nama Aho Wei atau dapat diterjemakan dengan “airnya anjing”.
Hari-hari terus dilalui dengan penuh penderitaan. Wajah-wajah pesimis terlahir menodai keceriahan kegairahan akan hidup. Rintihan penderitaan, litani duka pilu terngiang begitu dahyatnya di telinga para tetua di saat anak-anak mereka meratapi kehausan. Kedua suku yakni Ole dan Gapu tidak tahu caranya bagaimana dan ke mana bisa melangkahkan kaki untuk pergi mencari air. Mereka terus mendesak para tetua kampung untuk menjawabi rintihan anak-anak mereka. Sehingga pada suatu ketika mereka sepakat untuk pergi membeli air di luar daerah. Mereka kemudian menunjukan Lape Lama Bue dan Bue Belu Tare untuk pergi membeli air. Kedua orang ini adalah pemuda dari suku Gapu yang ditunjukan oleh suku Ole untuk menjalankan tugas. Kita pasti bertanya kenapa harus suku Gapu? Oleh karena suku Ole itu datang dari atas atau turun dari langit maka mereka dipandang lebih besar atau terhormat dari pada suku Gapu itu sendiri. Kita boleh mengatakan bahwa Suku Gapu adalah budak atau pesuruhnya suku Ole pada saat itu. Lape Lama Bue dan Bue Belu Tare diberikan oleh kepala suku Gapu sebuah gading berwarna hijau yang berukuran satu depa sebagai pengganti uang pada saat itu. Mereka pergi berbulan-bulan, melintasi hutan-hutan, menaiki bebukitan batu tak berkasut dengan penuh perjuangan. Perjuangan hidup yang tertantang baik nyawa mereka sendiri maupun nyawa anak-anaknya. Onak dan duri dilalui tanpa beban dan tanpa kepasrahan. Tajamnya bebatuan wadas menghantam telapak kaki pun tak dihiraukan oleh mereka. Perjalanan yang teramat jauh itu pun membuahkan hasil juga. Mereka menemukan sumber air di sebuah kampung yakni Laka Lama Helan (sekarang ada di Adonara). Mereka kemudian membeli air di Tue Lamalaka dan Raya Lama Helan dengan gading bawaan itu. Air itu mereka masukan ke dalam bambu besar (petu) yang berjumlah tuju ruas. Bambu yang berisi air itu kemudian ditutupi dengan dedaunan yang berjumlah lima. Nama daun itu adalah Benu (bahasa Lamaole). Seusai menemukan air, keesokan harinya mereka kembali ke kampung asal dengan melintasi jalan laut. Sesampainya mereka di pesisir pantai mereka kemudian melintasi jalan darat menuju kampung namun karena teramat lelah mereka beristirahat sebentar di bawah sebuah pohon yang rindang. Mereka menyandarkan bambu itu di pohon dan karena tidak hati-hati bambu itu jatuh dan air berkurang satu ruas. Oleh karena demikian mereka menimbah air laut lalu menuangannya ke dalam bambu itu. Air yang tadinya tumpah itu kemudian melahirkan mata air baru yang saat ini diberi nama Wai Hele. Nama mata air ini mengingatkan mereka akan nama tempat di mana mereka membeli air. Setelah beristirahat mereka melanjutkan perjalanan menuju Kuma ebe. Perjalanan yang begitu melelahkan karena melintasi tanjakan tajam. Karena saking melelahkan mereka kemudian beristirahat sebentar. Mereka menyandarkan bambu itu pada sebuah pohon namun di luar dugaan mereka bambu tersebut jatuh dan airnya tumpah semuanya. Mereka menyadari kesalahan dan kesia-siaan mereka. Mereka memutuskan untuk tidak ke kampung. Mereka bermalaman di tempat itu sampai keesokan harinya. Ketika bangun tidur kedua pemuda suku Gapu ini dikejutkan dengan pandangan yang berbedah yakni air yang tadi tumpah itu melahirkan tujuh mata air. Nama tempat itu adalah Lama helan. Nama tempat itu pun sama persis dengan nama tempat di mana mereka menemukan air. Mata air itu sampai saat ini menjadi milik dari suku Gapu dan Ole. Karena mata air yang ada itu begitu jauh dari kampung sebelumnya maka suku asli dalam hal ini suku Ole yang ada di Honi Kebo memutuskan untuk pindah ke Lewo Bie yang mana dekat dengan sumber air. Sedangkan suku asli lainnya yakni suku Gapu dari Honi Kebo mereka menuju ke Belele. Kedatangan mereka kemudian diikuti pula oleh suku-suku pendatang lainnya seperti Keraf dari Sina Jawa yang kemudian tinggal di Maha. Oleh karena adanya hubungan kawin mawin atau Opu Pei maka mereka kemudian mendiami daerah di Lewo Bie bersama-sama. Hal itu berawal dari perkawinan antara Belake Kowa dari suku Keraf dengan seorang puteri dari suku Ole yang bernama Wunga Kun Dawe. Perpindahan mereka itu pun berlangsung lagi ke daerah yang lebih luas dan rata mengingat jumlah penduduk semakin bertambah. Mereka kemudian menuju ke Tua Kera (Suku Ole dan Keraf) namun, hal itu tidak berakhir di situ saja. Mereka lagi-lagi berpindah ke Lamaole karena di Tua Kera terjadi peristiwa pembunuhan. Sedangkan suku Gapu dari Belele menuju ke Lewo Maku bergabung dengan suku Kewuan yang baru saja tiba dari Pupu Wutu. Perpindahan suku Kewuan ke Lewo Maku juga karena adanya hubungan kawin mawin atau Opu Pei. Seorang pemuda dari suku Kewuan yang bernama Nubilela mengambil istri dari suku Keraf yakni Nogolete. Nogo lete adalah seorang puteri dari pasangan Belake Kowa dan Wunga Kun Dawe. Perjumpaan mereka (Nubilela dan Nogolete) juga berawal dari Nogolete si gadis manis mencari air di pesisir pantai Mau karena air di Lama Helan dilarang untukmengambilnya karena pada saat itu ada kereyaI. Oleh karena ada kereya maka semua penduduk mencari sumber airnya sendiri-sendiri yang pada saat itu begitu jauh dari tempat tinggal. Si Nogolote, gadis manis juga melaukan pekerjaan serupa demi membantu kedua orang tuanya. Pada suatu hari ia bersama seorang temannya mengambil air di daerah pantai Mau. Ketika asyk menimba air para penjelajah yang pada saat itu mengunakan sampan Sason Rae dari kejauhan melihat semacam adanya penampakan. Sebuah cahaya cemerlang yang menaungi diri si Nogolete ini. Oleh karena peristiwa demikian, maka seorang pemuda yang adalah pendatang dengan selaras bedilnya ditangan mengatakan kepada saudaranya agar mereka menuju ke sumber cahaya tersebut. Awalnya mereka berpikir itu adalah patung yang diberikan oleh Sang Kuasa namun hal itu ternyata salah. Para penjelajah itu akhirnya mengikuti perkataan pemuda pemberani itu. Setelah turun dari perahu mereka menuju sumber cahaya itu, ternyata di sana ada dua orang gadis yang sedang menimba air. Mereka berusaha untuk membangun komunikasi dengan kedua gadis ini namun karena kendala bahasa maka mereka menggunakan bahasa isyarat sebagai alat komunikasi. Pertemuan itu berlangsung ramah dan mengasykan sehingga mereka memutuskan untuk mengikuti kedua gadis ini ke kampung mereka. Kecantikan dan keelokan si Nogolete ini membuat si Nubilela yang adalah pendatang dari suku Indian ini menjadi tergila-gila. Pemuda pendatang itu ternyata memiliki jimat khusus. Ternyata jimat khusus yang ia miliki itu tidak hanya digunakannya pada saat membunuh orang dengan jarak yang begitu jauh dengan bedilnya namun jimat itu juga digunakannya untuk mendapatkan hati si Nogolete. Pada malam hari, ketika sedang menonton tarian tandak yang dilakukan oleh para warga kampung muncullah niat jahat si Nubilela. Ketika itu gadis manis Nogolete juga ikut berandil di dalam permainan ini. Melihat kecerdikan dalam permainan dan keelokan dari si Nogolete ini akhirnya si pemuda ini memutuskan untuk membuat mantra melalui kerikil dan melemparkannya krikil itu ke tubuh Nogolete. Sebelum melemparkan kerikil itu, pemuda itu membungkuk ke tanah lalu berbisik seorang diri demikian “ jika kerikil yang saya lempar ini kena sasarannya sampai tiga kali maka Nogolete tidak menyadarkan diri”. Kali ketiga kerikil itu mengana si Nogolete, ia langsung merebahkan dirinya ke tanah. Berbagai upaya penyembuhan dilakukan mulai dari pengusiran arwa nenek moyang yang sudah meninggal sampai pada penyembuhan dengan ramuan tradisional namun usaha itu sia-sia. Melihat kondisi Nogolete demikian, kedua orang tuanya merasa panik dan kehilangan daya piker sebab Nogolete adalah puteri tunggal mereka. Kedua orang tuanya menangis tersedu-sedu seolah-olah hanya berpasrah akan takdir. Para sahabat dekatnyapun merasa kehilangan sehingga air mata terus saja membasahi pipi mereka. Sebuah kedukaan yang terlahir ditengah riuhnya kegembiraan pesta. Semua warga kampung merasa tak ada harapan hidup sebab mereka telah berusaha banyak cara dan lagi pula sudah berjam-jam ia tidak menyadarkan diri. Malam semakin larut, kesepihan terlahir seketika. Air mata dan isak tangis terlahir. Semua warga kampung yang tadinya bergembira kini memenuhi arena tandak dengan penuh lesuh. Sebuah ketidapercayaan terlahir. Melihat hal itu, ada beberapa warga kampung berbisik kepada tetua adat supaya memperkenankan para penjelajah atau pendatang itu mengobatinya. Akhirnya, tetua adat itupun menyetujui pendapat warga kampung itu. Ketika diperkenanankan untuk maju si pemuda itu tidak seketikanya bangkit dari duduknya. Seolah-olah ada ketaksanggupan dalam dirinya. Sikapnya demikian tentunya membuat para warga meragukannya. Selang beberapa menit ia bangkit berdiri lalu mengambil sedikit kapur siri pinang bawaannya lalu menggosokannya ke dahi, leher, ibu jari tangan dan kaki. Setelah menggosokannya, Nogolete pun menyadarkan diri. Hal itu membuat gempar para kampung dan menganggap pemuda itu adalah tabib. Mereka ramai-ramai bersalaman dengan pemuda itu sebagai ungkapan pujian karena kesaktiannya. Oleh karena tindakan penyembuhan itu maka Nogolete pun dengan sendirinya menjadi pendamping hidupnya. Oleh sebab itu, sebagai bentuk belisnya ia menyerahkan kepada suku Keraf sebuah tempat siri pinang yang terbuat dari Kayu dengan hiasan yang begitu indah pada pinggir-pinggirnya, sebuah Moko dan sebagai bukti pembelisan itu mereka melakukan secara bersama-sama upacara penanaman bambu. Perkawinan Nubilela dan Nogolete ini kemudian melahirkan tradisi yang begitu menarik yang terus dipertahankan sampai saat ini adalah Wu’u Hori. Upacara ini merupakan sebuah upacara penuh persaudaraan yang dilakukan setiap tahun. Awalnya dalam hubungan Opu Pei akan tetapi lama-kelamaan diterima sebagai upacara semua warga kampung sebagai bentuk sykuran atas panenan. Upacara ini dilakukan di koke bale dengan alat musik tradisional seperti Gedang dan Gong yang dibawah oleh suku Kewuan dan Keraf. Sebagai pendatang mereka terus saja menundukan kepala kepada suku Ole dan Gapu. Air yang dikonsumsi oleh kedua kampung sampai dengan saat ini adalah milik suku Gapu dan Ole. Dengan demikian untuk mengenang peristiwa air itu maka mereka memutuskan untuk menjalankan adat setiap dua tahun di mata air yang di mulai dengan “elo” atau janji yang diselenggarakan sebanyak tujuh hari sesuai dengan tujuh mata air. Upacara adat itu disebut ‘kereya” yang berarti kerja. Jadi, selama tujuh hari warga kampung tidak boleh mengkonsumsi air yang ada di Duli. Ketika pas genap waktunya para tetua dari suku Gapu dan Ole yang pertama mengkonsumsi air tersebut. Hal itu mengingatkan kita bahwa air itu ada karena perjuangan dari kedua suku ini. Karena air mereka berpindah lalu menetap di Lamaole dan Lewomaku sampai dengan saat ini.

















1 komentar: