Resume Buku Pengantar Etika Bisnis
Penulis: K. Bertens
Penerbit: Yogyakarta: Kanisius,
2000.
Oleh: Yoseph Belen Keban
Pengantar
Bisnis dan Etika adalah dua
terminologi kontemporer yang menjadi emblem diskursus dalam ranah akademisi.
Keduanya merupakan dua disiplin ilmu yang berbeda titik tekannya. Yang satu
menekankan aktivitas ekonomi dalam menghasilkan nilai utilitas bagi seseorang
atau sekolompok orang yang menjalankannya dan yang satunya menekankan nilai buruk-baiknya
atau moralitas seseorang atau sekolompok orang. Kedua disiplin ilmu ini
kemudian dijadikan satu frase yakni “Etika Bisnis”. Hal ini mau menggambarkan
bahwa term “Bisnis” itu bersifat kompleks atau umum. Oleh karena
kekompleksannya maka dibutuhkan etika untuk mengupas dan menilik aneka prilaku
atau pelaku bisnis dalam melakukan aktivitas ekonomi dan bisnis. Menjadi
pertanyaannya adalah “Mengapa harus etika?” Acapkali kita berasumsi bahwa
bisnis itu tidak membutuhkan etika sama sekali. Namun, perlu diketahui bahwa
dalam mengada manusia di dunia (being-in-the
world) tidak luput dari yang namanya etika itu sendiri. Etika menyoroti
tindak-tanduk manusia, kesadaran dan perkataan yang disampaikan. Oleh karena,
pelaku bisnis adalah manusia yang berbisnis maka sangatlah relavan ilmu etika
itu dimasukan dalam kajian bisnis itu sendiri. Nah, seperti apa hubungan etika
dan bisnis? Mengapa perlu etika dalam bisnis? Bagaimana mengetahui etika dalam
bisnis itu? Sejauh mana peran etika dalam dunia bisnis kontemporer? Semua
pertanyaan ini merupakan pisau beda dalam mengupas inti sari pemikiran K.
Bertens dalam buku ETIKA BISNIS ini. Berikut akan disajikan hasil pemahaman
penulis mengenai pemikiran pokok K. Bertens dalam bukunya Etika Bisnis bab 1,
II, dan III.
Bab 1
Bisnis dan Etika dalam Dunia Modern
1.
3
aspek dari bisnis dan tolok ukurnya
Bisnis
dan Etika dalam dunia modern merupakan hasil elaboratif K. Bertens akan dua hal
yang berbeda. Dua hal yang berbeda itu merupakan dua tema besar yang kemudian
melahirkan dua disiplin ilmu yang berbeda pula. Hasil elaboratif ini dijadikan
Bertens sebagai pembahasan pertama dalam buku Etika Bisnis. Hal yang mau
dikatakan K. Bertens di awal buku ini adalah dalam berbisnis tidak hanya
memikirkan apa yang diperoleh dari aktivitas ekonomi itu sendiri, tetapi juga
nilai moralitas atau etika dalam bisnis juga harus diperhatikan. Hal ini
menarik untuk disimak sebab dalam pembahasannya, Bertens menampilkan tiga aspek
pokok dari bisnis. Ketiga aspek itu adalah aspek ekonomi, aspek hukum, dan
aspek moral (Lih. K. Bertens, 1-32). Uraian singkat dari ketiga aspek itu
adalah demikian:
a. Aspek
Ekonomi
Pengertian
bisnis dari perspektif ekonomi adalah sebuah aktivitas ekonomi. Dikatakan
aktivitas ekonomi karena dalam bisnis menampilkan beberapa hal yang berkaitan
dengan tukar-menukar, jual-beli, memproduksi dan memasarkan untuk mencapai
tujuan yang diinginkan. Tujuan dari kegiatan ekonomi adalah keuntungan atau
laba. Jadi, yang dikejar dalam aktivitas ekonomi adalah tujuan itu sendiri.
Tujuan itu diperoleh karena adanya sebuah interaksi. Interaksi itu dibentuk
oleh penjual dan pembeli. Oleh karena itu, bisnis lahir dari konsensus kedua
bela pihak ini. Dalam teori ekonomis, bisnis yang baik (good business) adalah bisnis yang membawa banyak keuntungan. Tolok ukur sudut pandang ini adalah laba dalam
bisnis itu sendiri.
b. Aspek
Moral
Kehadiran
aspek moral dalam bisnis merupakan tindak lanjut dari hasil refleksi atas teori
ekonomis dalam bisnis itu sendiri. Kehadiran teori moral menjawab cela yang
diperdebatkan dalam teori ekonomis. Boleh dikatakan bahwa teori moral menggugat
dan mempertanyakan praktek bisnis yang baik memperoleh keuntungan
sebanyak-banyaknya atau disebut good business itu. Yang digugat adalah cara
perolehan keuntungan itu, apakah secara wajar atau memiliki trik-trik licik
para pelaku bisnis? Hal yang mau dikatakan dalam teori ini adalah sikap
tanggungjawab kita sebagai agen bisnis dan juga sikap respek kita bagi orang
lain yang memiliki hak yang sama dalam berbisnis. Artinya bahwa dalam berbisnis
kita patut memperhatikan etika berbisnis itu sendiri agar menjaga posisi
finansial dan kepercayaan masyarakat luas akan apa yang kita jual dalam bisnis
itu sendiri. Poin penting yang mau disampaikan dalam teori ini adalah menjaga
kepercayaan. Dengan demikian, bisnis yang baik (good business) bukan saja
bisnis yang menguntungkan tetapi bisnis yang baik secara moral. Artinya, bisnis
dibangun dan dilaksanakan berdasarkan etika atau nilai moral yang diakui
sebagai benar dan baik secara universal.
Tolok
ukur dalam penilaian moral adalah hati nurani, kaidah emas, dan penilaian umum.
Hati nurani merupakan norma moral yang penting, tetapi sifatnya subyektif
sehingga tidak terbuka untuk orang lain. Sesuatu perbuatan itu baik, apabila
dilakukan sesuai dengan hati nurani itu sendiri. Selain hati nurani, kaidah
emas juga dipakai dalam penilaian moral.
Ini merupakan sebuah cara obyektif dalam penilaian moral itu sendiri.
Adapun bunyi kaidah emas itu adalah “Hendaklah
memperlakukan orang lain sebagaimana anda sendiri ingin diperlakukan”.
Selain itu, adapula disebut sebagai penilaian umum. Penilaian umum juga
merupakan cara menentukan nilai moral itu sendiri. Jadi apa yang menurut
pandangan umum bahwa hal itu tidak baik atau bersifat immoral maka hal itu
tidak seharusnya dilakukan.
c. Aspek
Hukum
Seperti moral, hukum juga merupakan
sudut pandang normative sebab menetapkan apa yang harus dilakukan atau apa yang
tidak seharusnya dilakukan. Dari sudut norma, hukum jauh lebih pasti dan jelas
dari pada etika itu sendiri sebab peraturan hukum dituliskan di atas kertas dan
memiliki sanksi yang jelas apabila dilanggar. Walaupun demikian tetapi hukum
dan moral memiliki hubungan yang erat. Keeratan hubungan itu dapat dijelaskan
demikian. Etika selalu harus menjiwai hukum dalam banyak hal. Salah satunya ada
dalam dunia bisnis itu sendiri. Meskipun adanya hubungan erat, namun dua macam
norma ini tidaklah sama. Ketidaksamaan itu dapat dijelaskan demikian:
ü Banyak
hal bersifat tidak etis, sedangkan dalam hukum tidak dilarang. Artinya bahwa
tidak semuanya yang bersifat immoral atau dilarang secara moral itu harus
dihukum. Sebagai contohnya adalah kasus perselingkuhan dalam perkawinan tidak
dilarang berdasarkan hukum.
ü Proses
terbentuknya undang-undang atau peraturan-peraturan hukum lainnya memakan waktu
yang lama, sehingga masalah-masalah baru tidak bias segera diatur dalam hukum.
ü Hukum
seringkali disalahgunakan. Perumusan hukum tidak pernah sempurna, sehingga
orang yang beritikad buruk bias memanfaatkan celah-celah dalam hukum.
ü Hukum
memang dirumuskan dengan baik, namun sulit dijalankan sebab minimnya sistem
control yang efektif.
ü Hukum
kerap kali mempergunakan pengertian yang dalam konteks hukum itu sendiri tidak
didefinisikan dengan jelas dan sebenarnya diambil dari konteks moral. Contohnya
adalah pengerian “bonafide”.
Hal
yang disampaikan pada aspek hukum ini adalah dalam berbisnis penting juga
memperhatiakan norma hukumnya. Artinya harus menaati peraturan-peraturan yang
berlaku. Dengan itu, maka bisnis yang baik adalah bisnis yang taat pada hukum
itu sendiri. Tolok ukur aspek hukum adalah sistem hukum itu sendiri.
2.
Pengertian Etika Bisnis
Etika adalah cabang ilmu filsafat
yang mempelajari baik-buruknya prilaku manusia. Manusia dalam kehidupannya
membutuhkan etika itu sendiri. Mengapa? Alasan mendasarnya adalah manusia perlu
hidup yang lebih baik sesuai dengan
kehendaknya. Menjadi pertanyaannya adalah hidup baik yang seperti apa? Tentu
saja sesuai dengan norma yang ada. Hal-hal yang diperdebatan dan diperjuangkan
dalam etika adalah nilai keadilan, kebaikan. Hal ini digagas sejak para filsuf
Yunani kuno yakni dari Sokrates, Plato, Aristotels dan kemudian digaung ulang
oleh Jhon Rawls, Robert Nozick, dan
Michael Walzer, serta para filsuf abad-20. Dalam poin ini, K Bertens
menguraikan dua macam etika, yakni “etika
praksis” dan “etika refleksi”.
Kedua jenis etika ini dapat dipahami demikian. Pertama, etika sebagai praksis berarti nilai-nilai dan norma-norma
moral sejauh dipraktekkan atau justru tidak dipraktekkan, walaupun seharusnya dipraktekkan. Pendek kata,
etika praksis itu berciri “should”
atau “harus”. Artinya bahwa apa yang baik itu harus dipraktekkan atau
dilakukan. Kedua, etika sebagai
refleksi adalah pemikiran moral. Dalam etika ini, kita berpikir tentang apa
yang dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Artinya bahwa perlu adanya sikap
kritis secara rasional dan bijak untuk menentukan pilihan yang sedang
dihadapai. Tentu saja keputusan yang diambil itu berkaitan dengan baik atau
tidaknya sesuatu hal itu. Bisa saja etika jenis ini sebagai etika penilaian
atas apa yang dipraktekan oleh orang lain.
Dari pengertian etika di atas, maka
kita dapat menggolongkan etika bisnis yang dibcarakan ini dalam etika praksis
atau etika terapan. Etika bisnis ini dapat dijalankan dalam 3 taraf yakni:
taraf makro-meso dan mikro. Pada tahap makro, etika bisnis mempelajari
aspek-aspek moral dari sistem ekonomi sebagai keseluruhan. Pada tahap meso,
etika bisnis menyelidiki masalah-masalah etis di bidang organisasi. Sedangkan
pada tahap mikro, etika bisnis memfokuskan diri pada individu atau pembisnis.
3.
Perkembangan
Etika Bisnis
Eksistensi
etika bisnis kini tentu memiliki historisitasnya tersendiri. Richard De George
perna membuat sebuah distingsi antara ethics
in business dan business ethics
atau antara etika dalam bisnis dan etika bisnis. Jika menelisik dua distingsi
itu, maka dapat dikatakan bahwa etika dalam bisnis itu ada sejak ada bisnis di
dunia sedangkan etika bisnis baru saja bertumbuh setelah etika bisnis menjadi
satu bagian yang terpisah dan sebagai sebuah disiplin ilmu. Dari distingsi yang
dikemukaan oleh Richard De George itu, maka dapat dikelompokan ke dalam lima
periode perkembangan etika bisnis. Periode-periode itu adalah sebagai berikut:
Ø Situasi
dahulu
Berawal
dari para filsuf Yunani Kuno yang berpikir tentang cara mengatur kehidupan
manusia dalam kehidupan societas termasuk dalam hidup bernegara. Setelah
filsafat, ilmu Teologi juga angkat bicara soal pentingnya moralitas dalam
kehidupan bersama baik agama, Negara, dan juga ekonomi dan bisnis. Hal ini
ditandai dengan lahirnya aneka ensiklik dari Paus terutama dalam Gereja Katolik
seperti Rerum Novarum, dll. Tidak
hanya Gereja Katolik yang menyoroti masalah moral tetapi agama Islam, Protestan
juga menyoroti permasalahan yang sama.
Ø Masa
Peralihan: era 1960-an
Pada
era ini ditandai dengan adanya pemberontakan terhadap kuasa dan otoritas. Hal
ini terjadi di Amerika Serikat dan beberapa Negara bagaian Barat umumnya
melakukan aksi ini. Ada pula dilakukan revolusi mahasiswa di Prancis,
membongkar kemapanan hidup, dan lain sebagainya termasuk lahirnya sikap
anti-bisnis. Dunia pendidikan menanggapi masalah ini secara berbeda. Salah
satunya adalah menaruh perhatian pada issue sosial.
Ø Etika
Bisnis lahir di Amerika Serikat: tahun 1970-an
Etika
bisnis lahir sebagai sebuah ilmu pertama kali terbentuk di Amerika Serikat
sejak tahun 1970-an. Para filsuf memulai memikirkan soal etika bisnis dan ini
merupakan sebuah tanggapan tepat atas krisis moral yang sedang menyelimuti dunia
bisnis di Amerika Serikat. Konfernsi perdana etika bisnis terjadi di
Universitas Kansas oleh Philosophy
Depertement yakni Richard De George dan Collage
of Business, Joseph Pichler pada November 1974. Selain itu pula, adanya
sebuah krisis moral di Amerika Serikat yang mana melahirkan aneka demonstran di
jalan-jalan yang mengutuk keterlibatan AS dalam perang melawan Vietnam. Krisis
moral itu menguak dengan mendesak presiden Richard Nixon untuk mengundurkan
diri. Selain itu, ada pula praktek suap-menyuap antara para politisi menjadi
persoalan utama penurunan nilai-nilai moral. Atas reaksi ini, para akademisi
melakukan sebuah refleksi atas situasi itu dan melahirkan etika bisnis itu
sendiri. Hal ini ditandai dengan dibentuknya Committee for Education in Business Ethics.
Ø Etika
Meluas ke Eropa: tahun 1980-an
Etika
meluas ke Eropa dan yang paling cepat merasakan ini adalah Inggris. Hal ini
karena letaknya yang tidak jauh secara geografis dan dekat secara kultural
dengan Amerika Serikat. Tidak hanya di Inggris tetapi secara perlahan masuk ke
Negara Eropa lainnya. Ini ditandai dengan semakin banyaknya fakultas Ekonomi
yang mencantumkan mata kuliah etika bisnis. Hal itu yang melahirkan dosen-dosen
etika bisnis di Eropa. Pada tahun 1987, didirikan European Business Ethics Network yang bertujuan mempertemukan
antara akademisi dari sekolah dan universitas bisnis.
Ø Etika
Bisnis menjadi Fenomena Global: tahun 1990-an
Pada
era ini sangat jelas bahwa etika bisnis tidak hanya terlihat di dunia Barat
semata namun bertumbuh dan berkembang secara global. Etika bisnis tidak hanya
bersifat nasional tetapi secara internasional. Kini etika bisnis diajarkan di
seluruh dunia.
4.
Sikap
Modern Dewasa Ini
Sikap
masyarakat modern tentang bisnis tentu saja berbeda dengan masyarakat
tradisional atau zaman dahulu. Sekarang pandangan terhadap bisnis sangatlah
luas artiannya. Pekerjaan bisnis zaman kini banyak yang menggemarinya sebab
membawa sukses dan dipandang sebagai sesuatu yang terhormat jika dibandingkan
dengan zaman dulu. Hal ini disebabkan oleh perspektif negatif akan bisnis itu
sendiri yang sangat menonjolkan sikap egoisme. Hal ini kemudian dalam
perjalanan dikritik oleh Adam Smith (1723-1790) yang membuat distingsi antara
kepentingan diri dan egoisme. Bagi
Smith, orang yang melakukan aktivitas bisnis memang mementingkan diri sendiri,
tapi tidak sampai merugikan orang lain. Artinya dalam relasi ini keduanya
sama-sama diuntungkan. Tentu saja dalam aktivitas bisnis itu sendiri perlu
dipegang nilai-nilai moral.
Problematika
etika bisnis dewasa ini terletak pada persoalan kuasa. Bisnis sekarang
mewujudkan kuasa ekonomis yang luar biasa besar. Hal ini membuat orang awam
berada di luar control yang normal. Hal ini mau menggambarkan bahwa adanya
kesalahgunaan kuasa dalam tindakan bisnis sehingga bisnis berada di luar rel
etika.
5.
Kritik
atas Etika Bisnis
Keberadaan
atau eksistensi etika bisnis di dunia sebagai sebuah cabang ilmu mendapat aneka
sorotan dan kritik di sana-sini. Berikut akan ditampilkan beberapa kritik dan
jawaban atas kritikan itu.
Ø Etika
bisnis mendiskriminasi
Kritik
ini berasal dari seorang ahli manajemen, yakni Peter Drucker. Ia mengatakan
sebuah kritik yang tajam dan menukik dalam sebuah majalah yakni “The Public Interest” dan kemudian
diulangi lagi dalam majalah Forbes.
Inti kritik Drucker adalah etika bisnis menjalankan semacam diskriminasi.
Mengapa dunia bisnis harus dibebankan dengan etika? Drucker juga berpendapat
bahwa etika bisnis itu menunjukkan adanya sisa-sisa dari sikap bermusuhan yang
lama terhadap bisnis dan kegiatan ekonomis.
Pendapat
dan kritik Drucker ini kemudian ditanggapai secara baik oleh More dan Hoffman.
Menurut mereka kritik itu sebenarnya tidak perlu dijawab sebab Drucker tidak
mengetahui apa yang dipersoalkan. Sebenarnya apa yang sampaikan oleh Drucker merupakan
sebuah tuduhan yang tidak mendasar. Orang bisnis membutuhkan etika itu sendiri.
Dan dalam bisnis tidak adanya diskriminasi, memperlakukan semua orang sama.
Sebab etika bisnis memiliki norma-norma umum tanpa pengecualian.
Ø Etika
bisnis itu kontradiktif
Pandangan
berikut berasal dari kaum skeptisisme yang memandang bahwa etika bisnis adalah
sesuatu yang naïf. Mereka merasa miris dengan adanya etika dalam bisnis ini.
Dengan demikian, sampailah mereka pada sebuah pemahaman bahwa etika bisnis
merupakan sesuatu yang kontradiksi. Kritikan ini sulit untuk dijawab namun pada
bagian akhir dari buku ini kita memperoleh jawaban atas tuduhan kaum
skeptisisme ini.
Ø Etika
bisnis tidak praktis
Kritik
ini berasal dari seorang dosen manajemen yakni Andrew Stark. Ia berpendapat
bahwa etika bisnis itu kurang praktis. Menurutnya, etika bisnis adalah “too general, too theoretical, too impratical”. Keberatan oleh Stark itu dijawab
sebagai berikut: Pertama, Stark hanya
memandang dan mengintip buku-buku ilmiah tentang etika bisnis. Kedua, Stark tampak sebagai contoh jelas
tentang tendensi Amerika Utara untuk mengutamakan tahap mikro dalam etika
bisnis. Ketiga, sebagai ilmu, etika
bisnis selalu bergerak pada taraf refleksi dan berakhir pada taraf teoritis
juga.
Ø Etikawan
tidak mengambil ahli tanggungjawab
Kritik
ini meragukan etika bisnis memiliki keahlihan etis khusus. Bagi mereka, setiap
manusia memiliki sikap tanggungjawab sendiri. Oleh Karena demikian, kita tidak
membutuhkan etika bisnis. Kita sendirilah yang bertanggungjawab atas apa yang
dilakukan. Artinya, kita sendiri mengambil keputusan di bidang moral.
Seabagai
jawaban atas kritikan ini adalah demikian. Etika bisnis tidak hadir untuk
mengamil alih tanggung jawab etis dari para pembisnis, para manajer, atau para
agen moral lainnya dalam bidang bisnis. Etika bisnis atau cabang etika terapan
lainnya tidak berpretensi memiliki keahlihan yang sama sifatnya seperti banyak
keahlihan lainnya. Etika bisnis atau etika terapan tidak mengganti tempat dari
orang yang mengambil keputusan moral. Justru kehadiran etika bisnis membantu
untuk mengambil keputusan moral yang dapat dipertangugngjawabkan, mampu
memberikan sumbangsi dalam meningkatkan kesadaran moral dalam bidang bisnis,
membuka mata-mata para pembisnis untuk melakukan hal yang etis, etika bisnis
dapat memberikan informai yang berharaga sebelum para pembisnis mengambil
keputusan moral yang sulit dan etika bisnis dapat menyusun argumentasi moral
yang tepat.
Bab
2
Sekilas Teori Etika
Dalam Bab ini, K. Bertens
menguraikan secara singkat beberapa teori etika yang kerap digunakan dalam
kehidupan. Teori-teori ini dijelaskan agar sidang pembaca memahami secara baik
dan tidak berada dalam kebingungan ontologis. Secara konkret teori etika sering
terfokuskan pada perbuatan (action).
Perbuatan yang dimaksudkan adalah “perbuatan baik”. Perbuatan yang dimaksudkan
itu tentu saja berorientasi pada penilaian moral. Dengan demikian, pada bab
ini, sidang pembaca disuguhkan aneka teori etika oleh penulis dan hal ini
sangat membantu kita untuk menilai sebuah keputusan etis. Keputusan etis itu
dapat dinilai dengan beberapa teori etika bisnis berikut:
1.
Utilitarisme
Teori
Utilitarisme merupakan sebuah teori yang dilahir di Inggris yang dipelopori
oleh Jeremy Bentham dan kemudian dipertajam lagi pemikirannya oleh seorang
murid Bentham yaitu John Stuart Mill. Terminologi “Utilitarisme” berasal dari kata bahasa Latin yaitu; “utilis” yang berarti bermanfaat. Menurut
teori ini, sebuah perbuatan itu dikatakan baik jika membawa manfaat bagi banyak
orang atau masyarakat luas. Dari pengertian ini boleh dikatakan bahwa teori ini
menolak adanya individualisme. Sebuah adagium kondang yang disampaikan oleh
seorang tokoh Utilitarisme, Jeremy Bentham yaitu:”the greatest happiness of the greatest number” yang diartikan
dengan kebahagian terbesar dari jumlah orang terbesar merupakan sebuah kriteria
untuk menentukan nilai baik-buruknya suatu perbuatan. Perbuatan yang baik tentu
membawa nilai utilitas atau manfaat tersendiri bagi masyarakat. Manfaat itu
merupakan tujuan akhir yang dikejar atau diidealkan. Hal yang diidealkan adalah
kebahagian bagi masyarakat umum itu sendiri. Tentu saja yang menjadi fondasi
pemikiran dalam teori ini adalah tanggungjawab moral agar bsa menciptakan iklim
kebahagian bagi masyarakat umum.
Teori
etika utilitarisme sangat menekankan pentingnya konsekuensi perbuatan dalam
menilai baik-buruknya. Artinya bahwa kualitas moral suatu perbuatan-baik
buruknya-tergantung pada konsekuensi atau akibat yang dibawakan olehnya. Jika
suatu perbuatan membawa manfaat paling besar, artinya paling memajukan
kemakmuran, membahagiakan, kesejahteraan masyarakat luas, maka perbuatan itu
adalah baik. Sebaliknya, apabila tidak membawa akibat yang besar atau tidak
menciptakan iklim kesejahteraan, kebahagian, kemakmuran bagi masyarakat luas ,
maka perbuatan itu dikatakan buruk. Dari gambaran ini dapat disimpulkan bahwa
utilitarisme juga terkadang dinamakan sebagai “konsekuensialisme”.
Selain
disebut sebagai konsekuensialisme, utilitarisme juga disebut sebagai teori teleologis. Teleologis merupakan istilah dari bahasa Latin yakni; telos dan logos. Telos berarti
tujuan, sedangkan logos artinya ilmu
atau pengetahuan. Dengan demikian, utilitarisme yang disebut sebagai teleologis berarti titik tekannya pada
tujuan yang hendak dicapai. Kualitas etis suatu pebuatan diperoleh dengan
dicapainya tujuan dari perbuatan itu sendiri. Perbuatan yang memiliki maksud
baik namun tidak menghasilkan apa-apa bagi teori utilitarisme tidak pantas
disebut sebagai baik. Berkata benar, menepati janji, menghormati milik orang
lain adalah baik sebab hasil baik yang diperoleh dari itu. Utilitarisme juga
memberi ruang juga kepada pengertian “kewajiban”, tetapi hanya dalam arti bahwa
manusia harus mengahasilkan kebaikan dan bukan keburukan.
Perkembangan
teori utilitarisme ini banyak mendapat kritikan di sana-sini. Oleh karena
banyak kritikan itu, maka para pakar teori ini mencari jalan keluar dari
kesulitan itu. Beberap utilitaris mengusulkan untuk menggolongkan utilitarisme
ke dalam dua macam, yaitu; utilitarisme perbuatan (act utilitarianism) dan utilitarisme aturan (rule utilitarianism).
Yang menjadi titik tolok dalam teori ini adalah utilitarisme perbuatan. “Manfaat besar bagi jumlah orang terbesar”
adalah prinsip dasarnya. Prinsip ini dipakai untuk mengkalkulus kebahagian
masyarakat. Prinsip dasar utilitarisme tidak harus diterapakan pada
perbuatan-perbuatan yang dilakukan, melainkan atas aturan-aturan moral yang
diterima bersama dalam societas sebagai pedoman dan pegangan hidup. Sebuah kebenaran
itu bias diterima dan sah secara universal apabila tahan uji terhadap prinsip
utilitaristis. Sebagai contoh ”janji harus ditepati” dengan aturan “janji tidak
perlu ditepati”, maka akan disetujui bahwa aturan pertama tahan uji terhadap
prinsip utilitaristis, sedangkan aturan kedua tidak. “Janji harus ditepati”
secara moral sah sebab membawa manfaat besar bagi banyak orang. Begitupun
sebaliknya dengan janji tidak harus ditepati akan membawa pengaruh negatif bagi
masyarakat umum.
2.
Deontologi
Terminologi Deontologi berasal dari kata bahasa Yunani, yakni Deon dan Logos. Deon berarti
kewajiban sedangkan Logos berarti
kata atau ilmu atau pengetahuan. Dengan demikian, Deontology berarti teori tentang kewajiban. Dari gamabaran
pengertian secara harafia ini, dapat dikatakan bahwa teori Deontologi ini merupakan tandingan terhadap teori utilitarisme.
Teori Deontologi melepaskan sama
sekali moralitas dari konsekuensi perbuatan yang dikatakan oleh teori
utilitarisme. Menurut teori ini, sebuah perbuatan dikatakan baik bukan karena
memiliki konsekuensi yang baik pula tetapi sebuah perbuatan dikatakan baik
karena perbuatan pertama merupakan kewajiban dan perbuatan yang kedua itu
dilarang. Dengan demikian, menjadi prinsip dasar sebuah perbuatan itu dianggap
baik-buruk adalah kewajiban. Oleh karena itu, sebuah perbuatan yang baik itu
wajib dilakukan. Sebuah perbuatan tidak dihalalkan karena tujuannya. Tujuan
yang baik tidak menjadikan perbuatan itu baik. Penganut teori ini kebanyakan
datang dari kalangan agama. Mengapa demikian? Sebab kaum agama menilai bahwa
sebuah perbuatan itu baik dan juga buruk karena sesuai dengan perintah dan
larangan Tuhan. Setiap agama memiliki larangan dan perintah semacam ini.
Pendasaran teori ini secara filososfis
dikumandangkan oleh seorang filsuf kondang, yakni Immanuel Kant (1927-1804).
Substansi filosofisnya ialah berfissafat mengenai “Mengapa sebuah perbuatan itu
disebut baik”? Kant beragumen bahwa sebuah perbuatan itu disebut baik karena
perbuatan itu harus dilakukan atau dengan kata lain perbuatan itu baik karena
dilakukan sebagai kewajiban. Kant juga mengatakan bahwa perbuatan itu baik,
jika dilakukan berdasarkan “imperatif
kategoris”. Imperatif kategori mewajibkan kita melakukan begitu saja, tanpa
syarat ini itu. Sebagai contoh, barang yang dipinjam harus dikembalikan. Dengan
demikian, sangatlah jelas bahwa konsekuensi perbuatan atau apa yang dihasilkan
oleh perbuatan tidak berperanan sedikit pun dalam menentukan kualitas etisnya.
Sebuah perbuatan itu hanya dapat dianggap baik secara moral apabila dilakukan
karena kewajiban atau karena harus dilakukan. Hal ini mau menggambarkan bahwa
suatu perbuatan baik dari segi moral belum tentu juga baik dari segi hukum.
Dalam penilain moralitas tidak hanya disoroti dari segi perbuatan itu sendiri tetapi
juga diperhatikan juga segi batinnya seperti apa motivasi dari perbuatan itu
sendiri.
3.
Teori
Hak
Teori hak dipakai juga untuk
mengevaluasi atau mengukur baik-buruknya suatu perbuatan atau prilaku. Teori
ini merupakan suatu aspek dari teori Deontologi,
karena hak selalu berhubungan atau berkaitan dengan kewajiban. Sehingga boleh
dikatakan bahwa hak dan kewajiban
bagaikan dua sisi dari uang logam yang sama. Kewajiban satu orang
biasanya serentak berarti juga hak dari orang lain. Sebagai contoh, saya berjanji
akan memberikan cincin kepada pasangan saya, di situ saya berkewajiban untuk
menepati janji itu, sedangkan pasangan saya berhak mendapatkan apa yang saya
janjikan. Di sini keduanya ditonjokan, namun yang akan disoroti lebih lanjut
adalah teori hak. Belakangan ini teori hak mendapat ruang luas bahkan mendapat
suatu identitas tersendiri. Hak didasarkan atas martabat manusia dan martabat
semua manusia itu sama. Oleh karena itu, teori hak sangat cocok dengan suasana
pemikiran demokratis. Artinya, semua orang dipandang sama dan sederajat tidak
ada perkotak-kotakan atau kasta dalam kehidupan sosial.
Teori hak ini mendapat tempat dalam
kehidupan sosial sebab dinilai cocok dengan penghargaan terhadap individu. Oleh
karena itu, individu seseorang tidak boleh dikorbankan demi tercapainya suatu
tujuan yang lain. Emmanuel Kant, telah merumuskan dengan baik bahwa manusia
merupakan suatu tujuan pada dirinya (an
end in itself). Karena itu manusia harus dihormati. Dalam etika bisnis,
teori hak juga mendapat tempatnya sebagaimana dalam pemikiran moral umumnya.
Dalam arti ini teori etika bisnis hanya melanjutkan perjuangan dibidang
sosial-ekonomi yang berlangsung pada zaman sebelumnya. Seperti perjuangan kaum
buruh, feminimisme, dll yang memperjuangkan hak mereka.
4.
Teori
Keutamaan
Teori keutamaan memfokuskan pada seluruh
manusia sebagai pelaku moral dan tidak menyoroti perbuatan itu sendiri. Teori
keutamaan (virtue) memandang sikap
atau akhlak seseorang. Teori ini tidak mempertanyakan “what should he/ she do?”, melainkan “what kind of person should he/ she be?” Teori ini merupakan reaksi
atas teori sebelumnya yang mendasarkan pemikiran mereka pada prinsip (rule-based). Bersadarkan studi
historisitas, teori ini perna dikemukakan oleh Aristoteles, seorang filsuf
Yunani kondang (384-322). Apa itu keutamaan? Keutamaan dapat diartikan sebagai
disposisi watak yang telah diperoleh seseorang dalam memungkinkan dia untuk
bertingkah laku baik secara moral. Keutamaan sendiri dapat digolongkan ke dalam
4 (empat kelompok) yaitu, kebijaksanaan,
ugahari, keadilan, dan kerendahan hati. Keempat keutamaan ini juga sering
disebut sebagai keutamaan kardinal. Dengan demikian, menurut teori ini hidup
baik merupakan hidup menurut keutamaan-keutamaan itu sendiri (virtuous life).
Keutamaaan tidak seharusnya berhenti
pada ranah privat tetapi harus dijalankan dalam konteks komuniter. Tekanan ini
tentu merujuk pada pemikiran Aristoteles yang mana menggariskan bahwa kehidupan
baik itu hanya mungkin dijumpai dalam polis. Polis merupakan Negara. Konsep
manusia menurut Aristoteles sebagai mahkluk politik tentu memberikan gambaran
bahwa manusia tidak bias lepas begitu saja dari polis atau Negara. Negara
adalah komunitas terbesarnya. Dengan demikian, kepentingan pribadi tidak boleh
dipertentangkan dengan kemaslahatan komunitas (the common good).
Dalam etika bisis, teori keutamaan ini
belum banyak dimanfaatkan. Akan tetapi minatnya semangkin banyak dijumpai.
Salah satu contohnya adalah karya dari Robert C. Solomon, yang menggabungkan
etika bisnis dengan teori keutamaan dalam bukunya “Ethics and Excellence. Corporation and Integrity in Business”.
Dalam buku itu, Salomon menjelaskan soal keutamaan yang sangat penting dalam
konteks bisnis. Salomon membuat distingsi antara keutamaan untuk pelaku bisnis
individual dan keutamaan pada taraf perusahan. Selain itu pula, ia berbicara
mengenai keutamaan keadilan sebagai keutamaan yang paling mendasar dalam bidang
bisnis. Selain keutamaan keadilan sebagai dasar dari aktivitas bisnis, Salomon
juga menjelaskan keutamaan-keutamaan lainnya yang juga peting diperhatikan
dalam aktivitas bisnis. Keutamaan-keutamaan itu adalah kejujuran, fairness, kepercayaan, dan keuletan.
Keempat keutamaan ini memiliki kaitan erat satu dengan yang lainnya. Lalu
seperti apa gambaran dari kempat keutamaan ini?
Ø Pertama,
keutamaan kejujuran merupakan hal penting yang harus diperhatikan dalam
aktivitas bisnis. Kejujuran menuntut adanya sikap transparansi dan kebenaran.
Hal ini bukan berarti seorang pelaku bisnis atau perusahan membuka apa saja
kartunya dihadapan orang banyak. Kejujuran yang transpransi tidak seharusnya
dipahami secara picik dan harafiah demikian.
Ø Kedua, keutamaan
fairness. Fairness hendaknya tidak dimengerti sebagai keadilan tetapi
dipahami artinya dengan sikap wajar. Keutamaan ini dapat diartikan dengan
kesediaan untuk memberikan apa yang wajar kepada semua orang dan dengan dengan
wajar pula apa yang disetujui oleh semua pihak yang terlibat dalam suatu
transaksi.
Ø Ketiga, keutamaan
kepercayaan juga sangat penting dalam konteks bisnis. Kepercayaan harus
ditempatkan dalam relasi timbal-balik. Pebisnis hendaknya memiliki pemahaman
bahwa mitra bisnisnya juga memiliki kepercayaan yang sama dengannya. Di sini
juga perlu adanya sikap kritis atas kepercayaan itu sendiri. Artinya seorang
pebisnis harus bersifat selektif dalam memilih mitra bisnis.
Ø Keempat,
keutamaan ugahari atau keuletan. Pebisnis harus bertahan dalam aneka situasi
yang sulit. Ia harus sanggup mengadakan negosiasi dengan aneka proyek yang
memiliki transaksi yang bernilai besar. Ia juga harus berani mengambil resiko
dalam berbisnis. Keuletan dalam bisnis
cukup dekat dengan keutamaan lebih umum yang disebut “keberanian moral”.
Selain
keempat keutamaan di atas, ada pula keutamaan lainnya yang menandai orang
berbisnis pada taraf perusahan. Atau dengan kata lain, keutamaan yang
menggambarkan hubungan antara manajer dan karyawan sejauh mereka mewakili
sebuah perusahan. Keutamaan-keutamaan itu adalah keramahan, loyalitas,
kehormatan, dan rasa malu.
Teori keutamaan memiliki kelebihan
jika dibandingkan dengan teori-teori lainnya. Hal ini karena memungkinkan untuk
mengembangkan penilain etis yang lebih positif. Teori ini menyoroti segi-segi
positif. Berdasarkan gambaran ini, maka etika bisnis juga dapat mengikuti
kecendrungan positif ini.
Bab 3
Ekonomi dan Keadilan
Keadilan
merupakan suatu topik penting dalam etika. Dengan demikian keadilan juga sangat
penting dalam ranah ekonomi dan bisnis, sebab tidak hanya berkutat pada wilayah
perasaan semata namun menyangkut barang
yang dimiliki atau kepentingan yang dituntut oleh pelbagai pihak.
Ekonomi dan keadilan memiliki kaitan erat sebab keduanya berasal dari sumber
yang sama. Sumber itu adalah masalah kelangkaan. Ekonomi timbuk karena
keterbatasan sumber daya itu sendiri. Dengan demikian, ekonomi adalah studi
tentang cara bagaimana masyarakat menggunakan sumber daya yang langka untuk
memproduksikan komoditas-komoditas yang berharga dan mendistribusikannya di
antara orang-orang yang berbeda. Seandainya saja tidak ada kelangkaan maka
tidak ada pula ekonomi. Hal ini juga berlaku bagi keadilan itu sendiri. Adil
atau tidaknya suatu keadaan selalu terkait juga dengan kelangkaan itu sendiri.
Dengan demikian, ekonomi dan keadilan tidak beloh dilepaspisahkan atau memiliki
hubungan keterkaitan.
1.
Hakikat
Keadilan
K.
Bertens dalam mengupas konsep Ekonomi dan Keadilan dalam bukunya Etika Bisnis ,
Bab III ini dengan sebuah Pertanyaan substansial. Pertanyaan ini merupakan
dasar filosofisnya untuk menghantar sidang pembaca pada pemahaman akan pentingnya
keadilan dan apa itu keadilan. Menjadi pertanyaan mendasar dalam poin hakikat
keadilan ini adalah “apa itu keadilan?” Pertanyaan itu kemudia dijelaskan
dengan menilik historisitas terminologi itu. Pada zaman Romawi kuno, istilah
keadilan ini sudah ada dengan adagium Ius Romanum. Definisi ini dikemukan
dalam konteks hukum. Pengarang Roma, Ulpianus menggambarkan keadilan secara
singkat sebagai “tribuere cuique suum”
yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan “to give everybody his own” atau dalam bahasa Indonesia dengan
“memberikan kepada setiap orang apa yang dia miliki”. Dari pengertian ini
kemudia berkembang secara luas pengertian keadilan yakni memberikan kepada
setiap orang apa yang menjadi haknya. Keadilan memiliki tiga unsur hakiki.
Ketiga unsur itu adalah sebagai berikut:
Ø Keadilan
selalu tertuju kepada orang lain atau keadilan selalu ditandai other-directedness. Artinya bahwa
masalah keadilan hanya bida timbul dalam konteks antar-manusia. Mustahil bila
saya berlaku adil atau tidak adil terhadap diri saya sendiri.
Ø Keadilan
harus ditegakan atau dilaksanakan. Artinya bahwa keadilan itu merupakan hak
sekaligus kewajiban. Oleh karena itu bersifat “should” atau harus dilakukan oleh siapa pun. Gambaran keadilan
adalah timbangan seperti yang dilukiskan dengan baik dalam mitologi Romawi,
dewi Iustita digambarkan memegang timbangan dalam tangan. Artinya bahwa
keadilan harus dilaksanakan persis sesuai dengan bobot hak seseorang.
Ø Keadilan
menuntut adanya persamaan (equality).
Artinya bahwa harus memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya,
tanpa memandang bulu.
2.
Pembagian
Keadilan
v Pembagian
klasik
Pembagian
klasik ini mengikuti perkembangan historis yang panjang. Hal ini dapat dijumpai
dalam kalangan thomisme (aliran filsafat Thomas Aquinas). Thomas Aquinas adalah
seorang Aristotelian sehingga wajar dia dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles
juga dalam pendasaran filosofisnya.
Keadilan dalam pembagian klasik ini diklasifikasikan ke dalam tiga jenis,
yaitu:
ü Keadilan
Umum (general justice):
berdasarkan keadilan ini para anggota masyarakat diwajibkan untuk memberikan
kepada masyarakat apa yang menjadi haknya. Landasannya adalah common good atau kebaikan bersama.
Artinya harus menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi atau
golongan.
ü Keadilan
distributif (distributif justice):
berdasarkan keadilan ini Negara harus memberikan keadilan yang sama bagi setiap
warganya. Salah satunya adalah perlindungan hukum bagi setiap individu dalam
kehidupan bernegara.
ü Keadilan
komutatif (communitative justice):
berdasarkan keadilan ini setiap orang harus memberikan kepada orang lain apa
yang menjadi haknya. Hal ini berlaku bagi individu atau pun sosial.
v Pembagian
pengarang modern
Tokoh penting yang membahas pengelompokan
keadilan pada poin ini adalah, John Boatright
dan Manuel Velasques. Pendasaran mereka juga bertitik tolak pada Aristoteles.
Pengelompokkan keadilan menutur mereka adalah demikian:
·
Keadilan distributif
(distributive justice): dipamahi sama
seperti pembagian klasik di atas. Benefits
and burdens, hal-hal yang enak untuk didapat maupun hal-hal yang menuntut
pengorbanan, harus dibagi dengan adil.
·
Keadilan retributif
(retributive justice): berkaitan
dengan kesalahan hukum. Hukuman atau denda kepada orang yang bersalah harus bersifat
adil. Ada 3 syarat dari hukum yang dapat dinilai adil adalah:
Orang
atau instansi yang dihukum harus tahu apa yang dilakukan dan dilakukan dengan
bebas.
a) Harus
dipastikan bahwa orang yang dihukum itu benar-benar melakukan perbuatan yang
bersalah dan kesalahan itu dapat dibuktikan.
b) Hukuman
harus konsisten dan proporsional dengan pelanggaran yang dilakukan.
·
Keadilan kompensatoris
(compensatory justice): berdasarkan keadilan ini orang
mempunyai kewajiban moral untuk memberikan kompensasi atau ganti rugi kepada
orang atau institusi yang dirugikan. Ada 3 syarat berlakunya kewajiban
kompensasi:
a) Tindakan
yang mengakibatkan kerugian harus salah atau menyebabkan kelalaian. Kalau
kerugian disebabkan karena tindakan yang sah, tidak ada kewajiban kompensasi.
b) Perbuatan
seseorang harus sungguh-sungguh menyebabkan kerugian.
c) Kerugian
harus disebabkan oleh orang yang bebas.
v Keadilan
individu dan keadilan sosial
Kedua macam keadilan ini haruslah
dibedakan. Keduanya berbeda karena pelaksanaannya berbeda pula. Pelaksanaan
keadilan individual tergantung pada kemauan atau keputusan satu orang saja atau
beberapa orang. Sedangkan keadilan
social tergantung dari struktur-struktur masyarakat dalam bidang
sosial-ekonomi, politik, budaya, dan sebagainya. Keadilan sosial tidak akan
terlaksana apabila struktur-struktur masyarakat tidak memungkinkan. Keadilan
individu terpenui apabila hak-hak individu terpenuhi. Keadilan sosial
terlaksana, bila hak-hak sosial terpenuhi.
3.
Keadilan
Distributif pada Khususnya
Keadilan
distributif merupakan jenis keadilan yang mengakibatkan banyak kesulitan selain
jenis-jenis keadilan lainnya. Mengapa? Sebab jenis keadilan ini berkaitan
dengan masalah membagi. Hal ini menjadi soal kerena bagaimana membagi dan
setiap orang pasti menginginkan hasil bagian yang paling banyak. Bagaimana
membagi agar tidak orang yang merasa berkurang? Oleh karena itu, dalam teori
etika selalu dikatakan bahwa keadilan ditributif keputusan kita harus
didasarkan atas prinsip-prinsip tertentu. Prinsip-prinsip keadilan distributif
dalam teori ekonomi adalah prinsip formal dan prinsip material. Prinsip formal
itu hanya ada satu dan dapat dirumuskan bahwa “orang yang sama”,”kasus yang
sama” dan sebagainya. Sedangkan prinsip material keadilan distributif
melengkapi prinsip formal itu sendiri. Prinsip ini menunjuk kepada salah satu
aspek relevan yang bisa dijadikan dasar untuk membagi dengan adil hal-hal yang
dicari oleh setiap orang. Prinsip material ada beberapa. Menurut Beauchamp dan
Bowie prinsip material keadilan distributif ada enam, yaitu:
ü Kepada
setiap orang bagian yang sama
ü Kepada
setiap orang sesuai dengan kebutuhan individu
ü Kepada
setiap orang sesuai dengan haknya
ü Kepada
setiap orang sesuai dengan usaha individunya
ü Kepada
setiap orang sesuai dengan kontribusinya kepada masyarakat
ü Kepada
setiap orang sesuai dengan jasanya
Dari
keenam prinsip material di atas, dapat dijelaskan secara khusus dengan
memperhatikan konteks ekonomi dan bisnis.
v Bagian
yang sama
Arti
dari prinsip ini adalah kita membagi kepada semua orang dengan adil atau kepada
semua orang diberikan secara merata.
v Kebutuhan
Arti
dari prinsip ini adalah kita berlaku adail apabila kita membagi sesuai dengan
kebutuhan tiap orang.
v Hak
Hak
merupakan prinsip yang paling berpengaruh bagi keadilan pada umumnya, termasuk keadilan
distributif.
v Usaha
Pebagian
dikatakan adil apabila dibagikan kepada mereka yang mengeluarkan banyak usaha
dan keringat patut diberikan yang pantas dari pada yang tidak berusaha.
v Kontribusi
kepada masyarakat
Pejabat
tinggi boleh diperlakukan dengan cara khusus dari masyarakat biasa kerena
kontribusinya kepada masyarakat lebih besar.
v Jasa
Jasa juga menjadi alasan untuk memberikan
sesuatu kepada satu orang dan hal itu tidak untuk orang lain.
Berdasarkan
prinsip-prinsip material keadilan distributif ini, maka dibentuklah tiga (3)
teori keadilan distributif. Ketiga teori itu adalah:
a)
Teori egalitarisme
Teori ini didasarkan pada
prinsip pertama. Pandangan mereka adalah kita baru membagi dengan adil, bila
semua orang mendapat bagian yang sama (equal).
Membagi adil berarti membagi dengan rata. Egalitarisme ini pantas menyedot
simapati kita. Bahwa perlakuan setiap manusia adalah sama. Secara historis ini
merupakan cetusan sejak adanya revolusi Prancis yang mana menumbangkan monarki
absolut dan feodalisme. Adapun yang disampaikan dalam deklarasi hak manusia dan
warga negara (1789) adalah ”manusia dilahirkan bebas serta haknya sama, dan
mereka tetap tinggal begitu”. Berkaitan dengan deklarasi ini, Amerika sudah
lebih dahulu melakukannya pada tahun 1776 dengan sebutan “The Declaration of Independence ” yang menegaskan bahwa “All men are create equal”. Hal ini
kemudian merembes kepada pemilihan umum sehingga pemilu pun diatur secara
egalitarian, atas dasar prinsip “one
person one vote”. Prinsip ini sangat sulit diterapkan dalam hal ekonomi dan
bisnis. Letak kesulitannya adalah penggajian. Oleh karena itu, muncul juga
aneka reaksi menuntut diterapkannya teori ini. Salah satu tokoh terkenal adalah
Jean Paul Sartre, seorang filsuf Eksistensialisme yang mendirikan sebuah surat
kabar “Liberation”. Forum ini
digunakan untuk mengkritisi, melawan kapitalisme dan menerapkan sistem
penggajian egalitarian.
b)
Teori sosialistis
Teori ini memilih prinsip
kebutuhan sebagai dasarnya. Pandangan dari teori ini adalah masyarakat diatur
dengan adil, jika kebutuhan tiap warga terpenuhi. Kebutuhan itu meliputi;
sandang, pangan, dan papan. Secara konkret, sosialisme memperhatikan
masalah-masalah sosial seperti permasalahan kaum buruh dalam konteks
industrialisasi. Teori sosialisme tentang keadilan, terkenal adalah prinsip
yang diutarakan oleh Karl Marx yang diambil oleh seorang sosialis, Louis Blanc:
“from each according to his ability, to
each according to his needs”. Bagian pertama dari prinsip ini berbicara
tentang bagaimana burdens harus
dibagi-bagi; hal yang menuntut pengorbanan. Sedangkan bagian kedua dari prinsip
ini menjelaskan bagaimana benefits
harus dibagi; hal-hal yang enak untuk didapat. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa kebutuhan dan kemampuan memang tidak dapat dipisahkan dalam
melaksanakan keadilan ditributif. Tetapi ada kesulitan besar juga apabila
prinsip ini dipakai sebagai pegangan satu-satunya untuk mewujudkan keadilan
distributif.
c)
Teori liberalistis
Teori ini justru menolak
pembagian atas dasar kebutuhan sebagai tidak adil. Hal ini dikarenakan manusia
sebagai makhluk yang bebas, kita harus membagi menurut usaha-usaha bebas dari
individu-individu yang bersangkutan. Yang tidak berusaha untuk mempunyai atau
memperoleh maka ia tidak mempunyai hak untuk mendapatkannya. Liberalisme
menolak sebagai tidak etis sikap free
rider. Orang yang tidak berusaha dan hanya bersandar pada orang lain ibarat
benalu dinilai sebagai orang yang tidak mengakui hak sesamanya untuk menikmati
hasil jerih payahnya. Teori ini menggarisbawahi beberapa prinsip seperti hak,
usaha dan tidak kala pentingnya adalah jasa dan prestasi. Prestasi dilihat
sebagai wujud dari pilihan bebas seseorang. Teori ini mengalami kesulitan sebab
tidak berlaku bagi orang yang disfabel atau
cacat fisik.
4.
John
Rawls tentang Keadilan Distributif
Jhon
Rawls adalah seorang filosof yang lahir di Amerika Serikat pada tahun 1921.
Rawls dikenal melauhi karya-karyanya. Salah satu karyanya adalah buku “A Teory of Justice” yang dipublikasikan
pada tahun 1971. Ini adalah salah satu buku filsafat yang lahir dari abad-20
yang paling banyak disoroti dan dikritisi. Buku kedua yang begitu pengaruh bagi
dunia adalah “ Political Liberalism”.
Rawl dalam filsafatnya menyoroti juga soal keadilan. Pemikiran Rawls kadang
dilabeli sebagai keadilan egalitarianism. Namun, hal ini tidak boleh dipahami
sebagai egalitarianisme radikal. Rawls berpendapat bahwa kita membagi dengan
adil dalam masyarakat, jika kita membagi rata, kecuali ada alasan untuk membagi
dengan cara lain.
Rawl dalam sebuah diskusi juga
mengatakan bahwa masalah keadilan distributif hanya muncul berkaitan dengan apa
yang tergantung pada kemauan manusia. Di mana manusia tidak bisa berpengaruh,
di situ juga tidak mungkin timbul soal keadilan. Bagi Rawls, yang harus dibagi
dnegan adil dalam masyarakat adalah the
social primery goods (nilai-nilai sosial yang primer). Artinya hal-hal yang
sangat kita butuhkan untuk dapat hidup lebih baik atau pantas sebagai manusia
dan warga masyarakat. Menurut Rawls, yang termasuk nilai-nilai sosial primer,
adalah:
ü Kebebasan-kebebasan
dasar, seperti kebebasan mengemukaan pendapat, bebas berkumpul, integritas
pribadi, dan bebas dalam politik;
ü Kebebasan
bergerak dan kebebasan memilih profesi;
ü Kuasa
dan keuntungan yang berkaitan dengan jabatan-jabatan dan posisi-posisi penuh
tanggung jawab;
ü Pendapat
dan milik;
ü Dasar-dasar
sosial dan harga diri.
Rawls
kemudian menguraikan juga prinsip keadilan yang merupakan landasan dasar untuk
membangun masyarakat yang adil. Prinsip ini bisa ditemukan menurut prosedur
yang oleh semua orang dapat diterima sebagai adil. Menurut Rawls keadilan harus
dipahami secara fairness. Fairness berarti keadilan yang yang
didasarkan atas prosedur yang wajar (tidak direkayasa atau manipulasi). Rawls
juga menghendaki agar dalam pembagian yang adil penting juga untuk tidak
mengetahui apa-apa. Hal ini juga digunaka oleh Rawls sebagai metode untuk
menentukan prinsip-prinsip keadilan distributif. Perumusan prinsip keadilan
distributif ini, terlebih dahulu kita harus memasuki the original position atau posisi asali. Artinya kita seolah-olah
harus keluar dari masyarakat di mana kita hidup adanya. Kita harus kembali
kekeadaan awali kita (back to nature)
ketika sejarah belum dimulai. Kita memasuki situasi khayalan di mana masyarakat
belum terbentuk. Kita belum tahu persis bagaimana keadaan kita nantinya. Kita
berada dibalik the veil of ignorance
atau dibalik selubung ketidaktahuan. Rawls juga berpendapat bahwa sambil berada
pada posisi asali kita dapat menyetujui prinsip-prisip keadilan berikut ini:
·
Prinsip pertama: setiap orang mempunyai
hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas yang dapat dicocokan dengan
kebebasan-kebebasan sejenis untuk semua orang.
·
Prinsip kedua: ketidasamaan sosial dan
ekonomis dapat diatur sedemikian rupa sehingga
ü Menguntungkan
terutama orang-orang yang minimal beruntung, dan serentak juga
ü Melekat
pada jabatan-jabatan dan posisi-posisi yang terbuka bagi semua orang dalam
keadaan yang menjamin persamaan peluang yang fair.
Prinsip
pertama dapat disebut sebagai “kebebasan yang sedapat mungkin sama”. Dalam hal
ini Rawl menganut prinsip egalitarianisme. Pada prinsip kedua bagian satu,
disebut prinsip perbedaan (difference
principles). Supaya masyarakat dengan adil, tidak perlu semua orang
mendapatkan hal-hal yang sama. Dengan demikian. Rawls menolak egalitarianisme
radikal. Sedangkan prinsip kedua bagian dua, disebut “prinsip persamaan peluang
yang fair”. Adanya jabatan dan posisi
yang penting juga mengakibatkan ketidaksamaan dalam masyarakat. Keadaan akan
menjadi tidak adil apabila adanya diskriminasi. Dari prinsip-prinsip ini, Rawls
kemudian membuat sebuah kesimpulan bahwa prinsip yang harus dijadikan prioritas
adalah prinsip “kebebasan yang sedapat mungkin sama”.
5.
Robert
Nozick tentang Keadilan Distributif
Robert
Nozick, seorang professor filsafat di Universitas Harvard. Pemikiran tentang
keadilan bisa dilihat sebagai antipode Rawls. Sasaran kritiknya adalah prinsip
perbedaan dari Rawls. Robert Nozick menjadi tersohor karena sebuah hasil
karyanya yakni “Anarchy, state, and
utopia” yang memuat pikiran liberalistisnya tentang keadilan. Teori tentang
keadilan distributif oleh Nozick disebut sebagai “entitlement theory”. Term entitlement
dapat diterjemahkan dengan “landasan hak”. Menurut Nozick, kita memiliki
sesuatu dengan adil, jika pemilikian itu berasal dari keputusan bebas yang
mempunyai landasan hak. Ada tiga kemungkinan yang menelurkan tiga prinsip,
yakni:
Ø Prinsip
original acquisition: kita memperoleh
sesuatu untuk pertama kali
Ø Prinsip
transfer: kita memperoleh sesuatu
karena diberikan oleh orang lain
Ø Prinsip
rectification of injustice: kita
memperoleh sesuatu kembali yang sebelumnya dicuri dari kita, umpamanya.
Nozick
juga memiliki dua keberatan mendasar mengenai prinsip-prinsip (material)
keadilan distributif tradisional. Prinsip-prinsip itu bersifat ahistoris.
Itulah keberatan pertama. Sedangkan apa yang disampaikan oleh Nozick mengenai
tiga prinsip di atas merupakan prinsip-prinsip yang historis artinya mereka
tidak saja melihat hasil pembagian tetapi mempertanggungjawabkan proses yang
melandaskan pembagian atau pemilikan itu sendiri. Keberatan yang disampaikan di
atas juga berlaku bagi prinsip perbedaan yang dikemukaan oleh Rawls. Rawls
hanya melihat keadaan actual dari mereka yang minimal beruntung. Ia tak mampu
melihat mengapa mereka bisa terjerat dalam kondisi yang demikian. Keberatan
kedua yang disampaikan oleh Nozick adalah prinsip-prinsip tradisional
menerapkan pembagian barang suatu pola yang ditentukan sebelumnya. Prinsip-prinsip itu semua bersifat “pattern”. Supaya adil, prinsip-prinsip yang berpola itu
hanya bisa dipakai pada keadaan awal ketika semua orang masih sama, tetapi
tidak bisa dipakai lagi setelah para anggota masyarakat memiliki harta milik
yang berbeda-beda, akibat menjalani hak-haknya yang legim dengan bebas. Ini
juga berlaku bagi pemikiran Rawls mengenai konsep original position.
Nozick menyimpulkan bahwa keadilan
ditegakkan, jika diakui bakat-bakat dan sifat-sifat pribadi beserta segala
konsekuensinya sebagai satu-satunya landasan hak (entitlement).
6.
Keadilan
Ekonomis
Keadilan
memegang peranan penting dalam konteks ekonomi dan bisnis, karena menyangkut
barang yang diincar banyak orang untuk dimiliki. Dipandang dalam perspektif
historis, pengertian keadilan ekonomis tidak selalu mendapat perhatian yang
sama. Sejarawan ide sosial, C.B. MacPherson, berpendapat bahwa pengertian ini
mengalami gerak pasung-surut dalam sejarah. Pada konteks kuno, keadilan
ekonomis diberi tempat khusus dan penting oleh Aristoteles. Pemikirannya
kemudian dilanjutkan dalam masyarakat abad pertengahan oleh Thomas Aquinas.
Keadilan dalam relasi-relasi ekonomis dianggap sesuatu yang harus diusahakan,
karena tidak hadir secara otomatis, dan diangap sebagai suatu nilai etis. Pada
abad modern, keadilan jenis ini tidak banyak diperbincangkan sehingga menurun
pula perhatian atasnya. Hal ini melahirkan aneka ketimpangan ekonomis dalam
masyarakat. Ketimpangan yang dimaksudkan adalah ketidakadilan itu sendiri.
Ketidakadilan itu diciptakan oleh manusia oleh karena itu manusia juga harus
memulihkannya.
Masyarakat
tidak mungkin diatur secara baik (well-ordered)
kalau tidak ditandai dengan keadilan. Pandangan ini juga pernah dikatakan oleh
John Rawls bahwa keadilan merupakan keutamaan khas untuk lembaga-lembaga sosial
sama seperti kebenaran merupakan ciri khas sebuah teori. Keadilan harus
berperan pada tahap sosial maupun individual. Dalam konteks ekonomi dan bisnis,
keadilan ekonomis harus diwujudkan dalam masyarakat, tetapi keadilan juga
merupakan keutamaan yang harus dimiliki oleh pelaku bisnis. Pebisnis tidak
hanya merupakan homo economicus saja,
tetapi harus memberi tempat kepada nilai-nilai moral dalam mengadanya di dunia.
Oleh karena itu, keadilan menjadi sangat penting untuk ditegakan dan
dijalankan.
Penutup
Setelah
mempelajari dan merangkum buku Etika Bisnis yang diulas oleh K. Bertens
khususnya dalam Bab 1, II, dan III. Saya menyimpulkan bahwa dalam kehidupan (being in the world) kita seharusnya
menjalankan prinsip-prinsip etika. Etika sebagai pedoman atau pegangan dalam
menjalankan kehidupan. Ia bagaikan kompas penunjuk arah. Paraktek etika yang
begitu meluas dan dijadikan bahan diskursus dalam ranah ilmu pengetahuan
mengajak kita untuk menjadi manusia yang baik. Adalah Aristoteles yang
mengatakan demikian. Bahwa menjadi baik adalah tujuan (teleologis) yang harus dikejar oleh manusia dalam mengadanya di
dunia. Diskursus etika pun mendapat tempatnya dalam aktivitas berbisnis atau
disebut etika bisnis. Hal ini mau menjelaskan bahwa dalam aktivitas bisnis kita
tidak boleh melepaskan etika sebagai pertimbangan moral. Etika dan bisnis bagaikan
dua sisi mata uang logam. Dengan demikian, aktivitas bisnis dapat dikatakan
sebagai aktivitas yang baik apabila mengedepankan nilai-nilai moral yang ada.
Nilai-nilai moral dimaksud itu seperti yang termaktub dan dijelaskan dalam
rangkuman tiga bab di atas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar