Yosep Belen Keban
Pascasarjana Universitas Merdeka
Malang
2018
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah
Perkembangan
zaman modernisasi yang kini berubah menjadi postmodernisasi semakin menyata
dalam dinamika hidup anak manusia. Seiring dengan perkembangan zaman tersebut,
setiap pribadi dituntut untuk berinovasi dan berkreativitas. Perkembangan yang
pesat tentu saja membawa aneka perubahan di dalamnya termasuk penggerusan
akar-akar nilai hidup yang diyakini sebagai keutamaan-keutamaan dalam
kehidupan. Perkembangan di lain sisi membawa perubahan yang dahsyat namun
dilain sisi kita harus mengamini bahwa perlahan budaya sopan santun atau tata kerama
semakin jauh dari yang didambahkan. Sebagai contoh di Negara kita Indonesia
acapkali kita mendengar aneka berita miris dan hal itu sungguh disayangkan. Muncul
aneka persoalan seperti isu SARA yang selalu disandingkan dengan perhelatan
pesta demokrasi, hasut-menghasut, radikalisme, terorisme, hoax, korupsi, dan aneka persoalan lainnya. Persoalan-persoalan
demikian menggambarkan potret ke-indonesia-an yang buram. Negeri yang penuh
dengan aneka konflik. Hal ini disebabkan oleh Sumber Daya Manusia (Human Resource) yang lemah dan
kehilangan keutamaan nilai dalam kehidupan.
Potret
keburaman ke-indonesia-an itu disebabkan oleh sikap egoisme, ketamakan atau
kerakusan, superioritas, ekonomis, politik, dan lain sebagainya. Potret buram
ini yang menjadi tanggungjawab kita semua untuk mengembalikan citra kebhinekaan
seperti semula. Harus diakui bahwa ini bukan tindakan yang mudah namun mau
tidak mau kita harus memiliki tekat untuk berjuang melawan bangsa kita sendiri.
Hal ini senada seperti apa yang dikumandangkan oleh Bung Karno, bahwa
perjuangan kalian adalah melawan bangsamu sendiri dan hal ini teramat berat.
Inilah penjajahan konteks modern di mana anak bangsa mengebiri dan mencaplok
habis hasil dari ibu pertiwi. Mari kita selamatkan bangsa ini degan menanamkan
sejak dini sikap nasionalisme.
Nasionalisme menurut Boyd Shafer (1955: 6) memiliki multi
makna, hal tersebut tergantung pada kondisi objektif dan subjektif dari setiap
bangsa. Oleh sebab itu nasionalisme dapat bermakna sebagai berikut: (1) Nasionalisme adalah rasa cinta pada tanah
air, ras, bahasa atau budaya yang sama, maka dalam hal ini nasionalisme sama
dengan patriotisme. (2) Nasionalisme adalah suatu keinginan akan kemerdekaan
politik, keselamatan dan prestise bangsa. (3) Nasionalisme adalah suatu
kebaktian mistis terhadap organisme sosial yang kabur, kadang-kadang bahkan
adikodrati yang disebut sebagai bangsa atau Volk yang kesatuannya lebih unggul
daripada bagian-bagiannya. (4) Nasionalisme adalah dogma yang mengajarkan bahwa
individu hanya hidup untuk bangsa dan bangsa demi bangsa itu sendiri. (5)
Nasionalisme adalah doktrin yang menyatakan bahwa bangsanya sendiri harus
dominan atau tertinggi di antara bangsa-bangsa lain dan harus bertindak
agresif.
Untuk
menumbuhkembangkan sikap nasionalime atau sikap cinta tanah air hendaknya
diprogramkan dengan baik. Pemerintah dalam hal ini sangat cepat merespon aneka
persoalan yang ada dengan menerapkan aneka kebijakan terlebih khusus dalam
dunia pendidikan. Dunia pendidikan menjadi titik awal dan sorotan sebab dunia
pendidikan merupakan tempat atau gudang ilmu yang mengajarkan banyak hal kepada
peserta didik. Adapun niat dan upaya pemerintah untuk menanamkan rasa
nasionalisme adalah dengan memasukan pendidikan karakter dan gerakan literasi
dalam dunia pendidikan.
Gereka literasi merupakan sebuah fenomena
kekinian yang mengajak semua orang untuk berpartisipasi dalam program ini.
Salah satu tujuan dari gerakan ini adalah memberantas buta aksara. Selain itu,
gerakan literasi menjadi pemicu dan membuka cakrawala pengetahuan dan sumber
daya manusia itu sendiri. Gereka literasi dapat membuat kita menjadi kritis dan
bijak dalam menjalankan kehidupan. Inilah niat dan upaya pemerintah dalam
memberantas ketidakadilan atau konflik yang sedang menjamur di negeri ini.
Lantas apa itu literasi? Menurut Kemendikbud (2016:2), literasi adalah
kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas, antara lain membaca,
melihat, menyimak, menulis, dan berbicara. Dengan demikian, literasi merupakan
gerakan kesadaran untuk memberantas buta huruf dan meningkatkan kesadaran
manusia itu sendiri.
Dengan adanya
gerakan literasi dapat membawa perubahan besar bagi bangsa Indonesia. Salah
satunya adalah untuk mengantisipasi budaya nasional dengan aneka budaya asing (modernisasi-westernisasi) yang pada saat
ini meluas sampai dipelosok daerah. Pengaruh ini yang menurunkan minat dan niat
kaum mudah melemah atau melempem akan nilai cinta akan tanah air atau
nasionalisme. Berkat adanya gerakan ini atau gerakan literasi ini kita mau
menyelamatkan generasi bangsa dari kungkungan pemikiran dan konsep atau
paradigm ke-barat-an yang merasuki pemikiran mereka yang pada akhirnya dapat
menafikan aneka nilai hidup. Dengan adanya gerakan literasi diharapkan dapat
memotivasi seluruh masyarakat Indonesia secara khusus bagi para peserta didik
untuk berusaha mencintai tanah air.
Motivasi
para peserta didik untuk mencintai literasi harus dapat diamalkan secara
langsung dalam tindak-tanduk atau dapat membumikan literasi itu sendiri. Hal
yang diharapkan adalah mengubah perpektif manusia menjadi manusia “unggul” yang
semakin mencintai tanah air (nasionalisme).
Bentuk kecintaan itu adalah tindakan praktis setelah adanya literasi. Jadi,
literasi harus ada aksinya di lapangan dengan cara perubahan diri. Perubahan
diri itu dilakukan melalui adanya pendidikan karakter. Pendidikan karakter
menjadi boomming saat ini yang kita
kenal dengan adanya revolusi mental. Revolusi mental yang diharapkan adalah
adanya peruabahan dari dalam diri untuk melakukan keutaman dalam kehidupan.
Adalah Aristoteles seorang filsuf Yunani kondang pernah mengatakan dengan baik
bahwa manusia hidup untuk mengejar kebaikan itu sendiri. Kebaikan yang
dimaksudkan adalah memiliki empat keutamaan itu. Kita semua dipanggil untuk
melakukan kebaikan. Nah, melihat fenomena bangsa kita yang semakin hari diterpa
badai persoalan seperti yang teleh disebutkan di atas maka perluh adanya
perubahan sikap dan mental. Peruabahan sikap dan mental itu harus dilakukan
sejak dini baik itu dalam keluarga, sekolah, atau pun masyarakat.
Menurut
Lickona (Kirschenbaum, 1995:28) pendidikan karakter adalah upaya mengembangkan
kebajikan sebagai fondasi dari kehidupan yangberguna, bermakna, produktif dan
fondasi untuk masyarakat yang adil, penuh belas kasih dan maju. Karakter yang
baik meliputi tiga komponen utama, yaitu: moral
knowing, moral feeling, moral action.
Sebagai wahana
utama dalam pembangunan bangsa dan watak (nation
and character building), pendidikan dituntut untuk memberikan perhatian
yang sungguh-sungguh terhadap pengembangan diri manusia. Dengan cara ini,
diyakini bahwa pendidikan akan memberi kontribusi yang nyata dan bermakna dalam
mendukung pembangunan karakter bangsa secara keseluruhan yang menjadi agenda
besar negara R.I. Perspektif pembangunan pendidikan tidak hanya ditujukan untuk
mengembangkan aspek intelektual saja melainkan juga watak, moral, sosial dan
fisik perserta didik, atau dengan kata lain menciptakan manusia Indonesia
seutuhnya.
Berdasarkan
penelitian terdahulu yang ditemukan secara terpisah, adanya pengaruh antara
gerakan literasi terhadap rasa nasionalisme, adanya pengaruh antara motivasi
peserta didik untuk mencinta tanah air (nasionalisme) dan juga adanya pengaruh
antara pendidikan karakter terhadap rasa nasionalisme. Berdasarkan temuan
penelitian terdahulu maka penulis menyimpulkan bahwa adanya pengaruh signifikan
antara gerakan literasi, motivasi peserta didik, dan juga pendidikan karakter
terhadap nasionalisme. Berkaitan dengan fenomena dan persoalan di atas, penulis
dalam penelitian ini memberanikan diri untuk meneliti dan mengangkat
kepermukaan fenomena-fenomena itu untuk dijadikan sebagai kasus diskursus.
Adapun judul yang hendak digali adalah “Pengaruh
Gerakan Literasi Terhadap Peningkatan Rasa Nasionalisme Melalui Pendidikan
Karakter dan Motivasi Siswa”.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas, maka penulis dapat merumuskan permasalahan
dalam penelitian ini adalah demikian:
1. Bagaimana
literasi, pendidikan karakter, dan motivasi siswa terhadap peningkatan rasa
nasionalisme peserta didik di SMPK Marsudisiwi-Malang?
2. Adakah
dampak signifikan antara gerakan literasi, pendidikan karakter danmotivasi siswa
terhadap peningkatan rasa nasionalisme di SMPK Marsudisiwi?
1.3.
Tujuan Penelitian
Adapun
tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah demikian:
1. Untuk
mendeskripsikan variabel gerakan literasi, pendidikan karakter, motivasi siswa dan
peningkatan rasa nasionalisme di SMPK Marsudisiwi-Malang
2. Untuk
menganalisis pengaruh variabel gerakan literasi, pendidikan karakter dan
motivasi siswa secara simultan dan parsial terhadap peningkatan rasa
nasionalisme di SMPK Marsudisiwi-Malang
3. Manakah
varibael gerakan literasi, pendidikan karakter dan motivasi siswa yang
berpengaruh dominan terhadap peningkatan rasa nasionalisme di SMPK
Marsudisiwi-Malang.
1.4.
Kegunaan Penelitian
Dari
hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang sangat berarti
bagi dunia pendidikan. Kegunaan yang didambakan dari hasil penelitian ini
antara lain:
1.
Teoritis
a. Penelitian
ini sebagai sumbangsi pemikiran untuk mengembangkan khazana keilmuan dalam
dunia pendidikan berdasarkan teori pendidikan yang berkaitan dnegan komponen
gerakan literasi, pendidikan karakter, motivasi peserta didik mengenai rasa
nasionalisme.
b. Bagi
pengembangan ilmu pengetahuan, dapat memberikan suatu karya peneliti baru yang
dapat mendukung rasa nasionalisme
c. Bagi
peneliti lain dapat dijadikan sebagai referensi dalam penelitian lebih lanjut
2.
Praktis
a. Bagi
pihak terkait diharapkan dapat memberikan input
dan tambahan informasi bagi pihak Sekolah Menengah Pertama Katolik di Kota
Malang
b. Bagi
Dinas Pendidikan, sebagai pengambil kebijakan, penelitian ini merupakan sumber
masukan positif dalam mendorong perserta didik untuk menanamkan kesdadaran diri
akan rasa cinta bangsa dan Negara.
c. Bagi
pemerhati pendidikan, sebagai bahan untuk membuka cakrawa pemikiran bersama
bahwa gerakan literasi dan pendidikan karakter sangat membatu peserta didik
untuk meningkatkan rasa nasionalisme.
d. Bgai
para Guru, yaitu dapat menambah informasi bahwa literasi dan pendidikan
karakter sangat penting bagi peserta didik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Landasan Teori
2.1.1.
Gerakan
Literasi
a.
Pengertian
Literasi
Literasi
berasal dari kata bahasa Latin yaitu “literatus”
yaitu orang yang belajar. Dalam bahasa Latin juga dikenal dengan istila literra atau huruf. Sedangkan literasi
dalam bahasa Inggris yaitu literacy
yang berarti kemampuan membaca dan menulis dan kompetensi dan pengetahuan
dibidang khusus. Secara bahasa literasi
adalah keberaksaraan, yaitu kemampuan menulis dan membaca. Dari gambaran
pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa literasi merupakan kemampuan
seseorang dalam mengolah dan memahami informasi saat melakukan proses membaca
dan menulis. Namun demikian, literasi utamanya berhubungan dengan bahasa dan
bagaimana bahasa itu digunakan. Adapun sistem bahasa tulis itu sifatnya
sekunder. Berbicara mengenai bahasa, tentunya tidak lepas dari pembicaraan
mengenai budaya karena bahasa itu sendiri merupakan bagian dari budaya.
Sehingga, pendefinisian istilah literasi tentunya harus mencakup unsur yang
melingkupi bahasa itu sendiri, yakni situasi sosial budayanya. Berkenaan dengan
ini Kern (2000) mendefinisikan istilah literasi secara komprehensif sebagai
berikut:
Literacy
is the use of socially-, and historically-, and culturallysituated practices of
creating and interpreting meaning through texts. It entails at least a tacit
awareness of the relationships between textual conventions and their context of
use and, ideally, the ability to reflect critically on those relationships.
Because it is purpose-sensitive, literacy is dynamic – not static – and
variable across and within discourse communities and cultures. It draws on a
wide range of cognitive abilities, on knowledge of written and spoken language,
on knowledge of genres, and on cultural knowledge. (Literasi adalah penggunaan
praktik-praktik situasi sosial, dan historis, serta kultural dalam menciptakan
dan menginterpretasikan makna melalui teks. Literasi memerlukan setidaknya
sebuah kepekaan yang tak terucap tentang hubunganhubungan antara
konvensi-konvensi tekstual dan konteks penggunaanya serta idealnya kemampuan
untuk berefleksi secara kritis tentang hubungan-hubungan itu. Karena peka
dengan maksud/ tujuan, literasi itu bersifat dinamis – tidak statis – dan dapat
bervariasi di antara dan di dalam komunitas dan kultur diskursus/ wacana.
Literasi memerlukan serangkaian kemampuan kognitif, pengetahuan bahasa tulis
dan lisan, pengetahuan tentang genre, dan pengetahuan kultural).
Dari pernyataan di atas dapat
diketahui bahwa literasi memerlukan kemampuan yang kompleks. Sedangkan Literasi
menurut Kemendikbud (2016:2) adalah kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan
sesuatu secara cerdas melalui berbagai
aktivitas, antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis, dan berbicara. Gerakan
literasi ada begitu banyak namun titik focus pada penulisan ini adalah gerakan
literasi yang dilakukan di sekolah. Oleh karena demikian, gerakakan literasi
sekolah merupakan merupakan suatu usaha atau kegiatan yang bersifat
partisipatif dengan melibatkan warga sekolah (siswa, guru, kepala sekolah,
tenaga kependidikan, pengawas sekolah, komite sekolah, orang tua atau wali
murid siswa), akademisi, penerbit, media masa, masyarakat dan pemangku kepentingan di bawah koordinasi Direktorat
Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Gerakan literasi sekolah menurut
Kemendikbud (2016:3) merupakan gerakan sosial dengan dukungan kolaboratif
berbagai elemen.Upaya yang ditempuh untuk mewujudkannya berupa pembiasaan
membaca siswa. Dalam pengetahuan umum, literasi sering disalah artikan dengan
aktivitas membaca (read). Literasi
dalam pandangan ini boleh dikatakan sebagai pemahaman yang sempit. Dalam arti
luas, literasi tidak hanya meliputi kegiatan membaca tetapi juga ada aktivitas
menulis,pendengaran, dan juga video. Hal ini sama persis dengan pengertian
litersi yang dikemukaan oleh Nationale
Institute for Literacy (NIFL). Litersi menurut NIFL adalah kemampuan
individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah
pada tingkat keahlian yang dibutuhkan dalam keluaraga, pekerjaan, dan
masyarakat. Sedangkan UNESCO, menjelaskan bahwa kemampuan literasi merupakan
hak setiap orang danmerupakan dasar untuk belajar sepanjang hayat. Dengan
demikian, literasi merupakan gerakan kesadaran untuk memberantas buta huruf dan
meningkatkan kesadaran manusia itu sendiri.
b.
Prinsip
Pendidikan Literasi
Menurut Kern (2000) terdapat tujuh
prinsip pendidikan literasi, yaitu:
1. Literasi melibatkan interpretasi Penulis/
pembicara dan pembaca/ pendengar berpartisipasi dalam tindak interpretasi,
yakni: penulis/ pembicara menginterpretasikan dunia (peristiwa, pengalaman,
gagasan, perasaan, dan lain-lain), dan pembaca/ pendengar kemudian
mengiterpretasikan interpretasi penulis/ pembicara dalam bentuk konsepsinya
sendiri tentang dunia.
2. Literasi melibatkan kolaborasi Terdapat kerjasama
antara dua pihak yakni penulis/ pembicara dan membaca/ pendengar. Kerjasama
yang dimaksud itu dalam upaya mencapai suatu pemahaman bersama. Penulis/
pembicara memutuskan apa yang harus ditulis/ dikatakan atau yang tidak perlu
ditulis/ dikatakan berdasarkan pemahaman mereka terhadap pembaca/ pendengarnya.
Sementara pembaca/ pendengar mencurahkan motivasi, pengetahuan, dan pengalaman
mereka agar dapat membuat teks penulis bermakna.
3. Literasi melibatkan konvensi Orang-orang membaca
dan menulis atau menyimak dan berbicara itu ditentukan oleh konvensi/
kesepakatan kultural (tidak universal) yang berkembang melalui penggunaan dan
dimodifikasi untuk tujuan-tujuan individual. Konvensi disini mencakup
aturan-aturan bahasa baik lisan maupun tertulis.
4. Literasi melibatkan pengetahuan kultural. Membaca
dan menulis atau menyimak dan berbicara berfungsi dalam sistem-sistem sikap,
keyakinan, kebiasaan, cita-cita, dan nilai tertentu. Sehingga orang-orang yang
berada di luar suatu sistem budaya itu rentan/ beresiko salah
dipahami oleh orang-orang yang berada dalam sistem budaya tersebut.
5. Literasi melibatkan pemecahan masalah. Karena
kata-kata selalu melekat pada konteks linguistik dan situasi yang
melingkupinya, maka tindak menyimak, berbicara, membaca, dan menulis itu
melibatkan upaya membayangkan hubungan-hubungan di antara katakata,
frase-frase, kalimat-kalimat, unit-unit makna, teks-teks, dan duniadunia. Upaya
membayangkan/ memikirkan/ mempertimbangkan ini merupakan suatu bentuk pemecahan
masalah.
6. Literasi melibatkan refleksi dan refleksi diri.
Pembaca/ pendengar dan penulis/ pembicara memikirkan bahasa dan
hubungan-hubungannya dengan dunia dan diri mereka sendiri. Setelah mereka
berada dalam situasi komunikasi mereka memikirkan apa yang telah mereka
katakan, bagaimana mengatakannya, dan mengapa mengatakan hal tersebut.
7. Literasi melibatkan penggunaan bahasa. Literasi
tidaklah sebatas pada sistem-sistem bahasa (lisan/ tertulis) melainkan
mensyaratkan pengetahuan tentang bagaimana bahasa itu digunakan baik dalam
konteks lisan maupun tertulis untuk menciptakan sebuah wacana/ diskursus.
Dari poin diatas maka prinsip
pendidikan literasi adalah literasi melibatkan interpretasi, kolaborasi,
konversi, pengetahuan kultural, pemecahan masalah, refleksi diri, dan
melibatkan penggunaan bahasa.
c.
Model
Literasi
Menurut UNESCO yang dikutip oleh
Nasution (2013: 12-13), memasukkan enam kategori kelangsungan hidup kemampuan
literasi abad 21 yang terdiri dari:
1. Basic Literacy, kadang-kadang disebut
Literasi Fungsional (Functional Literacy),
merupakan kemampuan dasar literasi atau sistem belajar konvensional seperti
bagaimana membaca, menulis, dan melakukan perhitungan numerik dan
mengoperasikan sehingga setiap individu dapat berfungsi dan memperoleh
kesempatan untuk berpartisipasi di masyarakat, di rumah, di kantor maupun
sekolah.
2. Computer
literacy, merupakan seperangkat keterampilan, sikap dan pengetahuan yang
diperlukan untuk memahami dan mengoperasikan fungsi dasar teknologi informasi
dan komunikasi, termasuk perangkat dan alat-alat seperti komputer pribadi (PC),
laptop, ponsel, iPod, BlackBerry, dan sebagainya, literasi
komputer biasanya dibagi menjadi hardware
dan software literasi.
3. Media
Literacy, merupakan seperangkat keterampilan, sikap dan pengetahuan yang
diperlukan untuk memahami dan memanfaatkan berbagai jenis media dan format di
mana informasi di komunikasikan dari pengirim ke penerima, seperti gambar,
suara, dan video, dan apakah sebagai transaksi antara individu, atau sebagai
transaksi massal antara pengirim tunggal dan banyak penerima, atau, sebaliknya.
4. Distance Learning dan E-Learning adalah istilah yang merujuk
pada modalitas pendidikan dan pelatihan yang menggunakan jaringan telekomunikasi,
khususnya world wide web dan
internet, sebagai ruang kelas virtual bukan ruang kelas fisik. Dalam distance learning dan elearning, baik
guru dan siswa berinteraksi secara online, sehingga siswa dapat menyelesaikan
penelitian dan tugas dari rumah, atau di mana saja di mana mereka dapat
memperoleh akses ke komputer dan saluran telepon.
5. Cultural
Literacy. Merupakan literasi budaya yang berarti pengetahuan, dan
pemahaman, tentang bagaimana suatu negara, agama, sebuah kelompok etnis atau
suatu suku, keyakinan, simbol, perayaan, dan cara komunikasi tradisional,
penciptaan, penyimpanan, penanganan, komunikasi, pelestarian dan pengarsipan
data, informasi dan pengetahuan, menggunakan teknologi. Sebuah elemen penting
dari pemahaman literasi informasi adalah kesadaran tentang bagaimana faktor budaya
berdampak secara positif maupun negatif dalam hal penggunaan informasi modern
dan teknologi komunikasi
6. Information
literacy, erat kaitannya dengan pembelajaran untuk belajar, dan berpikir
kritis, yang menjadi tujuan pendidikan formal, tapi sering tidak terintegrasi
ke dalam kurikulum, silabus dan rencana pelajaran, kadang-kadang dibeberapa
negara lebih sering menggunkan istilah information
competencies atau information fluency
atau bahkan istilah lain.
2.2.Pengertian
Pendidikan Karakter
a. Pengertian Pendidikan Karakter
Pendidikan
karakter merupakan upaya penyadaran dari seorang guru untuk mengajarkan
nilai-nilai kepada para siswanya. Upaya itu tidak hanya dilakukan oleh para
guru tetapi intervensi secara lagsung dari pemerintah. Tindakan proaktif itu
bertujuan untuk membantu peserta didik mengembangkan inti pokok dari
nilai-nilai etis dan nilai-nilai kinerja seperti kerajinan, kejujuran,
kepedulian, fairness, keuletan dan
lain sebagainya. Menurut Burke
pendidikan karakter merupakan bagian dari pembelajaran yang baik dan merupakan
bagian yang fundamental dari pendidikan yang baik (Muchlas Samani dan
Hariyanto,2013: 43).
Pendidikan
karakter juga dapat didefinisikan sebagai pendidikan yang mengembangkan
karakter yang mulia (good character)
dari peserta didik dengan mempraktikkan
dan mengajarkan nilai-nilai moral. Nilai moral di sini dijadikan sebagai
rujukan atau implementasi dan orientasi dari pendidikan itu sendiri. Anne
Lockwood pada tahun 1997 mendefiniskan pendidikan karakter sebagai aktivis berbasis sekolah yang
mengungkap secara sistematis bentuk perilaku dari peserta didik.
Pendidikan
karakter mempunyai kaitan erat dengan komponen-komponen: pengetahuan moral
tradisi, penalaran moral, belas kasih dan altruisme, serta kecenderungan moral.
Lickona (Kirschenbaum, 1995:28) menggambarkan kecenderungan moral meliputi
berhati nurani, mencintai kebaikan, dapat menguasai diri, rendah hati,
kebiasaan moral dan kehendak baik (will).
Lickona (www.cortland.edu/character/articles) juga mengatakan bahwa pendidikan
karakter adalah upaya mengembangkan kebajikan sebagai fondasi dari kehidupan
yang berguna, bermakna, produktif dan fondasi untuk masyarakat yang adil, penuh
belas kasih dan maju. Karakter yang baik meliputi tiga komponen utama, yaitu: moral knowing, moral feeling, moral action.
Zuchdi
(2010:35) mengatakan bahwa pendidikan karakter bersifat menyeluruh atau
komprehensif, menyangkut banyak aspek yang terkait menjadi satu kesatuan.
Pendidikan karakter yang bertumpu pada strategi tunggal sudah tidak memadai
untuk dapat menjadikan peserta didik memiliki moral yang baik. Oleh karena itu,
diperlukan berbagai pendekatan yang oleh Kirschenbaum disebut pendekatan
komprehensif. Istilah komprehensif dalam pendidikan karakter mencakup berbagai
aspek: isi, metode, proses, subjek, evaluasi. Zuriah (2008:27) secara lebih
terperinci mengatakan bahwa isi atau
materi pendidikan karakter dapat dikelompokkan ke dalam tiga hal nilai akhlak,
yaitu akhlak terhadap Tuhan Yang Maha Esa (mengenal Tuhan sebagai pencipta dan
sifat-sifat-Nya, beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa, meminta tolong
kepada-Nya), akhlak terhadap sesama (diri sendiri, orang tua, orang yang lebih
tua, teman sebaya, orang yang lebih muda), dan akhlak terhadap lingkungan (alam
baik flora maupun fauna dan sosial masyarakat.
b. Ciri dan Prinsip Dasar Pendidikan
Karakter
Menurut
Foerster ada empat (4) ciri dasar dalam pendidikan karakter (Masnur
Muslich,2011: 128). Keempat ciri itu adalah demikian. Pertama, keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur
berdasarkan hirarki nilai. Kedua,
koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak
mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut resiko. Koherensilah yang
membangun rasa percaya satu sama lain. Ketiga,
otonomi. Otonomi berarti seseorang mengintegrasikan nilai-nilai yang diajarkan
menjadi nilai-nilai bagi diri sendiri. Keempat,
keteguhan dan kesetian.
Sedangkan
prinsip dasar dari pendidikan karakter adalah demikian. Lickona dkk menemukan
sebelas (11) prinsip agar pendidikan karakter dapat berjalan atau dilaksanakan
dengan efektif (Masnur Muslich,2011: 129). Kesebelas prinsip itu adalah
demikian:
1. Kembangkan
nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi
karakter yang baik
2. Definisikan
karakter secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan dan perilaku
3. Gunakan
pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif dalam pengembangan
karakter
4. Ciptakan
situasi sekolah yang penuh perhatian
5. Berikan
siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral
6. Buat
kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta
didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil
7. Usahakan
mendorong motivasi diri siswa
8. Libatkan
staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran moral yang berbagi tanggung jawab
dalam pendidikan karakter dan upaya untuk mematuhi nilai-nilai inti yang sama
yang membimbing pendidikan siswa
9. Tumbuhkan
kebersamaan dalam kepemimpinan moral
10. Libatkan
keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya membangun karakter
11. Evaluasi
karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauh
mana peserta didik memanifestasi karakter yang baik.
c.
Fungsi
dan Nilai dalam Pendidikan Karakter
Pendidikan
karakter memiliki manfaat yang besar bagi semua masyarakat umum dan secara
khusus bagi peserta didik. Adapun tujuan dari pendidikan karakter adalah
sebagai berikut ():
1) Mengemabangkan
potensi dasar agar berhati baik, berperilaku baik, dan berpikiran baik
2) Memperuat
dan membangun perilaku bangsa yang multikultur
3) Meningkatkan
peradaban bangsa yang kompotitif dalam pergaulan dunia
Selain
fungsi di atas, pendidikan karakter juga memiliki 18 nilai. Nilai-nilai itu
adalah:
a) Religius
b) Jujur
c) Toleransi
d) Disiplin
e) Kerja
Keras
f) Kreatif
g) Mandiri
h) Demokratis
i)
Rasa ingin tahu
j)
Semangat kebangsaan
k) Cinta
Tanah Air
l)
Gemar membaca
m) Peduli
Lingkungan
n) Peduli
Sosial
o) Tanggung
Jawab
d.
Sasaran
Pendidikan Karakter
Menurut
Ryan dan Bohlin (1999:5) mengatakan bahwa karakter mengandung tiga unsur pokok,
sasaran dalam pendidikan karakter adalah
moral knowing (pengetahuan tentang
moral), moral feeling (perasaan
tentang moral) ,dan moral action (perbuatan moral). Ketiga komponen ini sangat penting
dalam pendidikan karakter. Ketiganya dapat dijelaskan demikian. Pertama, moral
knowing merupakan hal yang penting untuk diajarkan. Ada enam poin yang
berkaitan dengan hal ini yakni: kesadaran moral (moral awareness), knowing
moral values (mengetahui nilai-nilai moral), perspectif taking, moral reasoning, decision making, dan self knowledge.
Kedua,
moral feeling adalah aspek lain yang
harus ditanamkan pada anak yang merupakan sumber energy dari diri untuk
bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip moral yang ada. Ada enam (6) hal yang
harus mampu dirasakan oleh seseorang untuk menjadi manusia yang berkarakter,
yaitu: nurani, percaya diri, empati, mencintai kebenaran, control diri, dan humility (kerendahan hati).
Ketiga, moral action (perbuatan
moral) adalah bagaimana membuat pengetahuan moral dapat diimpelmentasikan
menajadi tindakan nyata. Perbuatan tindakan itu merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter
lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik
maka harus dilihat tiga (3) aspek lain dari karakter yaitu kompetensi (competence), keinginan (will), dan kebiasaan (habit).
e.
Faktor
Berpengaruh Dalam Pendidikan Karakter
Faktor-faktor
yang berpengaruh dalam pendidikan karakter yang harus diperhatikan oleh kita
adalah:
a) Guru
b) Selebriti
c) Pejabat
d) Toko
Masyarakat
e) Teman
Sejawat
f) Orangtua
g) Media
Cetak
h) Media
Elektronik
Faktor
yang disebutkan di atas merupakan orang atau figur dan alat yang menjadi
panutan atau sosok yang menjadi inspirasi bagi peserta didik untuk bertindak
dan juga dapat mengugah kesadaran mereka sebagai manusia serta sarana
pembelajaran bagi peserta didik untuk bertindak dan memimesis figur dan gaya
hidup yang dijumpai. Ini semua menjadi indikasi bagi peserta didik untuk
belajar banyak hal.
2.2.1.
Teori
Motivasi
2.2.1.1. Pengertian Motivasi
Motivasi berasal
dari kata latin “movere” yang berarti
“dorongan” atau daya penggerak. Motivasi adalah daya pendorong yang mengakibatkan
seseorang anggota organisasi mau dan rela untuk mengerahkan kemampuan dalam
bentuk keahlian atau ketrampilan tenaga dan waktunya untuk menyelenggarakan
berbagai kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dan menunaikan kewajibannya,
dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi yang telah
ditentukan sebelumnya (Siagian 2003:138). Motivasi merupakan hasrat di dalam seseorang
yang menyebabakan orang tersebut melakukan tindakan (Mathis 2006 : 89).
Motivasi adalah
sekelompok faktor yang menyebabkan individu berperilaku dalam cara-cara
tertentu (Grifin 2003:38). Motivasi merujuk pada kekuatan-kekuatan internal dan
eksternal seseorang yang membangkitkan antusiasme dan perlawanan untuk
melakukan serangkaian tindakan tertentu. Dalam dunia kerja motivasi dari
seorang manager sangat penting bagi karayawannya. Hal itu dilakukan sebagai
penyemangat kerja atau meningkatkan kinerja karyawan. Dalam hal ini motivasi
menjadi pengauh yang positif terhadap para karyawan. Dalam dunia pendidikan
juga motivasi menjadi tempat penting di mana peserta didik menjadi semangat
apabila adanya motivasi. Motivasi bisa saja datang dari diri sendiri dan juga
para guru atau Kepala Sekolah.
Dari
pendapat para ahli diambil kesimpulan motivasi adalah berbagai usaha yang
dilakukan oleh manusia tentunya untuk memenuhi keinginan dan kebutuhannya.
Namun, agar keinginan dan kebutuhannya dapat terpenuhi tidaklah mudah
didapatkan apabila tanpa usaha yang maksimal. Dalam pemenuhan kebutuhannya,
seseorang akan berperilaku sesuai dengan dorongan seseorang akan berperilaku
sesuai dengan dorongan yang dimiliki dan apa yang mendasari perilakunya.
2.2.1.2. Teori Motivasi
a.
Teori
“Tiga Kebutuhan”
Teori
ini dikemukakan oleh Siagian (2004 : 167. Ia menyatakan bahwa inti teori ini
terletak pada pendapat yang mengatakan bahwa pemahaman tentang motivasi akan semakin
mendalam apabila disadari bahwa setiap orang mempunyai tiga jenis kebutuhan,
yaitu:
a.
Kebutuhan akan berprestasi (Need for
Achievement)
b.
Kebutuhan akan kekuasaan (Need for Power)
c.
Kebutuhan afiliasi (Need for Affiliation)
b. Indikator Motivasi Kerja
Dalam
penelitian ini peneliti menggunakan indikator motivasi dari teori Maslow. Teori
hirarki kebutuhan dari Abraham Maslow menurut Sofyandi dan Garniwa (2007 :
102). terdiri dari:
1.
Kebutuhan fisiologis (Physiological-need)
Kebutuhan
Fisiologis Kebutuhan fisiologis merupakan hirarki kebutuhan manusia yang paling
dasar yang merupakan kebutuhan untuk dapat hidup seperti makan, minum, perumahan,
oksigen, tidur dan sebagainya.
2.
Kebutuhan rasa aman (Safety-need)
Apabila
kebutuhan fisiologis relatif sudah terpuaskan, maka muncul kebutuhan yang kedua
yaitu kebutuhan akan rasa aman. Kebutuhan akan rasa aman ini meliputi keamanan
akan perlindungan dari bahaya kecelakaan kerja, jaminan akan kelangsungan
pekerjaannya dan jaminan akan hari tuanya pada saat mereka tidak lagi bekerja.
3.
Kebutuhan sosial (Social-need)
Jika
kebutuhan fisiologis dan rasa aman telah terpuaskan secara minimal, maka akan
muncul kebutuhan sosial, yaitu kebutuhan untuk persahabatan, afiliasi dana
interaksi yang lebih erat dengan orang lain. Dalam organisasi akan berkaitan
dengan kebutuhan akan adanya kelompok kerja yang kompak, supervisi yang baik,
rekreasi bersama dan sebagainya.
4.
Kebutuhan penghargaan (Esteem-need)
Kebutuhan
ini meliputi kebutuhan keinginan untuk dihormati, dihargai atas prestasi
seseorang, pengakuan atas kemampuan dan keahlian seseorang serta efektifitas
kerja seseorang.
5.
Kebutuhan aktualisasi diri (Self-actualization need)
Aktualisasi
diri merupakan hirarki kebutuhan dari Maslow yang paling tinggi. Aktualisasi
diri berkaitan dengan proses pengembangan potensi yang sesungguhnya dari
seseorang. Kebutuhan untuk menunjukkan kemampuan, keahlian dan potensi yang
dimiliki seseorang. Malahan kebutuhan akan aktualisasi diri ada kecenderungan
potensinya yang meningkat karena orang mengaktualisasikan perilakunya.
Seseorang yang didominasi oleh kebutuhan akan aktualisasi diri senang akan
tugas-tugas yang menantang kemampuan dan keahliannya.
c.Motivasi Peserta
didik
Motivasi merupakan kondisi psikologis yang mendorong
seseorang untuk melakukan sesuatu. Apabila kondisi psikologis seseorang baik
maka dengan sendirinya motivasi untuk melakukan sesuatu juga akan baik. Dalam hal pembelajaran tentu perlu menjadi perhatian oleh pendidik karena tidak semua
peserta datang ke sekolah dengan kondisi psikologis yang sama karena ada
pengaruh internal dan eksternal peserta didik itu sendiri.Untuk itu, dalam
perencanaan pembelajaran seorang pendidik perlu merancang sebuah strategi
pembelajaran yang mampu memotivasi belajar peserta didik.
Menurut
Agusrida motivasi belajar merupakan kekuatan (power motivation), daya
pendorong (driving force), atau alat pembangun kesediaan dan keinginan
yang kuat dalam diri peserta didik untuk belajar secara aktif, kreatif,
efektif, inovatif, dan menyenangkan dalam perubahan perilaku, baik dalam aspek
kognitif, afektif, maupun psikomotor. Agar motivasi belajar tesebut dimiliki
oleh peserta didik maka dituntut kepiawaian guru dalam menentukan strategi yang
tepat dalam pembelajaran sehingga mampu menumbuhkan motivasi belajar peserta
didik. Apabila peserta didik sudah termotivasi untuk belajar dengan sendirinya
akan berdampak terhadap proses dan hasil pembelajaran yang diharapkan serta
dapat dijadikan dasar mengetahui ketercapaian
tujuan pembelajaran oleh peserta pendidik.
d.
Strategi Menumbuhkan Motivasi Peserta Didik
Menurut Pupuh Fathurrohman dan M. Sorby Sutikno (2010) bahwa motivasi dapat dibagi dua.
Pertama motivasi intrinsik, yaitu
motivasi yang timbul dari dalam diri peserta didik tanpa ada paksaan dari
dorongan orang lain. Kedua motivasi ekstrinsik, yaitu motivasi yang timbul
sebagai akibat pengaruh dari luar peserta didik. Hal ini bisa timbul karena
ajakan, suruhan, atau paksaan dari orang lain (pendidik) sehingga dengan
keadaan tersebut peserta didik mau melakukan sesuatu atau belajar.
Pendapat tersebut menegaskan bahwa dalam pembelajaran
motivasi ektrinsik sangat dibutuhkan oleh peserta didik, seperti hadiah (reward),
kompetensi sehat antarpeserta didik, pemberian nasehat, dan pemberian hukuman (funishment).
Adanya motivasi dari luar sebagaidorungan untuk diri peserta didik merupakan
sebuah kemutlakan harus dilkukan guru jika menginginkan peserta didiknya
mencapai keberhasilan dalam pembelajaran. Lain
halnya dengan peserta didik yang memiliki motivasi
intrinsik karena mereka dengan kesadaran sendiri ingin belajar dan
memperhatikan penjelasan guru dalam
pembelajaran, karena keingintahuannya dalam pembelajaran tinggi sehingga sulit
terpengaruh oleh gangguan yang ada di sekitarnya.
Motivasi belajar yang dimiliki peserta didik berfungsi sebagai
alat pendorong terjadinya prilaku belajar peserta didik, alat untuk
mempengaruhi prestasi belajar peserta didik, alat untuk memberikan direksi
terhadap pencapaian tujuan pembelajaran, dan alat untuk membangun sistem
pembelajaran yang bermakna. Oemar Hamalik (2002) secara umum menyebutkan tiga
fungsi motivasi, yaitu:
1. Mendorong manusia untuk
berbuat (sebagai penggerak) yang merupakan langkah penggerak dari setiap
kegiatan.
2. Menentukan arah
perbuatan, yakni kearah tujuan yang hendak dicapai sehingga dapat memberikan
arah dan kegiatan yang harus dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuannya.
3. Menyeleksi perbuatan,
yakni menetukan perbuatan-perbuatan yang harus dikerjakan yang serasi guna
mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat
bagi tujuan tersebut.
Berdasarkan
pendapat tersebut dapat diketahui bahwa motivasi berfungsi sebagai
pendorong, pengarah, dan sekaligus sebagai penggerak prilaku seseorang untuk
mencapai suatu tujuan. Begitu juga halnya dalam pencapaian tujuan pembelajaran,
guru merupakan faktor yang penting untuk mengusahakan terlaksananya
fungsi-fungsi tersebut dengan cara dan strategi yang tepat untuk menumbuhkan
motivasi belajar peserta didik.
Strategi menumbuhkan motivasi belajar peserta didik sangat ditentukan
oleh perencanaan yang dibuat guru dalam pembelajaran. Dengan strategi motivasi
yang tepat akan mampu memberikan kesuksesan dalam pembelajaran. Sebagaimana
yang dikemukakan Wina Sanjaya (2006), bahwa strategi digunakan untuk memperoleh
kesuksesan atau keberhasilan dalam mencapai tujuan.
Pupuh Fathurohman dan M. Sobry Suntikno (2010) menyatakan ada
beberapa strategi untuk menumbuhkan motivasi belajar peserta didik, yaitu:
1. Menjelaskan tujuan
belajar ke peserta didik
Pada
permulaan belajar mengajar, terlebih dahulu seorang guru menjelaskan tentang
tujuan yang akan dicapai dalam pembelajaran kepada siswa. Makin jelas
tujuan yang akan dicapai peserta didik maka makin besar juga motivasi dalam
melaksanakan kegiatan belajar.
2. Memberikan hadiah (reward)
Memberikan
hadiah kepada peserta didik yang berprestasi. Hal ini akan memacu semangat
peserta didik untuk bisa belajar lebih giat lagi. Di samping itu, peserta didik
yang belum berprestasi akan termotivasi untuk bisa mengejar peserta didik yang
berprestasi.
3. Memunculkan saingan atau
kompetensi
Guru
berusaha mengadakan persaingan di antara peserta didik untuk meningkatkan
prestasi belajarnya, dan berusaha memperbaiki hasil prestasi yang telah dicapai
sebelumnya.
4. Memberikan pujian
Memberikan
pujian atau penghargaan kepada peserta didik yang berprestasi sudah sepantasnya
dilakukan oleh guru yang bersifat membangun.
5. Memberikan hukuman
Hukuman
diberikan kepada siswa yang berbuat kesalahan saat proses belajar
mengajar. Hukuman ini diberikan dengan harapan agar peserta didik tersebut
mau mengubah diri dan beruaha memacu motivasi belajarnya.
6. Membangkitkan dorongan
kepada peserta didik untuk belajar
Kegiatan
yang dilakukan guru adalah memberikan perhatian maksimal kepada peserta didik
selama proses pembelajaran berlangsung.
7. Membentuk kebiasaan
belajar yang baik
Guru
menanamkan pembiasaan belajar yang baik dengan disiplin yang terarah sehingga
peserta didik dapat belajar dengan suasana yang kondusif.
8. Membantu kesulitan belajar
peserta didik, baik secara individual maupun komunal (kelompok)
9. Menggunakan metode yang
bervariasi
Dalam
pembelajaran, metode konvensional harus sudah ditinggalkan guru karena
peserta didik memiliki karakteristik yang berbeda sehingga dibutuhkan metode
yang tepat/bervariasi dalam memberdayakan kompetensi peserta didik.
10. Menggunakan media yang baik serta harus sesuai dengan tujuan
pembelajaran.
Penggunaan
media yang tepat sangat membantu dan memotivasi peserta didik dalam memaknai
pembelajaran sesuai tujuan pembelajaran yang hendak dicapai. Adanya media yang
tepat akan mampu memediasi peserta didik yang memiliki kemampuan indera yang
tidak sama, baik pendengaran maupun penglihatannya, demikian juga kemampuan
berbicaranya. Dengan variasi penggunaan media, kelemahan indera yang dimiliki
tiap peserta didik dapat dikurangi dan dapat memberikan stimulus terhadap
indera peserta didik.
Adanya strategi di atas,
menuntut kesiapan guru sebagai perancang pembelajaran untuk mampu
mengimplementasikannya dalam kegiatan proses belajar mengajar. Guru harus mampu
meninggalkan kebiasaan-kebiasaan pembelajaran yang dimonopoli oleh guru itu
sendiri (teacher sentre). Karena guru dalam melaksanakan peranya
sebagai pendidik, pengajar pemimpin, administrator, harus mampu melayani
peserta didik yang dilandasi kesadaran (awarreness),
keyakinan (belief), kedisiplinan (discipline) dan tanggung jawab (responsibility) secara optimal sehingga
memberikan pengaruh positif terhadap perkembangan peserta didik secara optimal
baik fisik maupun phisikis.
Perkembangan peserta
didik secara optimal akan terlihat bagaiman sang guru mampu menumbuhkan
motivasi pada diri peserta didik dalam pembelajaran. Guru yang tidak mampu
menumbuhkan motivasi peserta didik berarti sang guru kurang memahami strategi
yang tepat dalam pembelajaran.
e.
Tujuan
Motivasi Peserta Didik dalam Belajar
Sardiman A.M, mengemukakan tiga
fungsi motivasi, yaitu:
1. Mendorong manusia untuk berbuat
baik, yakni sebagai penggerak atau motor yang melepaskan energi.
2. Menentukan arah perubahan, yakni
kearah tujuan yang hendak dicapai.
3. Menyeleksi perbuatan, yakni
perbuatan-perbuatan apa yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan,
dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan
tersebut.
Jadi, motivasi itu diberikan untuk :
a. Membangkitkan minat belajar siswa
b. Memberikan kesempatan kepada siswa
dalam memperoleh hasil yang lebih baik.
c. Memberikan penguatan kepada siswa.
d. Melaksanakan evaluasi.
Fungsi motivasi sebagai pendorong
usaha dalam mencapai prestasi, karena seseorang melakukan usaha harus mendorong
keinginannya, dan menentukan arah perbuatannya kearah tujuan yang hendak
dicapai. Sehingga siswa dapat menyeleksi perbuatan untuk menentukan
apa yang harus dilakukan yang bermanfaat bagi tujuan yang hendak
dicapainya.
2.2.2.
Pengertian
Nasionalisme
a.
Pengertian
Menurut
Ritter (1986: 286), Nasionalisme berasal dari kata “Nation” dalam bahasa Latin natio,
yang dikembangkan dari kata nascor
(saya dilahirkan), maka pada awalnya nation
(bangsa) dimaknai sebagai “sekelompok orang yang dilahirkan di suatu daerah
yang sama” (group of people born in the
same place). Kata ‘nasionalisme’ menurut Abbe Barruel untuk pertama kali
dipakai di Jerman pada abad ke-15, yang diperuntukan bagi para mahasiswa yang
datang dari daerah yang sama atau berbahasa sama, sehingga mereka itu (di
kampus yang baru dan daerah baru) tetap menunjukkan cinta mereka terhadap
bangsa/suku asal mereka. Nasionalisme pada mulanya terkait dengan rasa cinta
sekelompok orang pada bangsa, bahasa dan daerah asal usul semula. Rasa cinta
seperti itu dewasa ini disebut semangat patriotisme. Jadi pada mulanya
nasionalisme dan patriotisme itu sama maknanya.
Menurut
Mulyana, nasionalisme dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mencintai bangsa
dan negara. Nasionalisme atau kebangsaan bukan sekedar instrumen yang berfungsi
sebagai perekat kemajemukan secara eksternal, namun juga merupakan wadah yang
menegaskan identitas Indonesia yang bersifat plural dalam berbagai dimensi
kulturalnya. Nasionalisme menuntut adanya perwujudan nilai-nilai dasar yang
berorientasi kepada kepentingan bersama dan menghindarkan segala legalisasi
kepentingan pribadi yang merusak tatanan kehidupan bersama (dalam Anggraeni
Kusumawardani & Faturochman,2004: 66).
Cinta tanah air adalah cara berpikir,
bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan
yang tinggi terhadap bangsa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan
politik bangsanya. Menurut Kodiran (dalam Anggraeni Kusumawardani &
Faturochman,2004: 71) karakteristik dari nasionalisme yang dimiliki seseorang
digambarkan oleh beberapa ahli dengan menunjukkan sikap-sikap tertentu yang
bermanfaat bagi diri dan lingkungannya. Kodiran
menyebutkan bahwa hasrat-hasrat untuk berprestasi, berencana,
bertanggung jawab, keterbukaan, kemandirian, kehormatan, rasionalitas dan
keadilan merupakan sendi-sendi utama dalam kualitas berbangsa dan bernegara
seorang warga negara.
b.
Makna Nasionalisme
Boyd
Shafer (1955: 6) mengatakan bahwa nasionalisme itu multi makna, hal tersebut
tergantung pada kondisi objektif dan subjektif dari setiap bangsa. Oleh sebab
itu nasionalisme dapat bermakna sebagai berikut:
(1) Nasionalisme adalah
rasa cinta pada tanah air, ras, bahasa atau budaya yang sama, maka dalam hal
ini nasionalisme sama dengan patriotisme.
(2) Nasionalisme adalah
suatu keinginan akan kemerdekaan politik, keselamatan dan prestise bangsa.
(3) Nasionalisme adalah
suatu kebaktian mistis terhadap organisme sosial yang kabur, kadang-kadang
bahkan adikodrati yang disebut sebagai bangsa atau Volk yang kesatuannya lebih
unggul daripada bagian-bagiannya.
4) Nasionalisme adalah
dogma yang mengajarkan bahwa individu hanya hidup untuk bangsa dan bangsa demi
bangsa itu sendiri.
(5) Nasionalisme adalah doktrin yang
menyatakan bahwa bangsanya sendiri harus dominan atau tertinggi di antara
bangsa-bangsa lain dan harus bertindak agresif.
Kendati
ada beragam definisi tentang nasionalisme, Hans Kohn (1971: 9) menggaris bawahi
bahwa esensi nasionalisme adalah sama, yaitu ” a state of mind, in which the supreme loyality of the individual is
felt to be due the nation state” (sikap mental, di mana kesetiaan tertinggi
dirasakan sudah selayaknya diserahkan
kepada negara bangsa).
c.
Peran
Nasionalisme
Nasionalisme
dipandang dalam aspek ideology, maka di dalamnya terkandung aspek: (1) cognitive; (2) goal/value orientation; (3) stategic.
Aspek cognitive mengandaikan perlunya
pengetahuan atau pemahaman akan situasi konkret sosial, ekonomi, politik dan
budaya bangsanya. Jadi nasionalisme adalah cermin abstrak dari keadaan
kehidupan konkret suatu bangsa. Maka peran aktif kaum intelektual dalam
pembentukan semangat nasional amatlah penting, sebab mereka itulah yang harus
merangkum kehidupan seluruh anak bangsa dan menuangkannya sebagai unsur
cita-cita bersama yang ingin diperjuangkan. Cendikiawan Soedjatmoko menyebut
nasionalisme tidak bisa tidak adalah nasionalisme yang cerdas karena
nasionalisme itu harus disinari oleh kebijaksanaan, pengertian, pengetahuan dan
kesadaran sejarah (Soedjatmoko, 1991: 29-30) .
Aspek
goal menunjuk akan adanya cita-cita,
tujuan ataupun harapan ideal bersama di masa datang yang ingin diwujudkan atau
diperjuangkan di dalam masyarakat dan negara. Cita-cita itu mencakup seluruh
aspek kehidupan manusia baik sosial, ekonomi, politik, ideologi, budaya, dll. yang
disepakati bersama. Dalam hal ini nasionalisme Indonesia mula-mula berjuang
untuk mengusir penjajah Belanda, merontokan feodalisme, primordialisme dan
membentuk negara bangsa (nation state) yang merdeka, sejahtera dan demokratis,
sebagai rumah bersama untuk seluruh warga bangsa dari Sabang sampai Meraoke.
Negara bangsa Indonesia adalah rumah bersama di mana kebhinnekaan suku, budaya, agama dan tradisi
dijamin sehingga semua warga bangsa dapat hidup damai, sejahtera dan
bebas.
Aspek strategic
menuntut adanya kiat perjuangan kaum nasionalis dalam perjuangan mereka untuk
mewujudkan cita-cita bersama, dapat berupa perjuangan fisik atau diplomasi,
moril atau spirituil, dapat bersifat moderat atau radikal, dapat secara
sembunyi-sembunyi atau terang-terangan, dan lain-lain. Kiat mana yang dipilih
akan tergantung pada situasi, kondisi konkret dan waktu setempat yang dihadapi
oleh suatu bangsa. Bagi bangsa Indonesia, masa revolusi memang harus berjuang
secara fisik dan diplomatis untuk melawan penjajah Belanda, tetapi sekarang
setelah merdeka nasionalisme bukan lagi untuk melawan penjajah tetapi mengisi
kemerdekaan dengan membasmi korupsi, menghilangkan kebodohan dan kemiskinan,
menegakan demokrasi, membela kebenaran dan kejujuran agar masyarakat madani dapat
diwujudkan, di mana setiap warga bangsa sungguh dapat mewujudkan cita-citanya.
Sartono Kartodirdja (1972: 65-67), menambahkan, nasionalisme harus mengandung
aspek affective, yaitu semangat solidaritas, unsur senasib, unsur kebersamaan
dalam segala situasi sehingga seluruh
warga bangsa sadar akan kebangsaannya.
Lebih
lanjut Sartono Kartodirdjo (1999: 13) menyatakan bahwa masyarakat Indonesia
pasca-revolusi apa lagi pasca-reformasi masih menuntut nasionalisme sebagai
faktor pemicu dalam proses konsolidasi orde sosial-politik yang dibingkai oleh
negara bangsa, terutama jika nasionalisme itu benar-benar disertai dengan
kelima prinsip utamanya, yakni menjamin kesatuan (unity) dan persatuan bangsa, menjamin kebebasan (liberty) individu ataupun kelompok, menjamin
adanya kesamaan (equality) bagi
setiap individu, menjamin terwujudnya kepribadian (personality), dan prestasi (performance)
atau keunggulan bagi masa depan bangsa. Selama kelima pilar nasionalisme
tersebut masih ada maka nasionalisme akan tetap relevan dan terus dibutuhkan
oleh setiap bangsa, dan lagi nasionalisme akan terus berkembang, dinamis sesuai
dengan tuntutan jaman serta kebutuhan bangsa yang bersangkutan. Oleh sebab itu
wajah nasionalisme dari waktu ke waktu dapat saja berubah dan berkembang, sakalipun
esensi dan unsur pokok tetaplah sama.
Benedict
Anderson juga menekankan tetap pentingnya nasionalisme bagi bangsa Indonesia,
dalam pengertian tradisional. Salah satu yang mendesak di Indonesia dewasa ini
adalah adanya apa yang disebut sebagai “defisit nasionalisme”, yakni semakin
berkurangnya semangat nasional, lebih-lebih di kalangan mereka yang kaya dan
berpendidikan (Anderson, 2001: 215) . Untuk itu Anderson menganjurkan
pentingnya ditumbuhkan kembali semangat nasionalis sebagaimana yang dulu hidup
secara nyata di kalangan para pejuang pergerakan dan revolusi. Ia mengusulkan
dibinanya semangat “nasionalisme kerakyatan” yang sifatnya bukan elitis
melainkan memihak ke masyarakat luas, khususnya rakyat yang lemah dan
terpinggirkan. Salah satu ciri pokok dari nasionalisme kerakyatan itu adalah
semakin kuatnya rasa kebersamaan senasib dan sepenanggungan sebagai bangsa
(Anderson, 2001: 214-215). Senada dengan itu, sejarawan Taufik Abdullah
(Kompas, 18 Agustus 2007) menambahkan bahwa nasionalisme saat ini yang
dibutuhkan adalah nasionalisme solidaritas sosial, yaitu kepedulian dan rasa
tanggungjawab antara warga bangsa karena mulai pudar di masyarakat maupun elite
politik.
2.3.
Kerangka Berpikir Penelitian
Gerekan
literaasi
|
Pendidikan
karakter
|
Motivasi
peserta didik
|
Nasionalisme
|
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Rancangan Penelitian
Jenis
penelitian yang digunakan dalam penulis dalam penelitian ini adalah penjelasan
(explanatory). Maksud dari penjelasan
itu yaitu peneliti berusaha menjelaskan
hubungan kausal yang terjadi antara variabel-variabel penelitian dan menguji
hipotesa yang telah dirumuskan (Singarimbun, 2005:3).
Explanatory
research atau penelitian penjelasan berusaha untuk menjelaskan hubungan
antara variabel-variabel melalui pengujian hopotesis, untuk menjelaskan
pengaruh variabel gerakan literasi, pendidikan karakter, motivasi peserta didik
sebagai variabel bebas terhadap peningkatan rasa nasionalisme sebagai variabel
terikat.
3.2.
Ruang
Lingkup Penelitian
Ruang lingkup
dalam penelitian ini adalah keterkaitan antara komponen gerakan literasi,
pendidikan karakter, motivasi peserta didik terhadap peningkatan rasa
nasionalisme di SMPK Marsudi Siwi- Malang.
3.3. Lokasi Penelitian
Penulis akan
melakukan penelitian dengan judul proposal ini di Sekolah Menengah Pertama
Katolik Marsudi Siwi-Malang. SMPK Marsudi Siwi bertempat di Jl. Candi Kalasan
no.10 Blimbing-Malang-Jawa Timur.
3.4.
Variabel Penelitian
Definisi variabel menurut Sugiyono
(2010: 38) adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari obyek atau kegiatan
yang mempunyai variasi tertentu yang diterapkan oleh peneliti untuk dipelajari
dan kemudian ditarik sebuah kesimpulan. Dalam penelitian yang akan dilakukan
penulis terdiri dari dua variabel, yaitu: variabel bebas (variabel independen)
dan variabel terikat (variabel independen). Adapun penjelasan dari
masing-masing variabel itu adalah demikian:
1.
Klarifikasi
Variabel-variabel
a.
Variabel
Bebas (X)
Menurut
Sugiyono (2010: 39), variabel independen adalah variabel yang mempengaruhi
suatu yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen
(terikat). Pada penelitian ini yang menjadi variabel bebas adalah:
1. Gerakan
Literasi (X1)
2. Pendidikan
Karakter (X2)
3. Motivasi
Peserta Didik (X3)
b.
Variabel
Terikat (Y)
Pengertian
dari variabel terikat menurut Sugiyono (2010: 39) adalah variabel yang
dipengaruhi atau menjadi akibat karena adanya variabel independen (bebas). Pada
penelitian ini yang menjadi variabel terikat atau dependen adalah Peningkatan
Rasa Nasionalisme.
2.
Defenisi konseptual Variabel
1. Gerakan Literasi
Gerakan literasi adalah kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan
sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas, antara lain membaca, melihat,
menyimak, menulis, dan berbicara (Kemendikbud 2016:2).
2. Pendidikan Karakter
Menurut Zuchdi
(2010:35) pendidikan karakter bersifat menyeluruh atau komprehensif, menyangkut
banyak aspek yang terkait menjadi satu kesatuan. Pendidikan karakter yang
bertumpu pada strategi tunggal sudah tidak memadai untuk dapat menjadikan
peserta didik memiliki moral yang baik.
3. Motivasi Peserta Didik
Motivasi adalah
sekelompok faktor yang menyebabkan individu berperilaku dalam cara-cara
tertentu. Motivasi merujuk pada kekuatan-kekuatan internal dan eksternal
seseorang yang membangkitkan antusiasme dan perlawanan untuk melakukan serangkaian
tindakan tertentu (Grifin 2003:38).
4. Rasa nasionalisme
Menurut Mulyana,
nasionalisme dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mencintai bangsa dan
negara. Nasionalisme atau kebangsaan bukan sekedar instrumen yang berfungsi
sebagai perekat kemajemukan secara eksternal, namun juga merupakan wadah yang
menegaskan identitas Indonesia yang bersifat plural dalam berbagai dimensi
kulturalnya. Nasionalisme menuntut adanya perwujudan nilai-nilai dasar yang
berorientasi kepada kepentingan bersama dan menghindarkan segala legalisasi
kepentingan pribadi yang merusak tatanan kehidupan bersama (dalam Anggraeni
Kusumawardani & Faturochman,2004: 66).
3.
Defenisi
oprasional variabel
1.
Gerakan
literasi
Gerakan
literasi merupakan sebuah gerakan untuk meningkatkan minat belajar peserta
didik secara komprehensif. Gerekan literasi dengan indikatornya adalah sebagai
berikut:
Ø Membaca
Ø Menulis
Ø Visualisasi
2.
Pendidikan
Karakter
Pendidikan Karakter
merupakan sebuah upaya untuk menumbuhkembangkan kesadaran peserta didik untuk
mepraktikkan kehidupan dnegan nilai-nilai angung yang diajarkan. Hal ini
sebagai upaya dilakukannya revolusi mental. Indikator dari pendidikan karakter
adalah:
Ø Pengetahuan
Moral
Ø Gotong
Royong
Ø Nilai-nilai
Pancasilais
3.
Motivasi
Peserta didik
Motivasi
peserta didik merupakan sebuah tindakan untuk memberikan dorongan atau dukungan
kepada diri sendiri atau orang lain untuk melakukan sesuatu hal. Indikator dari
motivasi peserta didik adalah demikian:
Ø Kebutuhan
aktualisasi diri
Ø Kebutuhan
Sosial
Ø Kebutuhan
rasa aman
Ø Kebutuhan
Fisiologis
Ø Penghargaan
4.
Rasa
Nasionalisme
Rasa Nasionalisme
merupakan tindakan cinta akan tanah air. Cinta akan tanah air dapat ditunjukkan
secara langsung dalam tindakan praktis kita. Cinta akan tanah air lahir dari
ekspresi bangga seseorang akan Negaranya, ingin memajukan Negara, dan
menjauhkan diri dari konflik kehidupan. Indikator dari rasa nasionalisme adalah:
Ø Cinta
tanah air
Ø Persatuan
dan kesatuan
Ø Kemanusiaan
3.5.
Jenis
dan Sumber Data
Sumber data adalah segala sesuatu yang menjelaskan
tentang dari mana data diperoleh. Sumber data dalam penelitian ini diperoleh
dari peserta didik dan Guru-guru di SMPK MARSUDISIWI Malang yang berupa
pengumpulan kuisioner dan data-data yang diterbitkan. Sedangkan jenis data yang
dipergunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah data primer, yaitu data
diperoleh dari penyebaran kuisioner kepada responden dimana pertanyaan terlebih
dahulu disediakan oleh peneliti.
Dalam rangka mendukung data penelitian, di samping
melalui kuisioner, peneliti mendapatkan data administratif dari dokumen-dokumen
pada sekolah atau lembaga tempat penulis teliti, seperti dokumen laporan dan
buku-buku yang berkaitan dengan pokok masalah dalam penelitian ini.
3.6.
Instrumen
Penelitian
Instrumen ini menggunakan kuisioner sebagai instrument
pengumpulan data yang dimaksudkan untuk memperoleh data deskriptif dalam
menguji hipotesis. Data diperoleh dengan menggunakan kuisioner yang bersifat
tertutup yaitu pertanyaan dibuat sedemikian rupa sehingga responden dibatasi
dalam memberi jawaban pada beberapa alternatif saja atau pada satu jawaban saja
(Nasir, 2008:46). Item skala penilaian ini disusun berdasarkan skala Likert. Skor yang dipakai adalah 5, 4,
3, 2, 1 yang diterapkan secara bervariasi sesuai kategori pertanyaan dengan
skor jawaban.
1. Sangat
setuju, dengan skor 5
2. Setuju,
dengan skor 4
3. Netral,
dengan skor 3
2. Tidak setuju,
dengan skor 2
1. Sangat tidak
setuju, dengan skor 1
Tabel 1.
Variabel, Indikator dan Item Pernyataan
Variabel
Penelitian
|
Indikator
|
Item
Pernyataan
|
|
Rasa Nasioanalisme (Y)
|
cinta
tanah air
|
1 Menghargai pluralisme agama,
budaya, suku, ras, dan golongan
|
|
1.Berusaha mencintai aneka kearifan lokal
yang ada
|
|||
2.
Mencintai aneka kreativitas anak
bangsa
|
|||
3.
Mencintai Pancasila, NKRI, Bhineka Tunggal
Ika, UUD 1945
|
|||
Persatuan dan kesatuan
|
Cinta
akan tanah air
|
||
Mengutamakan
kepentingan public
|
|||
Menanamkan
semangat gotong royong
|
|||
Hidup
bermasyarakat secara harmonis
|
|||
Kemanusian
|
Dapat menghargai
sesama yang berbeda etis, ras, suku, agama,dan golongan
|
||
Saling
menghormati dalam kehidupan
|
|||
Bersikap
humanis
|
|||
Tidak
diskriminatif
|
|||
Gerakan Literasi (X1)
|
Gerakan Membaca (X1.1)
|
1. Membaca
setiap hari
|
|
2. Mampu menjelaskan apa yang dibaca
|
|||
3. Bersedia membaca dengan teman atau
guru
|
|||
Menulis (X1.2)
|
1. Mencoba
beliterasi melalui tulisan sendiri
|
||
2. Menigkatkan
daya imajinasi yang kritis
|
|||
3. Bersedia
mengembangkan bakat atau talenta
|
|||
Visualisasi (X1.3)
|
Mengkritisi
segala apa yang dipertontonkan
|
||
Merangsang
daya kreatif dan sikap inovasi
|
|||
Memaknai
apa yang ditunjukkan
|
|||
Motivasi Peserta
Didik (X2)
|
Keinginan dan niat (X2.1)
|
1. Keinginan
kuat untuk memulai
|
|
2. Niat
yang baik
|
|||
3. Aksi
|
|||
Kebutuhan
Rasa aman (X2.2)
|
1. Jaminan hari tua berupa pengetahun
|
||
2. Perasaan tenang dan aman dalam belajar
|
|||
3. Lingkungan yang
mendukung
|
|||
Kebutuhan
Sosial (X2.3)
|
1. Keharmonisan hubungan atau
relasi
|
||
2. Kerjasama
|
|||
3. Perasaan diterima di lingkungan
|
|||
Kebutuhan
Penghargaan (X2.4)
|
1. Pengakuan dan penghargaan atas
hasil kerja
|
||
2. Perasaan dihormati
|
|||
3. Dipuji karena menghasilkan
prestasi
|
|||
Kebutuhan
Aktualisasi diri (X2.5)
|
1. Memiliki kesempatan mengikuti pendidikan dan
|
||
Pelatihan
|
|||
2. Memiliki peluang yang sama untuk
promosi
|
|||
Diri
|
|||
3. Memiliki peluang untuk bekerja secara mandiri
|
|||
Pendidikan Karakter (X3)
|
Pengetahuan Moral (X3.1)
|
1. mencintai
kebaikan
|
|
2. bersikap
jujur dan adil
|
|||
3. Berhati
nurani
|
|||
Gotong Royong (X3.2)
|
1.
Bekerja sama atau bahu-membahu
|
||
2.
Meingkatkan kreatifitas manusia
muda
|
|||
3.
Pembangunan bangsa dan Negara
|
|||
4.
Semangat juang untuk berinovasi
|
|||
Nilai-nilai kehidupan (X3.3)
|
1. Keutamaan
Nilai hidup
|
||
2. Nilai
sosial
|
|||
3.Nilai
Religius
|
|||
4.Nilai-nilai
Pancasilais
|
|||
3.7. Populasi dan Teknik
Pengambilan Sampel
1.
Populasi
Populasi
merupakan wilayah generalisasi yang terdiri atas: obyek atau subyek yang
mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2009). Sedangkan
pendapat lain mengatakan bahwa Populasi adalah Keseluruhan objek penelitian
yang terdiri dari manusia, benda, tumbuh-tumbuhan dan peristiwa sebagai sumber
data yang mempunyai karakteristik tertentu
dalam sebuah penetian.
Dalam
penelitian ini, yang dijadikan populasi adalah seluruh peserta didik SMPK
Marsudi Siwi Malang dan Para Guru di SMPK Marsudi Siwi Malang.
4.
Sampel
Sampel merupakan
sebagian dari populasi. Sampel didefinisikan sebagai sub dari seperangkat
elemen yang dipilih untuk dipelajari (Sarwono, 2006). Dari populasi yang ada
akan diambil sebagian sebagai sampel untuk mewakili keseluruhan populasi dalam
penelitian ini. Dalam penel
3.8. Teknik Pengambilan Data
Data
suatu penelitian dikatakan valid atau tidaknya tergantung pada jenis
pengumpulan data yang dipergunakan untuk pemilihan metode yang tepat sesuai
dengan jenis dan sumber data dalam penelitian. Teknik pengumpulan data
adalah upaya untuk mengamati variabel yang di teliti antara lain:
a. Metode
angket
Menurut
Sugiyono (2009:121),metode ini digunakan bila responden dalam jumlah yang
banyak dan dapat membaca dengan baik dan dapat mengungkapkan hal-hal yang
sifatnya rahasia. Angket merupakan sebuah daftar pertanyaan-pertanyaan yang
harus dikerjakan oleh orang-orang yang ingin diselidiki atau responden.
b. Observasi
(Pengamatan)
Observasi
yaitu tehnik pengumpulan data dimana peneliti mengadakan pengamatan secara
langsung atau tidak langsung terhadap gejala-gejala yang sedang berlangsung. Metode
observasi digunakan bila obyek penelitian bersifat perilaku manusia, proses
kerja, gejala alam, responden kecil. Teknik ini digunakan penulis dalam
penelitian ini untuk memperoleh gambaran mengenai SMPK Marsudi Siwi Kecamatan
Blimbing-Malang.
c. Interview
Interview
adalah salah satu pengumpulan data dengan jalan tanya jawab sepihak yang
dikerjakan sistematis dan berdasarkan pada tujuan penelitian (Sugiyono,
2009:121). Menurut Suharsimi Arikunto (2002:57), wawancara digunakan sebagai
teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan
untuk menemukan permasalahan yangnharus diteliti, dan juda apabila peneliti
ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam dan jumlah
respondennya sedikit atau kecil. Interview digunakan untuk berdialog dalam
menggali informasi oleh peneliti terhadap para responden. Interview digunakan
oleh peneleiti untuk menilai keadaan seseorang, misalnya untuk mencari data
tentang variabel latar belakang murid, orang tua, pendidikan, perhatian, sikap
terhadap sesuatu. Dalam teknik penelitian ini, penulis menggunakannya untuk
menggali informasi dari Kepala Sekolah, para Guru, dan siswa-siswi di SMPK
Marsudi Siwi Malang.
d. Dokumentasi
Menurut
Suharsimi (2006:236), dokumentasi mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang
berupa, catatan atau transkrip, surat kabar, majalah, notulen rapat, agenda dan
sebagainya. Dalam hal ini penulis mencari dan mengumpulkan data yang berasal
dari catatan atau arsip-arsip tersimpan yang terkait dalam penelitian ini.
3.9. Teknik Analisis Data
Data hasil penelitian yang diperoleh
akan dianalisis menggunakan teknik sebagai berikut:
1. Analisis
deskriptif
Analisis ini dipakai untuk mendeskripsikan setiap
variabel penelitian.
2. Analisis
regresi linier berganda
Analisis ini digunakan
untuk mengetahui pengaruh dua atau lebih variable bebas terhadap satu variable
terikat. Analisis ini juga berguna untuk mengetahui variabel bebas manakah yang
paling berpengaruh di antara variabel yang lain.
Model persamaan regresi
linier berganda adalah sebagai berikut:
Y = α + b1X1
+ b2X2 + b3X3+ ε
Dimana :
Y =
Rasa Nasionalisme
X1
= Gerakan Literasi
X2
= Pendidikan Karakter
X3 = Motivasi Peserta didik
ε =
error
α =
Intercept
b1, b2,
b3 = Koefisien regresi
variabel bebas
3. Uji Hipotesis
Uji F digunakan untuk
menguji besarnya pengaruh variable bebas secara bersama terhadap variable
terikat. Rumusan uji F adalah sebagai berikut :
R2/k
|
(1-R2) /
(n-k-1)
|
Dimana :
F
= Nilai F hitung
R2 = Koefisien determinan
K
= Jumlah variable bebas
n
= jumlah sampel
Untuk mengetahui pengaruh dari
kedua variable bebas secara bersama terhadap variable terikat dapat melihat
table ANOVA yang berisi tentang probabilitas dalam menguji hipotesis yang
dirumuskan sebagai berikut:
1)
H0 : b1 = b2 = b3 = 0.
2)
Ha : b1
≠ b2 ≠ b3 ≠0.
Hasil uji hipotesis dapat
diperoleh dengan membandingkan probabilitas dengan α = 0,05 dengan criteria
sebagai berikut :
1)
Apabila probabilitas dalam table anova < α = 0,05
maka H0 ditolak dan Ha diterima.
2)
Apabila probabilitas dalam table anova > 0,05 maka H0
diterima dan Ha ditolak.
Penerimaan terhadap H0
berarti variabel yang diuji tidak mempunyai pengaruh terhadap variabel terikat.
Sedangkan penolakan terhadap H0 berarti variabel bebas mempunyai
pengaruh nyata terhadap variabel terikat.
Selanjutnya uji t. Uji ini
dilakukan untuk mengetahui pengaruh masing masing variabel bebas terhadap
table. Uji t dilakukan untuk menguji variabel bebas yang paling dominan
mempengaruhi variabel terikat.
t =
Dimana
:
t :
nilai t hitung
bi : koefisien regresi
Sb
: standar eror / standar deviasi bi
Untuk
mengetahui pengaruh variabel bebas secara terpisah terhadap variabel terikat,
maka table koefisien yang mencantumkan angka probabilitas dalam menguji
hipotesis yang dirumuskan sebagai berikut:
1) H0
: bi = 0 berarti
variabel bebas (X1, X2, X3) secara terpisah tidak
berpengaruh terhadap variabel terikat.
2) Ha
: bi ≠ 0 berarti variabel
bebas (X1, X2, X3) secara
terpisah berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat.
Pengujian
hipotesis dilakukan dengan membandingkan antara probabilitas dengan α = 0,05
dengan criteria sebagai berikut :
1) Apabila
probabilitas (P) < α, dimana α = 5%, maka H0 ditolak dan Ha
diterima yang berarti variabel bebas berpengaruh terhadap variabel terikat.
2) Apabila
probabilitas (P) > α, dimana α = 5%, maka Ha ditolak yang berarti
variabel bebas tidak berpengaruh terhadap variabel terikat.
Daftar Pustaka
Agusrida, Strategi Menumbuhkan Motivasi
Belajar Peserta Didik.
dalam http://bdkpadang.kemenag.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=452:strategi-menumbuhkan-motivasi-belajar-peserta-didik&catid=41:top-headlines
Anderson,
Benedict. 2001. ”Kebutuhan Indonesia:
Nasionalisme Dan Menumpas Keserakahan” dalam Joesoef Ishak, 100 Tahun Bung
Karno. Jakarta: Hasta Mitra.
Kirschenbaum,
Howard. 1995. 100 Ways to Enhance Values
and Morality in Schools and Youth Settings. Boston: Allyn and Bacon.
Khon,
Hans. 1971. Nasionalisme Arti dan
Sejarahnya (terjemahan Sumantri Mertodipura), Djakarta: Pustaka Sardjana.
Kusumawardani,
Anggraeni & Faturochman, 2004, “Nasionalisme”dalam
Buletin Psikologi, Tahun XII, No. 2, Desember.
Muslich,
Masnur. 2011. Pendidikan Karakter:
Menjawab Tantangan Krisis Multidimensi. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Pupuh
Fathurrohman dan M. Sobry Sutikno. 2010. Strategi Belajar Mengajar:
Strategi Mewujudkan Pembelajaran Bermakna Melalui Penanaman Konsep Umum &
Konsep Islami. Bandung: PT Refika Aditama.
Ritter, Herry.
1986. Dictionary of Concepts in History.
New York: Greenwood Press.
Ryan,
Kevin & Karen E. Bohlin. 1999.
Building Character in Schools – Practical Ways to Bring Moral Instruction to
Life. San Fransisco: Jossey-Bass a Wiley Imprint.
Samani,
Muchlas. 2013. Konsep dan Model
Pendidikan Karakter. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sardiman A.M 2006. Interaksi dan Motivasi Belajar
Mengajar, Jakarta
:CV.Rajawali.
Sartono
Kartodirdjo. 1999. Multidimensi
Pembangunan Bangsa: Etos Nasionalisme dan Negara Kesatuan. Yogyakarta:
Penerbitan Kanisius.
Shafer,
Boyd C. 1955. Nationalism Myth and
Reality. New York: A Harvest Book Harcourt
Soedjatmoko,
1991. ”Nasionalisme Sebagai Prospek
Belajar” dalam majalah Prisma, 2 Februari 1991
PENGARUH GERAKAN LITERASI TERHADAP
PENINGKATAN RASA NASIONALISME MELALUI PENDIDIKAN KARAKTER DAN MOTIVASI SISWA
Di SMPK MARSUDI SIWI MALANG
Yosep Belen Keban
NIM: 1707000065
Pascasarjana Universitas Merdeka
Malang
2018
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah
Perkembangan
zaman modernisasi yang kini berubah menjadi postmodernisasi semakin menyata
dalam dinamika hidup anak manusia. Seiring dengan perkembangan zaman tersebut,
setiap pribadi dituntut untuk berinovasi dan berkreativitas. Perkembangan yang
pesat tentu saja membawa aneka perubahan di dalamnya termasuk penggerusan
akar-akar nilai hidup yang diyakini sebagai keutamaan-keutamaan dalam
kehidupan. Perkembangan di lain sisi membawa perubahan yang dahsyat namun
dilain sisi kita harus mengamini bahwa perlahan budaya sopan santun atau tata kerama
semakin jauh dari yang didambahkan. Sebagai contoh di Negara kita Indonesia
acapkali kita mendengar aneka berita miris dan hal itu sungguh disayangkan. Muncul
aneka persoalan seperti isu SARA yang selalu disandingkan dengan perhelatan
pesta demokrasi, hasut-menghasut, radikalisme, terorisme, hoax, korupsi, dan aneka persoalan lainnya. Persoalan-persoalan
demikian menggambarkan potret ke-indonesia-an yang buram. Negeri yang penuh
dengan aneka konflik. Hal ini disebabkan oleh Sumber Daya Manusia (Human Resource) yang lemah dan
kehilangan keutamaan nilai dalam kehidupan.
Potret
keburaman ke-indonesia-an itu disebabkan oleh sikap egoisme, ketamakan atau
kerakusan, superioritas, ekonomis, politik, dan lain sebagainya. Potret buram
ini yang menjadi tanggungjawab kita semua untuk mengembalikan citra kebhinekaan
seperti semula. Harus diakui bahwa ini bukan tindakan yang mudah namun mau
tidak mau kita harus memiliki tekat untuk berjuang melawan bangsa kita sendiri.
Hal ini senada seperti apa yang dikumandangkan oleh Bung Karno, bahwa
perjuangan kalian adalah melawan bangsamu sendiri dan hal ini teramat berat.
Inilah penjajahan konteks modern di mana anak bangsa mengebiri dan mencaplok
habis hasil dari ibu pertiwi. Mari kita selamatkan bangsa ini degan menanamkan
sejak dini sikap nasionalisme.
Nasionalisme menurut Boyd Shafer (1955: 6) memiliki multi
makna, hal tersebut tergantung pada kondisi objektif dan subjektif dari setiap
bangsa. Oleh sebab itu nasionalisme dapat bermakna sebagai berikut: (1) Nasionalisme adalah rasa cinta pada tanah
air, ras, bahasa atau budaya yang sama, maka dalam hal ini nasionalisme sama
dengan patriotisme. (2) Nasionalisme adalah suatu keinginan akan kemerdekaan
politik, keselamatan dan prestise bangsa. (3) Nasionalisme adalah suatu
kebaktian mistis terhadap organisme sosial yang kabur, kadang-kadang bahkan
adikodrati yang disebut sebagai bangsa atau Volk yang kesatuannya lebih unggul
daripada bagian-bagiannya. (4) Nasionalisme adalah dogma yang mengajarkan bahwa
individu hanya hidup untuk bangsa dan bangsa demi bangsa itu sendiri. (5)
Nasionalisme adalah doktrin yang menyatakan bahwa bangsanya sendiri harus
dominan atau tertinggi di antara bangsa-bangsa lain dan harus bertindak
agresif.
Untuk
menumbuhkembangkan sikap nasionalime atau sikap cinta tanah air hendaknya
diprogramkan dengan baik. Pemerintah dalam hal ini sangat cepat merespon aneka
persoalan yang ada dengan menerapkan aneka kebijakan terlebih khusus dalam
dunia pendidikan. Dunia pendidikan menjadi titik awal dan sorotan sebab dunia
pendidikan merupakan tempat atau gudang ilmu yang mengajarkan banyak hal kepada
peserta didik. Adapun niat dan upaya pemerintah untuk menanamkan rasa
nasionalisme adalah dengan memasukan pendidikan karakter dan gerakan literasi
dalam dunia pendidikan.
Gereka literasi merupakan sebuah fenomena
kekinian yang mengajak semua orang untuk berpartisipasi dalam program ini.
Salah satu tujuan dari gerakan ini adalah memberantas buta aksara. Selain itu,
gerakan literasi menjadi pemicu dan membuka cakrawala pengetahuan dan sumber
daya manusia itu sendiri. Gereka literasi dapat membuat kita menjadi kritis dan
bijak dalam menjalankan kehidupan. Inilah niat dan upaya pemerintah dalam
memberantas ketidakadilan atau konflik yang sedang menjamur di negeri ini.
Lantas apa itu literasi? Menurut Kemendikbud (2016:2), literasi adalah
kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas, antara lain membaca,
melihat, menyimak, menulis, dan berbicara. Dengan demikian, literasi merupakan
gerakan kesadaran untuk memberantas buta huruf dan meningkatkan kesadaran
manusia itu sendiri.
Dengan adanya
gerakan literasi dapat membawa perubahan besar bagi bangsa Indonesia. Salah
satunya adalah untuk mengantisipasi budaya nasional dengan aneka budaya asing (modernisasi-westernisasi) yang pada saat
ini meluas sampai dipelosok daerah. Pengaruh ini yang menurunkan minat dan niat
kaum mudah melemah atau melempem akan nilai cinta akan tanah air atau
nasionalisme. Berkat adanya gerakan ini atau gerakan literasi ini kita mau
menyelamatkan generasi bangsa dari kungkungan pemikiran dan konsep atau
paradigm ke-barat-an yang merasuki pemikiran mereka yang pada akhirnya dapat
menafikan aneka nilai hidup. Dengan adanya gerakan literasi diharapkan dapat
memotivasi seluruh masyarakat Indonesia secara khusus bagi para peserta didik
untuk berusaha mencintai tanah air.
Motivasi
para peserta didik untuk mencintai literasi harus dapat diamalkan secara
langsung dalam tindak-tanduk atau dapat membumikan literasi itu sendiri. Hal
yang diharapkan adalah mengubah perpektif manusia menjadi manusia “unggul” yang
semakin mencintai tanah air (nasionalisme).
Bentuk kecintaan itu adalah tindakan praktis setelah adanya literasi. Jadi,
literasi harus ada aksinya di lapangan dengan cara perubahan diri. Perubahan
diri itu dilakukan melalui adanya pendidikan karakter. Pendidikan karakter
menjadi boomming saat ini yang kita
kenal dengan adanya revolusi mental. Revolusi mental yang diharapkan adalah
adanya peruabahan dari dalam diri untuk melakukan keutaman dalam kehidupan.
Adalah Aristoteles seorang filsuf Yunani kondang pernah mengatakan dengan baik
bahwa manusia hidup untuk mengejar kebaikan itu sendiri. Kebaikan yang
dimaksudkan adalah memiliki empat keutamaan itu. Kita semua dipanggil untuk
melakukan kebaikan. Nah, melihat fenomena bangsa kita yang semakin hari diterpa
badai persoalan seperti yang teleh disebutkan di atas maka perluh adanya
perubahan sikap dan mental. Peruabahan sikap dan mental itu harus dilakukan
sejak dini baik itu dalam keluarga, sekolah, atau pun masyarakat.
Menurut
Lickona (Kirschenbaum, 1995:28) pendidikan karakter adalah upaya mengembangkan
kebajikan sebagai fondasi dari kehidupan yangberguna, bermakna, produktif dan
fondasi untuk masyarakat yang adil, penuh belas kasih dan maju. Karakter yang
baik meliputi tiga komponen utama, yaitu: moral
knowing, moral feeling, moral action.
Sebagai wahana
utama dalam pembangunan bangsa dan watak (nation
and character building), pendidikan dituntut untuk memberikan perhatian
yang sungguh-sungguh terhadap pengembangan diri manusia. Dengan cara ini,
diyakini bahwa pendidikan akan memberi kontribusi yang nyata dan bermakna dalam
mendukung pembangunan karakter bangsa secara keseluruhan yang menjadi agenda
besar negara R.I. Perspektif pembangunan pendidikan tidak hanya ditujukan untuk
mengembangkan aspek intelektual saja melainkan juga watak, moral, sosial dan
fisik perserta didik, atau dengan kata lain menciptakan manusia Indonesia
seutuhnya.
Berdasarkan
penelitian terdahulu yang ditemukan secara terpisah, adanya pengaruh antara
gerakan literasi terhadap rasa nasionalisme, adanya pengaruh antara motivasi
peserta didik untuk mencinta tanah air (nasionalisme) dan juga adanya pengaruh
antara pendidikan karakter terhadap rasa nasionalisme. Berdasarkan temuan
penelitian terdahulu maka penulis menyimpulkan bahwa adanya pengaruh signifikan
antara gerakan literasi, motivasi peserta didik, dan juga pendidikan karakter
terhadap nasionalisme. Berkaitan dengan fenomena dan persoalan di atas, penulis
dalam penelitian ini memberanikan diri untuk meneliti dan mengangkat
kepermukaan fenomena-fenomena itu untuk dijadikan sebagai kasus diskursus.
Adapun judul yang hendak digali adalah “Pengaruh
Gerakan Literasi Terhadap Peningkatan Rasa Nasionalisme Melalui Pendidikan
Karakter dan Motivasi Siswa”.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas, maka penulis dapat merumuskan permasalahan
dalam penelitian ini adalah demikian:
1. Bagaimana
literasi, pendidikan karakter, dan motivasi siswa terhadap peningkatan rasa
nasionalisme peserta didik di SMPK Marsudisiwi-Malang?
2. Adakah
dampak signifikan antara gerakan literasi, pendidikan karakter danmotivasi siswa
terhadap peningkatan rasa nasionalisme di SMPK Marsudisiwi?
1.3.
Tujuan Penelitian
Adapun
tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah demikian:
1. Untuk
mendeskripsikan variabel gerakan literasi, pendidikan karakter, motivasi siswa dan
peningkatan rasa nasionalisme di SMPK Marsudisiwi-Malang
2. Untuk
menganalisis pengaruh variabel gerakan literasi, pendidikan karakter dan
motivasi siswa secara simultan dan parsial terhadap peningkatan rasa
nasionalisme di SMPK Marsudisiwi-Malang
3. Manakah
varibael gerakan literasi, pendidikan karakter dan motivasi siswa yang
berpengaruh dominan terhadap peningkatan rasa nasionalisme di SMPK
Marsudisiwi-Malang.
1.4.
Kegunaan Penelitian
Dari
hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang sangat berarti
bagi dunia pendidikan. Kegunaan yang didambakan dari hasil penelitian ini
antara lain:
1.
Teoritis
a. Penelitian
ini sebagai sumbangsi pemikiran untuk mengembangkan khazana keilmuan dalam
dunia pendidikan berdasarkan teori pendidikan yang berkaitan dnegan komponen
gerakan literasi, pendidikan karakter, motivasi peserta didik mengenai rasa
nasionalisme.
b. Bagi
pengembangan ilmu pengetahuan, dapat memberikan suatu karya peneliti baru yang
dapat mendukung rasa nasionalisme
c. Bagi
peneliti lain dapat dijadikan sebagai referensi dalam penelitian lebih lanjut
2.
Praktis
a. Bagi
pihak terkait diharapkan dapat memberikan input
dan tambahan informasi bagi pihak Sekolah Menengah Pertama Katolik di Kota
Malang
b. Bagi
Dinas Pendidikan, sebagai pengambil kebijakan, penelitian ini merupakan sumber
masukan positif dalam mendorong perserta didik untuk menanamkan kesdadaran diri
akan rasa cinta bangsa dan Negara.
c. Bagi
pemerhati pendidikan, sebagai bahan untuk membuka cakrawa pemikiran bersama
bahwa gerakan literasi dan pendidikan karakter sangat membatu peserta didik
untuk meningkatkan rasa nasionalisme.
d. Bgai
para Guru, yaitu dapat menambah informasi bahwa literasi dan pendidikan
karakter sangat penting bagi peserta didik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Landasan Teori
2.1.1.
Gerakan
Literasi
a.
Pengertian
Literasi
Literasi
berasal dari kata bahasa Latin yaitu “literatus”
yaitu orang yang belajar. Dalam bahasa Latin juga dikenal dengan istila literra atau huruf. Sedangkan literasi
dalam bahasa Inggris yaitu literacy
yang berarti kemampuan membaca dan menulis dan kompetensi dan pengetahuan
dibidang khusus. Secara bahasa literasi
adalah keberaksaraan, yaitu kemampuan menulis dan membaca. Dari gambaran
pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa literasi merupakan kemampuan
seseorang dalam mengolah dan memahami informasi saat melakukan proses membaca
dan menulis. Namun demikian, literasi utamanya berhubungan dengan bahasa dan
bagaimana bahasa itu digunakan. Adapun sistem bahasa tulis itu sifatnya
sekunder. Berbicara mengenai bahasa, tentunya tidak lepas dari pembicaraan
mengenai budaya karena bahasa itu sendiri merupakan bagian dari budaya.
Sehingga, pendefinisian istilah literasi tentunya harus mencakup unsur yang
melingkupi bahasa itu sendiri, yakni situasi sosial budayanya. Berkenaan dengan
ini Kern (2000) mendefinisikan istilah literasi secara komprehensif sebagai
berikut:
Literacy
is the use of socially-, and historically-, and culturallysituated practices of
creating and interpreting meaning through texts. It entails at least a tacit
awareness of the relationships between textual conventions and their context of
use and, ideally, the ability to reflect critically on those relationships.
Because it is purpose-sensitive, literacy is dynamic – not static – and
variable across and within discourse communities and cultures. It draws on a
wide range of cognitive abilities, on knowledge of written and spoken language,
on knowledge of genres, and on cultural knowledge. (Literasi adalah penggunaan
praktik-praktik situasi sosial, dan historis, serta kultural dalam menciptakan
dan menginterpretasikan makna melalui teks. Literasi memerlukan setidaknya
sebuah kepekaan yang tak terucap tentang hubunganhubungan antara
konvensi-konvensi tekstual dan konteks penggunaanya serta idealnya kemampuan
untuk berefleksi secara kritis tentang hubungan-hubungan itu. Karena peka
dengan maksud/ tujuan, literasi itu bersifat dinamis – tidak statis – dan dapat
bervariasi di antara dan di dalam komunitas dan kultur diskursus/ wacana.
Literasi memerlukan serangkaian kemampuan kognitif, pengetahuan bahasa tulis
dan lisan, pengetahuan tentang genre, dan pengetahuan kultural).
Dari pernyataan di atas dapat
diketahui bahwa literasi memerlukan kemampuan yang kompleks. Sedangkan Literasi
menurut Kemendikbud (2016:2) adalah kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan
sesuatu secara cerdas melalui berbagai
aktivitas, antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis, dan berbicara. Gerakan
literasi ada begitu banyak namun titik focus pada penulisan ini adalah gerakan
literasi yang dilakukan di sekolah. Oleh karena demikian, gerakakan literasi
sekolah merupakan merupakan suatu usaha atau kegiatan yang bersifat
partisipatif dengan melibatkan warga sekolah (siswa, guru, kepala sekolah,
tenaga kependidikan, pengawas sekolah, komite sekolah, orang tua atau wali
murid siswa), akademisi, penerbit, media masa, masyarakat dan pemangku kepentingan di bawah koordinasi Direktorat
Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Gerakan literasi sekolah menurut
Kemendikbud (2016:3) merupakan gerakan sosial dengan dukungan kolaboratif
berbagai elemen.Upaya yang ditempuh untuk mewujudkannya berupa pembiasaan
membaca siswa. Dalam pengetahuan umum, literasi sering disalah artikan dengan
aktivitas membaca (read). Literasi
dalam pandangan ini boleh dikatakan sebagai pemahaman yang sempit. Dalam arti
luas, literasi tidak hanya meliputi kegiatan membaca tetapi juga ada aktivitas
menulis,pendengaran, dan juga video. Hal ini sama persis dengan pengertian
litersi yang dikemukaan oleh Nationale
Institute for Literacy (NIFL). Litersi menurut NIFL adalah kemampuan
individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah
pada tingkat keahlian yang dibutuhkan dalam keluaraga, pekerjaan, dan
masyarakat. Sedangkan UNESCO, menjelaskan bahwa kemampuan literasi merupakan
hak setiap orang danmerupakan dasar untuk belajar sepanjang hayat. Dengan
demikian, literasi merupakan gerakan kesadaran untuk memberantas buta huruf dan
meningkatkan kesadaran manusia itu sendiri.
b.
Prinsip
Pendidikan Literasi
Menurut Kern (2000) terdapat tujuh
prinsip pendidikan literasi, yaitu:
1. Literasi melibatkan interpretasi Penulis/
pembicara dan pembaca/ pendengar berpartisipasi dalam tindak interpretasi,
yakni: penulis/ pembicara menginterpretasikan dunia (peristiwa, pengalaman,
gagasan, perasaan, dan lain-lain), dan pembaca/ pendengar kemudian
mengiterpretasikan interpretasi penulis/ pembicara dalam bentuk konsepsinya
sendiri tentang dunia.
2. Literasi melibatkan kolaborasi Terdapat kerjasama
antara dua pihak yakni penulis/ pembicara dan membaca/ pendengar. Kerjasama
yang dimaksud itu dalam upaya mencapai suatu pemahaman bersama. Penulis/
pembicara memutuskan apa yang harus ditulis/ dikatakan atau yang tidak perlu
ditulis/ dikatakan berdasarkan pemahaman mereka terhadap pembaca/ pendengarnya.
Sementara pembaca/ pendengar mencurahkan motivasi, pengetahuan, dan pengalaman
mereka agar dapat membuat teks penulis bermakna.
3. Literasi melibatkan konvensi Orang-orang membaca
dan menulis atau menyimak dan berbicara itu ditentukan oleh konvensi/
kesepakatan kultural (tidak universal) yang berkembang melalui penggunaan dan
dimodifikasi untuk tujuan-tujuan individual. Konvensi disini mencakup
aturan-aturan bahasa baik lisan maupun tertulis.
4. Literasi melibatkan pengetahuan kultural. Membaca
dan menulis atau menyimak dan berbicara berfungsi dalam sistem-sistem sikap,
keyakinan, kebiasaan, cita-cita, dan nilai tertentu. Sehingga orang-orang yang
berada di luar suatu sistem budaya itu rentan/ beresiko salah
dipahami oleh orang-orang yang berada dalam sistem budaya tersebut.
5. Literasi melibatkan pemecahan masalah. Karena
kata-kata selalu melekat pada konteks linguistik dan situasi yang
melingkupinya, maka tindak menyimak, berbicara, membaca, dan menulis itu
melibatkan upaya membayangkan hubungan-hubungan di antara katakata,
frase-frase, kalimat-kalimat, unit-unit makna, teks-teks, dan duniadunia. Upaya
membayangkan/ memikirkan/ mempertimbangkan ini merupakan suatu bentuk pemecahan
masalah.
6. Literasi melibatkan refleksi dan refleksi diri.
Pembaca/ pendengar dan penulis/ pembicara memikirkan bahasa dan
hubungan-hubungannya dengan dunia dan diri mereka sendiri. Setelah mereka
berada dalam situasi komunikasi mereka memikirkan apa yang telah mereka
katakan, bagaimana mengatakannya, dan mengapa mengatakan hal tersebut.
7. Literasi melibatkan penggunaan bahasa. Literasi
tidaklah sebatas pada sistem-sistem bahasa (lisan/ tertulis) melainkan
mensyaratkan pengetahuan tentang bagaimana bahasa itu digunakan baik dalam
konteks lisan maupun tertulis untuk menciptakan sebuah wacana/ diskursus.
Dari poin diatas maka prinsip
pendidikan literasi adalah literasi melibatkan interpretasi, kolaborasi,
konversi, pengetahuan kultural, pemecahan masalah, refleksi diri, dan
melibatkan penggunaan bahasa.
c.
Model
Literasi
Menurut UNESCO yang dikutip oleh
Nasution (2013: 12-13), memasukkan enam kategori kelangsungan hidup kemampuan
literasi abad 21 yang terdiri dari:
1. Basic Literacy, kadang-kadang disebut
Literasi Fungsional (Functional Literacy),
merupakan kemampuan dasar literasi atau sistem belajar konvensional seperti
bagaimana membaca, menulis, dan melakukan perhitungan numerik dan
mengoperasikan sehingga setiap individu dapat berfungsi dan memperoleh
kesempatan untuk berpartisipasi di masyarakat, di rumah, di kantor maupun
sekolah.
2. Computer
literacy, merupakan seperangkat keterampilan, sikap dan pengetahuan yang
diperlukan untuk memahami dan mengoperasikan fungsi dasar teknologi informasi
dan komunikasi, termasuk perangkat dan alat-alat seperti komputer pribadi (PC),
laptop, ponsel, iPod, BlackBerry, dan sebagainya, literasi
komputer biasanya dibagi menjadi hardware
dan software literasi.
3. Media
Literacy, merupakan seperangkat keterampilan, sikap dan pengetahuan yang
diperlukan untuk memahami dan memanfaatkan berbagai jenis media dan format di
mana informasi di komunikasikan dari pengirim ke penerima, seperti gambar,
suara, dan video, dan apakah sebagai transaksi antara individu, atau sebagai
transaksi massal antara pengirim tunggal dan banyak penerima, atau, sebaliknya.
4. Distance Learning dan E-Learning adalah istilah yang merujuk
pada modalitas pendidikan dan pelatihan yang menggunakan jaringan telekomunikasi,
khususnya world wide web dan
internet, sebagai ruang kelas virtual bukan ruang kelas fisik. Dalam distance learning dan elearning, baik
guru dan siswa berinteraksi secara online, sehingga siswa dapat menyelesaikan
penelitian dan tugas dari rumah, atau di mana saja di mana mereka dapat
memperoleh akses ke komputer dan saluran telepon.
5. Cultural
Literacy. Merupakan literasi budaya yang berarti pengetahuan, dan
pemahaman, tentang bagaimana suatu negara, agama, sebuah kelompok etnis atau
suatu suku, keyakinan, simbol, perayaan, dan cara komunikasi tradisional,
penciptaan, penyimpanan, penanganan, komunikasi, pelestarian dan pengarsipan
data, informasi dan pengetahuan, menggunakan teknologi. Sebuah elemen penting
dari pemahaman literasi informasi adalah kesadaran tentang bagaimana faktor budaya
berdampak secara positif maupun negatif dalam hal penggunaan informasi modern
dan teknologi komunikasi
6. Information
literacy, erat kaitannya dengan pembelajaran untuk belajar, dan berpikir
kritis, yang menjadi tujuan pendidikan formal, tapi sering tidak terintegrasi
ke dalam kurikulum, silabus dan rencana pelajaran, kadang-kadang dibeberapa
negara lebih sering menggunkan istilah information
competencies atau information fluency
atau bahkan istilah lain.
2.2.Pengertian
Pendidikan Karakter
a. Pengertian Pendidikan Karakter
Pendidikan
karakter merupakan upaya penyadaran dari seorang guru untuk mengajarkan
nilai-nilai kepada para siswanya. Upaya itu tidak hanya dilakukan oleh para
guru tetapi intervensi secara lagsung dari pemerintah. Tindakan proaktif itu
bertujuan untuk membantu peserta didik mengembangkan inti pokok dari
nilai-nilai etis dan nilai-nilai kinerja seperti kerajinan, kejujuran,
kepedulian, fairness, keuletan dan
lain sebagainya. Menurut Burke
pendidikan karakter merupakan bagian dari pembelajaran yang baik dan merupakan
bagian yang fundamental dari pendidikan yang baik (Muchlas Samani dan
Hariyanto,2013: 43).
Pendidikan
karakter juga dapat didefinisikan sebagai pendidikan yang mengembangkan
karakter yang mulia (good character)
dari peserta didik dengan mempraktikkan
dan mengajarkan nilai-nilai moral. Nilai moral di sini dijadikan sebagai
rujukan atau implementasi dan orientasi dari pendidikan itu sendiri. Anne
Lockwood pada tahun 1997 mendefiniskan pendidikan karakter sebagai aktivis berbasis sekolah yang
mengungkap secara sistematis bentuk perilaku dari peserta didik.
Pendidikan
karakter mempunyai kaitan erat dengan komponen-komponen: pengetahuan moral
tradisi, penalaran moral, belas kasih dan altruisme, serta kecenderungan moral.
Lickona (Kirschenbaum, 1995:28) menggambarkan kecenderungan moral meliputi
berhati nurani, mencintai kebaikan, dapat menguasai diri, rendah hati,
kebiasaan moral dan kehendak baik (will).
Lickona (www.cortland.edu/character/articles) juga mengatakan bahwa pendidikan
karakter adalah upaya mengembangkan kebajikan sebagai fondasi dari kehidupan
yang berguna, bermakna, produktif dan fondasi untuk masyarakat yang adil, penuh
belas kasih dan maju. Karakter yang baik meliputi tiga komponen utama, yaitu: moral knowing, moral feeling, moral action.
Zuchdi
(2010:35) mengatakan bahwa pendidikan karakter bersifat menyeluruh atau
komprehensif, menyangkut banyak aspek yang terkait menjadi satu kesatuan.
Pendidikan karakter yang bertumpu pada strategi tunggal sudah tidak memadai
untuk dapat menjadikan peserta didik memiliki moral yang baik. Oleh karena itu,
diperlukan berbagai pendekatan yang oleh Kirschenbaum disebut pendekatan
komprehensif. Istilah komprehensif dalam pendidikan karakter mencakup berbagai
aspek: isi, metode, proses, subjek, evaluasi. Zuriah (2008:27) secara lebih
terperinci mengatakan bahwa isi atau
materi pendidikan karakter dapat dikelompokkan ke dalam tiga hal nilai akhlak,
yaitu akhlak terhadap Tuhan Yang Maha Esa (mengenal Tuhan sebagai pencipta dan
sifat-sifat-Nya, beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa, meminta tolong
kepada-Nya), akhlak terhadap sesama (diri sendiri, orang tua, orang yang lebih
tua, teman sebaya, orang yang lebih muda), dan akhlak terhadap lingkungan (alam
baik flora maupun fauna dan sosial masyarakat.
b. Ciri dan Prinsip Dasar Pendidikan
Karakter
Menurut
Foerster ada empat (4) ciri dasar dalam pendidikan karakter (Masnur
Muslich,2011: 128). Keempat ciri itu adalah demikian. Pertama, keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur
berdasarkan hirarki nilai. Kedua,
koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak
mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut resiko. Koherensilah yang
membangun rasa percaya satu sama lain. Ketiga,
otonomi. Otonomi berarti seseorang mengintegrasikan nilai-nilai yang diajarkan
menjadi nilai-nilai bagi diri sendiri. Keempat,
keteguhan dan kesetian.
Sedangkan
prinsip dasar dari pendidikan karakter adalah demikian. Lickona dkk menemukan
sebelas (11) prinsip agar pendidikan karakter dapat berjalan atau dilaksanakan
dengan efektif (Masnur Muslich,2011: 129). Kesebelas prinsip itu adalah
demikian:
1. Kembangkan
nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi
karakter yang baik
2. Definisikan
karakter secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan dan perilaku
3. Gunakan
pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif dalam pengembangan
karakter
4. Ciptakan
situasi sekolah yang penuh perhatian
5. Berikan
siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral
6. Buat
kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta
didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil
7. Usahakan
mendorong motivasi diri siswa
8. Libatkan
staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran moral yang berbagi tanggung jawab
dalam pendidikan karakter dan upaya untuk mematuhi nilai-nilai inti yang sama
yang membimbing pendidikan siswa
9. Tumbuhkan
kebersamaan dalam kepemimpinan moral
10. Libatkan
keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya membangun karakter
11. Evaluasi
karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauh
mana peserta didik memanifestasi karakter yang baik.
c.
Fungsi
dan Nilai dalam Pendidikan Karakter
Pendidikan
karakter memiliki manfaat yang besar bagi semua masyarakat umum dan secara
khusus bagi peserta didik. Adapun tujuan dari pendidikan karakter adalah
sebagai berikut ():
1) Mengemabangkan
potensi dasar agar berhati baik, berperilaku baik, dan berpikiran baik
2) Memperuat
dan membangun perilaku bangsa yang multikultur
3) Meningkatkan
peradaban bangsa yang kompotitif dalam pergaulan dunia
Selain
fungsi di atas, pendidikan karakter juga memiliki 18 nilai. Nilai-nilai itu
adalah:
a) Religius
b) Jujur
c) Toleransi
d) Disiplin
e) Kerja
Keras
f) Kreatif
g) Mandiri
h) Demokratis
i)
Rasa ingin tahu
j)
Semangat kebangsaan
k) Cinta
Tanah Air
l)
Gemar membaca
m) Peduli
Lingkungan
n) Peduli
Sosial
o) Tanggung
Jawab
d.
Sasaran
Pendidikan Karakter
Menurut
Ryan dan Bohlin (1999:5) mengatakan bahwa karakter mengandung tiga unsur pokok,
sasaran dalam pendidikan karakter adalah
moral knowing (pengetahuan tentang
moral), moral feeling (perasaan
tentang moral) ,dan moral action (perbuatan moral). Ketiga komponen ini sangat penting
dalam pendidikan karakter. Ketiganya dapat dijelaskan demikian. Pertama, moral
knowing merupakan hal yang penting untuk diajarkan. Ada enam poin yang
berkaitan dengan hal ini yakni: kesadaran moral (moral awareness), knowing
moral values (mengetahui nilai-nilai moral), perspectif taking, moral reasoning, decision making, dan self knowledge.
Kedua,
moral feeling adalah aspek lain yang
harus ditanamkan pada anak yang merupakan sumber energy dari diri untuk
bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip moral yang ada. Ada enam (6) hal yang
harus mampu dirasakan oleh seseorang untuk menjadi manusia yang berkarakter,
yaitu: nurani, percaya diri, empati, mencintai kebenaran, control diri, dan humility (kerendahan hati).
Ketiga, moral action (perbuatan
moral) adalah bagaimana membuat pengetahuan moral dapat diimpelmentasikan
menajadi tindakan nyata. Perbuatan tindakan itu merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter
lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik
maka harus dilihat tiga (3) aspek lain dari karakter yaitu kompetensi (competence), keinginan (will), dan kebiasaan (habit).
e.
Faktor
Berpengaruh Dalam Pendidikan Karakter
Faktor-faktor
yang berpengaruh dalam pendidikan karakter yang harus diperhatikan oleh kita
adalah:
a) Guru
b) Selebriti
c) Pejabat
d) Toko
Masyarakat
e) Teman
Sejawat
f) Orangtua
g) Media
Cetak
h) Media
Elektronik
Faktor
yang disebutkan di atas merupakan orang atau figur dan alat yang menjadi
panutan atau sosok yang menjadi inspirasi bagi peserta didik untuk bertindak
dan juga dapat mengugah kesadaran mereka sebagai manusia serta sarana
pembelajaran bagi peserta didik untuk bertindak dan memimesis figur dan gaya
hidup yang dijumpai. Ini semua menjadi indikasi bagi peserta didik untuk
belajar banyak hal.
2.2.1.
Teori
Motivasi
2.2.1.1. Pengertian Motivasi
Motivasi berasal
dari kata latin “movere” yang berarti
“dorongan” atau daya penggerak. Motivasi adalah daya pendorong yang mengakibatkan
seseorang anggota organisasi mau dan rela untuk mengerahkan kemampuan dalam
bentuk keahlian atau ketrampilan tenaga dan waktunya untuk menyelenggarakan
berbagai kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dan menunaikan kewajibannya,
dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi yang telah
ditentukan sebelumnya (Siagian 2003:138). Motivasi merupakan hasrat di dalam seseorang
yang menyebabakan orang tersebut melakukan tindakan (Mathis 2006 : 89).
Motivasi adalah
sekelompok faktor yang menyebabkan individu berperilaku dalam cara-cara
tertentu (Grifin 2003:38). Motivasi merujuk pada kekuatan-kekuatan internal dan
eksternal seseorang yang membangkitkan antusiasme dan perlawanan untuk
melakukan serangkaian tindakan tertentu. Dalam dunia kerja motivasi dari
seorang manager sangat penting bagi karayawannya. Hal itu dilakukan sebagai
penyemangat kerja atau meningkatkan kinerja karyawan. Dalam hal ini motivasi
menjadi pengauh yang positif terhadap para karyawan. Dalam dunia pendidikan
juga motivasi menjadi tempat penting di mana peserta didik menjadi semangat
apabila adanya motivasi. Motivasi bisa saja datang dari diri sendiri dan juga
para guru atau Kepala Sekolah.
Dari
pendapat para ahli diambil kesimpulan motivasi adalah berbagai usaha yang
dilakukan oleh manusia tentunya untuk memenuhi keinginan dan kebutuhannya.
Namun, agar keinginan dan kebutuhannya dapat terpenuhi tidaklah mudah
didapatkan apabila tanpa usaha yang maksimal. Dalam pemenuhan kebutuhannya,
seseorang akan berperilaku sesuai dengan dorongan seseorang akan berperilaku
sesuai dengan dorongan yang dimiliki dan apa yang mendasari perilakunya.
2.2.1.2. Teori Motivasi
a.
Teori
“Tiga Kebutuhan”
Teori
ini dikemukakan oleh Siagian (2004 : 167. Ia menyatakan bahwa inti teori ini
terletak pada pendapat yang mengatakan bahwa pemahaman tentang motivasi akan semakin
mendalam apabila disadari bahwa setiap orang mempunyai tiga jenis kebutuhan,
yaitu:
a.
Kebutuhan akan berprestasi (Need for
Achievement)
b.
Kebutuhan akan kekuasaan (Need for Power)
c.
Kebutuhan afiliasi (Need for Affiliation)
b. Indikator Motivasi Kerja
Dalam
penelitian ini peneliti menggunakan indikator motivasi dari teori Maslow. Teori
hirarki kebutuhan dari Abraham Maslow menurut Sofyandi dan Garniwa (2007 :
102). terdiri dari:
1.
Kebutuhan fisiologis (Physiological-need)
Kebutuhan
Fisiologis Kebutuhan fisiologis merupakan hirarki kebutuhan manusia yang paling
dasar yang merupakan kebutuhan untuk dapat hidup seperti makan, minum, perumahan,
oksigen, tidur dan sebagainya.
2.
Kebutuhan rasa aman (Safety-need)
Apabila
kebutuhan fisiologis relatif sudah terpuaskan, maka muncul kebutuhan yang kedua
yaitu kebutuhan akan rasa aman. Kebutuhan akan rasa aman ini meliputi keamanan
akan perlindungan dari bahaya kecelakaan kerja, jaminan akan kelangsungan
pekerjaannya dan jaminan akan hari tuanya pada saat mereka tidak lagi bekerja.
3.
Kebutuhan sosial (Social-need)
Jika
kebutuhan fisiologis dan rasa aman telah terpuaskan secara minimal, maka akan
muncul kebutuhan sosial, yaitu kebutuhan untuk persahabatan, afiliasi dana
interaksi yang lebih erat dengan orang lain. Dalam organisasi akan berkaitan
dengan kebutuhan akan adanya kelompok kerja yang kompak, supervisi yang baik,
rekreasi bersama dan sebagainya.
4.
Kebutuhan penghargaan (Esteem-need)
Kebutuhan
ini meliputi kebutuhan keinginan untuk dihormati, dihargai atas prestasi
seseorang, pengakuan atas kemampuan dan keahlian seseorang serta efektifitas
kerja seseorang.
5.
Kebutuhan aktualisasi diri (Self-actualization need)
Aktualisasi
diri merupakan hirarki kebutuhan dari Maslow yang paling tinggi. Aktualisasi
diri berkaitan dengan proses pengembangan potensi yang sesungguhnya dari
seseorang. Kebutuhan untuk menunjukkan kemampuan, keahlian dan potensi yang
dimiliki seseorang. Malahan kebutuhan akan aktualisasi diri ada kecenderungan
potensinya yang meningkat karena orang mengaktualisasikan perilakunya.
Seseorang yang didominasi oleh kebutuhan akan aktualisasi diri senang akan
tugas-tugas yang menantang kemampuan dan keahliannya.
c.Motivasi Peserta
didik
Motivasi merupakan kondisi psikologis yang mendorong
seseorang untuk melakukan sesuatu. Apabila kondisi psikologis seseorang baik
maka dengan sendirinya motivasi untuk melakukan sesuatu juga akan baik. Dalam hal pembelajaran tentu perlu menjadi perhatian oleh pendidik karena tidak semua
peserta datang ke sekolah dengan kondisi psikologis yang sama karena ada
pengaruh internal dan eksternal peserta didik itu sendiri.Untuk itu, dalam
perencanaan pembelajaran seorang pendidik perlu merancang sebuah strategi
pembelajaran yang mampu memotivasi belajar peserta didik.
Menurut
Agusrida motivasi belajar merupakan kekuatan (power motivation), daya
pendorong (driving force), atau alat pembangun kesediaan dan keinginan
yang kuat dalam diri peserta didik untuk belajar secara aktif, kreatif,
efektif, inovatif, dan menyenangkan dalam perubahan perilaku, baik dalam aspek
kognitif, afektif, maupun psikomotor. Agar motivasi belajar tesebut dimiliki
oleh peserta didik maka dituntut kepiawaian guru dalam menentukan strategi yang
tepat dalam pembelajaran sehingga mampu menumbuhkan motivasi belajar peserta
didik. Apabila peserta didik sudah termotivasi untuk belajar dengan sendirinya
akan berdampak terhadap proses dan hasil pembelajaran yang diharapkan serta
dapat dijadikan dasar mengetahui ketercapaian
tujuan pembelajaran oleh peserta pendidik.
d.
Strategi Menumbuhkan Motivasi Peserta Didik
Menurut Pupuh Fathurrohman dan M. Sorby Sutikno (2010) bahwa motivasi dapat dibagi dua.
Pertama motivasi intrinsik, yaitu
motivasi yang timbul dari dalam diri peserta didik tanpa ada paksaan dari
dorongan orang lain. Kedua motivasi ekstrinsik, yaitu motivasi yang timbul
sebagai akibat pengaruh dari luar peserta didik. Hal ini bisa timbul karena
ajakan, suruhan, atau paksaan dari orang lain (pendidik) sehingga dengan
keadaan tersebut peserta didik mau melakukan sesuatu atau belajar.
Pendapat tersebut menegaskan bahwa dalam pembelajaran
motivasi ektrinsik sangat dibutuhkan oleh peserta didik, seperti hadiah (reward),
kompetensi sehat antarpeserta didik, pemberian nasehat, dan pemberian hukuman (funishment).
Adanya motivasi dari luar sebagaidorungan untuk diri peserta didik merupakan
sebuah kemutlakan harus dilkukan guru jika menginginkan peserta didiknya
mencapai keberhasilan dalam pembelajaran. Lain
halnya dengan peserta didik yang memiliki motivasi
intrinsik karena mereka dengan kesadaran sendiri ingin belajar dan
memperhatikan penjelasan guru dalam
pembelajaran, karena keingintahuannya dalam pembelajaran tinggi sehingga sulit
terpengaruh oleh gangguan yang ada di sekitarnya.
Motivasi belajar yang dimiliki peserta didik berfungsi sebagai
alat pendorong terjadinya prilaku belajar peserta didik, alat untuk
mempengaruhi prestasi belajar peserta didik, alat untuk memberikan direksi
terhadap pencapaian tujuan pembelajaran, dan alat untuk membangun sistem
pembelajaran yang bermakna. Oemar Hamalik (2002) secara umum menyebutkan tiga
fungsi motivasi, yaitu:
1. Mendorong manusia untuk
berbuat (sebagai penggerak) yang merupakan langkah penggerak dari setiap
kegiatan.
2. Menentukan arah
perbuatan, yakni kearah tujuan yang hendak dicapai sehingga dapat memberikan
arah dan kegiatan yang harus dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuannya.
3. Menyeleksi perbuatan,
yakni menetukan perbuatan-perbuatan yang harus dikerjakan yang serasi guna
mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat
bagi tujuan tersebut.
Berdasarkan
pendapat tersebut dapat diketahui bahwa motivasi berfungsi sebagai
pendorong, pengarah, dan sekaligus sebagai penggerak prilaku seseorang untuk
mencapai suatu tujuan. Begitu juga halnya dalam pencapaian tujuan pembelajaran,
guru merupakan faktor yang penting untuk mengusahakan terlaksananya
fungsi-fungsi tersebut dengan cara dan strategi yang tepat untuk menumbuhkan
motivasi belajar peserta didik.
Strategi menumbuhkan motivasi belajar peserta didik sangat ditentukan
oleh perencanaan yang dibuat guru dalam pembelajaran. Dengan strategi motivasi
yang tepat akan mampu memberikan kesuksesan dalam pembelajaran. Sebagaimana
yang dikemukakan Wina Sanjaya (2006), bahwa strategi digunakan untuk memperoleh
kesuksesan atau keberhasilan dalam mencapai tujuan.
Pupuh Fathurohman dan M. Sobry Suntikno (2010) menyatakan ada
beberapa strategi untuk menumbuhkan motivasi belajar peserta didik, yaitu:
1. Menjelaskan tujuan
belajar ke peserta didik
Pada
permulaan belajar mengajar, terlebih dahulu seorang guru menjelaskan tentang
tujuan yang akan dicapai dalam pembelajaran kepada siswa. Makin jelas
tujuan yang akan dicapai peserta didik maka makin besar juga motivasi dalam
melaksanakan kegiatan belajar.
2. Memberikan hadiah (reward)
Memberikan
hadiah kepada peserta didik yang berprestasi. Hal ini akan memacu semangat
peserta didik untuk bisa belajar lebih giat lagi. Di samping itu, peserta didik
yang belum berprestasi akan termotivasi untuk bisa mengejar peserta didik yang
berprestasi.
3. Memunculkan saingan atau
kompetensi
Guru
berusaha mengadakan persaingan di antara peserta didik untuk meningkatkan
prestasi belajarnya, dan berusaha memperbaiki hasil prestasi yang telah dicapai
sebelumnya.
4. Memberikan pujian
Memberikan
pujian atau penghargaan kepada peserta didik yang berprestasi sudah sepantasnya
dilakukan oleh guru yang bersifat membangun.
5. Memberikan hukuman
Hukuman
diberikan kepada siswa yang berbuat kesalahan saat proses belajar
mengajar. Hukuman ini diberikan dengan harapan agar peserta didik tersebut
mau mengubah diri dan beruaha memacu motivasi belajarnya.
6. Membangkitkan dorongan
kepada peserta didik untuk belajar
Kegiatan
yang dilakukan guru adalah memberikan perhatian maksimal kepada peserta didik
selama proses pembelajaran berlangsung.
7. Membentuk kebiasaan
belajar yang baik
Guru
menanamkan pembiasaan belajar yang baik dengan disiplin yang terarah sehingga
peserta didik dapat belajar dengan suasana yang kondusif.
8. Membantu kesulitan belajar
peserta didik, baik secara individual maupun komunal (kelompok)
9. Menggunakan metode yang
bervariasi
Dalam
pembelajaran, metode konvensional harus sudah ditinggalkan guru karena
peserta didik memiliki karakteristik yang berbeda sehingga dibutuhkan metode
yang tepat/bervariasi dalam memberdayakan kompetensi peserta didik.
10. Menggunakan media yang baik serta harus sesuai dengan tujuan
pembelajaran.
Penggunaan
media yang tepat sangat membantu dan memotivasi peserta didik dalam memaknai
pembelajaran sesuai tujuan pembelajaran yang hendak dicapai. Adanya media yang
tepat akan mampu memediasi peserta didik yang memiliki kemampuan indera yang
tidak sama, baik pendengaran maupun penglihatannya, demikian juga kemampuan
berbicaranya. Dengan variasi penggunaan media, kelemahan indera yang dimiliki
tiap peserta didik dapat dikurangi dan dapat memberikan stimulus terhadap
indera peserta didik.
Adanya strategi di atas,
menuntut kesiapan guru sebagai perancang pembelajaran untuk mampu
mengimplementasikannya dalam kegiatan proses belajar mengajar. Guru harus mampu
meninggalkan kebiasaan-kebiasaan pembelajaran yang dimonopoli oleh guru itu
sendiri (teacher sentre). Karena guru dalam melaksanakan peranya
sebagai pendidik, pengajar pemimpin, administrator, harus mampu melayani
peserta didik yang dilandasi kesadaran (awarreness),
keyakinan (belief), kedisiplinan (discipline) dan tanggung jawab (responsibility) secara optimal sehingga
memberikan pengaruh positif terhadap perkembangan peserta didik secara optimal
baik fisik maupun phisikis.
Perkembangan peserta
didik secara optimal akan terlihat bagaiman sang guru mampu menumbuhkan
motivasi pada diri peserta didik dalam pembelajaran. Guru yang tidak mampu
menumbuhkan motivasi peserta didik berarti sang guru kurang memahami strategi
yang tepat dalam pembelajaran.
e.
Tujuan
Motivasi Peserta Didik dalam Belajar
Sardiman A.M, mengemukakan tiga
fungsi motivasi, yaitu:
1. Mendorong manusia untuk berbuat
baik, yakni sebagai penggerak atau motor yang melepaskan energi.
2. Menentukan arah perubahan, yakni
kearah tujuan yang hendak dicapai.
3. Menyeleksi perbuatan, yakni
perbuatan-perbuatan apa yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan,
dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan
tersebut.
Jadi, motivasi itu diberikan untuk :
a. Membangkitkan minat belajar siswa
b. Memberikan kesempatan kepada siswa
dalam memperoleh hasil yang lebih baik.
c. Memberikan penguatan kepada siswa.
d. Melaksanakan evaluasi.
Fungsi motivasi sebagai pendorong
usaha dalam mencapai prestasi, karena seseorang melakukan usaha harus mendorong
keinginannya, dan menentukan arah perbuatannya kearah tujuan yang hendak
dicapai. Sehingga siswa dapat menyeleksi perbuatan untuk menentukan
apa yang harus dilakukan yang bermanfaat bagi tujuan yang hendak
dicapainya.
2.2.2.
Pengertian
Nasionalisme
a.
Pengertian
Menurut
Ritter (1986: 286), Nasionalisme berasal dari kata “Nation” dalam bahasa Latin natio,
yang dikembangkan dari kata nascor
(saya dilahirkan), maka pada awalnya nation
(bangsa) dimaknai sebagai “sekelompok orang yang dilahirkan di suatu daerah
yang sama” (group of people born in the
same place). Kata ‘nasionalisme’ menurut Abbe Barruel untuk pertama kali
dipakai di Jerman pada abad ke-15, yang diperuntukan bagi para mahasiswa yang
datang dari daerah yang sama atau berbahasa sama, sehingga mereka itu (di
kampus yang baru dan daerah baru) tetap menunjukkan cinta mereka terhadap
bangsa/suku asal mereka. Nasionalisme pada mulanya terkait dengan rasa cinta
sekelompok orang pada bangsa, bahasa dan daerah asal usul semula. Rasa cinta
seperti itu dewasa ini disebut semangat patriotisme. Jadi pada mulanya
nasionalisme dan patriotisme itu sama maknanya.
Menurut
Mulyana, nasionalisme dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mencintai bangsa
dan negara. Nasionalisme atau kebangsaan bukan sekedar instrumen yang berfungsi
sebagai perekat kemajemukan secara eksternal, namun juga merupakan wadah yang
menegaskan identitas Indonesia yang bersifat plural dalam berbagai dimensi
kulturalnya. Nasionalisme menuntut adanya perwujudan nilai-nilai dasar yang
berorientasi kepada kepentingan bersama dan menghindarkan segala legalisasi
kepentingan pribadi yang merusak tatanan kehidupan bersama (dalam Anggraeni
Kusumawardani & Faturochman,2004: 66).
Cinta tanah air adalah cara berpikir,
bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan
yang tinggi terhadap bangsa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan
politik bangsanya. Menurut Kodiran (dalam Anggraeni Kusumawardani &
Faturochman,2004: 71) karakteristik dari nasionalisme yang dimiliki seseorang
digambarkan oleh beberapa ahli dengan menunjukkan sikap-sikap tertentu yang
bermanfaat bagi diri dan lingkungannya. Kodiran
menyebutkan bahwa hasrat-hasrat untuk berprestasi, berencana,
bertanggung jawab, keterbukaan, kemandirian, kehormatan, rasionalitas dan
keadilan merupakan sendi-sendi utama dalam kualitas berbangsa dan bernegara
seorang warga negara.
b.
Makna Nasionalisme
Boyd
Shafer (1955: 6) mengatakan bahwa nasionalisme itu multi makna, hal tersebut
tergantung pada kondisi objektif dan subjektif dari setiap bangsa. Oleh sebab
itu nasionalisme dapat bermakna sebagai berikut:
(1) Nasionalisme adalah
rasa cinta pada tanah air, ras, bahasa atau budaya yang sama, maka dalam hal
ini nasionalisme sama dengan patriotisme.
(2) Nasionalisme adalah
suatu keinginan akan kemerdekaan politik, keselamatan dan prestise bangsa.
(3) Nasionalisme adalah
suatu kebaktian mistis terhadap organisme sosial yang kabur, kadang-kadang
bahkan adikodrati yang disebut sebagai bangsa atau Volk yang kesatuannya lebih
unggul daripada bagian-bagiannya.
4) Nasionalisme adalah
dogma yang mengajarkan bahwa individu hanya hidup untuk bangsa dan bangsa demi
bangsa itu sendiri.
(5) Nasionalisme adalah doktrin yang
menyatakan bahwa bangsanya sendiri harus dominan atau tertinggi di antara
bangsa-bangsa lain dan harus bertindak agresif.
Kendati
ada beragam definisi tentang nasionalisme, Hans Kohn (1971: 9) menggaris bawahi
bahwa esensi nasionalisme adalah sama, yaitu ” a state of mind, in which the supreme loyality of the individual is
felt to be due the nation state” (sikap mental, di mana kesetiaan tertinggi
dirasakan sudah selayaknya diserahkan
kepada negara bangsa).
c.
Peran
Nasionalisme
Nasionalisme
dipandang dalam aspek ideology, maka di dalamnya terkandung aspek: (1) cognitive; (2) goal/value orientation; (3) stategic.
Aspek cognitive mengandaikan perlunya
pengetahuan atau pemahaman akan situasi konkret sosial, ekonomi, politik dan
budaya bangsanya. Jadi nasionalisme adalah cermin abstrak dari keadaan
kehidupan konkret suatu bangsa. Maka peran aktif kaum intelektual dalam
pembentukan semangat nasional amatlah penting, sebab mereka itulah yang harus
merangkum kehidupan seluruh anak bangsa dan menuangkannya sebagai unsur
cita-cita bersama yang ingin diperjuangkan. Cendikiawan Soedjatmoko menyebut
nasionalisme tidak bisa tidak adalah nasionalisme yang cerdas karena
nasionalisme itu harus disinari oleh kebijaksanaan, pengertian, pengetahuan dan
kesadaran sejarah (Soedjatmoko, 1991: 29-30) .
Aspek
goal menunjuk akan adanya cita-cita,
tujuan ataupun harapan ideal bersama di masa datang yang ingin diwujudkan atau
diperjuangkan di dalam masyarakat dan negara. Cita-cita itu mencakup seluruh
aspek kehidupan manusia baik sosial, ekonomi, politik, ideologi, budaya, dll. yang
disepakati bersama. Dalam hal ini nasionalisme Indonesia mula-mula berjuang
untuk mengusir penjajah Belanda, merontokan feodalisme, primordialisme dan
membentuk negara bangsa (nation state) yang merdeka, sejahtera dan demokratis,
sebagai rumah bersama untuk seluruh warga bangsa dari Sabang sampai Meraoke.
Negara bangsa Indonesia adalah rumah bersama di mana kebhinnekaan suku, budaya, agama dan tradisi
dijamin sehingga semua warga bangsa dapat hidup damai, sejahtera dan
bebas.
Aspek strategic
menuntut adanya kiat perjuangan kaum nasionalis dalam perjuangan mereka untuk
mewujudkan cita-cita bersama, dapat berupa perjuangan fisik atau diplomasi,
moril atau spirituil, dapat bersifat moderat atau radikal, dapat secara
sembunyi-sembunyi atau terang-terangan, dan lain-lain. Kiat mana yang dipilih
akan tergantung pada situasi, kondisi konkret dan waktu setempat yang dihadapi
oleh suatu bangsa. Bagi bangsa Indonesia, masa revolusi memang harus berjuang
secara fisik dan diplomatis untuk melawan penjajah Belanda, tetapi sekarang
setelah merdeka nasionalisme bukan lagi untuk melawan penjajah tetapi mengisi
kemerdekaan dengan membasmi korupsi, menghilangkan kebodohan dan kemiskinan,
menegakan demokrasi, membela kebenaran dan kejujuran agar masyarakat madani dapat
diwujudkan, di mana setiap warga bangsa sungguh dapat mewujudkan cita-citanya.
Sartono Kartodirdja (1972: 65-67), menambahkan, nasionalisme harus mengandung
aspek affective, yaitu semangat solidaritas, unsur senasib, unsur kebersamaan
dalam segala situasi sehingga seluruh
warga bangsa sadar akan kebangsaannya.
Lebih
lanjut Sartono Kartodirdjo (1999: 13) menyatakan bahwa masyarakat Indonesia
pasca-revolusi apa lagi pasca-reformasi masih menuntut nasionalisme sebagai
faktor pemicu dalam proses konsolidasi orde sosial-politik yang dibingkai oleh
negara bangsa, terutama jika nasionalisme itu benar-benar disertai dengan
kelima prinsip utamanya, yakni menjamin kesatuan (unity) dan persatuan bangsa, menjamin kebebasan (liberty) individu ataupun kelompok, menjamin
adanya kesamaan (equality) bagi
setiap individu, menjamin terwujudnya kepribadian (personality), dan prestasi (performance)
atau keunggulan bagi masa depan bangsa. Selama kelima pilar nasionalisme
tersebut masih ada maka nasionalisme akan tetap relevan dan terus dibutuhkan
oleh setiap bangsa, dan lagi nasionalisme akan terus berkembang, dinamis sesuai
dengan tuntutan jaman serta kebutuhan bangsa yang bersangkutan. Oleh sebab itu
wajah nasionalisme dari waktu ke waktu dapat saja berubah dan berkembang, sakalipun
esensi dan unsur pokok tetaplah sama.
Benedict
Anderson juga menekankan tetap pentingnya nasionalisme bagi bangsa Indonesia,
dalam pengertian tradisional. Salah satu yang mendesak di Indonesia dewasa ini
adalah adanya apa yang disebut sebagai “defisit nasionalisme”, yakni semakin
berkurangnya semangat nasional, lebih-lebih di kalangan mereka yang kaya dan
berpendidikan (Anderson, 2001: 215) . Untuk itu Anderson menganjurkan
pentingnya ditumbuhkan kembali semangat nasionalis sebagaimana yang dulu hidup
secara nyata di kalangan para pejuang pergerakan dan revolusi. Ia mengusulkan
dibinanya semangat “nasionalisme kerakyatan” yang sifatnya bukan elitis
melainkan memihak ke masyarakat luas, khususnya rakyat yang lemah dan
terpinggirkan. Salah satu ciri pokok dari nasionalisme kerakyatan itu adalah
semakin kuatnya rasa kebersamaan senasib dan sepenanggungan sebagai bangsa
(Anderson, 2001: 214-215). Senada dengan itu, sejarawan Taufik Abdullah
(Kompas, 18 Agustus 2007) menambahkan bahwa nasionalisme saat ini yang
dibutuhkan adalah nasionalisme solidaritas sosial, yaitu kepedulian dan rasa
tanggungjawab antara warga bangsa karena mulai pudar di masyarakat maupun elite
politik.
2.3.
Kerangka Berpikir Penelitian
Gerekan
literaasi
|
Pendidikan
karakter
|
Motivasi
peserta didik
|
Nasionalisme
|
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Rancangan Penelitian
Jenis
penelitian yang digunakan dalam penulis dalam penelitian ini adalah penjelasan
(explanatory). Maksud dari penjelasan
itu yaitu peneliti berusaha menjelaskan
hubungan kausal yang terjadi antara variabel-variabel penelitian dan menguji
hipotesa yang telah dirumuskan (Singarimbun, 2005:3).
Explanatory
research atau penelitian penjelasan berusaha untuk menjelaskan hubungan
antara variabel-variabel melalui pengujian hopotesis, untuk menjelaskan
pengaruh variabel gerakan literasi, pendidikan karakter, motivasi peserta didik
sebagai variabel bebas terhadap peningkatan rasa nasionalisme sebagai variabel
terikat.
3.2.
Ruang
Lingkup Penelitian
Ruang lingkup
dalam penelitian ini adalah keterkaitan antara komponen gerakan literasi,
pendidikan karakter, motivasi peserta didik terhadap peningkatan rasa
nasionalisme di SMPK Marsudi Siwi- Malang.
3.3. Lokasi Penelitian
Penulis akan
melakukan penelitian dengan judul proposal ini di Sekolah Menengah Pertama
Katolik Marsudi Siwi-Malang. SMPK Marsudi Siwi bertempat di Jl. Candi Kalasan
no.10 Blimbing-Malang-Jawa Timur.
3.4.
Variabel Penelitian
Definisi variabel menurut Sugiyono
(2010: 38) adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari obyek atau kegiatan
yang mempunyai variasi tertentu yang diterapkan oleh peneliti untuk dipelajari
dan kemudian ditarik sebuah kesimpulan. Dalam penelitian yang akan dilakukan
penulis terdiri dari dua variabel, yaitu: variabel bebas (variabel independen)
dan variabel terikat (variabel independen). Adapun penjelasan dari
masing-masing variabel itu adalah demikian:
1.
Klarifikasi
Variabel-variabel
a.
Variabel
Bebas (X)
Menurut
Sugiyono (2010: 39), variabel independen adalah variabel yang mempengaruhi
suatu yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen
(terikat). Pada penelitian ini yang menjadi variabel bebas adalah:
1. Gerakan
Literasi (X1)
2. Pendidikan
Karakter (X2)
3. Motivasi
Peserta Didik (X3)
b.
Variabel
Terikat (Y)
Pengertian
dari variabel terikat menurut Sugiyono (2010: 39) adalah variabel yang
dipengaruhi atau menjadi akibat karena adanya variabel independen (bebas). Pada
penelitian ini yang menjadi variabel terikat atau dependen adalah Peningkatan
Rasa Nasionalisme.
2.
Defenisi konseptual Variabel
1. Gerakan Literasi
Gerakan literasi adalah kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan
sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas, antara lain membaca, melihat,
menyimak, menulis, dan berbicara (Kemendikbud 2016:2).
2. Pendidikan Karakter
Menurut Zuchdi
(2010:35) pendidikan karakter bersifat menyeluruh atau komprehensif, menyangkut
banyak aspek yang terkait menjadi satu kesatuan. Pendidikan karakter yang
bertumpu pada strategi tunggal sudah tidak memadai untuk dapat menjadikan
peserta didik memiliki moral yang baik.
3. Motivasi Peserta Didik
Motivasi adalah
sekelompok faktor yang menyebabkan individu berperilaku dalam cara-cara
tertentu. Motivasi merujuk pada kekuatan-kekuatan internal dan eksternal
seseorang yang membangkitkan antusiasme dan perlawanan untuk melakukan serangkaian
tindakan tertentu (Grifin 2003:38).
4. Rasa nasionalisme
Menurut Mulyana,
nasionalisme dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mencintai bangsa dan
negara. Nasionalisme atau kebangsaan bukan sekedar instrumen yang berfungsi
sebagai perekat kemajemukan secara eksternal, namun juga merupakan wadah yang
menegaskan identitas Indonesia yang bersifat plural dalam berbagai dimensi
kulturalnya. Nasionalisme menuntut adanya perwujudan nilai-nilai dasar yang
berorientasi kepada kepentingan bersama dan menghindarkan segala legalisasi
kepentingan pribadi yang merusak tatanan kehidupan bersama (dalam Anggraeni
Kusumawardani & Faturochman,2004: 66).
3.
Defenisi
oprasional variabel
1.
Gerakan
literasi
Gerakan
literasi merupakan sebuah gerakan untuk meningkatkan minat belajar peserta
didik secara komprehensif. Gerekan literasi dengan indikatornya adalah sebagai
berikut:
Ø Membaca
Ø Menulis
Ø Visualisasi
2.
Pendidikan
Karakter
Pendidikan Karakter
merupakan sebuah upaya untuk menumbuhkembangkan kesadaran peserta didik untuk
mepraktikkan kehidupan dnegan nilai-nilai angung yang diajarkan. Hal ini
sebagai upaya dilakukannya revolusi mental. Indikator dari pendidikan karakter
adalah:
Ø Pengetahuan
Moral
Ø Gotong
Royong
Ø Nilai-nilai
Pancasilais
3.
Motivasi
Peserta didik
Motivasi
peserta didik merupakan sebuah tindakan untuk memberikan dorongan atau dukungan
kepada diri sendiri atau orang lain untuk melakukan sesuatu hal. Indikator dari
motivasi peserta didik adalah demikian:
Ø Kebutuhan
aktualisasi diri
Ø Kebutuhan
Sosial
Ø Kebutuhan
rasa aman
Ø Kebutuhan
Fisiologis
Ø Penghargaan
4.
Rasa
Nasionalisme
Rasa Nasionalisme
merupakan tindakan cinta akan tanah air. Cinta akan tanah air dapat ditunjukkan
secara langsung dalam tindakan praktis kita. Cinta akan tanah air lahir dari
ekspresi bangga seseorang akan Negaranya, ingin memajukan Negara, dan
menjauhkan diri dari konflik kehidupan. Indikator dari rasa nasionalisme adalah:
Ø Cinta
tanah air
Ø Persatuan
dan kesatuan
Ø Kemanusiaan
3.5.
Jenis
dan Sumber Data
Sumber data adalah segala sesuatu yang menjelaskan
tentang dari mana data diperoleh. Sumber data dalam penelitian ini diperoleh
dari peserta didik dan Guru-guru di SMPK MARSUDISIWI Malang yang berupa
pengumpulan kuisioner dan data-data yang diterbitkan. Sedangkan jenis data yang
dipergunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah data primer, yaitu data
diperoleh dari penyebaran kuisioner kepada responden dimana pertanyaan terlebih
dahulu disediakan oleh peneliti.
Dalam rangka mendukung data penelitian, di samping
melalui kuisioner, peneliti mendapatkan data administratif dari dokumen-dokumen
pada sekolah atau lembaga tempat penulis teliti, seperti dokumen laporan dan
buku-buku yang berkaitan dengan pokok masalah dalam penelitian ini.
3.6.
Instrumen
Penelitian
Instrumen ini menggunakan kuisioner sebagai instrument
pengumpulan data yang dimaksudkan untuk memperoleh data deskriptif dalam
menguji hipotesis. Data diperoleh dengan menggunakan kuisioner yang bersifat
tertutup yaitu pertanyaan dibuat sedemikian rupa sehingga responden dibatasi
dalam memberi jawaban pada beberapa alternatif saja atau pada satu jawaban saja
(Nasir, 2008:46). Item skala penilaian ini disusun berdasarkan skala Likert. Skor yang dipakai adalah 5, 4,
3, 2, 1 yang diterapkan secara bervariasi sesuai kategori pertanyaan dengan
skor jawaban.
1. Sangat
setuju, dengan skor 5
2. Setuju,
dengan skor 4
3. Netral,
dengan skor 3
2. Tidak setuju,
dengan skor 2
1. Sangat tidak
setuju, dengan skor 1
Tabel 1.
Variabel, Indikator dan Item Pernyataan
Variabel
Penelitian
|
Indikator
|
Item
Pernyataan
|
|
Rasa Nasioanalisme (Y)
|
cinta
tanah air
|
1 Menghargai pluralisme agama,
budaya, suku, ras, dan golongan
|
|
1.Berusaha mencintai aneka kearifan lokal
yang ada
|
|||
2.
Mencintai aneka kreativitas anak
bangsa
|
|||
3.
Mencintai Pancasila, NKRI, Bhineka Tunggal
Ika, UUD 1945
|
|||
Persatuan dan kesatuan
|
Cinta
akan tanah air
|
||
Mengutamakan
kepentingan public
|
|||
Menanamkan
semangat gotong royong
|
|||
Hidup
bermasyarakat secara harmonis
|
|||
Kemanusian
|
Dapat menghargai
sesama yang berbeda etis, ras, suku, agama,dan golongan
|
||
Saling
menghormati dalam kehidupan
|
|||
Bersikap
humanis
|
|||
Tidak
diskriminatif
|
|||
Gerakan Literasi (X1)
|
Gerakan Membaca (X1.1)
|
1. Membaca
setiap hari
|
|
2. Mampu menjelaskan apa yang dibaca
|
|||
3. Bersedia membaca dengan teman atau
guru
|
|||
Menulis (X1.2)
|
1. Mencoba
beliterasi melalui tulisan sendiri
|
||
2. Menigkatkan
daya imajinasi yang kritis
|
|||
3. Bersedia
mengembangkan bakat atau talenta
|
|||
Visualisasi (X1.3)
|
Mengkritisi
segala apa yang dipertontonkan
|
||
Merangsang
daya kreatif dan sikap inovasi
|
|||
Memaknai
apa yang ditunjukkan
|
|||
Motivasi Peserta
Didik (X2)
|
Keinginan dan niat (X2.1)
|
1. Keinginan
kuat untuk memulai
|
|
2. Niat
yang baik
|
|||
3. Aksi
|
|||
Kebutuhan
Rasa aman (X2.2)
|
1. Jaminan hari tua berupa pengetahun
|
||
2. Perasaan tenang dan aman dalam belajar
|
|||
3. Lingkungan yang
mendukung
|
|||
Kebutuhan
Sosial (X2.3)
|
1. Keharmonisan hubungan atau
relasi
|
||
2. Kerjasama
|
|||
3. Perasaan diterima di lingkungan
|
|||
Kebutuhan
Penghargaan (X2.4)
|
1. Pengakuan dan penghargaan atas
hasil kerja
|
||
2. Perasaan dihormati
|
|||
3. Dipuji karena menghasilkan
prestasi
|
|||
Kebutuhan
Aktualisasi diri (X2.5)
|
1. Memiliki kesempatan mengikuti pendidikan dan
|
||
Pelatihan
|
|||
2. Memiliki peluang yang sama untuk
promosi
|
|||
Diri
|
|||
3. Memiliki peluang untuk bekerja secara mandiri
|
|||
Pendidikan Karakter (X3)
|
Pengetahuan Moral (X3.1)
|
1. mencintai
kebaikan
|
|
2. bersikap
jujur dan adil
|
|||
3. Berhati
nurani
|
|||
Gotong Royong (X3.2)
|
1.
Bekerja sama atau bahu-membahu
|
||
2.
Meingkatkan kreatifitas manusia
muda
|
|||
3.
Pembangunan bangsa dan Negara
|
|||
4.
Semangat juang untuk berinovasi
|
|||
Nilai-nilai kehidupan (X3.3)
|
1. Keutamaan
Nilai hidup
|
||
2. Nilai
sosial
|
|||
3.Nilai
Religius
|
|||
4.Nilai-nilai
Pancasilais
|
|||
3.7. Populasi dan Teknik
Pengambilan Sampel
1.
Populasi
Populasi
merupakan wilayah generalisasi yang terdiri atas: obyek atau subyek yang
mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2009). Sedangkan
pendapat lain mengatakan bahwa Populasi adalah Keseluruhan objek penelitian
yang terdiri dari manusia, benda, tumbuh-tumbuhan dan peristiwa sebagai sumber
data yang mempunyai karakteristik tertentu
dalam sebuah penetian.
Dalam
penelitian ini, yang dijadikan populasi adalah seluruh peserta didik SMPK
Marsudi Siwi Malang dan Para Guru di SMPK Marsudi Siwi Malang.
4.
Sampel
Sampel merupakan
sebagian dari populasi. Sampel didefinisikan sebagai sub dari seperangkat
elemen yang dipilih untuk dipelajari (Sarwono, 2006). Dari populasi yang ada
akan diambil sebagian sebagai sampel untuk mewakili keseluruhan populasi dalam
penelitian ini. Dalam penel
3.8. Teknik Pengambilan Data
Data
suatu penelitian dikatakan valid atau tidaknya tergantung pada jenis
pengumpulan data yang dipergunakan untuk pemilihan metode yang tepat sesuai
dengan jenis dan sumber data dalam penelitian. Teknik pengumpulan data
adalah upaya untuk mengamati variabel yang di teliti antara lain:
a. Metode
angket
Menurut
Sugiyono (2009:121),metode ini digunakan bila responden dalam jumlah yang
banyak dan dapat membaca dengan baik dan dapat mengungkapkan hal-hal yang
sifatnya rahasia. Angket merupakan sebuah daftar pertanyaan-pertanyaan yang
harus dikerjakan oleh orang-orang yang ingin diselidiki atau responden.
b. Observasi
(Pengamatan)
Observasi
yaitu tehnik pengumpulan data dimana peneliti mengadakan pengamatan secara
langsung atau tidak langsung terhadap gejala-gejala yang sedang berlangsung. Metode
observasi digunakan bila obyek penelitian bersifat perilaku manusia, proses
kerja, gejala alam, responden kecil. Teknik ini digunakan penulis dalam
penelitian ini untuk memperoleh gambaran mengenai SMPK Marsudi Siwi Kecamatan
Blimbing-Malang.
c. Interview
Interview
adalah salah satu pengumpulan data dengan jalan tanya jawab sepihak yang
dikerjakan sistematis dan berdasarkan pada tujuan penelitian (Sugiyono,
2009:121). Menurut Suharsimi Arikunto (2002:57), wawancara digunakan sebagai
teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan
untuk menemukan permasalahan yangnharus diteliti, dan juda apabila peneliti
ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam dan jumlah
respondennya sedikit atau kecil. Interview digunakan untuk berdialog dalam
menggali informasi oleh peneliti terhadap para responden. Interview digunakan
oleh peneleiti untuk menilai keadaan seseorang, misalnya untuk mencari data
tentang variabel latar belakang murid, orang tua, pendidikan, perhatian, sikap
terhadap sesuatu. Dalam teknik penelitian ini, penulis menggunakannya untuk
menggali informasi dari Kepala Sekolah, para Guru, dan siswa-siswi di SMPK
Marsudi Siwi Malang.
d. Dokumentasi
Menurut
Suharsimi (2006:236), dokumentasi mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang
berupa, catatan atau transkrip, surat kabar, majalah, notulen rapat, agenda dan
sebagainya. Dalam hal ini penulis mencari dan mengumpulkan data yang berasal
dari catatan atau arsip-arsip tersimpan yang terkait dalam penelitian ini.
3.9. Teknik Analisis Data
Data hasil penelitian yang diperoleh
akan dianalisis menggunakan teknik sebagai berikut:
1. Analisis
deskriptif
Analisis ini dipakai untuk mendeskripsikan setiap
variabel penelitian.
2. Analisis
regresi linier berganda
Analisis ini digunakan
untuk mengetahui pengaruh dua atau lebih variable bebas terhadap satu variable
terikat. Analisis ini juga berguna untuk mengetahui variabel bebas manakah yang
paling berpengaruh di antara variabel yang lain.
Model persamaan regresi
linier berganda adalah sebagai berikut:
Y = α + b1X1
+ b2X2 + b3X3+ ε
Dimana :
Y =
Rasa Nasionalisme
X1
= Gerakan Literasi
X2
= Pendidikan Karakter
X3 = Motivasi Peserta didik
ε =
error
α =
Intercept
b1, b2,
b3 = Koefisien regresi
variabel bebas
3. Uji Hipotesis
Uji F digunakan untuk
menguji besarnya pengaruh variable bebas secara bersama terhadap variable
terikat. Rumusan uji F adalah sebagai berikut :
R2/k
|
(1-R2) /
(n-k-1)
|
Dimana :
F
= Nilai F hitung
R2 = Koefisien determinan
K
= Jumlah variable bebas
n
= jumlah sampel
Untuk mengetahui pengaruh dari
kedua variable bebas secara bersama terhadap variable terikat dapat melihat
table ANOVA yang berisi tentang probabilitas dalam menguji hipotesis yang
dirumuskan sebagai berikut:
1)
H0 : b1 = b2 = b3 = 0.
2)
Ha : b1
≠ b2 ≠ b3 ≠0.
Hasil uji hipotesis dapat
diperoleh dengan membandingkan probabilitas dengan α = 0,05 dengan criteria
sebagai berikut :
1)
Apabila probabilitas dalam table anova < α = 0,05
maka H0 ditolak dan Ha diterima.
2)
Apabila probabilitas dalam table anova > 0,05 maka H0
diterima dan Ha ditolak.
Penerimaan terhadap H0
berarti variabel yang diuji tidak mempunyai pengaruh terhadap variabel terikat.
Sedangkan penolakan terhadap H0 berarti variabel bebas mempunyai
pengaruh nyata terhadap variabel terikat.
Selanjutnya uji t. Uji ini
dilakukan untuk mengetahui pengaruh masing masing variabel bebas terhadap
table. Uji t dilakukan untuk menguji variabel bebas yang paling dominan
mempengaruhi variabel terikat.
t =
Dimana
:
t :
nilai t hitung
bi : koefisien regresi
Sb
: standar eror / standar deviasi bi
Untuk
mengetahui pengaruh variabel bebas secara terpisah terhadap variabel terikat,
maka table koefisien yang mencantumkan angka probabilitas dalam menguji
hipotesis yang dirumuskan sebagai berikut:
1) H0
: bi = 0 berarti
variabel bebas (X1, X2, X3) secara terpisah tidak
berpengaruh terhadap variabel terikat.
2) Ha
: bi ≠ 0 berarti variabel
bebas (X1, X2, X3) secara
terpisah berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat.
Pengujian
hipotesis dilakukan dengan membandingkan antara probabilitas dengan α = 0,05
dengan criteria sebagai berikut :
1) Apabila
probabilitas (P) < α, dimana α = 5%, maka H0 ditolak dan Ha
diterima yang berarti variabel bebas berpengaruh terhadap variabel terikat.
2) Apabila
probabilitas (P) > α, dimana α = 5%, maka Ha ditolak yang berarti
variabel bebas tidak berpengaruh terhadap variabel terikat.
Daftar Pustaka
Agusrida, Strategi Menumbuhkan Motivasi
Belajar Peserta Didik.
dalam http://bdkpadang.kemenag.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=452:strategi-menumbuhkan-motivasi-belajar-peserta-didik&catid=41:top-headlines
Anderson,
Benedict. 2001. ”Kebutuhan Indonesia:
Nasionalisme Dan Menumpas Keserakahan” dalam Joesoef Ishak, 100 Tahun Bung
Karno. Jakarta: Hasta Mitra.
Kirschenbaum,
Howard. 1995. 100 Ways to Enhance Values
and Morality in Schools and Youth Settings. Boston: Allyn and Bacon.
Khon,
Hans. 1971. Nasionalisme Arti dan
Sejarahnya (terjemahan Sumantri Mertodipura), Djakarta: Pustaka Sardjana.
Kusumawardani,
Anggraeni & Faturochman, 2004, “Nasionalisme”dalam
Buletin Psikologi, Tahun XII, No. 2, Desember.
Muslich,
Masnur. 2011. Pendidikan Karakter:
Menjawab Tantangan Krisis Multidimensi. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Pupuh
Fathurrohman dan M. Sobry Sutikno. 2010. Strategi Belajar Mengajar:
Strategi Mewujudkan Pembelajaran Bermakna Melalui Penanaman Konsep Umum &
Konsep Islami. Bandung: PT Refika Aditama.
Ritter, Herry.
1986. Dictionary of Concepts in History.
New York: Greenwood Press.
Ryan,
Kevin & Karen E. Bohlin. 1999.
Building Character in Schools – Practical Ways to Bring Moral Instruction to
Life. San Fransisco: Jossey-Bass a Wiley Imprint.
Samani,
Muchlas. 2013. Konsep dan Model
Pendidikan Karakter. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sardiman A.M 2006. Interaksi dan Motivasi Belajar
Mengajar, Jakarta
:CV.Rajawali.
Sartono
Kartodirdjo. 1999. Multidimensi
Pembangunan Bangsa: Etos Nasionalisme dan Negara Kesatuan. Yogyakarta:
Penerbitan Kanisius.
Shafer,
Boyd C. 1955. Nationalism Myth and
Reality. New York: A Harvest Book Harcourt
Soedjatmoko,
1991. ”Nasionalisme Sebagai Prospek
Belajar” dalam majalah Prisma, 2 Februari 1991
Sofyandi dan Garniwa. 2007. Perilaku Organisasional. Edisi Pertama.
Graha Ilmu. Yogyakarta.
Wina
Sanjaya. 2008. Strategi Pembelajaran: Berorientasi Standar Proses
Pendidikan. Jakarta: Prenada Media.
Zuchdi,
Darmiyati. 2010. Humanisasi Pendidikan –
Menemukan kembali Pendidikan yang Manusiawi. Jakarta: Bumi Aksara.
Sofyandi dan Garniwa. 2007. Perilaku Organisasional. Edisi Pertama.
Graha Ilmu. Yogyakarta.
Wina
Sanjaya. 2008. Strategi Pembelajaran: Berorientasi Standar Proses
Pendidikan. Jakarta: Prenada Media.
Zuchdi,
Darmiyati. 2010. Humanisasi Pendidikan –
Menemukan kembali Pendidikan yang Manusiawi. Jakarta: Bumi Aksara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar