Senin, 29 Oktober 2018

PENGARUH GERAKAN LITERASI TERHADAP PENINGKATAN RASA NASIONALISME MELALUI PENDIDIKAN KARAKTER DAN MOTIVASI SISWA Di SMPK MARSUDI SIWI MALANG






Yosep Belen Keban








Pascasarjana Universitas Merdeka Malang
2018



BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Perkembangan zaman modernisasi yang kini berubah menjadi postmodernisasi semakin menyata dalam dinamika hidup anak manusia. Seiring dengan perkembangan zaman tersebut, setiap pribadi dituntut untuk berinovasi dan berkreativitas. Perkembangan yang pesat tentu saja membawa aneka perubahan di dalamnya termasuk penggerusan akar-akar nilai hidup yang diyakini sebagai keutamaan-keutamaan dalam kehidupan. Perkembangan di lain sisi membawa perubahan yang dahsyat namun dilain sisi kita harus mengamini bahwa perlahan budaya sopan santun atau tata kerama semakin jauh dari yang didambahkan. Sebagai contoh di Negara kita Indonesia acapkali kita mendengar aneka berita miris dan hal itu sungguh disayangkan. Muncul aneka persoalan seperti isu SARA yang selalu disandingkan dengan perhelatan pesta demokrasi, hasut-menghasut, radikalisme, terorisme, hoax, korupsi, dan aneka persoalan lainnya. Persoalan-persoalan demikian menggambarkan potret ke-indonesia-an yang buram. Negeri yang penuh dengan aneka konflik. Hal ini disebabkan oleh Sumber Daya Manusia (Human Resource) yang lemah dan kehilangan keutamaan nilai dalam kehidupan.
Potret keburaman ke-indonesia-an itu disebabkan oleh sikap egoisme, ketamakan atau kerakusan, superioritas, ekonomis, politik, dan lain sebagainya. Potret buram ini yang menjadi tanggungjawab kita semua untuk mengembalikan citra kebhinekaan seperti semula. Harus diakui bahwa ini bukan tindakan yang mudah namun mau tidak mau kita harus memiliki tekat untuk berjuang melawan bangsa kita sendiri. Hal ini senada seperti apa yang dikumandangkan oleh Bung Karno, bahwa perjuangan kalian adalah melawan bangsamu sendiri dan hal ini teramat berat. Inilah penjajahan konteks modern di mana anak bangsa mengebiri dan mencaplok habis hasil dari ibu pertiwi. Mari kita selamatkan bangsa ini degan menanamkan sejak dini sikap nasionalisme.
Nasionalisme  menurut Boyd Shafer (1955: 6) memiliki multi makna, hal tersebut tergantung pada kondisi objektif dan subjektif dari setiap bangsa. Oleh sebab itu nasionalisme dapat bermakna sebagai berikut:  (1) Nasionalisme adalah rasa cinta pada tanah air, ras, bahasa atau budaya yang sama, maka dalam hal ini nasionalisme sama dengan patriotisme. (2) Nasionalisme adalah suatu keinginan akan kemerdekaan politik, keselamatan dan prestise bangsa. (3) Nasionalisme adalah suatu kebaktian mistis terhadap organisme sosial yang kabur, kadang-kadang bahkan adikodrati yang disebut sebagai bangsa atau Volk yang kesatuannya lebih unggul daripada bagian-bagiannya. (4) Nasionalisme adalah dogma yang mengajarkan bahwa individu hanya hidup untuk bangsa dan bangsa demi bangsa itu sendiri. (5) Nasionalisme adalah doktrin yang menyatakan bahwa bangsanya sendiri harus dominan atau tertinggi di antara bangsa-bangsa lain dan harus bertindak agresif.
  
Untuk menumbuhkembangkan sikap nasionalime atau sikap cinta tanah air hendaknya diprogramkan dengan baik. Pemerintah dalam hal ini sangat cepat merespon aneka persoalan yang ada dengan menerapkan aneka kebijakan terlebih khusus dalam dunia pendidikan. Dunia pendidikan menjadi titik awal dan sorotan sebab dunia pendidikan merupakan tempat atau gudang ilmu yang mengajarkan banyak hal kepada peserta didik. Adapun niat dan upaya pemerintah untuk menanamkan rasa nasionalisme adalah dengan memasukan pendidikan karakter dan gerakan literasi dalam dunia pendidikan.
 Gereka literasi merupakan sebuah fenomena kekinian yang mengajak semua orang untuk berpartisipasi dalam program ini. Salah satu tujuan dari gerakan ini adalah memberantas buta aksara. Selain itu, gerakan literasi menjadi pemicu dan membuka cakrawala pengetahuan dan sumber daya manusia itu sendiri. Gereka literasi dapat membuat kita menjadi kritis dan bijak dalam menjalankan kehidupan. Inilah niat dan upaya pemerintah dalam memberantas ketidakadilan atau konflik yang sedang menjamur di negeri ini. Lantas apa itu literasi? Menurut Kemendikbud (2016:2), literasi adalah kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui  berbagai aktivitas, antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis, dan berbicara. Dengan demikian, literasi merupakan gerakan kesadaran untuk memberantas buta huruf dan meningkatkan kesadaran manusia itu sendiri.
Dengan adanya gerakan literasi dapat membawa perubahan besar bagi bangsa Indonesia. Salah satunya adalah untuk mengantisipasi budaya nasional dengan aneka budaya asing (modernisasi-westernisasi) yang pada saat ini meluas sampai dipelosok daerah. Pengaruh ini yang menurunkan minat dan niat kaum mudah melemah atau melempem akan nilai cinta akan tanah air atau nasionalisme. Berkat adanya gerakan ini atau gerakan literasi ini kita mau menyelamatkan generasi bangsa dari kungkungan pemikiran dan konsep atau paradigm ke-barat-an yang merasuki pemikiran mereka yang pada akhirnya dapat menafikan aneka nilai hidup. Dengan adanya gerakan literasi diharapkan dapat memotivasi seluruh masyarakat Indonesia secara khusus bagi para peserta didik untuk berusaha mencintai tanah air.
Motivasi para peserta didik untuk mencintai literasi harus dapat diamalkan secara langsung dalam tindak-tanduk atau dapat membumikan literasi itu sendiri. Hal yang diharapkan adalah mengubah perpektif manusia menjadi manusia “unggul” yang semakin mencintai tanah air (nasionalisme). Bentuk kecintaan itu adalah tindakan praktis setelah adanya literasi. Jadi, literasi harus ada aksinya di lapangan dengan cara perubahan diri. Perubahan diri itu dilakukan melalui adanya pendidikan karakter. Pendidikan karakter menjadi boomming saat ini yang kita kenal dengan adanya revolusi mental. Revolusi mental yang diharapkan adalah adanya peruabahan dari dalam diri untuk melakukan keutaman dalam kehidupan. Adalah Aristoteles seorang filsuf Yunani kondang pernah mengatakan dengan baik bahwa manusia hidup untuk mengejar kebaikan itu sendiri. Kebaikan yang dimaksudkan adalah memiliki empat keutamaan itu. Kita semua dipanggil untuk melakukan kebaikan. Nah, melihat fenomena bangsa kita yang semakin hari diterpa badai persoalan seperti yang teleh disebutkan di atas maka perluh adanya perubahan sikap dan mental. Peruabahan sikap dan mental itu harus dilakukan sejak dini baik itu dalam keluarga, sekolah, atau pun masyarakat.
Menurut Lickona (Kirschenbaum, 1995:28) pendidikan karakter adalah upaya mengembangkan kebajikan sebagai fondasi dari kehidupan yangberguna, bermakna, produktif dan fondasi untuk masyarakat yang adil, penuh belas kasih dan maju. Karakter yang baik meliputi tiga komponen utama, yaitu: moral knowing, moral feeling, moral action.
Sebagai wahana utama dalam pembangunan bangsa dan watak (nation and character building), pendidikan dituntut untuk memberikan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap pengembangan diri manusia. Dengan cara ini, diyakini bahwa pendidikan akan memberi kontribusi yang nyata dan bermakna dalam mendukung pembangunan karakter bangsa secara keseluruhan yang menjadi agenda besar negara R.I. Perspektif pembangunan pendidikan tidak hanya ditujukan untuk mengembangkan aspek intelektual saja melainkan juga watak, moral, sosial dan fisik perserta didik, atau dengan kata lain menciptakan manusia Indonesia seutuhnya.
Berdasarkan penelitian terdahulu yang ditemukan secara terpisah, adanya pengaruh antara gerakan literasi terhadap rasa nasionalisme, adanya pengaruh antara motivasi peserta didik untuk mencinta tanah air (nasionalisme) dan juga adanya pengaruh antara pendidikan karakter terhadap rasa nasionalisme. Berdasarkan temuan penelitian terdahulu maka penulis menyimpulkan bahwa adanya pengaruh signifikan antara gerakan literasi, motivasi peserta didik, dan juga pendidikan karakter terhadap nasionalisme. Berkaitan dengan fenomena dan persoalan di atas, penulis dalam penelitian ini memberanikan diri untuk meneliti dan mengangkat kepermukaan fenomena-fenomena itu untuk dijadikan sebagai kasus diskursus. Adapun judul yang hendak digali adalah “Pengaruh Gerakan Literasi Terhadap Peningkatan Rasa Nasionalisme Melalui Pendidikan Karakter dan Motivasi Siswa”.

1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis dapat merumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah demikian:
1.      Bagaimana literasi, pendidikan karakter, dan motivasi siswa terhadap peningkatan rasa nasionalisme peserta didik di SMPK Marsudisiwi-Malang?
2.      Adakah dampak signifikan antara gerakan literasi, pendidikan karakter danmotivasi siswa terhadap peningkatan rasa nasionalisme di SMPK Marsudisiwi?

1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah demikian:
1.      Untuk mendeskripsikan variabel gerakan literasi, pendidikan karakter, motivasi siswa  dan  peningkatan rasa nasionalisme di SMPK Marsudisiwi-Malang
2.      Untuk menganalisis pengaruh variabel gerakan literasi, pendidikan karakter dan motivasi siswa secara simultan dan parsial terhadap peningkatan rasa nasionalisme di SMPK Marsudisiwi-Malang
3.      Manakah varibael gerakan literasi, pendidikan karakter dan motivasi siswa yang berpengaruh dominan terhadap peningkatan rasa nasionalisme di SMPK Marsudisiwi-Malang.
1.4. Kegunaan Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang sangat berarti bagi dunia pendidikan. Kegunaan yang didambakan dari hasil penelitian ini antara lain:

1.                  Teoritis
a.       Penelitian ini sebagai sumbangsi pemikiran untuk mengembangkan khazana keilmuan dalam dunia pendidikan berdasarkan teori pendidikan yang berkaitan dnegan komponen gerakan literasi, pendidikan karakter, motivasi peserta didik mengenai rasa nasionalisme.
b.      Bagi pengembangan ilmu pengetahuan, dapat memberikan suatu karya peneliti baru yang dapat mendukung rasa nasionalisme
c.       Bagi peneliti lain dapat dijadikan sebagai referensi dalam penelitian lebih lanjut

2.                  Praktis
a.       Bagi pihak terkait diharapkan dapat memberikan input dan tambahan informasi bagi pihak Sekolah Menengah Pertama Katolik di Kota Malang
b.      Bagi Dinas Pendidikan, sebagai pengambil kebijakan, penelitian ini merupakan sumber masukan positif dalam mendorong perserta didik untuk menanamkan kesdadaran diri akan rasa cinta bangsa dan Negara.
c.       Bagi pemerhati pendidikan, sebagai bahan untuk membuka cakrawa pemikiran bersama bahwa gerakan literasi dan pendidikan karakter sangat membatu peserta didik untuk meningkatkan rasa nasionalisme.
d.      Bgai para Guru, yaitu dapat menambah informasi bahwa literasi dan pendidikan karakter sangat penting bagi peserta didik.








BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.1.      Gerakan Literasi

a.      Pengertian  Literasi
Literasi berasal dari kata bahasa Latin yaitu “literatus” yaitu orang yang belajar. Dalam bahasa Latin juga dikenal dengan istila literra atau huruf. Sedangkan literasi dalam bahasa Inggris yaitu literacy yang berarti kemampuan membaca dan menulis dan kompetensi dan pengetahuan dibidang khusus.  Secara bahasa literasi adalah keberaksaraan, yaitu kemampuan menulis dan membaca. Dari gambaran pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa literasi merupakan kemampuan seseorang dalam mengolah dan memahami informasi saat melakukan proses membaca dan menulis. Namun demikian, literasi utamanya berhubungan dengan bahasa dan bagaimana bahasa itu digunakan. Adapun sistem bahasa tulis itu sifatnya sekunder. Berbicara mengenai bahasa, tentunya tidak lepas dari pembicaraan mengenai budaya karena bahasa itu sendiri merupakan bagian dari budaya. Sehingga, pendefinisian istilah literasi tentunya harus mencakup unsur yang melingkupi bahasa itu sendiri, yakni situasi sosial budayanya. Berkenaan dengan ini Kern (2000) mendefinisikan istilah literasi secara komprehensif sebagai berikut:
Literacy is the use of socially-, and historically-, and culturallysituated practices of creating and interpreting meaning through texts. It entails at least a tacit awareness of the relationships between textual conventions and their context of use and, ideally, the ability to reflect critically on those relationships. Because it is purpose-sensitive, literacy is dynamic – not static – and variable across and within discourse communities and cultures. It draws on a wide range of cognitive abilities, on knowledge of written and spoken language, on knowledge of genres, and on cultural knowledge. (Literasi adalah penggunaan praktik-praktik situasi sosial, dan historis, serta kultural dalam menciptakan dan menginterpretasikan makna melalui teks. Literasi memerlukan setidaknya sebuah kepekaan yang tak terucap tentang hubunganhubungan antara konvensi-konvensi tekstual dan konteks penggunaanya serta idealnya kemampuan untuk berefleksi secara kritis tentang hubungan-hubungan itu. Karena peka dengan maksud/ tujuan, literasi itu bersifat dinamis – tidak statis – dan dapat bervariasi di antara dan di dalam komunitas dan kultur diskursus/ wacana. Literasi memerlukan serangkaian kemampuan kognitif, pengetahuan bahasa tulis dan lisan, pengetahuan tentang genre, dan pengetahuan kultural).
            Dari pernyataan di atas dapat diketahui bahwa literasi memerlukan kemampuan yang kompleks. Sedangkan Literasi menurut Kemendikbud (2016:2) adalah kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui  berbagai aktivitas, antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis, dan berbicara. Gerakan literasi ada begitu banyak namun titik focus pada penulisan ini adalah gerakan literasi yang dilakukan di sekolah. Oleh karena demikian, gerakakan literasi sekolah merupakan merupakan suatu usaha atau kegiatan yang bersifat partisipatif dengan melibatkan warga sekolah (siswa, guru, kepala sekolah, tenaga kependidikan, pengawas sekolah, komite sekolah, orang tua atau wali murid siswa), akademisi, penerbit, media masa, masyarakat dan pemangku  kepentingan di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
            Gerakan literasi sekolah menurut Kemendikbud (2016:3) merupakan gerakan sosial dengan dukungan kolaboratif berbagai elemen.Upaya yang ditempuh untuk mewujudkannya berupa pembiasaan membaca siswa. Dalam pengetahuan umum, literasi sering disalah artikan dengan aktivitas membaca (read). Literasi dalam pandangan ini boleh dikatakan sebagai pemahaman yang sempit. Dalam arti luas, literasi tidak hanya meliputi kegiatan membaca tetapi juga ada aktivitas menulis,pendengaran, dan juga video. Hal ini sama persis dengan pengertian litersi yang dikemukaan oleh Nationale Institute for Literacy (NIFL). Litersi menurut NIFL adalah kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang dibutuhkan dalam keluaraga, pekerjaan, dan masyarakat. Sedangkan UNESCO, menjelaskan bahwa kemampuan literasi merupakan hak setiap orang danmerupakan dasar untuk belajar sepanjang hayat. Dengan demikian, literasi merupakan gerakan kesadaran untuk memberantas buta huruf dan meningkatkan kesadaran manusia itu sendiri.
b.      Prinsip Pendidikan Literasi
            Menurut Kern (2000) terdapat tujuh prinsip pendidikan literasi, yaitu:
1. Literasi melibatkan interpretasi Penulis/ pembicara dan pembaca/ pendengar berpartisipasi dalam tindak interpretasi, yakni: penulis/ pembicara menginterpretasikan dunia (peristiwa, pengalaman, gagasan, perasaan, dan lain-lain), dan pembaca/ pendengar kemudian mengiterpretasikan interpretasi penulis/ pembicara dalam bentuk konsepsinya sendiri tentang dunia.
2. Literasi melibatkan kolaborasi Terdapat kerjasama antara dua pihak yakni penulis/ pembicara dan membaca/ pendengar. Kerjasama yang dimaksud itu dalam upaya mencapai suatu pemahaman bersama. Penulis/ pembicara memutuskan apa yang harus ditulis/ dikatakan atau yang tidak perlu ditulis/ dikatakan berdasarkan pemahaman mereka terhadap pembaca/ pendengarnya. Sementara pembaca/ pendengar mencurahkan motivasi, pengetahuan, dan pengalaman mereka agar dapat membuat teks penulis bermakna.
3. Literasi melibatkan konvensi Orang-orang membaca dan menulis atau menyimak dan berbicara itu ditentukan oleh konvensi/ kesepakatan kultural (tidak universal) yang berkembang melalui penggunaan dan dimodifikasi untuk tujuan-tujuan individual. Konvensi disini mencakup aturan-aturan bahasa baik lisan maupun tertulis.
4. Literasi melibatkan pengetahuan kultural. Membaca dan menulis atau menyimak dan berbicara berfungsi dalam sistem-sistem sikap, keyakinan, kebiasaan, cita-cita, dan nilai tertentu. Sehingga orang-orang yang berada di luar suatu sistem budaya itu rentan/ beresiko salah dipahami oleh orang-orang yang berada dalam sistem budaya tersebut.
5. Literasi melibatkan pemecahan masalah. Karena kata-kata selalu melekat pada konteks linguistik dan situasi yang melingkupinya, maka tindak menyimak, berbicara, membaca, dan menulis itu melibatkan upaya membayangkan hubungan-hubungan di antara katakata, frase-frase, kalimat-kalimat, unit-unit makna, teks-teks, dan duniadunia. Upaya membayangkan/ memikirkan/ mempertimbangkan ini merupakan suatu bentuk pemecahan masalah.
6. Literasi melibatkan refleksi dan refleksi diri. Pembaca/ pendengar dan penulis/ pembicara memikirkan bahasa dan hubungan-hubungannya dengan dunia dan diri mereka sendiri. Setelah mereka berada dalam situasi komunikasi mereka memikirkan apa yang telah mereka katakan, bagaimana mengatakannya, dan mengapa mengatakan hal tersebut.
7. Literasi melibatkan penggunaan bahasa. Literasi tidaklah sebatas pada sistem-sistem bahasa (lisan/ tertulis) melainkan mensyaratkan pengetahuan tentang bagaimana bahasa itu digunakan baik dalam konteks lisan maupun tertulis untuk menciptakan sebuah wacana/ diskursus.
            Dari poin diatas maka prinsip pendidikan literasi adalah literasi melibatkan interpretasi, kolaborasi, konversi, pengetahuan kultural, pemecahan masalah, refleksi diri, dan melibatkan penggunaan bahasa.
c.       Model Literasi
            Menurut UNESCO yang dikutip oleh Nasution (2013: 12-13), memasukkan enam kategori kelangsungan hidup kemampuan literasi abad 21 yang terdiri dari:
 1. Basic Literacy, kadang-kadang disebut Literasi Fungsional (Functional Literacy), merupakan kemampuan dasar literasi atau sistem belajar konvensional seperti bagaimana membaca, menulis, dan melakukan perhitungan numerik dan mengoperasikan sehingga setiap individu dapat berfungsi dan memperoleh kesempatan untuk berpartisipasi di masyarakat, di rumah, di kantor maupun sekolah.
2. Computer literacy, merupakan seperangkat keterampilan, sikap dan pengetahuan yang diperlukan untuk memahami dan mengoperasikan fungsi dasar teknologi informasi dan komunikasi, termasuk perangkat dan alat-alat seperti komputer pribadi (PC), laptop, ponsel, iPod, BlackBerry, dan sebagainya, literasi komputer biasanya dibagi menjadi hardware dan software literasi.
3. Media Literacy, merupakan seperangkat keterampilan, sikap dan pengetahuan yang diperlukan untuk memahami dan memanfaatkan berbagai jenis media dan format di mana informasi di komunikasikan dari pengirim ke penerima, seperti gambar, suara, dan video, dan apakah sebagai transaksi antara individu, atau sebagai transaksi massal antara pengirim tunggal dan banyak penerima, atau, sebaliknya.
 4. Distance Learning dan E-Learning adalah istilah yang merujuk pada modalitas pendidikan dan pelatihan yang menggunakan jaringan telekomunikasi, khususnya world wide web dan internet, sebagai ruang kelas virtual bukan ruang kelas fisik. Dalam distance learning dan elearning, baik guru dan siswa berinteraksi secara online, sehingga siswa dapat menyelesaikan penelitian dan tugas dari rumah, atau di mana saja di mana mereka dapat memperoleh akses ke komputer dan saluran telepon.
5. Cultural Literacy. Merupakan literasi budaya yang berarti pengetahuan, dan pemahaman, tentang bagaimana suatu negara, agama, sebuah kelompok etnis atau suatu suku, keyakinan, simbol, perayaan, dan cara komunikasi tradisional, penciptaan, penyimpanan, penanganan, komunikasi, pelestarian dan pengarsipan data, informasi dan pengetahuan, menggunakan teknologi. Sebuah elemen penting dari pemahaman literasi informasi adalah kesadaran tentang bagaimana faktor budaya berdampak secara positif maupun negatif dalam hal penggunaan informasi modern dan teknologi komunikasi
6. Information literacy, erat kaitannya dengan pembelajaran untuk belajar, dan berpikir kritis, yang menjadi tujuan pendidikan formal, tapi sering tidak terintegrasi ke dalam kurikulum, silabus dan rencana pelajaran, kadang-kadang dibeberapa negara lebih sering menggunkan istilah information competencies atau information fluency atau bahkan istilah lain.
2.2.Pengertian Pendidikan Karakter
a.    Pengertian Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter merupakan upaya penyadaran dari seorang guru untuk mengajarkan nilai-nilai kepada  para siswanya.  Upaya itu tidak hanya dilakukan oleh para guru tetapi intervensi secara lagsung dari pemerintah. Tindakan proaktif itu bertujuan untuk membantu peserta didik mengembangkan inti pokok dari nilai-nilai etis dan nilai-nilai kinerja seperti kerajinan, kejujuran, kepedulian, fairness, keuletan dan lain sebagainya.  Menurut Burke pendidikan karakter merupakan bagian dari pembelajaran yang baik dan merupakan bagian yang fundamental dari pendidikan yang baik (Muchlas Samani dan Hariyanto,2013: 43).
Pendidikan karakter juga dapat didefinisikan sebagai pendidikan yang mengembangkan karakter yang mulia (good character) dari peserta didik dengan mempraktikkan  dan mengajarkan nilai-nilai moral. Nilai moral di sini dijadikan sebagai rujukan atau implementasi dan orientasi dari pendidikan itu sendiri. Anne Lockwood pada tahun 1997 mendefiniskan pendidikan karakter  sebagai aktivis berbasis sekolah yang mengungkap secara sistematis bentuk perilaku dari peserta didik.
Pendidikan karakter mempunyai kaitan erat dengan komponen-komponen: pengetahuan moral tradisi, penalaran moral, belas kasih dan altruisme, serta kecenderungan moral. Lickona (Kirschenbaum, 1995:28) menggambarkan kecenderungan moral meliputi berhati nurani, mencintai kebaikan, dapat menguasai diri, rendah hati, kebiasaan moral dan kehendak baik (will). Lickona (www.cortland.edu/character/articles) juga mengatakan bahwa pendidikan karakter adalah upaya mengembangkan kebajikan sebagai fondasi dari kehidupan yang berguna, bermakna, produktif dan fondasi untuk masyarakat yang adil, penuh belas kasih dan maju. Karakter yang baik meliputi tiga komponen utama, yaitu: moral knowing, moral feeling, moral action.
Zuchdi (2010:35) mengatakan bahwa pendidikan karakter bersifat menyeluruh atau komprehensif, menyangkut banyak aspek yang terkait menjadi satu kesatuan. Pendidikan karakter yang bertumpu pada strategi tunggal sudah tidak memadai untuk dapat menjadikan peserta didik memiliki moral yang baik. Oleh karena itu, diperlukan berbagai pendekatan yang oleh Kirschenbaum disebut pendekatan komprehensif. Istilah komprehensif dalam pendidikan karakter mencakup berbagai aspek: isi, metode, proses, subjek, evaluasi. Zuriah (2008:27) secara lebih terperinci  mengatakan bahwa isi atau materi pendidikan karakter dapat dikelompokkan ke dalam tiga hal nilai akhlak, yaitu akhlak terhadap Tuhan Yang Maha Esa (mengenal Tuhan sebagai pencipta dan sifat-sifat-Nya, beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa, meminta tolong kepada-Nya), akhlak terhadap sesama (diri sendiri, orang tua, orang yang lebih tua, teman sebaya, orang yang lebih muda), dan akhlak terhadap lingkungan (alam baik flora maupun fauna dan sosial masyarakat.
b.      Ciri dan Prinsip Dasar Pendidikan Karakter
Menurut Foerster ada empat (4) ciri dasar dalam pendidikan karakter (Masnur Muslich,2011: 128). Keempat ciri itu adalah demikian. Pertama, keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasarkan hirarki nilai. Kedua, koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut resiko. Koherensilah yang membangun rasa percaya satu sama lain. Ketiga, otonomi. Otonomi berarti seseorang mengintegrasikan nilai-nilai yang diajarkan menjadi nilai-nilai bagi diri sendiri. Keempat, keteguhan dan kesetian.
Sedangkan prinsip dasar dari pendidikan karakter adalah demikian. Lickona dkk menemukan sebelas (11) prinsip agar pendidikan karakter dapat berjalan atau dilaksanakan dengan efektif (Masnur Muslich,2011: 129). Kesebelas prinsip itu adalah demikian:
1.      Kembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi karakter yang baik
2.      Definisikan karakter secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan dan perilaku
3.      Gunakan pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif dalam pengembangan karakter
4.      Ciptakan situasi sekolah yang penuh perhatian
5.      Berikan siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral
6.      Buat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil
7.      Usahakan mendorong motivasi diri siswa
8.      Libatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran moral yang berbagi tanggung jawab dalam pendidikan karakter dan upaya untuk mematuhi nilai-nilai inti yang sama yang membimbing pendidikan siswa
9.      Tumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral
10.  Libatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya membangun karakter
11.  Evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauh mana peserta didik memanifestasi karakter yang baik.

c.    Fungsi dan Nilai dalam Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter memiliki manfaat yang besar bagi semua masyarakat umum dan secara khusus bagi peserta didik. Adapun tujuan dari pendidikan karakter adalah sebagai berikut ():
1)      Mengemabangkan potensi dasar agar berhati baik, berperilaku baik, dan berpikiran baik
2)      Memperuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur
3)      Meningkatkan peradaban bangsa yang kompotitif dalam pergaulan dunia
Selain fungsi di atas, pendidikan karakter juga memiliki 18 nilai. Nilai-nilai itu adalah:
a)      Religius
b)      Jujur
c)      Toleransi
d)     Disiplin
e)      Kerja Keras
f)       Kreatif
g)      Mandiri
h)      Demokratis
i)        Rasa ingin tahu
j)        Semangat kebangsaan
k)      Cinta Tanah Air
l)        Gemar membaca
m)    Peduli Lingkungan
n)      Peduli Sosial
o)      Tanggung Jawab

d.         Sasaran Pendidikan Karakter
Menurut Ryan dan Bohlin (1999:5) mengatakan bahwa karakter mengandung tiga unsur pokok,  sasaran dalam pendidikan karakter adalah moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling (perasaan tentang moral) ,dan moral action (perbuatan moral). Ketiga komponen ini sangat penting dalam pendidikan karakter. Ketiganya dapat dijelaskan demikian. Pertama,  moral knowing merupakan hal yang penting untuk diajarkan. Ada enam poin yang berkaitan dengan hal ini yakni: kesadaran moral (moral awareness), knowing moral values (mengetahui nilai-nilai moral), perspectif taking, moral reasoning, decision making, dan self knowledge.
Kedua, moral feeling adalah aspek lain yang harus ditanamkan pada anak yang merupakan sumber energy dari diri untuk bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip moral yang ada. Ada enam (6) hal yang harus mampu dirasakan oleh seseorang untuk menjadi manusia yang berkarakter, yaitu: nurani, percaya diri, empati, mencintai kebenaran, control diri, dan humility (kerendahan hati).
Ketiga, moral action (perbuatan moral) adalah bagaimana membuat pengetahuan moral dapat diimpelmentasikan menajadi tindakan nyata. Perbuatan tindakan itu merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik maka harus dilihat tiga (3) aspek lain dari karakter yaitu kompetensi (competence), keinginan (will), dan kebiasaan (habit).


e.    Faktor Berpengaruh Dalam Pendidikan Karakter
Faktor-faktor yang berpengaruh dalam pendidikan karakter yang harus diperhatikan oleh kita adalah:
a)      Guru
b)      Selebriti
c)      Pejabat
d)     Toko Masyarakat
e)      Teman Sejawat
f)       Orangtua
g)      Media Cetak
h)      Media Elektronik
Faktor yang disebutkan di atas merupakan orang atau figur dan alat yang menjadi panutan atau sosok yang menjadi inspirasi bagi peserta didik untuk bertindak dan juga dapat mengugah kesadaran mereka sebagai manusia serta sarana pembelajaran bagi peserta didik untuk bertindak dan memimesis figur dan gaya hidup yang dijumpai. Ini semua menjadi indikasi bagi peserta didik untuk belajar banyak hal.

2.2.1.      Teori Motivasi
2.2.1.1. Pengertian Motivasi

Motivasi berasal dari kata latin “movere” yang berarti “dorongan” atau daya penggerak. Motivasi adalah daya pendorong yang mengakibatkan seseorang anggota organisasi mau dan rela untuk mengerahkan kemampuan dalam bentuk keahlian atau ketrampilan tenaga dan waktunya untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dan menunaikan kewajibannya, dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi yang telah ditentukan sebelumnya (Siagian 2003:138). Motivasi merupakan hasrat di dalam seseorang yang menyebabakan orang tersebut melakukan tindakan (Mathis 2006 : 89).
Motivasi adalah sekelompok faktor yang menyebabkan individu berperilaku dalam cara-cara tertentu (Grifin 2003:38). Motivasi merujuk pada kekuatan-kekuatan internal dan eksternal seseorang yang membangkitkan antusiasme dan perlawanan untuk melakukan serangkaian tindakan tertentu. Dalam dunia kerja motivasi dari seorang manager sangat penting bagi karayawannya. Hal itu dilakukan sebagai penyemangat kerja atau meningkatkan kinerja karyawan. Dalam hal ini motivasi menjadi pengauh yang positif terhadap para karyawan. Dalam dunia pendidikan juga motivasi menjadi tempat penting di mana peserta didik menjadi semangat apabila adanya motivasi. Motivasi bisa saja datang dari diri sendiri dan juga para guru atau Kepala Sekolah.
Dari pendapat para ahli diambil kesimpulan motivasi adalah berbagai usaha yang dilakukan oleh manusia tentunya untuk memenuhi keinginan dan kebutuhannya. Namun, agar keinginan dan kebutuhannya dapat terpenuhi tidaklah mudah didapatkan apabila tanpa usaha yang maksimal. Dalam pemenuhan kebutuhannya, seseorang akan berperilaku sesuai dengan dorongan seseorang akan berperilaku sesuai dengan dorongan yang dimiliki dan apa yang mendasari perilakunya.
2.2.1.2. Teori Motivasi
a.      Teori “Tiga Kebutuhan”
Teori ini dikemukakan oleh Siagian (2004 : 167. Ia menyatakan bahwa inti teori ini terletak pada pendapat yang mengatakan bahwa pemahaman tentang motivasi akan semakin mendalam apabila disadari bahwa setiap orang mempunyai tiga jenis kebutuhan, yaitu:
a. Kebutuhan akan berprestasi (Need for Achievement)
b. Kebutuhan akan kekuasaan (Need for Power)
c. Kebutuhan afiliasi (Need for Affiliation)
b. Indikator Motivasi Kerja
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan indikator motivasi dari teori Maslow. Teori hirarki kebutuhan dari Abraham Maslow menurut Sofyandi dan Garniwa (2007 : 102). terdiri dari:
1. Kebutuhan fisiologis (Physiological-need)
Kebutuhan Fisiologis Kebutuhan fisiologis merupakan hirarki kebutuhan manusia yang paling dasar yang merupakan kebutuhan untuk dapat hidup seperti makan, minum, perumahan, oksigen, tidur dan sebagainya.
2. Kebutuhan rasa aman (Safety-need)
Apabila kebutuhan fisiologis relatif sudah terpuaskan, maka muncul kebutuhan yang kedua yaitu kebutuhan akan rasa aman. Kebutuhan akan rasa aman ini meliputi keamanan akan perlindungan dari bahaya kecelakaan kerja, jaminan akan kelangsungan pekerjaannya dan jaminan akan hari tuanya pada saat mereka tidak lagi bekerja.
3. Kebutuhan sosial (Social-need)
Jika kebutuhan fisiologis dan rasa aman telah terpuaskan secara minimal, maka akan muncul kebutuhan sosial, yaitu kebutuhan untuk persahabatan, afiliasi dana interaksi yang lebih erat dengan orang lain. Dalam organisasi akan berkaitan dengan kebutuhan akan adanya kelompok kerja yang kompak, supervisi yang baik, rekreasi bersama dan sebagainya.
4. Kebutuhan penghargaan (Esteem-need)
Kebutuhan ini meliputi kebutuhan keinginan untuk dihormati, dihargai atas prestasi seseorang, pengakuan atas kemampuan dan keahlian seseorang serta efektifitas kerja seseorang.
5. Kebutuhan aktualisasi diri (Self-actualization need)
Aktualisasi diri merupakan hirarki kebutuhan dari Maslow yang paling tinggi. Aktualisasi diri berkaitan dengan proses pengembangan potensi yang sesungguhnya dari seseorang. Kebutuhan untuk menunjukkan kemampuan, keahlian dan potensi yang dimiliki seseorang. Malahan kebutuhan akan aktualisasi diri ada kecenderungan potensinya yang meningkat karena orang mengaktualisasikan perilakunya. Seseorang yang didominasi oleh kebutuhan akan aktualisasi diri senang akan tugas-tugas yang menantang kemampuan dan keahliannya.

c.Motivasi Peserta didik
            Motivasi merupakan kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Apabila kondisi psikologis seseorang baik maka dengan sendirinya motivasi untuk melakukan sesuatu juga akan baik. Dalam hal pembelajaran tentu perlu menjadi perhatian oleh pendidik karena tidak semua peserta datang ke sekolah dengan kondisi psikologis yang sama karena ada pengaruh internal dan eksternal peserta didik itu sendiri.Untuk itu, dalam perencanaan pembelajaran seorang pendidik perlu merancang sebuah strategi pembelajaran yang mampu memotivasi belajar peserta didik.
            Menurut Agusrida motivasi belajar merupakan kekuatan (power motivation), daya pendorong (driving force), atau alat pembangun kesediaan dan keinginan yang kuat dalam diri peserta didik untuk belajar secara aktif, kreatif, efektif, inovatif, dan menyenangkan dalam perubahan perilaku, baik dalam aspek kognitif, afektif, maupun psikomotor. Agar motivasi belajar tesebut dimiliki oleh peserta didik maka dituntut kepiawaian guru dalam menentukan strategi yang tepat dalam pembelajaran sehingga mampu menumbuhkan motivasi belajar peserta didik. Apabila peserta didik sudah termotivasi untuk belajar dengan sendirinya akan berdampak terhadap proses dan hasil pembelajaran yang diharapkan serta dapat dijadikan dasar mengetahui ketercapaian tujuan pembelajaran oleh peserta pendidik.

d.      Strategi Menumbuhkan Motivasi Peserta Didik

Menurut Pupuh Fathurrohman dan M. Sorby Sutikno (2010) bahwa motivasi dapat dibagi dua. Pertama motivasi intrinsik, yaitu motivasi yang timbul dari dalam diri peserta didik tanpa ada paksaan dari dorongan orang lain. Kedua motivasi ekstrinsik, yaitu motivasi yang timbul sebagai akibat pengaruh dari luar peserta didik. Hal ini bisa timbul karena ajakan, suruhan, atau paksaan dari orang lain (pendidik) sehingga dengan keadaan tersebut peserta didik mau melakukan sesuatu atau belajar.
Pendapat tersebut menegaskan bahwa dalam pembelajaran motivasi ektrinsik sangat dibutuhkan oleh peserta didik, seperti hadiah (reward), kompetensi sehat antarpeserta didik, pemberian nasehat, dan pemberian hukuman (funishment). Adanya motivasi dari luar sebagaidorungan untuk diri peserta didik merupakan sebuah kemutlakan harus dilkukan guru jika menginginkan peserta didiknya mencapai keberhasilan dalam pembelajaran. Lain halnya dengan peserta didik yang memiliki motivasi intrinsik karena mereka dengan kesadaran sendiri ingin belajar dan memperhatikan penjelasan guru dalam pembelajaran, karena keingintahuannya dalam pembelajaran tinggi sehingga sulit terpengaruh oleh gangguan yang ada di sekitarnya.
Motivasi belajar yang dimiliki peserta didik berfungsi sebagai alat pendorong terjadinya prilaku belajar peserta didik, alat untuk mempengaruhi prestasi belajar peserta didik, alat untuk memberikan direksi terhadap pencapaian tujuan pembelajaran, dan alat untuk membangun sistem pembelajaran yang bermakna. Oemar Hamalik (2002) secara umum menyebutkan tiga fungsi motivasi, yaitu:
1. Mendorong manusia untuk berbuat (sebagai penggerak) yang merupakan langkah penggerak dari setiap kegiatan.
2. Menentukan arah perbuatan, yakni kearah tujuan yang hendak dicapai sehingga dapat memberikan arah dan kegiatan yang harus dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuannya.
3. Menyeleksi perbuatan, yakni menetukan perbuatan-perbuatan yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut.
Berdasarkan pendapat tersebut dapat diketahui bahwa motivasi berfungsi sebagai pendorong, pengarah, dan sekaligus sebagai penggerak prilaku seseorang untuk mencapai suatu tujuan. Begitu juga halnya dalam pencapaian tujuan pembelajaran, guru merupakan faktor yang penting untuk mengusahakan terlaksananya fungsi-fungsi tersebut dengan cara dan strategi yang tepat untuk menumbuhkan motivasi belajar peserta didik.
Strategi menumbuhkan motivasi belajar peserta didik sangat ditentukan oleh perencanaan yang dibuat guru dalam pembelajaran. Dengan strategi motivasi yang tepat akan mampu memberikan kesuksesan dalam pembelajaran. Sebagaimana yang dikemukakan Wina Sanjaya (2006), bahwa strategi digunakan untuk memperoleh kesuksesan atau keberhasilan dalam mencapai tujuan.
Pupuh Fathurohman dan M. Sobry Suntikno (2010) menyatakan ada beberapa strategi untuk menumbuhkan motivasi belajar peserta didik, yaitu:
1. Menjelaskan tujuan belajar ke peserta didik
Pada permulaan belajar mengajar, terlebih dahulu seorang guru menjelaskan tentang tujuan yang akan dicapai dalam pembelajaran kepada siswa. Makin jelas tujuan yang akan dicapai peserta didik maka makin besar juga motivasi dalam melaksanakan kegiatan belajar.
2. Memberikan hadiah (reward)
Memberikan hadiah kepada peserta didik yang berprestasi. Hal ini akan memacu semangat peserta didik untuk bisa belajar lebih giat lagi. Di samping itu, peserta didik yang belum berprestasi akan termotivasi untuk bisa mengejar peserta didik yang berprestasi.
3. Memunculkan saingan atau kompetensi
Guru berusaha mengadakan persaingan di antara peserta didik untuk meningkatkan prestasi belajarnya, dan berusaha memperbaiki hasil prestasi yang telah dicapai sebelumnya.
4. Memberikan pujian
Memberikan pujian atau penghargaan kepada peserta didik yang berprestasi sudah sepantasnya dilakukan oleh guru yang bersifat membangun.
5. Memberikan hukuman
Hukuman diberikan kepada siswa yang berbuat kesalahan saat proses belajar mengajar. Hukuman ini diberikan dengan harapan agar peserta didik tersebut mau mengubah diri dan beruaha memacu motivasi belajarnya.
6. Membangkitkan dorongan kepada peserta didik untuk belajar
Kegiatan yang dilakukan guru adalah memberikan perhatian maksimal kepada peserta didik selama proses pembelajaran berlangsung.
7. Membentuk kebiasaan belajar yang baik
Guru menanamkan pembiasaan belajar yang baik dengan disiplin yang terarah sehingga peserta didik dapat belajar dengan suasana yang kondusif.
8. Membantu kesulitan belajar peserta didik, baik secara individual maupun komunal (kelompok)
9. Menggunakan metode yang bervariasi
Dalam pembelajaran, metode konvensional harus sudah ditinggalkan guru karena peserta didik memiliki karakteristik yang berbeda sehingga dibutuhkan metode yang tepat/bervariasi dalam memberdayakan kompetensi peserta didik.
10. Menggunakan media yang baik serta harus sesuai dengan tujuan pembelajaran.
Penggunaan media yang tepat sangat membantu dan memotivasi peserta didik dalam memaknai pembelajaran sesuai tujuan pembelajaran yang hendak dicapai. Adanya media yang tepat akan mampu memediasi peserta didik yang memiliki kemampuan indera yang tidak sama, baik pendengaran maupun penglihatannya, demikian juga kemampuan berbicaranya. Dengan variasi penggunaan media, kelemahan indera yang dimiliki tiap peserta didik dapat dikurangi dan dapat memberikan stimulus terhadap indera peserta didik.

Adanya strategi di atas, menuntut kesiapan guru sebagai perancang pembelajaran untuk mampu mengimplementasikannya dalam kegiatan proses belajar mengajar. Guru harus mampu meninggalkan kebiasaan-kebiasaan pembelajaran yang dimonopoli oleh guru itu sendiri (teacher sentre). Karena guru dalam melaksanakan peranya sebagai pendidik, pengajar pemimpin, administrator, harus mampu melayani peserta didik yang dilandasi kesadaran (awarreness), keyakinan (belief), kedisiplinan (discipline) dan tanggung jawab (responsibility) secara optimal sehingga memberikan pengaruh positif terhadap perkembangan peserta didik secara optimal baik fisik maupun phisikis.
Perkembangan peserta didik secara optimal akan terlihat bagaiman sang guru mampu menumbuhkan motivasi pada diri peserta didik dalam pembelajaran. Guru yang tidak mampu menumbuhkan motivasi peserta didik berarti sang guru kurang memahami strategi yang tepat dalam pembelajaran.

e.             Tujuan Motivasi Peserta Didik dalam Belajar
Sardiman A.M, mengemukakan tiga fungsi motivasi, yaitu:
1.      Mendorong manusia untuk berbuat baik, yakni sebagai penggerak atau motor yang melepaskan energi.
2.      Menentukan arah perubahan, yakni kearah tujuan yang hendak dicapai.
3.      Menyeleksi perbuatan, yakni perbuatan-perbuatan apa yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut. 
Jadi, motivasi itu diberikan untuk :
a.       Membangkitkan minat belajar siswa
b.      Memberikan kesempatan kepada siswa dalam memperoleh hasil yang lebih baik.
c.       Memberikan penguatan kepada siswa.
d.      Melaksanakan evaluasi.
Fungsi motivasi sebagai pendorong usaha dalam mencapai prestasi, karena seseorang melakukan usaha harus mendorong keinginannya, dan menentukan arah perbuatannya kearah tujuan yang hendak dicapai.  Sehingga siswa dapat menyeleksi perbuatan untuk menentukan apa yang harus dilakukan yang bermanfaat  bagi tujuan yang hendak dicapainya.

2.2.2.      Pengertian Nasionalisme
a.      Pengertian
Menurut Ritter (1986: 286), Nasionalisme berasal dari kata “Nation” dalam bahasa Latin natio, yang dikembangkan dari kata nascor (saya dilahirkan), maka pada awalnya nation (bangsa) dimaknai sebagai “sekelompok orang yang dilahirkan di suatu daerah yang sama” (group of people born in the same place). Kata ‘nasionalisme’ menurut Abbe Barruel untuk pertama kali dipakai di Jerman pada abad ke-15, yang diperuntukan bagi para mahasiswa yang datang dari daerah yang sama atau berbahasa sama, sehingga mereka itu (di kampus yang baru dan daerah baru) tetap menunjukkan cinta mereka terhadap bangsa/suku asal mereka. Nasionalisme pada mulanya terkait dengan rasa cinta sekelompok orang pada bangsa, bahasa dan daerah asal usul semula. Rasa cinta seperti itu dewasa ini disebut semangat patriotisme. Jadi pada mulanya nasionalisme dan patriotisme itu sama maknanya.  
Menurut Mulyana, nasionalisme dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mencintai bangsa dan negara. Nasionalisme atau kebangsaan bukan sekedar instrumen yang berfungsi sebagai perekat kemajemukan secara eksternal, namun juga merupakan wadah yang menegaskan identitas Indonesia yang bersifat plural dalam berbagai dimensi kulturalnya. Nasionalisme menuntut adanya perwujudan nilai-nilai dasar yang berorientasi kepada kepentingan bersama dan menghindarkan segala legalisasi kepentingan pribadi yang merusak tatanan kehidupan bersama (dalam Anggraeni Kusumawardani & Faturochman,2004: 66).
Cinta tanah air adalah cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bangsa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsanya. Menurut Kodiran (dalam Anggraeni Kusumawardani & Faturochman,2004: 71) karakteristik dari nasionalisme yang dimiliki seseorang digambarkan oleh beberapa ahli dengan menunjukkan sikap-sikap tertentu yang bermanfaat bagi diri dan lingkungannya. Kodiran  menyebutkan bahwa hasrat-hasrat untuk berprestasi, berencana, bertanggung jawab, keterbukaan, kemandirian, kehormatan, rasionalitas dan keadilan merupakan sendi-sendi utama dalam kualitas berbangsa dan bernegara seorang warga negara.

b.       Makna Nasionalisme
            Boyd Shafer (1955: 6) mengatakan bahwa nasionalisme itu multi makna, hal tersebut tergantung pada kondisi objektif dan subjektif dari setiap bangsa. Oleh sebab itu nasionalisme dapat bermakna sebagai berikut: 
(1) Nasionalisme adalah rasa cinta pada tanah air, ras, bahasa atau budaya yang sama, maka dalam hal ini nasionalisme sama dengan patriotisme. 
(2) Nasionalisme adalah suatu keinginan akan kemerdekaan politik, keselamatan dan prestise bangsa. 
(3) Nasionalisme adalah suatu kebaktian mistis terhadap organisme sosial yang kabur, kadang-kadang bahkan adikodrati yang disebut sebagai bangsa atau Volk yang kesatuannya lebih unggul daripada bagian-bagiannya. 
4) Nasionalisme adalah dogma yang mengajarkan bahwa individu hanya hidup untuk bangsa dan bangsa demi bangsa itu sendiri.
 (5) Nasionalisme adalah doktrin yang menyatakan bahwa bangsanya sendiri harus dominan atau tertinggi di antara bangsa-bangsa lain dan harus bertindak agresif.      
Kendati ada beragam definisi tentang nasionalisme, Hans Kohn (1971: 9) menggaris bawahi bahwa esensi nasionalisme adalah sama, yaitu ” a state of mind, in which the supreme loyality of the individual is felt to be due the nation state” (sikap mental, di mana kesetiaan tertinggi dirasakan sudah selayaknya diserahkan  kepada negara bangsa).
c.       Peran Nasionalisme
Nasionalisme dipandang dalam aspek ideology, maka di dalamnya terkandung aspek: (1) cognitive; (2) goal/value orientation; (3) stategic. Aspek cognitive mengandaikan perlunya pengetahuan atau pemahaman akan situasi konkret sosial, ekonomi, politik dan budaya bangsanya. Jadi nasionalisme adalah cermin abstrak dari keadaan kehidupan konkret suatu bangsa. Maka peran aktif kaum intelektual dalam pembentukan semangat nasional amatlah penting, sebab mereka itulah yang harus merangkum kehidupan seluruh anak bangsa dan menuangkannya sebagai unsur cita-cita bersama yang ingin diperjuangkan. Cendikiawan Soedjatmoko menyebut nasionalisme tidak bisa tidak adalah nasionalisme yang cerdas karena nasionalisme itu harus disinari oleh kebijaksanaan, pengertian, pengetahuan dan kesadaran sejarah (Soedjatmoko, 1991: 29-30) .  
Aspek goal menunjuk akan adanya cita-cita, tujuan ataupun harapan ideal bersama di masa datang yang ingin diwujudkan atau diperjuangkan di dalam masyarakat dan negara. Cita-cita itu mencakup seluruh aspek kehidupan manusia baik sosial, ekonomi, politik, ideologi, budaya, dll. yang disepakati bersama. Dalam hal ini nasionalisme Indonesia mula-mula berjuang untuk mengusir penjajah Belanda, merontokan feodalisme, primordialisme dan membentuk negara bangsa (nation state) yang merdeka, sejahtera dan demokratis, sebagai rumah bersama untuk seluruh warga bangsa dari Sabang sampai Meraoke. Negara bangsa Indonesia adalah rumah bersama di mana  kebhinnekaan suku, budaya, agama dan tradisi dijamin sehingga semua warga bangsa dapat hidup damai, sejahtera dan bebas.      
 Aspek strategic menuntut adanya kiat perjuangan kaum nasionalis dalam perjuangan mereka untuk mewujudkan cita-cita bersama, dapat berupa perjuangan fisik atau diplomasi, moril atau spirituil, dapat bersifat moderat atau radikal, dapat secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan, dan lain-lain. Kiat mana yang dipilih akan tergantung pada situasi, kondisi konkret dan waktu setempat yang dihadapi oleh suatu bangsa. Bagi bangsa Indonesia, masa revolusi memang harus berjuang secara fisik dan diplomatis untuk melawan penjajah Belanda, tetapi sekarang setelah merdeka nasionalisme bukan lagi untuk melawan penjajah tetapi mengisi kemerdekaan dengan membasmi korupsi, menghilangkan kebodohan dan kemiskinan, menegakan demokrasi, membela kebenaran dan kejujuran agar masyarakat madani dapat diwujudkan, di mana setiap warga bangsa sungguh dapat mewujudkan cita-citanya. Sartono Kartodirdja (1972: 65-67), menambahkan, nasionalisme harus mengandung aspek affective, yaitu semangat solidaritas, unsur senasib, unsur kebersamaan dalam segala situasi sehingga  seluruh warga bangsa sadar akan kebangsaannya.  
Lebih lanjut Sartono Kartodirdjo (1999: 13) menyatakan bahwa masyarakat Indonesia pasca-revolusi apa lagi pasca-reformasi masih menuntut nasionalisme sebagai faktor pemicu dalam proses konsolidasi orde sosial-politik yang dibingkai oleh negara bangsa, terutama jika nasionalisme itu benar-benar disertai dengan kelima prinsip utamanya, yakni menjamin kesatuan (unity) dan persatuan bangsa, menjamin kebebasan (liberty) individu ataupun kelompok, menjamin adanya kesamaan (equality) bagi setiap individu, menjamin terwujudnya kepribadian (personality), dan prestasi (performance) atau keunggulan bagi masa depan bangsa. Selama kelima pilar nasionalisme tersebut masih ada maka nasionalisme akan tetap relevan dan terus dibutuhkan oleh setiap bangsa, dan lagi nasionalisme akan terus berkembang, dinamis sesuai dengan tuntutan jaman serta kebutuhan bangsa yang bersangkutan. Oleh sebab itu wajah nasionalisme dari waktu ke waktu dapat saja berubah dan berkembang, sakalipun esensi dan unsur pokok tetaplah sama.
Benedict Anderson juga menekankan tetap pentingnya nasionalisme bagi bangsa Indonesia, dalam pengertian tradisional. Salah satu yang mendesak di Indonesia dewasa ini adalah adanya apa yang disebut sebagai “defisit nasionalisme”, yakni semakin berkurangnya semangat nasional, lebih-lebih di kalangan mereka yang kaya dan berpendidikan (Anderson, 2001: 215) . Untuk itu Anderson menganjurkan pentingnya ditumbuhkan kembali semangat nasionalis sebagaimana yang dulu hidup secara nyata di kalangan para pejuang pergerakan dan revolusi. Ia mengusulkan dibinanya semangat “nasionalisme kerakyatan” yang sifatnya bukan elitis melainkan memihak ke masyarakat luas, khususnya rakyat yang lemah dan terpinggirkan. Salah satu ciri pokok dari nasionalisme kerakyatan itu adalah semakin kuatnya rasa kebersamaan senasib dan sepenanggungan sebagai bangsa (Anderson, 2001: 214-215). Senada dengan itu, sejarawan Taufik Abdullah (Kompas, 18 Agustus 2007) menambahkan bahwa nasionalisme saat ini yang dibutuhkan adalah nasionalisme solidaritas sosial, yaitu kepedulian dan rasa tanggungjawab antara warga bangsa karena mulai pudar di masyarakat maupun elite politik.

2.3. Kerangka Berpikir Penelitian

Gerekan literaasi

Pendidikan karakter

Motivasi peserta didik

Nasionalisme
 

















BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Rancangan Penelitian
            Jenis penelitian yang digunakan dalam penulis dalam penelitian ini adalah penjelasan (explanatory). Maksud dari penjelasan itu  yaitu peneliti berusaha menjelaskan hubungan kausal yang terjadi antara variabel-variabel penelitian dan menguji hipotesa yang telah dirumuskan (Singarimbun, 2005:3).
            Explanatory research atau penelitian penjelasan berusaha untuk menjelaskan hubungan antara variabel-variabel melalui pengujian hopotesis, untuk menjelaskan pengaruh variabel gerakan literasi, pendidikan karakter, motivasi peserta didik sebagai variabel bebas terhadap peningkatan rasa nasionalisme sebagai variabel terikat.
3.2.   Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah keterkaitan antara komponen gerakan literasi, pendidikan karakter, motivasi peserta didik terhadap peningkatan rasa nasionalisme di SMPK Marsudi Siwi- Malang.
3.3. Lokasi Penelitian
Penulis akan melakukan penelitian dengan judul proposal ini di Sekolah Menengah Pertama Katolik Marsudi Siwi-Malang. SMPK Marsudi Siwi bertempat di Jl. Candi Kalasan no.10 Blimbing-Malang-Jawa Timur.

3.4.    Variabel Penelitian
            Definisi variabel menurut Sugiyono (2010: 38) adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari obyek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang diterapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik sebuah kesimpulan. Dalam penelitian yang akan dilakukan penulis terdiri dari dua variabel, yaitu: variabel bebas (variabel independen) dan variabel terikat (variabel independen). Adapun penjelasan dari masing-masing variabel itu adalah demikian:
1.      Klarifikasi Variabel-variabel
a.      Variabel Bebas (X)
Menurut Sugiyono (2010: 39), variabel independen adalah variabel yang mempengaruhi suatu yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen (terikat). Pada penelitian ini yang menjadi variabel bebas adalah:
1.      Gerakan Literasi (X1)
2.      Pendidikan Karakter (X2)
3.      Motivasi Peserta Didik (X3)

b.      Variabel Terikat (Y)
Pengertian dari variabel terikat menurut Sugiyono (2010: 39) adalah variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat karena adanya variabel independen (bebas). Pada penelitian ini yang menjadi variabel terikat atau dependen adalah Peningkatan Rasa Nasionalisme.
2.      Defenisi  konseptual Variabel
1.      Gerakan Literasi
Gerakan literasi adalah kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas, antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis, dan berbicara (Kemendikbud 2016:2).

2.      Pendidikan Karakter
Menurut Zuchdi (2010:35) pendidikan karakter bersifat menyeluruh atau komprehensif, menyangkut banyak aspek yang terkait menjadi satu kesatuan. Pendidikan karakter yang bertumpu pada strategi tunggal sudah tidak memadai untuk dapat menjadikan peserta didik memiliki moral yang baik.



3.      Motivasi Peserta Didik
Motivasi adalah sekelompok faktor yang menyebabkan individu berperilaku dalam cara-cara tertentu. Motivasi merujuk pada kekuatan-kekuatan internal dan eksternal seseorang yang membangkitkan antusiasme dan perlawanan untuk melakukan serangkaian tindakan tertentu  (Grifin 2003:38).
4.      Rasa nasionalisme
Menurut Mulyana, nasionalisme dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mencintai bangsa dan negara. Nasionalisme atau kebangsaan bukan sekedar instrumen yang berfungsi sebagai perekat kemajemukan secara eksternal, namun juga merupakan wadah yang menegaskan identitas Indonesia yang bersifat plural dalam berbagai dimensi kulturalnya. Nasionalisme menuntut adanya perwujudan nilai-nilai dasar yang berorientasi kepada kepentingan bersama dan menghindarkan segala legalisasi kepentingan pribadi yang merusak tatanan kehidupan bersama (dalam Anggraeni Kusumawardani & Faturochman,2004: 66).

3.      Defenisi oprasional variabel
1.      Gerakan literasi
Gerakan literasi merupakan sebuah gerakan untuk meningkatkan minat belajar peserta didik secara komprehensif. Gerekan literasi dengan indikatornya adalah sebagai berikut:
Ø  Membaca
Ø  Menulis
Ø  Visualisasi

2.      Pendidikan Karakter
Pendidikan Karakter merupakan sebuah upaya untuk menumbuhkembangkan kesadaran peserta didik untuk mepraktikkan kehidupan dnegan nilai-nilai angung yang diajarkan. Hal ini sebagai upaya dilakukannya revolusi mental. Indikator dari pendidikan karakter adalah:
Ø  Pengetahuan Moral
Ø  Gotong Royong
Ø  Nilai-nilai Pancasilais

3.      Motivasi Peserta didik
Motivasi peserta didik merupakan sebuah tindakan untuk memberikan dorongan atau dukungan kepada diri sendiri atau orang lain untuk melakukan sesuatu hal. Indikator dari motivasi peserta didik adalah demikian:
Ø  Kebutuhan aktualisasi diri
Ø  Kebutuhan Sosial
Ø  Kebutuhan rasa aman
Ø  Kebutuhan Fisiologis
Ø  Penghargaan

4.      Rasa Nasionalisme
Rasa Nasionalisme merupakan tindakan cinta akan tanah air. Cinta akan tanah air dapat ditunjukkan secara langsung dalam tindakan praktis kita. Cinta akan tanah air lahir dari ekspresi bangga seseorang akan Negaranya, ingin memajukan Negara, dan menjauhkan diri dari konflik kehidupan. Indikator dari rasa nasionalisme adalah:
Ø    Cinta tanah air
Ø    Persatuan dan kesatuan
Ø    Kemanusiaan
3.5.   Jenis dan Sumber Data
              Sumber data adalah segala sesuatu yang menjelaskan tentang dari mana data diperoleh. Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari peserta didik dan Guru-guru di SMPK MARSUDISIWI Malang yang berupa pengumpulan kuisioner dan data-data yang diterbitkan. Sedangkan jenis data yang dipergunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah data primer, yaitu data diperoleh dari penyebaran kuisioner kepada responden dimana pertanyaan terlebih dahulu disediakan oleh peneliti.
              Dalam rangka mendukung data penelitian, di samping melalui kuisioner, peneliti mendapatkan data administratif dari dokumen-dokumen pada sekolah atau lembaga tempat penulis teliti, seperti dokumen laporan dan buku-buku yang berkaitan dengan pokok masalah dalam penelitian ini.




3.6.   Instrumen Penelitian
              Instrumen ini menggunakan kuisioner sebagai instrument pengumpulan data yang dimaksudkan untuk memperoleh data deskriptif dalam menguji hipotesis. Data diperoleh dengan menggunakan kuisioner yang bersifat tertutup yaitu pertanyaan dibuat sedemikian rupa sehingga responden dibatasi dalam memberi jawaban pada beberapa alternatif saja atau pada satu jawaban saja (Nasir, 2008:46). Item skala penilaian ini disusun berdasarkan skala Likert. Skor yang dipakai adalah 5, 4, 3, 2, 1 yang diterapkan secara bervariasi sesuai kategori pertanyaan dengan skor jawaban.

1. Sangat setuju, dengan skor                         5
2. Setuju, dengan skor                                                4
3. Netral, dengan skor                                     3
2. Tidak setuju, dengan skor                           2
1. Sangat tidak setuju, dengan skor                1
























Tabel  1.  Variabel, Indikator dan Item Pernyataan
Variabel Penelitian
Indikator
Item Pernyataan
Rasa Nasioanalisme (Y)
cinta tanah air
1 Menghargai pluralisme agama, budaya, suku, ras, dan golongan
  
1.Berusaha  mencintai aneka kearifan lokal yang ada
2.   Mencintai aneka kreativitas anak bangsa
3.       Mencintai Pancasila, NKRI, Bhineka Tunggal Ika, UUD 1945

Persatuan dan kesatuan
Cinta akan tanah air
Mengutamakan kepentingan public
Menanamkan semangat gotong royong
Hidup bermasyarakat secara harmonis
Kemanusian
Dapat menghargai sesama yang berbeda etis, ras, suku, agama,dan golongan
Saling menghormati dalam kehidupan
Bersikap humanis
Tidak diskriminatif
Gerakan Literasi (X1) 
Gerakan Membaca (X1.1)
1. Membaca setiap hari
2. Mampu menjelaskan apa yang dibaca
3. Bersedia membaca dengan teman atau guru
Menulis (X1.2)
1. Mencoba beliterasi melalui tulisan sendiri
2. Menigkatkan daya imajinasi yang kritis
3. Bersedia mengembangkan bakat atau talenta
Visualisasi (X1.3)
Mengkritisi segala apa yang dipertontonkan
Merangsang daya kreatif dan sikap inovasi
Memaknai apa yang ditunjukkan
Motivasi Peserta Didik             (X2)
Keinginan dan niat (X2.1)
1. Keinginan kuat untuk memulai
2. Niat yang baik
3. Aksi
Kebutuhan Rasa aman (X2.2)
1. Jaminan hari tua berupa pengetahun
2. Perasaan tenang dan aman dalam belajar
3. Lingkungan yang mendukung
Kebutuhan Sosial (X2.3)
1. Keharmonisan hubungan atau relasi
2. Kerjasama



3. Perasaan diterima di lingkungan
Kebutuhan Penghargaan (X2.4)
1. Pengakuan dan penghargaan atas hasil kerja
2. Perasaan dihormati
3. Dipuji karena menghasilkan prestasi
Kebutuhan Aktualisasi diri (X2.5)
1. Memiliki kesempatan mengikuti pendidikan dan
    Pelatihan
2. Memiliki peluang yang sama untuk promosi
    Diri
3. Memiliki peluang untuk bekerja secara mandiri
Pendidikan Karakter       (X3)
Pengetahuan Moral        (X3.1)
1. mencintai kebaikan
2. bersikap jujur dan adil
3. Berhati nurani
Gotong Royong (X3.2)
1.       Bekerja sama atau bahu-membahu
2.      Meingkatkan kreatifitas manusia muda
3.       Pembangunan bangsa dan Negara  
4.      Semangat juang untuk berinovasi

Nilai-nilai kehidupan (X3.3)
1. Keutamaan Nilai hidup
2. Nilai sosial
3.Nilai Religius
4.Nilai-nilai Pancasilais

3.7. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel
1. Populasi
Populasi merupakan wilayah generalisasi yang terdiri atas: obyek atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2009). Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa Populasi adalah Keseluruhan objek penelitian yang terdiri dari manusia, benda, tumbuh-tumbuhan dan peristiwa sebagai sumber data yang mempunyai karakteristik tertentu  dalam sebuah  penetian.
Dalam penelitian ini, yang dijadikan populasi adalah seluruh peserta didik SMPK Marsudi Siwi Malang dan Para Guru di SMPK Marsudi Siwi Malang.



4.   Sampel
Sampel merupakan sebagian dari populasi. Sampel didefinisikan sebagai sub dari seperangkat elemen yang dipilih untuk dipelajari (Sarwono, 2006). Dari populasi yang ada akan diambil sebagian sebagai sampel untuk mewakili keseluruhan populasi dalam penelitian ini. Dalam penel

3.8. Teknik Pengambilan Data
Data suatu penelitian dikatakan valid atau tidaknya tergantung pada jenis pengumpulan data yang dipergunakan untuk pemilihan metode yang tepat sesuai dengan  jenis dan sumber data  dalam penelitian. Teknik pengumpulan data adalah upaya untuk mengamati variabel yang di teliti antara lain:
a.       Metode angket
Menurut Sugiyono (2009:121),metode ini digunakan bila responden dalam jumlah yang banyak dan dapat membaca dengan baik dan dapat mengungkapkan hal-hal yang sifatnya rahasia. Angket merupakan sebuah daftar pertanyaan-pertanyaan yang harus dikerjakan oleh orang-orang yang ingin diselidiki atau responden.
b.      Observasi (Pengamatan)
Observasi yaitu tehnik pengumpulan data dimana peneliti mengadakan pengamatan secara langsung atau tidak langsung terhadap gejala-gejala yang sedang berlangsung. Metode observasi digunakan bila obyek penelitian bersifat perilaku manusia, proses kerja, gejala alam, responden kecil. Teknik ini digunakan penulis dalam penelitian ini untuk memperoleh gambaran mengenai SMPK Marsudi Siwi Kecamatan Blimbing-Malang.
c.       Interview
            Interview adalah salah satu pengumpulan data dengan jalan tanya jawab sepihak yang dikerjakan sistematis dan berdasarkan pada tujuan penelitian (Sugiyono, 2009:121). Menurut Suharsimi Arikunto (2002:57), wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yangnharus diteliti, dan juda apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam dan jumlah respondennya sedikit atau kecil. Interview digunakan untuk berdialog dalam menggali informasi oleh peneliti terhadap para responden. Interview digunakan oleh peneleiti untuk menilai keadaan seseorang, misalnya untuk mencari data tentang variabel latar belakang murid, orang tua, pendidikan, perhatian, sikap terhadap sesuatu. Dalam teknik penelitian ini, penulis menggunakannya untuk menggali informasi dari Kepala Sekolah, para Guru, dan siswa-siswi di SMPK Marsudi Siwi Malang.
d.      Dokumentasi
Menurut Suharsimi (2006:236), dokumentasi mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa, catatan atau transkrip, surat kabar, majalah, notulen rapat, agenda dan sebagainya. Dalam hal ini penulis mencari dan mengumpulkan data yang berasal dari catatan atau arsip-arsip tersimpan yang terkait dalam penelitian ini.

3.9. Teknik Analisis Data
Data hasil penelitian yang diperoleh akan dianalisis menggunakan teknik sebagai berikut: 
1.      Analisis deskriptif 
Analisis ini dipakai untuk mendeskripsikan setiap variabel  penelitian.
2.      Analisis regresi linier berganda
Analisis ini digunakan untuk mengetahui pengaruh dua atau lebih variable bebas terhadap satu variable terikat. Analisis ini juga berguna untuk mengetahui variabel bebas manakah yang paling berpengaruh di antara variabel yang lain.
Model persamaan regresi linier berganda adalah sebagai berikut:
Y = α + b1X1 + b2X2 + b3X3+ ε
Dimana :
      Y   =  Rasa Nasionalisme
      X1 = Gerakan Literasi
      X2 = Pendidikan Karakter
X3 = Motivasi Peserta didik
       ε   = error
       α  = Intercept
b1, b2, b3   = Koefisien regresi variabel bebas
3.      Uji Hipotesis
Uji F digunakan untuk menguji besarnya pengaruh variable bebas secara bersama terhadap variable terikat. Rumusan uji F adalah sebagai berikut :

R2/k
 


(1-R2) / (n-k-1)
            F =        
           
            Dimana :
                 F     = Nilai F hitung
                 R2     = Koefisien determinan
                 K     = Jumlah variable bebas
                 n      = jumlah sampel
Untuk mengetahui pengaruh dari kedua variable bebas secara bersama terhadap variable terikat dapat melihat table ANOVA yang berisi tentang probabilitas dalam menguji hipotesis yang dirumuskan sebagai berikut:
1)      H0  : b1 = b2 = b3 = 0.
2)      Ha : b1b2b3 ≠0.
Hasil uji hipotesis dapat diperoleh dengan membandingkan probabilitas dengan α = 0,05 dengan criteria sebagai berikut :
1)      Apabila probabilitas dalam table anova < α = 0,05 maka H0 ditolak dan Ha diterima.
2)      Apabila probabilitas dalam table anova > 0,05 maka H0 diterima dan Ha ditolak.
Penerimaan terhadap H0 berarti variabel yang diuji tidak mempunyai pengaruh terhadap variabel terikat. Sedangkan penolakan terhadap H0 berarti variabel bebas mempunyai pengaruh nyata terhadap variabel terikat.
Selanjutnya uji t. Uji ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh masing masing variabel bebas terhadap table. Uji t dilakukan untuk menguji variabel bebas yang paling dominan mempengaruhi variabel terikat.
t           =      
Dimana :
                t : nilai t hitung
               bi  : koefisien regresi
               Sb : standar eror / standar deviasi bi
Untuk mengetahui pengaruh variabel bebas secara terpisah terhadap variabel terikat, maka table koefisien yang mencantumkan angka probabilitas dalam menguji hipotesis yang dirumuskan sebagai berikut:
1)      H0 : bi = 0 berarti variabel bebas (X1, X2, X3) secara terpisah tidak berpengaruh terhadap variabel terikat.
2)      Ha : bi ≠ 0 berarti variabel bebas (X1, X2, X3) secara terpisah berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat.
         Pengujian hipotesis dilakukan dengan membandingkan antara probabilitas dengan α = 0,05 dengan criteria sebagai berikut :
1)      Apabila probabilitas (P) < α, dimana α = 5%, maka H0 ditolak dan Ha diterima yang berarti variabel bebas berpengaruh terhadap variabel terikat.
2)      Apabila probabilitas (P) > α, dimana α = 5%, maka Ha ditolak yang berarti variabel bebas tidak berpengaruh terhadap variabel terikat.












Daftar Pustaka

Agusrida, Strategi Menumbuhkan Motivasi Belajar Peserta Didik. dalam http://bdkpadang.kemenag.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=452:strategi-menumbuhkan-motivasi-belajar-peserta-didik&catid=41:top-headlines

Anderson, Benedict. 2001. ”Kebutuhan Indonesia: Nasionalisme Dan Menumpas Keserakahan” dalam Joesoef Ishak, 100 Tahun Bung Karno. Jakarta: Hasta Mitra.
Kirschenbaum, Howard. 1995. 100 Ways to Enhance Values and Morality in Schools and Youth Settings. Boston: Allyn and Bacon.
Khon, Hans. 1971. Nasionalisme Arti dan Sejarahnya (terjemahan Sumantri Mertodipura), Djakarta: Pustaka Sardjana.
Kusumawardani, Anggraeni & Faturochman, 2004, “Nasionalisme”dalam Buletin Psikologi, Tahun XII, No. 2, Desember.
Muslich, Masnur. 2011. Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis Multidimensi. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Pupuh Fathurrohman dan M. Sobry Sutikno. 2010. Strategi Belajar Mengajar: Strategi Mewujudkan Pembelajaran Bermakna Melalui Penanaman Konsep Umum & Konsep Islami. Bandung: PT Refika Aditama.

Ritter, Herry. 1986. Dictionary of Concepts in History. New York: Greenwood Press.
Ryan, Kevin & Karen E. Bohlin. 1999. Building Character in Schools – Practical Ways to Bring Moral Instruction to Life. San Fransisco: Jossey-Bass a Wiley Imprint.
Samani, Muchlas. 2013. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sardiman A.M 2006. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar Jakarta :CV.Rajawali.

Sartono Kartodirdjo. 1999. Multidimensi Pembangunan Bangsa: Etos Nasionalisme dan Negara Kesatuan. Yogyakarta: Penerbitan Kanisius.
Shafer, Boyd C. 1955. Nationalism Myth and Reality. New York: A Harvest Book Harcourt
Soedjatmoko, 1991. ”Nasionalisme Sebagai Prospek Belajar” dalam majalah Prisma, 2 Februari 1991


PENGARUH GERAKAN LITERASI TERHADAP PENINGKATAN RASA NASIONALISME MELALUI PENDIDIKAN KARAKTER DAN MOTIVASI SISWA
Di SMPK MARSUDI SIWI MALANG


Yosep Belen Keban
NIM: 1707000065







Pascasarjana Universitas Merdeka Malang
2018

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Perkembangan zaman modernisasi yang kini berubah menjadi postmodernisasi semakin menyata dalam dinamika hidup anak manusia. Seiring dengan perkembangan zaman tersebut, setiap pribadi dituntut untuk berinovasi dan berkreativitas. Perkembangan yang pesat tentu saja membawa aneka perubahan di dalamnya termasuk penggerusan akar-akar nilai hidup yang diyakini sebagai keutamaan-keutamaan dalam kehidupan. Perkembangan di lain sisi membawa perubahan yang dahsyat namun dilain sisi kita harus mengamini bahwa perlahan budaya sopan santun atau tata kerama semakin jauh dari yang didambahkan. Sebagai contoh di Negara kita Indonesia acapkali kita mendengar aneka berita miris dan hal itu sungguh disayangkan. Muncul aneka persoalan seperti isu SARA yang selalu disandingkan dengan perhelatan pesta demokrasi, hasut-menghasut, radikalisme, terorisme, hoax, korupsi, dan aneka persoalan lainnya. Persoalan-persoalan demikian menggambarkan potret ke-indonesia-an yang buram. Negeri yang penuh dengan aneka konflik. Hal ini disebabkan oleh Sumber Daya Manusia (Human Resource) yang lemah dan kehilangan keutamaan nilai dalam kehidupan.
Potret keburaman ke-indonesia-an itu disebabkan oleh sikap egoisme, ketamakan atau kerakusan, superioritas, ekonomis, politik, dan lain sebagainya. Potret buram ini yang menjadi tanggungjawab kita semua untuk mengembalikan citra kebhinekaan seperti semula. Harus diakui bahwa ini bukan tindakan yang mudah namun mau tidak mau kita harus memiliki tekat untuk berjuang melawan bangsa kita sendiri. Hal ini senada seperti apa yang dikumandangkan oleh Bung Karno, bahwa perjuangan kalian adalah melawan bangsamu sendiri dan hal ini teramat berat. Inilah penjajahan konteks modern di mana anak bangsa mengebiri dan mencaplok habis hasil dari ibu pertiwi. Mari kita selamatkan bangsa ini degan menanamkan sejak dini sikap nasionalisme.
Nasionalisme  menurut Boyd Shafer (1955: 6) memiliki multi makna, hal tersebut tergantung pada kondisi objektif dan subjektif dari setiap bangsa. Oleh sebab itu nasionalisme dapat bermakna sebagai berikut:  (1) Nasionalisme adalah rasa cinta pada tanah air, ras, bahasa atau budaya yang sama, maka dalam hal ini nasionalisme sama dengan patriotisme. (2) Nasionalisme adalah suatu keinginan akan kemerdekaan politik, keselamatan dan prestise bangsa. (3) Nasionalisme adalah suatu kebaktian mistis terhadap organisme sosial yang kabur, kadang-kadang bahkan adikodrati yang disebut sebagai bangsa atau Volk yang kesatuannya lebih unggul daripada bagian-bagiannya. (4) Nasionalisme adalah dogma yang mengajarkan bahwa individu hanya hidup untuk bangsa dan bangsa demi bangsa itu sendiri. (5) Nasionalisme adalah doktrin yang menyatakan bahwa bangsanya sendiri harus dominan atau tertinggi di antara bangsa-bangsa lain dan harus bertindak agresif.
  
Untuk menumbuhkembangkan sikap nasionalime atau sikap cinta tanah air hendaknya diprogramkan dengan baik. Pemerintah dalam hal ini sangat cepat merespon aneka persoalan yang ada dengan menerapkan aneka kebijakan terlebih khusus dalam dunia pendidikan. Dunia pendidikan menjadi titik awal dan sorotan sebab dunia pendidikan merupakan tempat atau gudang ilmu yang mengajarkan banyak hal kepada peserta didik. Adapun niat dan upaya pemerintah untuk menanamkan rasa nasionalisme adalah dengan memasukan pendidikan karakter dan gerakan literasi dalam dunia pendidikan.
 Gereka literasi merupakan sebuah fenomena kekinian yang mengajak semua orang untuk berpartisipasi dalam program ini. Salah satu tujuan dari gerakan ini adalah memberantas buta aksara. Selain itu, gerakan literasi menjadi pemicu dan membuka cakrawala pengetahuan dan sumber daya manusia itu sendiri. Gereka literasi dapat membuat kita menjadi kritis dan bijak dalam menjalankan kehidupan. Inilah niat dan upaya pemerintah dalam memberantas ketidakadilan atau konflik yang sedang menjamur di negeri ini. Lantas apa itu literasi? Menurut Kemendikbud (2016:2), literasi adalah kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui  berbagai aktivitas, antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis, dan berbicara. Dengan demikian, literasi merupakan gerakan kesadaran untuk memberantas buta huruf dan meningkatkan kesadaran manusia itu sendiri.
Dengan adanya gerakan literasi dapat membawa perubahan besar bagi bangsa Indonesia. Salah satunya adalah untuk mengantisipasi budaya nasional dengan aneka budaya asing (modernisasi-westernisasi) yang pada saat ini meluas sampai dipelosok daerah. Pengaruh ini yang menurunkan minat dan niat kaum mudah melemah atau melempem akan nilai cinta akan tanah air atau nasionalisme. Berkat adanya gerakan ini atau gerakan literasi ini kita mau menyelamatkan generasi bangsa dari kungkungan pemikiran dan konsep atau paradigm ke-barat-an yang merasuki pemikiran mereka yang pada akhirnya dapat menafikan aneka nilai hidup. Dengan adanya gerakan literasi diharapkan dapat memotivasi seluruh masyarakat Indonesia secara khusus bagi para peserta didik untuk berusaha mencintai tanah air.
Motivasi para peserta didik untuk mencintai literasi harus dapat diamalkan secara langsung dalam tindak-tanduk atau dapat membumikan literasi itu sendiri. Hal yang diharapkan adalah mengubah perpektif manusia menjadi manusia “unggul” yang semakin mencintai tanah air (nasionalisme). Bentuk kecintaan itu adalah tindakan praktis setelah adanya literasi. Jadi, literasi harus ada aksinya di lapangan dengan cara perubahan diri. Perubahan diri itu dilakukan melalui adanya pendidikan karakter. Pendidikan karakter menjadi boomming saat ini yang kita kenal dengan adanya revolusi mental. Revolusi mental yang diharapkan adalah adanya peruabahan dari dalam diri untuk melakukan keutaman dalam kehidupan. Adalah Aristoteles seorang filsuf Yunani kondang pernah mengatakan dengan baik bahwa manusia hidup untuk mengejar kebaikan itu sendiri. Kebaikan yang dimaksudkan adalah memiliki empat keutamaan itu. Kita semua dipanggil untuk melakukan kebaikan. Nah, melihat fenomena bangsa kita yang semakin hari diterpa badai persoalan seperti yang teleh disebutkan di atas maka perluh adanya perubahan sikap dan mental. Peruabahan sikap dan mental itu harus dilakukan sejak dini baik itu dalam keluarga, sekolah, atau pun masyarakat.
Menurut Lickona (Kirschenbaum, 1995:28) pendidikan karakter adalah upaya mengembangkan kebajikan sebagai fondasi dari kehidupan yangberguna, bermakna, produktif dan fondasi untuk masyarakat yang adil, penuh belas kasih dan maju. Karakter yang baik meliputi tiga komponen utama, yaitu: moral knowing, moral feeling, moral action.
Sebagai wahana utama dalam pembangunan bangsa dan watak (nation and character building), pendidikan dituntut untuk memberikan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap pengembangan diri manusia. Dengan cara ini, diyakini bahwa pendidikan akan memberi kontribusi yang nyata dan bermakna dalam mendukung pembangunan karakter bangsa secara keseluruhan yang menjadi agenda besar negara R.I. Perspektif pembangunan pendidikan tidak hanya ditujukan untuk mengembangkan aspek intelektual saja melainkan juga watak, moral, sosial dan fisik perserta didik, atau dengan kata lain menciptakan manusia Indonesia seutuhnya.
Berdasarkan penelitian terdahulu yang ditemukan secara terpisah, adanya pengaruh antara gerakan literasi terhadap rasa nasionalisme, adanya pengaruh antara motivasi peserta didik untuk mencinta tanah air (nasionalisme) dan juga adanya pengaruh antara pendidikan karakter terhadap rasa nasionalisme. Berdasarkan temuan penelitian terdahulu maka penulis menyimpulkan bahwa adanya pengaruh signifikan antara gerakan literasi, motivasi peserta didik, dan juga pendidikan karakter terhadap nasionalisme. Berkaitan dengan fenomena dan persoalan di atas, penulis dalam penelitian ini memberanikan diri untuk meneliti dan mengangkat kepermukaan fenomena-fenomena itu untuk dijadikan sebagai kasus diskursus. Adapun judul yang hendak digali adalah “Pengaruh Gerakan Literasi Terhadap Peningkatan Rasa Nasionalisme Melalui Pendidikan Karakter dan Motivasi Siswa”.

1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis dapat merumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah demikian:
1.      Bagaimana literasi, pendidikan karakter, dan motivasi siswa terhadap peningkatan rasa nasionalisme peserta didik di SMPK Marsudisiwi-Malang?
2.      Adakah dampak signifikan antara gerakan literasi, pendidikan karakter danmotivasi siswa terhadap peningkatan rasa nasionalisme di SMPK Marsudisiwi?

1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah demikian:
1.      Untuk mendeskripsikan variabel gerakan literasi, pendidikan karakter, motivasi siswa  dan  peningkatan rasa nasionalisme di SMPK Marsudisiwi-Malang
2.      Untuk menganalisis pengaruh variabel gerakan literasi, pendidikan karakter dan motivasi siswa secara simultan dan parsial terhadap peningkatan rasa nasionalisme di SMPK Marsudisiwi-Malang
3.      Manakah varibael gerakan literasi, pendidikan karakter dan motivasi siswa yang berpengaruh dominan terhadap peningkatan rasa nasionalisme di SMPK Marsudisiwi-Malang.
1.4. Kegunaan Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang sangat berarti bagi dunia pendidikan. Kegunaan yang didambakan dari hasil penelitian ini antara lain:

1.                  Teoritis
a.       Penelitian ini sebagai sumbangsi pemikiran untuk mengembangkan khazana keilmuan dalam dunia pendidikan berdasarkan teori pendidikan yang berkaitan dnegan komponen gerakan literasi, pendidikan karakter, motivasi peserta didik mengenai rasa nasionalisme.
b.      Bagi pengembangan ilmu pengetahuan, dapat memberikan suatu karya peneliti baru yang dapat mendukung rasa nasionalisme
c.       Bagi peneliti lain dapat dijadikan sebagai referensi dalam penelitian lebih lanjut

2.                  Praktis
a.       Bagi pihak terkait diharapkan dapat memberikan input dan tambahan informasi bagi pihak Sekolah Menengah Pertama Katolik di Kota Malang
b.      Bagi Dinas Pendidikan, sebagai pengambil kebijakan, penelitian ini merupakan sumber masukan positif dalam mendorong perserta didik untuk menanamkan kesdadaran diri akan rasa cinta bangsa dan Negara.
c.       Bagi pemerhati pendidikan, sebagai bahan untuk membuka cakrawa pemikiran bersama bahwa gerakan literasi dan pendidikan karakter sangat membatu peserta didik untuk meningkatkan rasa nasionalisme.
d.      Bgai para Guru, yaitu dapat menambah informasi bahwa literasi dan pendidikan karakter sangat penting bagi peserta didik.








BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.1.      Gerakan Literasi

a.      Pengertian  Literasi
Literasi berasal dari kata bahasa Latin yaitu “literatus” yaitu orang yang belajar. Dalam bahasa Latin juga dikenal dengan istila literra atau huruf. Sedangkan literasi dalam bahasa Inggris yaitu literacy yang berarti kemampuan membaca dan menulis dan kompetensi dan pengetahuan dibidang khusus.  Secara bahasa literasi adalah keberaksaraan, yaitu kemampuan menulis dan membaca. Dari gambaran pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa literasi merupakan kemampuan seseorang dalam mengolah dan memahami informasi saat melakukan proses membaca dan menulis. Namun demikian, literasi utamanya berhubungan dengan bahasa dan bagaimana bahasa itu digunakan. Adapun sistem bahasa tulis itu sifatnya sekunder. Berbicara mengenai bahasa, tentunya tidak lepas dari pembicaraan mengenai budaya karena bahasa itu sendiri merupakan bagian dari budaya. Sehingga, pendefinisian istilah literasi tentunya harus mencakup unsur yang melingkupi bahasa itu sendiri, yakni situasi sosial budayanya. Berkenaan dengan ini Kern (2000) mendefinisikan istilah literasi secara komprehensif sebagai berikut:
Literacy is the use of socially-, and historically-, and culturallysituated practices of creating and interpreting meaning through texts. It entails at least a tacit awareness of the relationships between textual conventions and their context of use and, ideally, the ability to reflect critically on those relationships. Because it is purpose-sensitive, literacy is dynamic – not static – and variable across and within discourse communities and cultures. It draws on a wide range of cognitive abilities, on knowledge of written and spoken language, on knowledge of genres, and on cultural knowledge. (Literasi adalah penggunaan praktik-praktik situasi sosial, dan historis, serta kultural dalam menciptakan dan menginterpretasikan makna melalui teks. Literasi memerlukan setidaknya sebuah kepekaan yang tak terucap tentang hubunganhubungan antara konvensi-konvensi tekstual dan konteks penggunaanya serta idealnya kemampuan untuk berefleksi secara kritis tentang hubungan-hubungan itu. Karena peka dengan maksud/ tujuan, literasi itu bersifat dinamis – tidak statis – dan dapat bervariasi di antara dan di dalam komunitas dan kultur diskursus/ wacana. Literasi memerlukan serangkaian kemampuan kognitif, pengetahuan bahasa tulis dan lisan, pengetahuan tentang genre, dan pengetahuan kultural).
            Dari pernyataan di atas dapat diketahui bahwa literasi memerlukan kemampuan yang kompleks. Sedangkan Literasi menurut Kemendikbud (2016:2) adalah kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui  berbagai aktivitas, antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis, dan berbicara. Gerakan literasi ada begitu banyak namun titik focus pada penulisan ini adalah gerakan literasi yang dilakukan di sekolah. Oleh karena demikian, gerakakan literasi sekolah merupakan merupakan suatu usaha atau kegiatan yang bersifat partisipatif dengan melibatkan warga sekolah (siswa, guru, kepala sekolah, tenaga kependidikan, pengawas sekolah, komite sekolah, orang tua atau wali murid siswa), akademisi, penerbit, media masa, masyarakat dan pemangku  kepentingan di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
            Gerakan literasi sekolah menurut Kemendikbud (2016:3) merupakan gerakan sosial dengan dukungan kolaboratif berbagai elemen.Upaya yang ditempuh untuk mewujudkannya berupa pembiasaan membaca siswa. Dalam pengetahuan umum, literasi sering disalah artikan dengan aktivitas membaca (read). Literasi dalam pandangan ini boleh dikatakan sebagai pemahaman yang sempit. Dalam arti luas, literasi tidak hanya meliputi kegiatan membaca tetapi juga ada aktivitas menulis,pendengaran, dan juga video. Hal ini sama persis dengan pengertian litersi yang dikemukaan oleh Nationale Institute for Literacy (NIFL). Litersi menurut NIFL adalah kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang dibutuhkan dalam keluaraga, pekerjaan, dan masyarakat. Sedangkan UNESCO, menjelaskan bahwa kemampuan literasi merupakan hak setiap orang danmerupakan dasar untuk belajar sepanjang hayat. Dengan demikian, literasi merupakan gerakan kesadaran untuk memberantas buta huruf dan meningkatkan kesadaran manusia itu sendiri.
b.      Prinsip Pendidikan Literasi
            Menurut Kern (2000) terdapat tujuh prinsip pendidikan literasi, yaitu:
1. Literasi melibatkan interpretasi Penulis/ pembicara dan pembaca/ pendengar berpartisipasi dalam tindak interpretasi, yakni: penulis/ pembicara menginterpretasikan dunia (peristiwa, pengalaman, gagasan, perasaan, dan lain-lain), dan pembaca/ pendengar kemudian mengiterpretasikan interpretasi penulis/ pembicara dalam bentuk konsepsinya sendiri tentang dunia.
2. Literasi melibatkan kolaborasi Terdapat kerjasama antara dua pihak yakni penulis/ pembicara dan membaca/ pendengar. Kerjasama yang dimaksud itu dalam upaya mencapai suatu pemahaman bersama. Penulis/ pembicara memutuskan apa yang harus ditulis/ dikatakan atau yang tidak perlu ditulis/ dikatakan berdasarkan pemahaman mereka terhadap pembaca/ pendengarnya. Sementara pembaca/ pendengar mencurahkan motivasi, pengetahuan, dan pengalaman mereka agar dapat membuat teks penulis bermakna.
3. Literasi melibatkan konvensi Orang-orang membaca dan menulis atau menyimak dan berbicara itu ditentukan oleh konvensi/ kesepakatan kultural (tidak universal) yang berkembang melalui penggunaan dan dimodifikasi untuk tujuan-tujuan individual. Konvensi disini mencakup aturan-aturan bahasa baik lisan maupun tertulis.
4. Literasi melibatkan pengetahuan kultural. Membaca dan menulis atau menyimak dan berbicara berfungsi dalam sistem-sistem sikap, keyakinan, kebiasaan, cita-cita, dan nilai tertentu. Sehingga orang-orang yang berada di luar suatu sistem budaya itu rentan/ beresiko salah dipahami oleh orang-orang yang berada dalam sistem budaya tersebut.
5. Literasi melibatkan pemecahan masalah. Karena kata-kata selalu melekat pada konteks linguistik dan situasi yang melingkupinya, maka tindak menyimak, berbicara, membaca, dan menulis itu melibatkan upaya membayangkan hubungan-hubungan di antara katakata, frase-frase, kalimat-kalimat, unit-unit makna, teks-teks, dan duniadunia. Upaya membayangkan/ memikirkan/ mempertimbangkan ini merupakan suatu bentuk pemecahan masalah.
6. Literasi melibatkan refleksi dan refleksi diri. Pembaca/ pendengar dan penulis/ pembicara memikirkan bahasa dan hubungan-hubungannya dengan dunia dan diri mereka sendiri. Setelah mereka berada dalam situasi komunikasi mereka memikirkan apa yang telah mereka katakan, bagaimana mengatakannya, dan mengapa mengatakan hal tersebut.
7. Literasi melibatkan penggunaan bahasa. Literasi tidaklah sebatas pada sistem-sistem bahasa (lisan/ tertulis) melainkan mensyaratkan pengetahuan tentang bagaimana bahasa itu digunakan baik dalam konteks lisan maupun tertulis untuk menciptakan sebuah wacana/ diskursus.
            Dari poin diatas maka prinsip pendidikan literasi adalah literasi melibatkan interpretasi, kolaborasi, konversi, pengetahuan kultural, pemecahan masalah, refleksi diri, dan melibatkan penggunaan bahasa.
c.       Model Literasi
            Menurut UNESCO yang dikutip oleh Nasution (2013: 12-13), memasukkan enam kategori kelangsungan hidup kemampuan literasi abad 21 yang terdiri dari:
 1. Basic Literacy, kadang-kadang disebut Literasi Fungsional (Functional Literacy), merupakan kemampuan dasar literasi atau sistem belajar konvensional seperti bagaimana membaca, menulis, dan melakukan perhitungan numerik dan mengoperasikan sehingga setiap individu dapat berfungsi dan memperoleh kesempatan untuk berpartisipasi di masyarakat, di rumah, di kantor maupun sekolah.
2. Computer literacy, merupakan seperangkat keterampilan, sikap dan pengetahuan yang diperlukan untuk memahami dan mengoperasikan fungsi dasar teknologi informasi dan komunikasi, termasuk perangkat dan alat-alat seperti komputer pribadi (PC), laptop, ponsel, iPod, BlackBerry, dan sebagainya, literasi komputer biasanya dibagi menjadi hardware dan software literasi.
3. Media Literacy, merupakan seperangkat keterampilan, sikap dan pengetahuan yang diperlukan untuk memahami dan memanfaatkan berbagai jenis media dan format di mana informasi di komunikasikan dari pengirim ke penerima, seperti gambar, suara, dan video, dan apakah sebagai transaksi antara individu, atau sebagai transaksi massal antara pengirim tunggal dan banyak penerima, atau, sebaliknya.
 4. Distance Learning dan E-Learning adalah istilah yang merujuk pada modalitas pendidikan dan pelatihan yang menggunakan jaringan telekomunikasi, khususnya world wide web dan internet, sebagai ruang kelas virtual bukan ruang kelas fisik. Dalam distance learning dan elearning, baik guru dan siswa berinteraksi secara online, sehingga siswa dapat menyelesaikan penelitian dan tugas dari rumah, atau di mana saja di mana mereka dapat memperoleh akses ke komputer dan saluran telepon.
5. Cultural Literacy. Merupakan literasi budaya yang berarti pengetahuan, dan pemahaman, tentang bagaimana suatu negara, agama, sebuah kelompok etnis atau suatu suku, keyakinan, simbol, perayaan, dan cara komunikasi tradisional, penciptaan, penyimpanan, penanganan, komunikasi, pelestarian dan pengarsipan data, informasi dan pengetahuan, menggunakan teknologi. Sebuah elemen penting dari pemahaman literasi informasi adalah kesadaran tentang bagaimana faktor budaya berdampak secara positif maupun negatif dalam hal penggunaan informasi modern dan teknologi komunikasi
6. Information literacy, erat kaitannya dengan pembelajaran untuk belajar, dan berpikir kritis, yang menjadi tujuan pendidikan formal, tapi sering tidak terintegrasi ke dalam kurikulum, silabus dan rencana pelajaran, kadang-kadang dibeberapa negara lebih sering menggunkan istilah information competencies atau information fluency atau bahkan istilah lain.
2.2.Pengertian Pendidikan Karakter
a.    Pengertian Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter merupakan upaya penyadaran dari seorang guru untuk mengajarkan nilai-nilai kepada  para siswanya.  Upaya itu tidak hanya dilakukan oleh para guru tetapi intervensi secara lagsung dari pemerintah. Tindakan proaktif itu bertujuan untuk membantu peserta didik mengembangkan inti pokok dari nilai-nilai etis dan nilai-nilai kinerja seperti kerajinan, kejujuran, kepedulian, fairness, keuletan dan lain sebagainya.  Menurut Burke pendidikan karakter merupakan bagian dari pembelajaran yang baik dan merupakan bagian yang fundamental dari pendidikan yang baik (Muchlas Samani dan Hariyanto,2013: 43).
Pendidikan karakter juga dapat didefinisikan sebagai pendidikan yang mengembangkan karakter yang mulia (good character) dari peserta didik dengan mempraktikkan  dan mengajarkan nilai-nilai moral. Nilai moral di sini dijadikan sebagai rujukan atau implementasi dan orientasi dari pendidikan itu sendiri. Anne Lockwood pada tahun 1997 mendefiniskan pendidikan karakter  sebagai aktivis berbasis sekolah yang mengungkap secara sistematis bentuk perilaku dari peserta didik.
Pendidikan karakter mempunyai kaitan erat dengan komponen-komponen: pengetahuan moral tradisi, penalaran moral, belas kasih dan altruisme, serta kecenderungan moral. Lickona (Kirschenbaum, 1995:28) menggambarkan kecenderungan moral meliputi berhati nurani, mencintai kebaikan, dapat menguasai diri, rendah hati, kebiasaan moral dan kehendak baik (will). Lickona (www.cortland.edu/character/articles) juga mengatakan bahwa pendidikan karakter adalah upaya mengembangkan kebajikan sebagai fondasi dari kehidupan yang berguna, bermakna, produktif dan fondasi untuk masyarakat yang adil, penuh belas kasih dan maju. Karakter yang baik meliputi tiga komponen utama, yaitu: moral knowing, moral feeling, moral action.
Zuchdi (2010:35) mengatakan bahwa pendidikan karakter bersifat menyeluruh atau komprehensif, menyangkut banyak aspek yang terkait menjadi satu kesatuan. Pendidikan karakter yang bertumpu pada strategi tunggal sudah tidak memadai untuk dapat menjadikan peserta didik memiliki moral yang baik. Oleh karena itu, diperlukan berbagai pendekatan yang oleh Kirschenbaum disebut pendekatan komprehensif. Istilah komprehensif dalam pendidikan karakter mencakup berbagai aspek: isi, metode, proses, subjek, evaluasi. Zuriah (2008:27) secara lebih terperinci  mengatakan bahwa isi atau materi pendidikan karakter dapat dikelompokkan ke dalam tiga hal nilai akhlak, yaitu akhlak terhadap Tuhan Yang Maha Esa (mengenal Tuhan sebagai pencipta dan sifat-sifat-Nya, beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa, meminta tolong kepada-Nya), akhlak terhadap sesama (diri sendiri, orang tua, orang yang lebih tua, teman sebaya, orang yang lebih muda), dan akhlak terhadap lingkungan (alam baik flora maupun fauna dan sosial masyarakat.
b.      Ciri dan Prinsip Dasar Pendidikan Karakter
Menurut Foerster ada empat (4) ciri dasar dalam pendidikan karakter (Masnur Muslich,2011: 128). Keempat ciri itu adalah demikian. Pertama, keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasarkan hirarki nilai. Kedua, koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut resiko. Koherensilah yang membangun rasa percaya satu sama lain. Ketiga, otonomi. Otonomi berarti seseorang mengintegrasikan nilai-nilai yang diajarkan menjadi nilai-nilai bagi diri sendiri. Keempat, keteguhan dan kesetian.
Sedangkan prinsip dasar dari pendidikan karakter adalah demikian. Lickona dkk menemukan sebelas (11) prinsip agar pendidikan karakter dapat berjalan atau dilaksanakan dengan efektif (Masnur Muslich,2011: 129). Kesebelas prinsip itu adalah demikian:
1.      Kembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi karakter yang baik
2.      Definisikan karakter secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan dan perilaku
3.      Gunakan pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif dalam pengembangan karakter
4.      Ciptakan situasi sekolah yang penuh perhatian
5.      Berikan siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral
6.      Buat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil
7.      Usahakan mendorong motivasi diri siswa
8.      Libatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran moral yang berbagi tanggung jawab dalam pendidikan karakter dan upaya untuk mematuhi nilai-nilai inti yang sama yang membimbing pendidikan siswa
9.      Tumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral
10.  Libatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya membangun karakter
11.  Evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauh mana peserta didik memanifestasi karakter yang baik.

c.    Fungsi dan Nilai dalam Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter memiliki manfaat yang besar bagi semua masyarakat umum dan secara khusus bagi peserta didik. Adapun tujuan dari pendidikan karakter adalah sebagai berikut ():
1)      Mengemabangkan potensi dasar agar berhati baik, berperilaku baik, dan berpikiran baik
2)      Memperuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur
3)      Meningkatkan peradaban bangsa yang kompotitif dalam pergaulan dunia
Selain fungsi di atas, pendidikan karakter juga memiliki 18 nilai. Nilai-nilai itu adalah:
a)      Religius
b)      Jujur
c)      Toleransi
d)     Disiplin
e)      Kerja Keras
f)       Kreatif
g)      Mandiri
h)      Demokratis
i)        Rasa ingin tahu
j)        Semangat kebangsaan
k)      Cinta Tanah Air
l)        Gemar membaca
m)    Peduli Lingkungan
n)      Peduli Sosial
o)      Tanggung Jawab

d.         Sasaran Pendidikan Karakter
Menurut Ryan dan Bohlin (1999:5) mengatakan bahwa karakter mengandung tiga unsur pokok,  sasaran dalam pendidikan karakter adalah moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling (perasaan tentang moral) ,dan moral action (perbuatan moral). Ketiga komponen ini sangat penting dalam pendidikan karakter. Ketiganya dapat dijelaskan demikian. Pertama,  moral knowing merupakan hal yang penting untuk diajarkan. Ada enam poin yang berkaitan dengan hal ini yakni: kesadaran moral (moral awareness), knowing moral values (mengetahui nilai-nilai moral), perspectif taking, moral reasoning, decision making, dan self knowledge.
Kedua, moral feeling adalah aspek lain yang harus ditanamkan pada anak yang merupakan sumber energy dari diri untuk bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip moral yang ada. Ada enam (6) hal yang harus mampu dirasakan oleh seseorang untuk menjadi manusia yang berkarakter, yaitu: nurani, percaya diri, empati, mencintai kebenaran, control diri, dan humility (kerendahan hati).
Ketiga, moral action (perbuatan moral) adalah bagaimana membuat pengetahuan moral dapat diimpelmentasikan menajadi tindakan nyata. Perbuatan tindakan itu merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik maka harus dilihat tiga (3) aspek lain dari karakter yaitu kompetensi (competence), keinginan (will), dan kebiasaan (habit).


e.    Faktor Berpengaruh Dalam Pendidikan Karakter
Faktor-faktor yang berpengaruh dalam pendidikan karakter yang harus diperhatikan oleh kita adalah:
a)      Guru
b)      Selebriti
c)      Pejabat
d)     Toko Masyarakat
e)      Teman Sejawat
f)       Orangtua
g)      Media Cetak
h)      Media Elektronik
Faktor yang disebutkan di atas merupakan orang atau figur dan alat yang menjadi panutan atau sosok yang menjadi inspirasi bagi peserta didik untuk bertindak dan juga dapat mengugah kesadaran mereka sebagai manusia serta sarana pembelajaran bagi peserta didik untuk bertindak dan memimesis figur dan gaya hidup yang dijumpai. Ini semua menjadi indikasi bagi peserta didik untuk belajar banyak hal.

2.2.1.      Teori Motivasi
2.2.1.1. Pengertian Motivasi

Motivasi berasal dari kata latin “movere” yang berarti “dorongan” atau daya penggerak. Motivasi adalah daya pendorong yang mengakibatkan seseorang anggota organisasi mau dan rela untuk mengerahkan kemampuan dalam bentuk keahlian atau ketrampilan tenaga dan waktunya untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dan menunaikan kewajibannya, dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi yang telah ditentukan sebelumnya (Siagian 2003:138). Motivasi merupakan hasrat di dalam seseorang yang menyebabakan orang tersebut melakukan tindakan (Mathis 2006 : 89).
Motivasi adalah sekelompok faktor yang menyebabkan individu berperilaku dalam cara-cara tertentu (Grifin 2003:38). Motivasi merujuk pada kekuatan-kekuatan internal dan eksternal seseorang yang membangkitkan antusiasme dan perlawanan untuk melakukan serangkaian tindakan tertentu. Dalam dunia kerja motivasi dari seorang manager sangat penting bagi karayawannya. Hal itu dilakukan sebagai penyemangat kerja atau meningkatkan kinerja karyawan. Dalam hal ini motivasi menjadi pengauh yang positif terhadap para karyawan. Dalam dunia pendidikan juga motivasi menjadi tempat penting di mana peserta didik menjadi semangat apabila adanya motivasi. Motivasi bisa saja datang dari diri sendiri dan juga para guru atau Kepala Sekolah.
Dari pendapat para ahli diambil kesimpulan motivasi adalah berbagai usaha yang dilakukan oleh manusia tentunya untuk memenuhi keinginan dan kebutuhannya. Namun, agar keinginan dan kebutuhannya dapat terpenuhi tidaklah mudah didapatkan apabila tanpa usaha yang maksimal. Dalam pemenuhan kebutuhannya, seseorang akan berperilaku sesuai dengan dorongan seseorang akan berperilaku sesuai dengan dorongan yang dimiliki dan apa yang mendasari perilakunya.
2.2.1.2. Teori Motivasi
a.      Teori “Tiga Kebutuhan”
Teori ini dikemukakan oleh Siagian (2004 : 167. Ia menyatakan bahwa inti teori ini terletak pada pendapat yang mengatakan bahwa pemahaman tentang motivasi akan semakin mendalam apabila disadari bahwa setiap orang mempunyai tiga jenis kebutuhan, yaitu:
a. Kebutuhan akan berprestasi (Need for Achievement)
b. Kebutuhan akan kekuasaan (Need for Power)
c. Kebutuhan afiliasi (Need for Affiliation)
b. Indikator Motivasi Kerja
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan indikator motivasi dari teori Maslow. Teori hirarki kebutuhan dari Abraham Maslow menurut Sofyandi dan Garniwa (2007 : 102). terdiri dari:
1. Kebutuhan fisiologis (Physiological-need)
Kebutuhan Fisiologis Kebutuhan fisiologis merupakan hirarki kebutuhan manusia yang paling dasar yang merupakan kebutuhan untuk dapat hidup seperti makan, minum, perumahan, oksigen, tidur dan sebagainya.
2. Kebutuhan rasa aman (Safety-need)
Apabila kebutuhan fisiologis relatif sudah terpuaskan, maka muncul kebutuhan yang kedua yaitu kebutuhan akan rasa aman. Kebutuhan akan rasa aman ini meliputi keamanan akan perlindungan dari bahaya kecelakaan kerja, jaminan akan kelangsungan pekerjaannya dan jaminan akan hari tuanya pada saat mereka tidak lagi bekerja.
3. Kebutuhan sosial (Social-need)
Jika kebutuhan fisiologis dan rasa aman telah terpuaskan secara minimal, maka akan muncul kebutuhan sosial, yaitu kebutuhan untuk persahabatan, afiliasi dana interaksi yang lebih erat dengan orang lain. Dalam organisasi akan berkaitan dengan kebutuhan akan adanya kelompok kerja yang kompak, supervisi yang baik, rekreasi bersama dan sebagainya.
4. Kebutuhan penghargaan (Esteem-need)
Kebutuhan ini meliputi kebutuhan keinginan untuk dihormati, dihargai atas prestasi seseorang, pengakuan atas kemampuan dan keahlian seseorang serta efektifitas kerja seseorang.
5. Kebutuhan aktualisasi diri (Self-actualization need)
Aktualisasi diri merupakan hirarki kebutuhan dari Maslow yang paling tinggi. Aktualisasi diri berkaitan dengan proses pengembangan potensi yang sesungguhnya dari seseorang. Kebutuhan untuk menunjukkan kemampuan, keahlian dan potensi yang dimiliki seseorang. Malahan kebutuhan akan aktualisasi diri ada kecenderungan potensinya yang meningkat karena orang mengaktualisasikan perilakunya. Seseorang yang didominasi oleh kebutuhan akan aktualisasi diri senang akan tugas-tugas yang menantang kemampuan dan keahliannya.

c.Motivasi Peserta didik
            Motivasi merupakan kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Apabila kondisi psikologis seseorang baik maka dengan sendirinya motivasi untuk melakukan sesuatu juga akan baik. Dalam hal pembelajaran tentu perlu menjadi perhatian oleh pendidik karena tidak semua peserta datang ke sekolah dengan kondisi psikologis yang sama karena ada pengaruh internal dan eksternal peserta didik itu sendiri.Untuk itu, dalam perencanaan pembelajaran seorang pendidik perlu merancang sebuah strategi pembelajaran yang mampu memotivasi belajar peserta didik.
            Menurut Agusrida motivasi belajar merupakan kekuatan (power motivation), daya pendorong (driving force), atau alat pembangun kesediaan dan keinginan yang kuat dalam diri peserta didik untuk belajar secara aktif, kreatif, efektif, inovatif, dan menyenangkan dalam perubahan perilaku, baik dalam aspek kognitif, afektif, maupun psikomotor. Agar motivasi belajar tesebut dimiliki oleh peserta didik maka dituntut kepiawaian guru dalam menentukan strategi yang tepat dalam pembelajaran sehingga mampu menumbuhkan motivasi belajar peserta didik. Apabila peserta didik sudah termotivasi untuk belajar dengan sendirinya akan berdampak terhadap proses dan hasil pembelajaran yang diharapkan serta dapat dijadikan dasar mengetahui ketercapaian tujuan pembelajaran oleh peserta pendidik.

d.      Strategi Menumbuhkan Motivasi Peserta Didik

Menurut Pupuh Fathurrohman dan M. Sorby Sutikno (2010) bahwa motivasi dapat dibagi dua. Pertama motivasi intrinsik, yaitu motivasi yang timbul dari dalam diri peserta didik tanpa ada paksaan dari dorongan orang lain. Kedua motivasi ekstrinsik, yaitu motivasi yang timbul sebagai akibat pengaruh dari luar peserta didik. Hal ini bisa timbul karena ajakan, suruhan, atau paksaan dari orang lain (pendidik) sehingga dengan keadaan tersebut peserta didik mau melakukan sesuatu atau belajar.
Pendapat tersebut menegaskan bahwa dalam pembelajaran motivasi ektrinsik sangat dibutuhkan oleh peserta didik, seperti hadiah (reward), kompetensi sehat antarpeserta didik, pemberian nasehat, dan pemberian hukuman (funishment). Adanya motivasi dari luar sebagaidorungan untuk diri peserta didik merupakan sebuah kemutlakan harus dilkukan guru jika menginginkan peserta didiknya mencapai keberhasilan dalam pembelajaran. Lain halnya dengan peserta didik yang memiliki motivasi intrinsik karena mereka dengan kesadaran sendiri ingin belajar dan memperhatikan penjelasan guru dalam pembelajaran, karena keingintahuannya dalam pembelajaran tinggi sehingga sulit terpengaruh oleh gangguan yang ada di sekitarnya.
Motivasi belajar yang dimiliki peserta didik berfungsi sebagai alat pendorong terjadinya prilaku belajar peserta didik, alat untuk mempengaruhi prestasi belajar peserta didik, alat untuk memberikan direksi terhadap pencapaian tujuan pembelajaran, dan alat untuk membangun sistem pembelajaran yang bermakna. Oemar Hamalik (2002) secara umum menyebutkan tiga fungsi motivasi, yaitu:
1. Mendorong manusia untuk berbuat (sebagai penggerak) yang merupakan langkah penggerak dari setiap kegiatan.
2. Menentukan arah perbuatan, yakni kearah tujuan yang hendak dicapai sehingga dapat memberikan arah dan kegiatan yang harus dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuannya.
3. Menyeleksi perbuatan, yakni menetukan perbuatan-perbuatan yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut.
Berdasarkan pendapat tersebut dapat diketahui bahwa motivasi berfungsi sebagai pendorong, pengarah, dan sekaligus sebagai penggerak prilaku seseorang untuk mencapai suatu tujuan. Begitu juga halnya dalam pencapaian tujuan pembelajaran, guru merupakan faktor yang penting untuk mengusahakan terlaksananya fungsi-fungsi tersebut dengan cara dan strategi yang tepat untuk menumbuhkan motivasi belajar peserta didik.
Strategi menumbuhkan motivasi belajar peserta didik sangat ditentukan oleh perencanaan yang dibuat guru dalam pembelajaran. Dengan strategi motivasi yang tepat akan mampu memberikan kesuksesan dalam pembelajaran. Sebagaimana yang dikemukakan Wina Sanjaya (2006), bahwa strategi digunakan untuk memperoleh kesuksesan atau keberhasilan dalam mencapai tujuan.
Pupuh Fathurohman dan M. Sobry Suntikno (2010) menyatakan ada beberapa strategi untuk menumbuhkan motivasi belajar peserta didik, yaitu:
1. Menjelaskan tujuan belajar ke peserta didik
Pada permulaan belajar mengajar, terlebih dahulu seorang guru menjelaskan tentang tujuan yang akan dicapai dalam pembelajaran kepada siswa. Makin jelas tujuan yang akan dicapai peserta didik maka makin besar juga motivasi dalam melaksanakan kegiatan belajar.
2. Memberikan hadiah (reward)
Memberikan hadiah kepada peserta didik yang berprestasi. Hal ini akan memacu semangat peserta didik untuk bisa belajar lebih giat lagi. Di samping itu, peserta didik yang belum berprestasi akan termotivasi untuk bisa mengejar peserta didik yang berprestasi.
3. Memunculkan saingan atau kompetensi
Guru berusaha mengadakan persaingan di antara peserta didik untuk meningkatkan prestasi belajarnya, dan berusaha memperbaiki hasil prestasi yang telah dicapai sebelumnya.
4. Memberikan pujian
Memberikan pujian atau penghargaan kepada peserta didik yang berprestasi sudah sepantasnya dilakukan oleh guru yang bersifat membangun.
5. Memberikan hukuman
Hukuman diberikan kepada siswa yang berbuat kesalahan saat proses belajar mengajar. Hukuman ini diberikan dengan harapan agar peserta didik tersebut mau mengubah diri dan beruaha memacu motivasi belajarnya.
6. Membangkitkan dorongan kepada peserta didik untuk belajar
Kegiatan yang dilakukan guru adalah memberikan perhatian maksimal kepada peserta didik selama proses pembelajaran berlangsung.
7. Membentuk kebiasaan belajar yang baik
Guru menanamkan pembiasaan belajar yang baik dengan disiplin yang terarah sehingga peserta didik dapat belajar dengan suasana yang kondusif.
8. Membantu kesulitan belajar peserta didik, baik secara individual maupun komunal (kelompok)
9. Menggunakan metode yang bervariasi
Dalam pembelajaran, metode konvensional harus sudah ditinggalkan guru karena peserta didik memiliki karakteristik yang berbeda sehingga dibutuhkan metode yang tepat/bervariasi dalam memberdayakan kompetensi peserta didik.
10. Menggunakan media yang baik serta harus sesuai dengan tujuan pembelajaran.
Penggunaan media yang tepat sangat membantu dan memotivasi peserta didik dalam memaknai pembelajaran sesuai tujuan pembelajaran yang hendak dicapai. Adanya media yang tepat akan mampu memediasi peserta didik yang memiliki kemampuan indera yang tidak sama, baik pendengaran maupun penglihatannya, demikian juga kemampuan berbicaranya. Dengan variasi penggunaan media, kelemahan indera yang dimiliki tiap peserta didik dapat dikurangi dan dapat memberikan stimulus terhadap indera peserta didik.

Adanya strategi di atas, menuntut kesiapan guru sebagai perancang pembelajaran untuk mampu mengimplementasikannya dalam kegiatan proses belajar mengajar. Guru harus mampu meninggalkan kebiasaan-kebiasaan pembelajaran yang dimonopoli oleh guru itu sendiri (teacher sentre). Karena guru dalam melaksanakan peranya sebagai pendidik, pengajar pemimpin, administrator, harus mampu melayani peserta didik yang dilandasi kesadaran (awarreness), keyakinan (belief), kedisiplinan (discipline) dan tanggung jawab (responsibility) secara optimal sehingga memberikan pengaruh positif terhadap perkembangan peserta didik secara optimal baik fisik maupun phisikis.
Perkembangan peserta didik secara optimal akan terlihat bagaiman sang guru mampu menumbuhkan motivasi pada diri peserta didik dalam pembelajaran. Guru yang tidak mampu menumbuhkan motivasi peserta didik berarti sang guru kurang memahami strategi yang tepat dalam pembelajaran.

e.             Tujuan Motivasi Peserta Didik dalam Belajar
Sardiman A.M, mengemukakan tiga fungsi motivasi, yaitu:
1.      Mendorong manusia untuk berbuat baik, yakni sebagai penggerak atau motor yang melepaskan energi.
2.      Menentukan arah perubahan, yakni kearah tujuan yang hendak dicapai.
3.      Menyeleksi perbuatan, yakni perbuatan-perbuatan apa yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut. 
Jadi, motivasi itu diberikan untuk :
a.       Membangkitkan minat belajar siswa
b.      Memberikan kesempatan kepada siswa dalam memperoleh hasil yang lebih baik.
c.       Memberikan penguatan kepada siswa.
d.      Melaksanakan evaluasi.
Fungsi motivasi sebagai pendorong usaha dalam mencapai prestasi, karena seseorang melakukan usaha harus mendorong keinginannya, dan menentukan arah perbuatannya kearah tujuan yang hendak dicapai.  Sehingga siswa dapat menyeleksi perbuatan untuk menentukan apa yang harus dilakukan yang bermanfaat  bagi tujuan yang hendak dicapainya.

2.2.2.      Pengertian Nasionalisme
a.      Pengertian
Menurut Ritter (1986: 286), Nasionalisme berasal dari kata “Nation” dalam bahasa Latin natio, yang dikembangkan dari kata nascor (saya dilahirkan), maka pada awalnya nation (bangsa) dimaknai sebagai “sekelompok orang yang dilahirkan di suatu daerah yang sama” (group of people born in the same place). Kata ‘nasionalisme’ menurut Abbe Barruel untuk pertama kali dipakai di Jerman pada abad ke-15, yang diperuntukan bagi para mahasiswa yang datang dari daerah yang sama atau berbahasa sama, sehingga mereka itu (di kampus yang baru dan daerah baru) tetap menunjukkan cinta mereka terhadap bangsa/suku asal mereka. Nasionalisme pada mulanya terkait dengan rasa cinta sekelompok orang pada bangsa, bahasa dan daerah asal usul semula. Rasa cinta seperti itu dewasa ini disebut semangat patriotisme. Jadi pada mulanya nasionalisme dan patriotisme itu sama maknanya.  
Menurut Mulyana, nasionalisme dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mencintai bangsa dan negara. Nasionalisme atau kebangsaan bukan sekedar instrumen yang berfungsi sebagai perekat kemajemukan secara eksternal, namun juga merupakan wadah yang menegaskan identitas Indonesia yang bersifat plural dalam berbagai dimensi kulturalnya. Nasionalisme menuntut adanya perwujudan nilai-nilai dasar yang berorientasi kepada kepentingan bersama dan menghindarkan segala legalisasi kepentingan pribadi yang merusak tatanan kehidupan bersama (dalam Anggraeni Kusumawardani & Faturochman,2004: 66).
Cinta tanah air adalah cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bangsa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsanya. Menurut Kodiran (dalam Anggraeni Kusumawardani & Faturochman,2004: 71) karakteristik dari nasionalisme yang dimiliki seseorang digambarkan oleh beberapa ahli dengan menunjukkan sikap-sikap tertentu yang bermanfaat bagi diri dan lingkungannya. Kodiran  menyebutkan bahwa hasrat-hasrat untuk berprestasi, berencana, bertanggung jawab, keterbukaan, kemandirian, kehormatan, rasionalitas dan keadilan merupakan sendi-sendi utama dalam kualitas berbangsa dan bernegara seorang warga negara.

b.       Makna Nasionalisme
            Boyd Shafer (1955: 6) mengatakan bahwa nasionalisme itu multi makna, hal tersebut tergantung pada kondisi objektif dan subjektif dari setiap bangsa. Oleh sebab itu nasionalisme dapat bermakna sebagai berikut: 
(1) Nasionalisme adalah rasa cinta pada tanah air, ras, bahasa atau budaya yang sama, maka dalam hal ini nasionalisme sama dengan patriotisme. 
(2) Nasionalisme adalah suatu keinginan akan kemerdekaan politik, keselamatan dan prestise bangsa. 
(3) Nasionalisme adalah suatu kebaktian mistis terhadap organisme sosial yang kabur, kadang-kadang bahkan adikodrati yang disebut sebagai bangsa atau Volk yang kesatuannya lebih unggul daripada bagian-bagiannya. 
4) Nasionalisme adalah dogma yang mengajarkan bahwa individu hanya hidup untuk bangsa dan bangsa demi bangsa itu sendiri.
 (5) Nasionalisme adalah doktrin yang menyatakan bahwa bangsanya sendiri harus dominan atau tertinggi di antara bangsa-bangsa lain dan harus bertindak agresif.      
Kendati ada beragam definisi tentang nasionalisme, Hans Kohn (1971: 9) menggaris bawahi bahwa esensi nasionalisme adalah sama, yaitu ” a state of mind, in which the supreme loyality of the individual is felt to be due the nation state” (sikap mental, di mana kesetiaan tertinggi dirasakan sudah selayaknya diserahkan  kepada negara bangsa).
c.       Peran Nasionalisme
Nasionalisme dipandang dalam aspek ideology, maka di dalamnya terkandung aspek: (1) cognitive; (2) goal/value orientation; (3) stategic. Aspek cognitive mengandaikan perlunya pengetahuan atau pemahaman akan situasi konkret sosial, ekonomi, politik dan budaya bangsanya. Jadi nasionalisme adalah cermin abstrak dari keadaan kehidupan konkret suatu bangsa. Maka peran aktif kaum intelektual dalam pembentukan semangat nasional amatlah penting, sebab mereka itulah yang harus merangkum kehidupan seluruh anak bangsa dan menuangkannya sebagai unsur cita-cita bersama yang ingin diperjuangkan. Cendikiawan Soedjatmoko menyebut nasionalisme tidak bisa tidak adalah nasionalisme yang cerdas karena nasionalisme itu harus disinari oleh kebijaksanaan, pengertian, pengetahuan dan kesadaran sejarah (Soedjatmoko, 1991: 29-30) .  
Aspek goal menunjuk akan adanya cita-cita, tujuan ataupun harapan ideal bersama di masa datang yang ingin diwujudkan atau diperjuangkan di dalam masyarakat dan negara. Cita-cita itu mencakup seluruh aspek kehidupan manusia baik sosial, ekonomi, politik, ideologi, budaya, dll. yang disepakati bersama. Dalam hal ini nasionalisme Indonesia mula-mula berjuang untuk mengusir penjajah Belanda, merontokan feodalisme, primordialisme dan membentuk negara bangsa (nation state) yang merdeka, sejahtera dan demokratis, sebagai rumah bersama untuk seluruh warga bangsa dari Sabang sampai Meraoke. Negara bangsa Indonesia adalah rumah bersama di mana  kebhinnekaan suku, budaya, agama dan tradisi dijamin sehingga semua warga bangsa dapat hidup damai, sejahtera dan bebas.      
 Aspek strategic menuntut adanya kiat perjuangan kaum nasionalis dalam perjuangan mereka untuk mewujudkan cita-cita bersama, dapat berupa perjuangan fisik atau diplomasi, moril atau spirituil, dapat bersifat moderat atau radikal, dapat secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan, dan lain-lain. Kiat mana yang dipilih akan tergantung pada situasi, kondisi konkret dan waktu setempat yang dihadapi oleh suatu bangsa. Bagi bangsa Indonesia, masa revolusi memang harus berjuang secara fisik dan diplomatis untuk melawan penjajah Belanda, tetapi sekarang setelah merdeka nasionalisme bukan lagi untuk melawan penjajah tetapi mengisi kemerdekaan dengan membasmi korupsi, menghilangkan kebodohan dan kemiskinan, menegakan demokrasi, membela kebenaran dan kejujuran agar masyarakat madani dapat diwujudkan, di mana setiap warga bangsa sungguh dapat mewujudkan cita-citanya. Sartono Kartodirdja (1972: 65-67), menambahkan, nasionalisme harus mengandung aspek affective, yaitu semangat solidaritas, unsur senasib, unsur kebersamaan dalam segala situasi sehingga  seluruh warga bangsa sadar akan kebangsaannya.  
Lebih lanjut Sartono Kartodirdjo (1999: 13) menyatakan bahwa masyarakat Indonesia pasca-revolusi apa lagi pasca-reformasi masih menuntut nasionalisme sebagai faktor pemicu dalam proses konsolidasi orde sosial-politik yang dibingkai oleh negara bangsa, terutama jika nasionalisme itu benar-benar disertai dengan kelima prinsip utamanya, yakni menjamin kesatuan (unity) dan persatuan bangsa, menjamin kebebasan (liberty) individu ataupun kelompok, menjamin adanya kesamaan (equality) bagi setiap individu, menjamin terwujudnya kepribadian (personality), dan prestasi (performance) atau keunggulan bagi masa depan bangsa. Selama kelima pilar nasionalisme tersebut masih ada maka nasionalisme akan tetap relevan dan terus dibutuhkan oleh setiap bangsa, dan lagi nasionalisme akan terus berkembang, dinamis sesuai dengan tuntutan jaman serta kebutuhan bangsa yang bersangkutan. Oleh sebab itu wajah nasionalisme dari waktu ke waktu dapat saja berubah dan berkembang, sakalipun esensi dan unsur pokok tetaplah sama.
Benedict Anderson juga menekankan tetap pentingnya nasionalisme bagi bangsa Indonesia, dalam pengertian tradisional. Salah satu yang mendesak di Indonesia dewasa ini adalah adanya apa yang disebut sebagai “defisit nasionalisme”, yakni semakin berkurangnya semangat nasional, lebih-lebih di kalangan mereka yang kaya dan berpendidikan (Anderson, 2001: 215) . Untuk itu Anderson menganjurkan pentingnya ditumbuhkan kembali semangat nasionalis sebagaimana yang dulu hidup secara nyata di kalangan para pejuang pergerakan dan revolusi. Ia mengusulkan dibinanya semangat “nasionalisme kerakyatan” yang sifatnya bukan elitis melainkan memihak ke masyarakat luas, khususnya rakyat yang lemah dan terpinggirkan. Salah satu ciri pokok dari nasionalisme kerakyatan itu adalah semakin kuatnya rasa kebersamaan senasib dan sepenanggungan sebagai bangsa (Anderson, 2001: 214-215). Senada dengan itu, sejarawan Taufik Abdullah (Kompas, 18 Agustus 2007) menambahkan bahwa nasionalisme saat ini yang dibutuhkan adalah nasionalisme solidaritas sosial, yaitu kepedulian dan rasa tanggungjawab antara warga bangsa karena mulai pudar di masyarakat maupun elite politik.

2.3. Kerangka Berpikir Penelitian

Gerekan literaasi

Pendidikan karakter

Motivasi peserta didik

Nasionalisme
 


















BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Rancangan Penelitian
            Jenis penelitian yang digunakan dalam penulis dalam penelitian ini adalah penjelasan (explanatory). Maksud dari penjelasan itu  yaitu peneliti berusaha menjelaskan hubungan kausal yang terjadi antara variabel-variabel penelitian dan menguji hipotesa yang telah dirumuskan (Singarimbun, 2005:3).
            Explanatory research atau penelitian penjelasan berusaha untuk menjelaskan hubungan antara variabel-variabel melalui pengujian hopotesis, untuk menjelaskan pengaruh variabel gerakan literasi, pendidikan karakter, motivasi peserta didik sebagai variabel bebas terhadap peningkatan rasa nasionalisme sebagai variabel terikat.
3.2.   Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah keterkaitan antara komponen gerakan literasi, pendidikan karakter, motivasi peserta didik terhadap peningkatan rasa nasionalisme di SMPK Marsudi Siwi- Malang.
3.3. Lokasi Penelitian
Penulis akan melakukan penelitian dengan judul proposal ini di Sekolah Menengah Pertama Katolik Marsudi Siwi-Malang. SMPK Marsudi Siwi bertempat di Jl. Candi Kalasan no.10 Blimbing-Malang-Jawa Timur.

3.4.    Variabel Penelitian
            Definisi variabel menurut Sugiyono (2010: 38) adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari obyek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang diterapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik sebuah kesimpulan. Dalam penelitian yang akan dilakukan penulis terdiri dari dua variabel, yaitu: variabel bebas (variabel independen) dan variabel terikat (variabel independen). Adapun penjelasan dari masing-masing variabel itu adalah demikian:
1.      Klarifikasi Variabel-variabel
a.      Variabel Bebas (X)
Menurut Sugiyono (2010: 39), variabel independen adalah variabel yang mempengaruhi suatu yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen (terikat). Pada penelitian ini yang menjadi variabel bebas adalah:
1.      Gerakan Literasi (X1)
2.      Pendidikan Karakter (X2)
3.      Motivasi Peserta Didik (X3)

b.      Variabel Terikat (Y)
Pengertian dari variabel terikat menurut Sugiyono (2010: 39) adalah variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat karena adanya variabel independen (bebas). Pada penelitian ini yang menjadi variabel terikat atau dependen adalah Peningkatan Rasa Nasionalisme.
2.      Defenisi  konseptual Variabel
1.      Gerakan Literasi
Gerakan literasi adalah kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas, antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis, dan berbicara (Kemendikbud 2016:2).

2.      Pendidikan Karakter
Menurut Zuchdi (2010:35) pendidikan karakter bersifat menyeluruh atau komprehensif, menyangkut banyak aspek yang terkait menjadi satu kesatuan. Pendidikan karakter yang bertumpu pada strategi tunggal sudah tidak memadai untuk dapat menjadikan peserta didik memiliki moral yang baik.



3.      Motivasi Peserta Didik
Motivasi adalah sekelompok faktor yang menyebabkan individu berperilaku dalam cara-cara tertentu. Motivasi merujuk pada kekuatan-kekuatan internal dan eksternal seseorang yang membangkitkan antusiasme dan perlawanan untuk melakukan serangkaian tindakan tertentu  (Grifin 2003:38).
4.      Rasa nasionalisme
Menurut Mulyana, nasionalisme dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mencintai bangsa dan negara. Nasionalisme atau kebangsaan bukan sekedar instrumen yang berfungsi sebagai perekat kemajemukan secara eksternal, namun juga merupakan wadah yang menegaskan identitas Indonesia yang bersifat plural dalam berbagai dimensi kulturalnya. Nasionalisme menuntut adanya perwujudan nilai-nilai dasar yang berorientasi kepada kepentingan bersama dan menghindarkan segala legalisasi kepentingan pribadi yang merusak tatanan kehidupan bersama (dalam Anggraeni Kusumawardani & Faturochman,2004: 66).

3.      Defenisi oprasional variabel
1.      Gerakan literasi
Gerakan literasi merupakan sebuah gerakan untuk meningkatkan minat belajar peserta didik secara komprehensif. Gerekan literasi dengan indikatornya adalah sebagai berikut:
Ø  Membaca
Ø  Menulis
Ø  Visualisasi

2.      Pendidikan Karakter
Pendidikan Karakter merupakan sebuah upaya untuk menumbuhkembangkan kesadaran peserta didik untuk mepraktikkan kehidupan dnegan nilai-nilai angung yang diajarkan. Hal ini sebagai upaya dilakukannya revolusi mental. Indikator dari pendidikan karakter adalah:
Ø  Pengetahuan Moral
Ø  Gotong Royong
Ø  Nilai-nilai Pancasilais

3.      Motivasi Peserta didik
Motivasi peserta didik merupakan sebuah tindakan untuk memberikan dorongan atau dukungan kepada diri sendiri atau orang lain untuk melakukan sesuatu hal. Indikator dari motivasi peserta didik adalah demikian:
Ø  Kebutuhan aktualisasi diri
Ø  Kebutuhan Sosial
Ø  Kebutuhan rasa aman
Ø  Kebutuhan Fisiologis
Ø  Penghargaan

4.      Rasa Nasionalisme
Rasa Nasionalisme merupakan tindakan cinta akan tanah air. Cinta akan tanah air dapat ditunjukkan secara langsung dalam tindakan praktis kita. Cinta akan tanah air lahir dari ekspresi bangga seseorang akan Negaranya, ingin memajukan Negara, dan menjauhkan diri dari konflik kehidupan. Indikator dari rasa nasionalisme adalah:
Ø    Cinta tanah air
Ø    Persatuan dan kesatuan
Ø    Kemanusiaan
3.5.   Jenis dan Sumber Data
              Sumber data adalah segala sesuatu yang menjelaskan tentang dari mana data diperoleh. Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari peserta didik dan Guru-guru di SMPK MARSUDISIWI Malang yang berupa pengumpulan kuisioner dan data-data yang diterbitkan. Sedangkan jenis data yang dipergunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah data primer, yaitu data diperoleh dari penyebaran kuisioner kepada responden dimana pertanyaan terlebih dahulu disediakan oleh peneliti.
              Dalam rangka mendukung data penelitian, di samping melalui kuisioner, peneliti mendapatkan data administratif dari dokumen-dokumen pada sekolah atau lembaga tempat penulis teliti, seperti dokumen laporan dan buku-buku yang berkaitan dengan pokok masalah dalam penelitian ini.




3.6.   Instrumen Penelitian
              Instrumen ini menggunakan kuisioner sebagai instrument pengumpulan data yang dimaksudkan untuk memperoleh data deskriptif dalam menguji hipotesis. Data diperoleh dengan menggunakan kuisioner yang bersifat tertutup yaitu pertanyaan dibuat sedemikian rupa sehingga responden dibatasi dalam memberi jawaban pada beberapa alternatif saja atau pada satu jawaban saja (Nasir, 2008:46). Item skala penilaian ini disusun berdasarkan skala Likert. Skor yang dipakai adalah 5, 4, 3, 2, 1 yang diterapkan secara bervariasi sesuai kategori pertanyaan dengan skor jawaban.

1. Sangat setuju, dengan skor                         5
2. Setuju, dengan skor                                                4
3. Netral, dengan skor                                     3
2. Tidak setuju, dengan skor                           2
1. Sangat tidak setuju, dengan skor                1
























Tabel  1.  Variabel, Indikator dan Item Pernyataan
Variabel Penelitian
Indikator
Item Pernyataan
Rasa Nasioanalisme (Y)
cinta tanah air
1 Menghargai pluralisme agama, budaya, suku, ras, dan golongan
  
1.Berusaha  mencintai aneka kearifan lokal yang ada
2.   Mencintai aneka kreativitas anak bangsa
3.       Mencintai Pancasila, NKRI, Bhineka Tunggal Ika, UUD 1945

Persatuan dan kesatuan
Cinta akan tanah air
Mengutamakan kepentingan public
Menanamkan semangat gotong royong
Hidup bermasyarakat secara harmonis
Kemanusian
Dapat menghargai sesama yang berbeda etis, ras, suku, agama,dan golongan
Saling menghormati dalam kehidupan
Bersikap humanis
Tidak diskriminatif
Gerakan Literasi (X1) 
Gerakan Membaca (X1.1)
1. Membaca setiap hari
2. Mampu menjelaskan apa yang dibaca
3. Bersedia membaca dengan teman atau guru
Menulis (X1.2)
1. Mencoba beliterasi melalui tulisan sendiri
2. Menigkatkan daya imajinasi yang kritis
3. Bersedia mengembangkan bakat atau talenta
Visualisasi (X1.3)
Mengkritisi segala apa yang dipertontonkan
Merangsang daya kreatif dan sikap inovasi
Memaknai apa yang ditunjukkan
Motivasi Peserta Didik             (X2)
Keinginan dan niat (X2.1)
1. Keinginan kuat untuk memulai
2. Niat yang baik
3. Aksi
Kebutuhan Rasa aman (X2.2)
1. Jaminan hari tua berupa pengetahun
2. Perasaan tenang dan aman dalam belajar
3. Lingkungan yang mendukung
Kebutuhan Sosial (X2.3)
1. Keharmonisan hubungan atau relasi
2. Kerjasama



3. Perasaan diterima di lingkungan
Kebutuhan Penghargaan (X2.4)
1. Pengakuan dan penghargaan atas hasil kerja
2. Perasaan dihormati
3. Dipuji karena menghasilkan prestasi
Kebutuhan Aktualisasi diri (X2.5)
1. Memiliki kesempatan mengikuti pendidikan dan
    Pelatihan
2. Memiliki peluang yang sama untuk promosi
    Diri
3. Memiliki peluang untuk bekerja secara mandiri
Pendidikan Karakter       (X3)
Pengetahuan Moral        (X3.1)
1. mencintai kebaikan
2. bersikap jujur dan adil
3. Berhati nurani
Gotong Royong (X3.2)
1.       Bekerja sama atau bahu-membahu
2.      Meingkatkan kreatifitas manusia muda
3.       Pembangunan bangsa dan Negara  
4.      Semangat juang untuk berinovasi

Nilai-nilai kehidupan (X3.3)
1. Keutamaan Nilai hidup
2. Nilai sosial
3.Nilai Religius
4.Nilai-nilai Pancasilais

3.7. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel
1. Populasi
Populasi merupakan wilayah generalisasi yang terdiri atas: obyek atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2009). Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa Populasi adalah Keseluruhan objek penelitian yang terdiri dari manusia, benda, tumbuh-tumbuhan dan peristiwa sebagai sumber data yang mempunyai karakteristik tertentu  dalam sebuah  penetian.
Dalam penelitian ini, yang dijadikan populasi adalah seluruh peserta didik SMPK Marsudi Siwi Malang dan Para Guru di SMPK Marsudi Siwi Malang.



4.   Sampel
Sampel merupakan sebagian dari populasi. Sampel didefinisikan sebagai sub dari seperangkat elemen yang dipilih untuk dipelajari (Sarwono, 2006). Dari populasi yang ada akan diambil sebagian sebagai sampel untuk mewakili keseluruhan populasi dalam penelitian ini. Dalam penel

3.8. Teknik Pengambilan Data
Data suatu penelitian dikatakan valid atau tidaknya tergantung pada jenis pengumpulan data yang dipergunakan untuk pemilihan metode yang tepat sesuai dengan  jenis dan sumber data  dalam penelitian. Teknik pengumpulan data adalah upaya untuk mengamati variabel yang di teliti antara lain:
a.       Metode angket
Menurut Sugiyono (2009:121),metode ini digunakan bila responden dalam jumlah yang banyak dan dapat membaca dengan baik dan dapat mengungkapkan hal-hal yang sifatnya rahasia. Angket merupakan sebuah daftar pertanyaan-pertanyaan yang harus dikerjakan oleh orang-orang yang ingin diselidiki atau responden.
b.      Observasi (Pengamatan)
Observasi yaitu tehnik pengumpulan data dimana peneliti mengadakan pengamatan secara langsung atau tidak langsung terhadap gejala-gejala yang sedang berlangsung. Metode observasi digunakan bila obyek penelitian bersifat perilaku manusia, proses kerja, gejala alam, responden kecil. Teknik ini digunakan penulis dalam penelitian ini untuk memperoleh gambaran mengenai SMPK Marsudi Siwi Kecamatan Blimbing-Malang.
c.       Interview
            Interview adalah salah satu pengumpulan data dengan jalan tanya jawab sepihak yang dikerjakan sistematis dan berdasarkan pada tujuan penelitian (Sugiyono, 2009:121). Menurut Suharsimi Arikunto (2002:57), wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yangnharus diteliti, dan juda apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam dan jumlah respondennya sedikit atau kecil. Interview digunakan untuk berdialog dalam menggali informasi oleh peneliti terhadap para responden. Interview digunakan oleh peneleiti untuk menilai keadaan seseorang, misalnya untuk mencari data tentang variabel latar belakang murid, orang tua, pendidikan, perhatian, sikap terhadap sesuatu. Dalam teknik penelitian ini, penulis menggunakannya untuk menggali informasi dari Kepala Sekolah, para Guru, dan siswa-siswi di SMPK Marsudi Siwi Malang.
d.      Dokumentasi
Menurut Suharsimi (2006:236), dokumentasi mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa, catatan atau transkrip, surat kabar, majalah, notulen rapat, agenda dan sebagainya. Dalam hal ini penulis mencari dan mengumpulkan data yang berasal dari catatan atau arsip-arsip tersimpan yang terkait dalam penelitian ini.

3.9. Teknik Analisis Data
Data hasil penelitian yang diperoleh akan dianalisis menggunakan teknik sebagai berikut: 
1.      Analisis deskriptif 
Analisis ini dipakai untuk mendeskripsikan setiap variabel  penelitian.
2.      Analisis regresi linier berganda
Analisis ini digunakan untuk mengetahui pengaruh dua atau lebih variable bebas terhadap satu variable terikat. Analisis ini juga berguna untuk mengetahui variabel bebas manakah yang paling berpengaruh di antara variabel yang lain.
Model persamaan regresi linier berganda adalah sebagai berikut:
Y = α + b1X1 + b2X2 + b3X3+ ε
Dimana :
      Y   =  Rasa Nasionalisme
      X1 = Gerakan Literasi
      X2 = Pendidikan Karakter
X3 = Motivasi Peserta didik
       ε   = error
       α  = Intercept
b1, b2, b3   = Koefisien regresi variabel bebas
3.      Uji Hipotesis
Uji F digunakan untuk menguji besarnya pengaruh variable bebas secara bersama terhadap variable terikat. Rumusan uji F adalah sebagai berikut :

R2/k
 



(1-R2) / (n-k-1)
            F =        
           
            Dimana :
                 F     = Nilai F hitung
                 R2     = Koefisien determinan
                 K     = Jumlah variable bebas
                 n      = jumlah sampel
Untuk mengetahui pengaruh dari kedua variable bebas secara bersama terhadap variable terikat dapat melihat table ANOVA yang berisi tentang probabilitas dalam menguji hipotesis yang dirumuskan sebagai berikut:
1)      H0  : b1 = b2 = b3 = 0.
2)      Ha : b1b2b3 ≠0.
Hasil uji hipotesis dapat diperoleh dengan membandingkan probabilitas dengan α = 0,05 dengan criteria sebagai berikut :
1)      Apabila probabilitas dalam table anova < α = 0,05 maka H0 ditolak dan Ha diterima.
2)      Apabila probabilitas dalam table anova > 0,05 maka H0 diterima dan Ha ditolak.
Penerimaan terhadap H0 berarti variabel yang diuji tidak mempunyai pengaruh terhadap variabel terikat. Sedangkan penolakan terhadap H0 berarti variabel bebas mempunyai pengaruh nyata terhadap variabel terikat.
Selanjutnya uji t. Uji ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh masing masing variabel bebas terhadap table. Uji t dilakukan untuk menguji variabel bebas yang paling dominan mempengaruhi variabel terikat.
t           =      
Dimana :
                t : nilai t hitung
               bi  : koefisien regresi
               Sb : standar eror / standar deviasi bi
Untuk mengetahui pengaruh variabel bebas secara terpisah terhadap variabel terikat, maka table koefisien yang mencantumkan angka probabilitas dalam menguji hipotesis yang dirumuskan sebagai berikut:
1)      H0 : bi = 0 berarti variabel bebas (X1, X2, X3) secara terpisah tidak berpengaruh terhadap variabel terikat.
2)      Ha : bi ≠ 0 berarti variabel bebas (X1, X2, X3) secara terpisah berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat.
         Pengujian hipotesis dilakukan dengan membandingkan antara probabilitas dengan α = 0,05 dengan criteria sebagai berikut :
1)      Apabila probabilitas (P) < α, dimana α = 5%, maka H0 ditolak dan Ha diterima yang berarti variabel bebas berpengaruh terhadap variabel terikat.
2)      Apabila probabilitas (P) > α, dimana α = 5%, maka Ha ditolak yang berarti variabel bebas tidak berpengaruh terhadap variabel terikat.












Daftar Pustaka

Agusrida, Strategi Menumbuhkan Motivasi Belajar Peserta Didik. dalam http://bdkpadang.kemenag.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=452:strategi-menumbuhkan-motivasi-belajar-peserta-didik&catid=41:top-headlines

Anderson, Benedict. 2001. ”Kebutuhan Indonesia: Nasionalisme Dan Menumpas Keserakahan” dalam Joesoef Ishak, 100 Tahun Bung Karno. Jakarta: Hasta Mitra.
Kirschenbaum, Howard. 1995. 100 Ways to Enhance Values and Morality in Schools and Youth Settings. Boston: Allyn and Bacon.
Khon, Hans. 1971. Nasionalisme Arti dan Sejarahnya (terjemahan Sumantri Mertodipura), Djakarta: Pustaka Sardjana.
Kusumawardani, Anggraeni & Faturochman, 2004, “Nasionalisme”dalam Buletin Psikologi, Tahun XII, No. 2, Desember.
Muslich, Masnur. 2011. Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis Multidimensi. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Pupuh Fathurrohman dan M. Sobry Sutikno. 2010. Strategi Belajar Mengajar: Strategi Mewujudkan Pembelajaran Bermakna Melalui Penanaman Konsep Umum & Konsep Islami. Bandung: PT Refika Aditama.

Ritter, Herry. 1986. Dictionary of Concepts in History. New York: Greenwood Press.
Ryan, Kevin & Karen E. Bohlin. 1999. Building Character in Schools – Practical Ways to Bring Moral Instruction to Life. San Fransisco: Jossey-Bass a Wiley Imprint.
Samani, Muchlas. 2013. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sardiman A.M 2006. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar Jakarta :CV.Rajawali.

Sartono Kartodirdjo. 1999. Multidimensi Pembangunan Bangsa: Etos Nasionalisme dan Negara Kesatuan. Yogyakarta: Penerbitan Kanisius.
Shafer, Boyd C. 1955. Nationalism Myth and Reality. New York: A Harvest Book Harcourt
Soedjatmoko, 1991. ”Nasionalisme Sebagai Prospek Belajar” dalam majalah Prisma, 2 Februari 1991
Sofyandi dan Garniwa. 2007. Perilaku Organisasional. Edisi Pertama. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Wina Sanjaya. 2008. Strategi Pembelajaran: Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Prenada Media.

Zuchdi, Darmiyati. 2010. Humanisasi Pendidikan – Menemukan kembali Pendidikan yang Manusiawi. Jakarta: Bumi Aksara. 
  
 Sofyandi dan Garniwa. 2007. Perilaku Organisasional. Edisi Pertama. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Wina Sanjaya. 2008. Strategi Pembelajaran: Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Prenada Media.

Zuchdi, Darmiyati. 2010. Humanisasi Pendidikan – Menemukan kembali Pendidikan yang Manusiawi. Jakarta: Bumi Aksara. 






 



 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar