Senin, 29 Oktober 2018

Resume Buku Pengantar Etika Bisnis

htttp://yoseph-belen-keban-resume-buku-etika-bisnis-
Resume Buku Pengantar Etika Bisnis
Penulis: K. Bertens
Penerbit: Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Oleh: Yoseph Belen Keban

Pengantar
            Bisnis dan Etika adalah dua terminologi kontemporer yang menjadi emblem diskursus dalam ranah akademisi. Keduanya merupakan dua disiplin ilmu yang berbeda titik tekannya. Yang satu menekankan aktivitas ekonomi dalam menghasilkan nilai utilitas bagi seseorang atau sekolompok orang yang menjalankannya dan yang satunya menekankan nilai buruk-baiknya atau moralitas seseorang atau sekolompok orang. Kedua disiplin ilmu ini kemudian dijadikan satu frase yakni “Etika Bisnis”. Hal ini mau menggambarkan bahwa term “Bisnis” itu bersifat kompleks atau umum. Oleh karena kekompleksannya maka dibutuhkan etika untuk mengupas dan menilik aneka prilaku atau pelaku bisnis dalam melakukan aktivitas ekonomi dan bisnis. Menjadi pertanyaannya adalah “Mengapa harus etika?” Acapkali kita berasumsi bahwa bisnis itu tidak membutuhkan etika sama sekali. Namun, perlu diketahui bahwa dalam mengada manusia di dunia (being-in-the world) tidak luput dari yang namanya etika itu sendiri. Etika menyoroti tindak-tanduk manusia, kesadaran dan perkataan yang disampaikan. Oleh karena, pelaku bisnis adalah manusia yang berbisnis maka sangatlah relavan ilmu etika itu dimasukan dalam kajian bisnis itu sendiri. Nah, seperti apa hubungan etika dan bisnis? Mengapa perlu etika dalam bisnis? Bagaimana mengetahui etika dalam bisnis itu? Sejauh mana peran etika dalam dunia bisnis kontemporer? Semua pertanyaan ini merupakan pisau beda dalam mengupas inti sari pemikiran K. Bertens dalam buku ETIKA BISNIS ini. Berikut akan disajikan hasil pemahaman penulis mengenai pemikiran pokok K. Bertens dalam bukunya Etika Bisnis bab 1, II, dan III.

Bab 1
Bisnis dan Etika dalam Dunia Modern
1.      3 aspek dari bisnis dan tolok ukurnya
            Bisnis dan Etika dalam dunia modern merupakan hasil elaboratif K. Bertens akan dua hal yang berbeda. Dua hal yang berbeda itu merupakan dua tema besar yang kemudian melahirkan dua disiplin ilmu yang berbeda pula. Hasil elaboratif ini dijadikan Bertens sebagai pembahasan pertama dalam buku Etika Bisnis. Hal yang mau dikatakan K. Bertens di awal buku ini adalah dalam berbisnis tidak hanya memikirkan apa yang diperoleh dari aktivitas ekonomi itu sendiri, tetapi juga nilai moralitas atau etika dalam bisnis juga harus diperhatikan. Hal ini menarik untuk disimak sebab dalam pembahasannya, Bertens menampilkan tiga aspek pokok dari bisnis. Ketiga aspek itu adalah aspek ekonomi, aspek hukum, dan aspek moral (Lih. K. Bertens, 1-32). Uraian singkat dari ketiga aspek itu adalah demikian:
a.       Aspek Ekonomi
Pengertian bisnis dari perspektif ekonomi adalah sebuah aktivitas ekonomi. Dikatakan aktivitas ekonomi karena dalam bisnis menampilkan beberapa hal yang berkaitan dengan tukar-menukar, jual-beli, memproduksi dan memasarkan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Tujuan dari kegiatan ekonomi adalah keuntungan atau laba. Jadi, yang dikejar dalam aktivitas ekonomi adalah tujuan itu sendiri. Tujuan itu diperoleh karena adanya sebuah interaksi. Interaksi itu dibentuk oleh penjual dan pembeli. Oleh karena itu, bisnis lahir dari konsensus kedua bela pihak ini. Dalam teori ekonomis, bisnis yang baik (good business) adalah bisnis yang membawa banyak keuntungan.  Tolok ukur sudut pandang ini adalah laba dalam bisnis itu sendiri.
b.      Aspek Moral
Kehadiran aspek moral dalam bisnis merupakan tindak lanjut dari hasil refleksi atas teori ekonomis dalam bisnis itu sendiri. Kehadiran teori moral menjawab cela yang diperdebatkan dalam teori ekonomis. Boleh dikatakan bahwa teori moral menggugat dan mempertanyakan praktek bisnis yang baik memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya atau disebut good business itu. Yang digugat adalah cara perolehan keuntungan itu, apakah secara wajar atau memiliki trik-trik licik para pelaku bisnis? Hal yang mau dikatakan dalam teori ini adalah sikap tanggungjawab kita sebagai agen bisnis dan juga sikap respek kita bagi orang lain yang memiliki hak yang sama dalam berbisnis. Artinya bahwa dalam berbisnis kita patut memperhatikan etika berbisnis itu sendiri agar menjaga posisi finansial dan kepercayaan masyarakat luas akan apa yang kita jual dalam bisnis itu sendiri. Poin penting yang mau disampaikan dalam teori ini adalah menjaga kepercayaan. Dengan demikian, bisnis yang baik (good business) bukan saja bisnis yang menguntungkan tetapi bisnis yang baik secara moral. Artinya, bisnis dibangun dan dilaksanakan berdasarkan etika atau nilai moral yang diakui sebagai benar dan baik secara universal.
Tolok ukur dalam penilaian moral adalah hati nurani, kaidah emas, dan penilaian umum. Hati nurani merupakan norma moral yang penting, tetapi sifatnya subyektif sehingga tidak terbuka untuk orang lain. Sesuatu perbuatan itu baik, apabila dilakukan sesuai dengan hati nurani itu sendiri. Selain hati nurani, kaidah emas juga dipakai dalam penilaian moral.  Ini merupakan sebuah cara obyektif dalam penilaian moral itu sendiri. Adapun bunyi kaidah emas itu adalah “Hendaklah memperlakukan orang lain sebagaimana anda sendiri ingin diperlakukan”. Selain itu, adapula disebut sebagai penilaian umum. Penilaian umum juga merupakan cara menentukan nilai moral itu sendiri. Jadi apa yang menurut pandangan umum bahwa hal itu tidak baik atau bersifat immoral maka hal itu tidak seharusnya dilakukan.
c.       Aspek Hukum
            Seperti moral, hukum juga merupakan sudut pandang normative sebab menetapkan apa yang harus dilakukan atau apa yang tidak seharusnya dilakukan. Dari sudut norma, hukum jauh lebih pasti dan jelas dari pada etika itu sendiri sebab peraturan hukum dituliskan di atas kertas dan memiliki sanksi yang jelas apabila dilanggar. Walaupun demikian tetapi hukum dan moral memiliki hubungan yang erat. Keeratan hubungan itu dapat dijelaskan demikian. Etika selalu harus menjiwai hukum dalam banyak hal. Salah satunya ada dalam dunia bisnis itu sendiri. Meskipun adanya hubungan erat, namun dua macam norma ini tidaklah sama. Ketidaksamaan itu dapat dijelaskan demikian:
ü  Banyak hal bersifat tidak etis, sedangkan dalam hukum tidak dilarang. Artinya bahwa tidak semuanya yang bersifat immoral atau dilarang secara moral itu harus dihukum. Sebagai contohnya adalah kasus perselingkuhan dalam perkawinan tidak dilarang berdasarkan hukum.
ü  Proses terbentuknya undang-undang atau peraturan-peraturan hukum lainnya memakan waktu yang lama, sehingga masalah-masalah baru tidak bias segera diatur dalam hukum.
ü  Hukum seringkali disalahgunakan. Perumusan hukum tidak pernah sempurna, sehingga orang yang beritikad buruk bias memanfaatkan celah-celah dalam hukum.
ü  Hukum memang dirumuskan dengan baik, namun sulit dijalankan sebab minimnya sistem control yang efektif.
ü  Hukum kerap kali mempergunakan pengertian yang dalam konteks hukum itu sendiri tidak didefinisikan dengan jelas dan sebenarnya diambil dari konteks moral. Contohnya adalah pengerian “bonafide”.
Hal yang disampaikan pada aspek hukum ini adalah dalam berbisnis penting juga memperhatiakan norma hukumnya. Artinya harus menaati peraturan-peraturan yang berlaku. Dengan itu, maka bisnis yang baik adalah bisnis yang taat pada hukum itu sendiri. Tolok ukur aspek hukum adalah sistem hukum itu sendiri.
2.         Pengertian Etika Bisnis
            Etika adalah cabang ilmu filsafat yang mempelajari baik-buruknya prilaku manusia. Manusia dalam kehidupannya membutuhkan etika itu sendiri. Mengapa? Alasan mendasarnya adalah manusia perlu hidup yang lebih baik  sesuai dengan kehendaknya. Menjadi pertanyaannya adalah hidup baik yang seperti apa? Tentu saja sesuai dengan norma yang ada. Hal-hal yang diperdebatan dan diperjuangkan dalam etika adalah nilai keadilan, kebaikan. Hal ini digagas sejak para filsuf Yunani kuno yakni dari Sokrates, Plato, Aristotels dan kemudian digaung ulang oleh  Jhon Rawls, Robert Nozick, dan Michael Walzer, serta para filsuf abad-20. Dalam poin ini, K Bertens menguraikan dua macam etika, yakni “etika praksis” dan “etika refleksi”. Kedua jenis etika ini dapat dipahami demikian. Pertama, etika sebagai praksis berarti nilai-nilai dan norma-norma moral sejauh dipraktekkan atau justru tidak dipraktekkan, walaupun seharusnya dipraktekkan. Pendek kata, etika praksis itu berciri “should” atau “harus”. Artinya bahwa apa yang baik itu harus dipraktekkan atau dilakukan. Kedua, etika sebagai refleksi adalah pemikiran moral. Dalam etika ini, kita berpikir tentang apa yang dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Artinya bahwa perlu adanya sikap kritis secara rasional dan bijak untuk menentukan pilihan yang sedang dihadapai. Tentu saja keputusan yang diambil itu berkaitan dengan baik atau tidaknya sesuatu hal itu. Bisa saja etika jenis ini sebagai etika penilaian atas apa yang dipraktekan oleh orang lain.
            Dari pengertian etika di atas, maka kita dapat menggolongkan etika bisnis yang dibcarakan ini dalam etika praksis atau etika terapan. Etika bisnis ini dapat dijalankan dalam 3 taraf yakni: taraf makro-meso dan mikro. Pada tahap makro, etika bisnis mempelajari aspek-aspek moral dari sistem ekonomi sebagai keseluruhan. Pada tahap meso, etika bisnis menyelidiki masalah-masalah etis di bidang organisasi. Sedangkan pada tahap mikro, etika bisnis memfokuskan diri pada individu atau pembisnis.
3.      Perkembangan Etika Bisnis
            Eksistensi etika bisnis kini tentu memiliki historisitasnya tersendiri. Richard De George perna membuat sebuah distingsi antara ethics in business dan business ethics atau antara etika dalam bisnis dan etika bisnis. Jika menelisik dua distingsi itu, maka dapat dikatakan bahwa etika dalam bisnis itu ada sejak ada bisnis di dunia sedangkan etika bisnis baru saja bertumbuh setelah etika bisnis menjadi satu bagian yang terpisah dan sebagai sebuah disiplin ilmu. Dari distingsi yang dikemukaan oleh Richard De George itu, maka dapat dikelompokan ke dalam lima periode perkembangan etika bisnis. Periode-periode itu adalah sebagai berikut:
Ø  Situasi dahulu
Berawal dari para filsuf Yunani Kuno yang berpikir tentang cara mengatur kehidupan manusia dalam kehidupan societas termasuk dalam hidup bernegara. Setelah filsafat, ilmu Teologi juga angkat bicara soal pentingnya moralitas dalam kehidupan bersama baik agama, Negara, dan juga ekonomi dan bisnis. Hal ini ditandai dengan lahirnya aneka ensiklik dari Paus terutama dalam Gereja Katolik seperti Rerum Novarum, dll. Tidak hanya Gereja Katolik yang menyoroti masalah moral tetapi agama Islam, Protestan juga menyoroti permasalahan yang sama.
Ø  Masa Peralihan: era 1960-an
Pada era ini ditandai dengan adanya pemberontakan terhadap kuasa dan otoritas. Hal ini terjadi di Amerika Serikat dan beberapa Negara bagaian Barat umumnya melakukan aksi ini. Ada pula dilakukan revolusi mahasiswa di Prancis, membongkar kemapanan hidup, dan lain sebagainya termasuk lahirnya sikap anti-bisnis. Dunia pendidikan menanggapi masalah ini secara berbeda. Salah satunya adalah menaruh perhatian pada issue sosial.
Ø  Etika Bisnis lahir di Amerika Serikat: tahun 1970-an
Etika bisnis lahir sebagai sebuah ilmu pertama kali terbentuk di Amerika Serikat sejak tahun 1970-an. Para filsuf memulai memikirkan soal etika bisnis dan ini merupakan sebuah tanggapan tepat atas krisis moral yang sedang menyelimuti dunia bisnis di Amerika Serikat. Konfernsi perdana etika bisnis terjadi di Universitas Kansas oleh Philosophy Depertement yakni Richard De George dan Collage of Business, Joseph Pichler pada November 1974. Selain itu pula, adanya sebuah krisis moral di Amerika Serikat yang mana melahirkan aneka demonstran di jalan-jalan yang mengutuk keterlibatan AS dalam perang melawan Vietnam. Krisis moral itu menguak dengan mendesak presiden Richard Nixon untuk mengundurkan diri. Selain itu, ada pula praktek suap-menyuap antara para politisi menjadi persoalan utama penurunan nilai-nilai moral. Atas reaksi ini, para akademisi melakukan sebuah refleksi atas situasi itu dan melahirkan etika bisnis itu sendiri. Hal ini ditandai dengan dibentuknya Committee for Education in Business Ethics.
Ø  Etika Meluas ke Eropa: tahun 1980-an
Etika meluas ke Eropa dan yang paling cepat merasakan ini adalah Inggris. Hal ini karena letaknya yang tidak jauh secara geografis dan dekat secara kultural dengan Amerika Serikat. Tidak hanya di Inggris tetapi secara perlahan masuk ke Negara Eropa lainnya. Ini ditandai dengan semakin banyaknya fakultas Ekonomi yang mencantumkan mata kuliah etika bisnis. Hal itu yang melahirkan dosen-dosen etika bisnis di Eropa. Pada tahun 1987, didirikan European Business Ethics Network yang bertujuan mempertemukan antara akademisi dari sekolah dan universitas bisnis.
Ø  Etika Bisnis menjadi Fenomena Global: tahun 1990-an
Pada era ini sangat jelas bahwa etika bisnis tidak hanya terlihat di dunia Barat semata namun bertumbuh dan berkembang secara global. Etika bisnis tidak hanya bersifat nasional tetapi secara internasional. Kini etika bisnis diajarkan di seluruh dunia.
4.      Sikap Modern Dewasa Ini
Sikap masyarakat modern tentang bisnis tentu saja berbeda dengan masyarakat tradisional atau zaman dahulu. Sekarang pandangan terhadap bisnis sangatlah luas artiannya. Pekerjaan bisnis zaman kini banyak yang menggemarinya sebab membawa sukses dan dipandang sebagai sesuatu yang terhormat jika dibandingkan dengan zaman dulu. Hal ini disebabkan oleh perspektif negatif akan bisnis itu sendiri yang sangat menonjolkan sikap egoisme. Hal ini kemudian dalam perjalanan dikritik oleh Adam Smith (1723-1790) yang membuat distingsi antara kepentingan diri dan egoisme.  Bagi Smith, orang yang melakukan aktivitas bisnis memang mementingkan diri sendiri, tapi tidak sampai merugikan orang lain. Artinya dalam relasi ini keduanya sama-sama diuntungkan. Tentu saja dalam aktivitas bisnis itu sendiri perlu dipegang nilai-nilai moral.
Problematika etika bisnis dewasa ini terletak pada persoalan kuasa. Bisnis sekarang mewujudkan kuasa ekonomis yang luar biasa besar. Hal ini membuat orang awam berada di luar control yang normal. Hal ini mau menggambarkan bahwa adanya kesalahgunaan kuasa dalam tindakan bisnis sehingga bisnis berada di luar rel etika.
5.      Kritik atas Etika Bisnis
Keberadaan atau eksistensi etika bisnis di dunia sebagai sebuah cabang ilmu mendapat aneka sorotan dan kritik di sana-sini. Berikut akan ditampilkan beberapa kritik dan jawaban atas kritikan itu.
Ø  Etika bisnis mendiskriminasi
Kritik ini berasal dari seorang ahli manajemen, yakni Peter Drucker. Ia mengatakan sebuah kritik yang tajam dan menukik dalam sebuah majalah yakni “The Public Interest” dan kemudian diulangi lagi dalam majalah Forbes. Inti kritik Drucker adalah etika bisnis menjalankan semacam diskriminasi. Mengapa dunia bisnis harus dibebankan dengan etika? Drucker juga berpendapat bahwa etika bisnis itu menunjukkan adanya sisa-sisa dari sikap bermusuhan yang lama terhadap bisnis dan kegiatan ekonomis.
Pendapat dan kritik Drucker ini kemudian ditanggapai secara baik oleh More dan Hoffman. Menurut mereka kritik itu sebenarnya tidak perlu dijawab sebab Drucker tidak mengetahui apa yang dipersoalkan. Sebenarnya apa yang sampaikan oleh Drucker merupakan sebuah tuduhan yang tidak mendasar. Orang bisnis membutuhkan etika itu sendiri. Dan dalam bisnis tidak adanya diskriminasi, memperlakukan semua orang sama. Sebab etika bisnis memiliki norma-norma umum tanpa pengecualian.


Ø  Etika bisnis itu kontradiktif
Pandangan berikut berasal dari kaum skeptisisme yang memandang bahwa etika bisnis adalah sesuatu yang naïf. Mereka merasa miris dengan adanya etika dalam bisnis ini. Dengan demikian, sampailah mereka pada sebuah pemahaman bahwa etika bisnis merupakan sesuatu yang kontradiksi. Kritikan ini sulit untuk dijawab namun pada bagian akhir dari buku ini kita memperoleh jawaban atas tuduhan kaum skeptisisme ini.
Ø  Etika bisnis tidak praktis
Kritik ini berasal dari seorang dosen manajemen yakni Andrew Stark. Ia berpendapat bahwa etika bisnis itu kurang praktis. Menurutnya, etika bisnis adalah “too general, too theoretical, too impratical. Keberatan oleh Stark itu dijawab sebagai berikut: Pertama, Stark hanya memandang dan mengintip buku-buku ilmiah tentang etika bisnis. Kedua, Stark tampak sebagai contoh jelas tentang tendensi Amerika Utara untuk mengutamakan tahap mikro dalam etika bisnis. Ketiga, sebagai ilmu, etika bisnis selalu bergerak pada taraf refleksi dan berakhir pada taraf teoritis juga.
Ø  Etikawan tidak mengambil ahli tanggungjawab
Kritik ini meragukan etika bisnis memiliki keahlihan etis khusus. Bagi mereka, setiap manusia memiliki sikap tanggungjawab sendiri. Oleh Karena demikian, kita tidak membutuhkan etika bisnis. Kita sendirilah yang bertanggungjawab atas apa yang dilakukan. Artinya, kita sendiri mengambil keputusan di bidang moral.
Seabagai jawaban atas kritikan ini adalah demikian. Etika bisnis tidak hadir untuk mengamil alih tanggung jawab etis dari para pembisnis, para manajer, atau para agen moral lainnya dalam bidang bisnis. Etika bisnis atau cabang etika terapan lainnya tidak berpretensi memiliki keahlihan yang sama sifatnya seperti banyak keahlihan lainnya. Etika bisnis atau etika terapan tidak mengganti tempat dari orang yang mengambil keputusan moral. Justru kehadiran etika bisnis membantu untuk mengambil keputusan moral yang dapat dipertangugngjawabkan, mampu memberikan sumbangsi dalam meningkatkan kesadaran moral dalam bidang bisnis, membuka mata-mata para pembisnis untuk melakukan hal yang etis, etika bisnis dapat memberikan informai yang berharaga sebelum para pembisnis mengambil keputusan moral yang sulit dan etika bisnis dapat menyusun argumentasi moral yang tepat.

           
Bab 2
Sekilas Teori Etika
            Dalam Bab ini, K. Bertens menguraikan secara singkat beberapa teori etika yang kerap digunakan dalam kehidupan. Teori-teori ini dijelaskan agar sidang pembaca memahami secara baik dan tidak berada dalam kebingungan ontologis. Secara konkret teori etika sering terfokuskan pada perbuatan (action). Perbuatan yang dimaksudkan adalah “perbuatan baik”. Perbuatan yang dimaksudkan itu tentu saja berorientasi pada penilaian moral. Dengan demikian, pada bab ini, sidang pembaca disuguhkan aneka teori etika oleh penulis dan hal ini sangat membantu kita untuk menilai sebuah keputusan etis. Keputusan etis itu dapat dinilai dengan beberapa teori etika bisnis berikut:
1.      Utilitarisme
Teori Utilitarisme merupakan sebuah teori yang dilahir di Inggris yang dipelopori oleh Jeremy Bentham dan kemudian dipertajam lagi pemikirannya oleh seorang murid Bentham yaitu John Stuart Mill. Terminologi “Utilitarisme” berasal dari kata bahasa Latin yaitu; “utilis” yang berarti bermanfaat. Menurut teori ini, sebuah perbuatan itu dikatakan baik jika membawa manfaat bagi banyak orang atau masyarakat luas. Dari pengertian ini boleh dikatakan bahwa teori ini menolak adanya individualisme. Sebuah adagium kondang yang disampaikan oleh seorang tokoh Utilitarisme, Jeremy Bentham yaitu:”the greatest happiness of the greatest number” yang diartikan dengan kebahagian terbesar dari jumlah orang terbesar merupakan sebuah kriteria untuk menentukan nilai baik-buruknya suatu perbuatan. Perbuatan yang baik tentu membawa nilai utilitas atau manfaat tersendiri bagi masyarakat. Manfaat itu merupakan tujuan akhir yang dikejar atau diidealkan. Hal yang diidealkan adalah kebahagian bagi masyarakat umum itu sendiri. Tentu saja yang menjadi fondasi pemikiran dalam teori ini adalah tanggungjawab moral agar bsa menciptakan iklim kebahagian bagi masyarakat umum.
Teori etika utilitarisme sangat menekankan pentingnya konsekuensi perbuatan dalam menilai baik-buruknya. Artinya bahwa kualitas moral suatu perbuatan-baik buruknya-tergantung pada konsekuensi atau akibat yang dibawakan olehnya. Jika suatu perbuatan membawa manfaat paling besar, artinya paling memajukan kemakmuran, membahagiakan, kesejahteraan masyarakat luas, maka perbuatan itu adalah baik. Sebaliknya, apabila tidak membawa akibat yang besar atau tidak menciptakan iklim kesejahteraan, kebahagian, kemakmuran bagi masyarakat luas , maka perbuatan itu dikatakan buruk. Dari gambaran ini dapat disimpulkan bahwa utilitarisme juga terkadang dinamakan sebagai “konsekuensialisme”.
Selain disebut sebagai konsekuensialisme, utilitarisme juga disebut sebagai teori teleologis. Teleologis merupakan istilah dari bahasa Latin yakni; telos dan logos. Telos berarti tujuan, sedangkan logos artinya ilmu atau pengetahuan. Dengan demikian, utilitarisme yang disebut sebagai teleologis berarti titik tekannya pada tujuan yang hendak dicapai. Kualitas etis suatu pebuatan diperoleh dengan dicapainya tujuan dari perbuatan itu sendiri. Perbuatan yang memiliki maksud baik namun tidak menghasilkan apa-apa bagi teori utilitarisme tidak pantas disebut sebagai baik. Berkata benar, menepati janji, menghormati milik orang lain adalah baik sebab hasil baik yang diperoleh dari itu. Utilitarisme juga memberi ruang juga kepada pengertian “kewajiban”, tetapi hanya dalam arti bahwa manusia harus mengahasilkan kebaikan dan bukan keburukan.
Perkembangan teori utilitarisme ini banyak mendapat kritikan di sana-sini. Oleh karena banyak kritikan itu, maka para pakar teori ini mencari jalan keluar dari kesulitan itu. Beberap utilitaris mengusulkan untuk menggolongkan utilitarisme ke dalam dua macam, yaitu; utilitarisme perbuatan (act utilitarianism) dan utilitarisme aturan (rule utilitarianism). Yang menjadi titik tolok dalam teori ini adalah utilitarisme perbuatan.  “Manfaat besar bagi jumlah orang terbesar” adalah prinsip dasarnya. Prinsip ini dipakai untuk mengkalkulus kebahagian masyarakat. Prinsip dasar utilitarisme tidak harus diterapakan pada perbuatan-perbuatan yang dilakukan, melainkan atas aturan-aturan moral yang diterima bersama dalam societas sebagai pedoman dan pegangan hidup. Sebuah kebenaran itu bias diterima dan sah secara universal apabila tahan uji terhadap prinsip utilitaristis. Sebagai contoh ”janji harus ditepati” dengan aturan “janji tidak perlu ditepati”, maka akan disetujui bahwa aturan pertama tahan uji terhadap prinsip utilitaristis, sedangkan aturan kedua tidak. “Janji harus ditepati” secara moral sah sebab membawa manfaat besar bagi banyak orang. Begitupun sebaliknya dengan janji tidak harus ditepati akan membawa pengaruh negatif bagi masyarakat umum.
2.      Deontologi
Terminologi Deontologi berasal dari kata bahasa Yunani, yakni Deon dan Logos. Deon berarti kewajiban sedangkan Logos berarti kata atau ilmu atau pengetahuan. Dengan demikian, Deontology berarti teori tentang kewajiban. Dari gamabaran pengertian secara harafia ini, dapat dikatakan bahwa teori Deontologi ini merupakan tandingan terhadap teori utilitarisme. Teori Deontologi melepaskan sama sekali moralitas dari konsekuensi perbuatan yang dikatakan oleh teori utilitarisme. Menurut teori ini, sebuah perbuatan dikatakan baik bukan karena memiliki konsekuensi yang baik pula tetapi sebuah perbuatan dikatakan baik karena perbuatan pertama merupakan kewajiban dan perbuatan yang kedua itu dilarang. Dengan demikian, menjadi prinsip dasar sebuah perbuatan itu dianggap baik-buruk adalah kewajiban. Oleh karena itu, sebuah perbuatan yang baik itu wajib dilakukan. Sebuah perbuatan tidak dihalalkan karena tujuannya. Tujuan yang baik tidak menjadikan perbuatan itu baik. Penganut teori ini kebanyakan datang dari kalangan agama. Mengapa demikian? Sebab kaum agama menilai bahwa sebuah perbuatan itu baik dan juga buruk karena sesuai dengan perintah dan larangan Tuhan. Setiap agama memiliki larangan dan perintah semacam ini.
      Pendasaran teori ini secara filososfis dikumandangkan oleh seorang filsuf kondang, yakni Immanuel Kant (1927-1804). Substansi filosofisnya ialah berfissafat mengenai “Mengapa sebuah perbuatan itu disebut baik”? Kant beragumen bahwa sebuah perbuatan itu disebut baik karena perbuatan itu harus dilakukan atau dengan kata lain perbuatan itu baik karena dilakukan sebagai kewajiban. Kant juga mengatakan bahwa perbuatan itu baik, jika dilakukan berdasarkan “imperatif kategoris”. Imperatif kategori mewajibkan kita melakukan begitu saja, tanpa syarat ini itu. Sebagai contoh, barang yang dipinjam harus dikembalikan. Dengan demikian, sangatlah jelas bahwa konsekuensi perbuatan atau apa yang dihasilkan oleh perbuatan tidak berperanan sedikit pun dalam menentukan kualitas etisnya. Sebuah perbuatan itu hanya dapat dianggap baik secara moral apabila dilakukan karena kewajiban atau karena harus dilakukan. Hal ini mau menggambarkan bahwa suatu perbuatan baik dari segi moral belum tentu juga baik dari segi hukum. Dalam penilain moralitas tidak hanya disoroti dari segi perbuatan itu sendiri tetapi juga diperhatikan juga segi batinnya seperti apa motivasi dari perbuatan itu sendiri.
3.      Teori Hak
Teori hak dipakai juga untuk mengevaluasi atau mengukur baik-buruknya suatu perbuatan atau prilaku. Teori ini merupakan suatu aspek dari teori Deontologi, karena hak selalu berhubungan atau berkaitan dengan kewajiban. Sehingga boleh dikatakan bahwa hak dan kewajiban  bagaikan dua sisi dari uang logam yang sama. Kewajiban satu orang biasanya serentak berarti juga hak dari orang lain. Sebagai contoh, saya berjanji akan memberikan cincin kepada pasangan saya, di situ saya berkewajiban untuk menepati janji itu, sedangkan pasangan saya berhak mendapatkan apa yang saya janjikan. Di sini keduanya ditonjokan, namun yang akan disoroti lebih lanjut adalah teori hak. Belakangan ini teori hak mendapat ruang luas bahkan mendapat suatu identitas tersendiri. Hak didasarkan atas martabat manusia dan martabat semua manusia itu sama. Oleh karena itu, teori hak sangat cocok dengan suasana pemikiran demokratis. Artinya, semua orang dipandang sama dan sederajat tidak ada perkotak-kotakan atau kasta dalam kehidupan sosial.
Teori hak ini mendapat tempat dalam kehidupan sosial sebab dinilai cocok dengan penghargaan terhadap individu. Oleh karena itu, individu seseorang tidak boleh dikorbankan demi tercapainya suatu tujuan yang lain. Emmanuel Kant, telah merumuskan dengan baik bahwa manusia merupakan suatu tujuan pada dirinya (an end in itself). Karena itu manusia harus dihormati. Dalam etika bisnis, teori hak juga mendapat tempatnya sebagaimana dalam pemikiran moral umumnya. Dalam arti ini teori etika bisnis hanya melanjutkan perjuangan dibidang sosial-ekonomi yang berlangsung pada zaman sebelumnya. Seperti perjuangan kaum buruh, feminimisme, dll yang memperjuangkan hak mereka.
4.      Teori Keutamaan
Teori keutamaan memfokuskan pada seluruh manusia sebagai pelaku moral dan tidak menyoroti perbuatan itu sendiri. Teori keutamaan (virtue) memandang sikap atau akhlak seseorang. Teori ini tidak mempertanyakan “what should he/ she do?”, melainkan “what kind of person should he/ she be?” Teori ini merupakan reaksi atas teori sebelumnya yang mendasarkan pemikiran mereka pada prinsip (rule-based). Bersadarkan studi historisitas, teori ini perna dikemukakan oleh Aristoteles, seorang filsuf Yunani kondang (384-322). Apa itu keutamaan? Keutamaan dapat diartikan sebagai disposisi watak yang telah diperoleh seseorang dalam memungkinkan dia untuk bertingkah laku baik secara moral. Keutamaan sendiri dapat digolongkan ke dalam 4 (empat kelompok) yaitu, kebijaksanaan, ugahari, keadilan, dan kerendahan hati. Keempat keutamaan ini juga sering disebut sebagai keutamaan kardinal. Dengan demikian, menurut teori ini hidup baik merupakan hidup menurut keutamaan-keutamaan itu sendiri (virtuous life).
Keutamaaan tidak seharusnya berhenti pada ranah privat tetapi harus dijalankan dalam konteks komuniter. Tekanan ini tentu merujuk pada pemikiran Aristoteles yang mana menggariskan bahwa kehidupan baik itu hanya mungkin dijumpai dalam polis. Polis merupakan Negara. Konsep manusia menurut Aristoteles sebagai mahkluk politik tentu memberikan gambaran bahwa manusia tidak bias lepas begitu saja dari polis atau Negara. Negara adalah komunitas terbesarnya. Dengan demikian, kepentingan pribadi tidak boleh dipertentangkan dengan kemaslahatan komunitas (the common good).
Dalam etika bisis, teori keutamaan ini belum banyak dimanfaatkan. Akan tetapi minatnya semangkin banyak dijumpai. Salah satu contohnya adalah karya dari Robert C. Solomon, yang menggabungkan etika bisnis dengan teori keutamaan dalam bukunya “Ethics and Excellence. Corporation and Integrity in Business”. Dalam buku itu, Salomon menjelaskan soal keutamaan yang sangat penting dalam konteks bisnis. Salomon membuat distingsi antara keutamaan untuk pelaku bisnis individual dan keutamaan pada taraf perusahan. Selain itu pula, ia berbicara mengenai keutamaan keadilan sebagai keutamaan yang paling mendasar dalam bidang bisnis. Selain keutamaan keadilan sebagai dasar dari aktivitas bisnis, Salomon juga menjelaskan keutamaan-keutamaan lainnya yang juga peting diperhatikan dalam aktivitas bisnis. Keutamaan-keutamaan itu adalah kejujuran, fairness, kepercayaan, dan keuletan. Keempat keutamaan ini memiliki kaitan erat satu dengan yang lainnya. Lalu seperti apa gambaran dari kempat keutamaan ini?
Ø  Pertama, keutamaan kejujuran merupakan hal penting yang harus diperhatikan dalam aktivitas bisnis. Kejujuran menuntut adanya sikap transparansi dan kebenaran. Hal ini bukan berarti seorang pelaku bisnis atau perusahan membuka apa saja kartunya dihadapan orang banyak. Kejujuran yang transpransi tidak seharusnya dipahami secara picik dan harafiah demikian.
Ø  Kedua, keutamaan fairness. Fairness hendaknya tidak dimengerti sebagai keadilan tetapi dipahami artinya dengan sikap wajar. Keutamaan ini dapat diartikan dengan kesediaan untuk memberikan apa yang wajar kepada semua orang dan dengan dengan wajar pula apa yang disetujui oleh semua pihak yang terlibat dalam suatu transaksi.
Ø  Ketiga, keutamaan kepercayaan juga sangat penting dalam konteks bisnis. Kepercayaan harus ditempatkan dalam relasi timbal-balik. Pebisnis hendaknya memiliki pemahaman bahwa mitra bisnisnya juga memiliki kepercayaan yang sama dengannya. Di sini juga perlu adanya sikap kritis atas kepercayaan itu sendiri. Artinya seorang pebisnis harus bersifat selektif dalam memilih mitra bisnis.
Ø  Keempat, keutamaan ugahari atau keuletan. Pebisnis harus bertahan dalam aneka situasi yang sulit. Ia harus sanggup mengadakan negosiasi dengan aneka proyek yang memiliki transaksi yang bernilai besar. Ia juga harus berani mengambil resiko dalam berbisnis. Keuletan dalam  bisnis cukup dekat dengan keutamaan lebih umum yang disebut “keberanian moral”.
Selain keempat keutamaan di atas, ada pula keutamaan lainnya yang menandai orang berbisnis pada taraf perusahan. Atau dengan kata lain, keutamaan yang menggambarkan hubungan antara manajer dan karyawan sejauh mereka mewakili sebuah perusahan. Keutamaan-keutamaan itu adalah keramahan, loyalitas, kehormatan, dan rasa malu.
            Teori keutamaan memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan teori-teori lainnya. Hal ini karena memungkinkan untuk mengembangkan penilain etis yang lebih positif. Teori ini menyoroti segi-segi positif. Berdasarkan gambaran ini, maka etika bisnis juga dapat mengikuti kecendrungan positif ini.




Bab 3
Ekonomi dan Keadilan

            Keadilan merupakan suatu topik penting dalam etika. Dengan demikian keadilan juga sangat penting dalam ranah ekonomi dan bisnis, sebab tidak hanya berkutat pada wilayah perasaan semata namun menyangkut barang  yang dimiliki atau kepentingan yang dituntut oleh pelbagai pihak. Ekonomi dan keadilan memiliki kaitan erat sebab keduanya berasal dari sumber yang sama. Sumber itu adalah masalah kelangkaan. Ekonomi timbuk karena keterbatasan sumber daya itu sendiri. Dengan demikian, ekonomi adalah studi tentang cara bagaimana masyarakat menggunakan sumber daya yang langka untuk memproduksikan komoditas-komoditas yang berharga dan mendistribusikannya di antara orang-orang yang berbeda. Seandainya saja tidak ada kelangkaan maka tidak ada pula ekonomi. Hal ini juga berlaku bagi keadilan itu sendiri. Adil atau tidaknya suatu keadaan selalu terkait juga dengan kelangkaan itu sendiri. Dengan demikian, ekonomi dan keadilan tidak beloh dilepaspisahkan atau memiliki hubungan keterkaitan.
1.      Hakikat Keadilan
K. Bertens dalam mengupas konsep Ekonomi dan Keadilan dalam bukunya Etika Bisnis , Bab III ini dengan sebuah Pertanyaan substansial. Pertanyaan ini merupakan dasar filosofisnya untuk menghantar sidang pembaca pada pemahaman akan pentingnya keadilan dan apa itu keadilan. Menjadi pertanyaan mendasar dalam poin hakikat keadilan ini adalah “apa itu keadilan?” Pertanyaan itu kemudia dijelaskan dengan menilik historisitas terminologi itu. Pada zaman Romawi kuno, istilah keadilan ini sudah ada  dengan adagium Ius Romanum. Definisi ini dikemukan dalam konteks hukum. Pengarang Roma, Ulpianus menggambarkan keadilan secara singkat sebagai “tribuere cuique suum” yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan “to give everybody his own” atau dalam bahasa Indonesia dengan “memberikan kepada setiap orang apa yang dia miliki”. Dari pengertian ini kemudia berkembang secara luas pengertian keadilan yakni memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Keadilan memiliki tiga unsur hakiki. Ketiga unsur itu adalah sebagai berikut:
Ø  Keadilan selalu tertuju kepada orang lain atau keadilan selalu ditandai other-directedness. Artinya bahwa masalah keadilan hanya bida timbul dalam konteks antar-manusia. Mustahil bila saya berlaku adil atau tidak adil terhadap diri saya sendiri.
Ø  Keadilan harus ditegakan atau dilaksanakan. Artinya bahwa keadilan itu merupakan hak sekaligus kewajiban. Oleh karena itu bersifat “should” atau harus dilakukan oleh siapa pun. Gambaran keadilan adalah timbangan seperti yang dilukiskan dengan baik dalam mitologi Romawi, dewi Iustita digambarkan memegang timbangan dalam tangan. Artinya bahwa keadilan harus dilaksanakan persis sesuai dengan bobot hak seseorang.
Ø  Keadilan menuntut adanya persamaan (equality). Artinya bahwa harus memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya, tanpa memandang bulu.

2.      Pembagian Keadilan
v  Pembagian klasik
Pembagian klasik ini mengikuti perkembangan historis yang panjang. Hal ini dapat dijumpai dalam kalangan thomisme (aliran filsafat Thomas Aquinas). Thomas Aquinas adalah seorang Aristotelian sehingga wajar dia dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles juga dalam pendasaran filosofisnya.  Keadilan dalam pembagian klasik ini diklasifikasikan ke dalam tiga jenis, yaitu:
ü  Keadilan Umum (general justice): berdasarkan keadilan ini para anggota masyarakat diwajibkan untuk memberikan kepada masyarakat apa yang menjadi haknya. Landasannya adalah common good atau kebaikan bersama. Artinya harus menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi atau golongan.
ü  Keadilan distributif (distributif justice): berdasarkan keadilan ini Negara harus memberikan keadilan yang sama bagi setiap warganya. Salah satunya adalah perlindungan hukum bagi setiap individu dalam kehidupan bernegara.
ü  Keadilan komutatif (communitative justice): berdasarkan keadilan ini setiap orang harus memberikan kepada orang lain apa yang menjadi haknya. Hal ini berlaku bagi individu atau pun sosial.

v  Pembagian pengarang modern
 Tokoh penting yang membahas pengelompokan keadilan pada poin ini adalah, John    Boatright dan Manuel Velasques. Pendasaran mereka juga bertitik tolak pada Aristoteles. Pengelompokkan keadilan menutur mereka adalah demikian:
·         Keadilan distributif (distributive justice): dipamahi sama seperti pembagian klasik di atas. Benefits and burdens, hal-hal yang enak untuk didapat maupun hal-hal yang menuntut pengorbanan, harus dibagi dengan adil.
·         Keadilan retributif (retributive justice): berkaitan dengan kesalahan hukum. Hukuman atau denda kepada orang yang bersalah harus bersifat adil. Ada 3 syarat dari hukum yang dapat dinilai adil adalah:
Orang atau instansi yang dihukum harus tahu apa yang dilakukan dan dilakukan dengan bebas.
a)      Harus dipastikan bahwa orang yang dihukum itu benar-benar melakukan perbuatan yang bersalah dan kesalahan itu dapat dibuktikan.
b)      Hukuman harus konsisten dan proporsional dengan pelanggaran yang dilakukan.

·         Keadilan kompensatoris (compensatory justice): berdasarkan keadilan ini orang mempunyai kewajiban moral untuk memberikan kompensasi atau ganti rugi kepada orang atau institusi yang dirugikan. Ada 3 syarat berlakunya kewajiban kompensasi:
a)      Tindakan yang mengakibatkan kerugian harus salah atau menyebabkan kelalaian. Kalau kerugian disebabkan karena tindakan yang sah, tidak ada kewajiban kompensasi.
b)      Perbuatan seseorang harus sungguh-sungguh menyebabkan kerugian.
c)      Kerugian harus disebabkan oleh orang yang bebas.

v  Keadilan individu dan keadilan sosial
Kedua macam keadilan ini haruslah dibedakan. Keduanya berbeda karena pelaksanaannya berbeda pula. Pelaksanaan keadilan individual tergantung pada kemauan atau keputusan satu orang saja atau beberapa orang.  Sedangkan keadilan social tergantung dari struktur-struktur masyarakat dalam bidang sosial-ekonomi, politik, budaya, dan sebagainya. Keadilan sosial tidak akan terlaksana apabila struktur-struktur masyarakat tidak memungkinkan. Keadilan individu terpenui apabila hak-hak individu terpenuhi. Keadilan sosial terlaksana, bila hak-hak sosial terpenuhi.

3.      Keadilan Distributif pada Khususnya
                  Keadilan distributif merupakan jenis keadilan yang mengakibatkan banyak kesulitan selain jenis-jenis keadilan lainnya. Mengapa? Sebab jenis keadilan ini berkaitan dengan masalah membagi. Hal ini menjadi soal kerena bagaimana membagi dan setiap orang pasti menginginkan hasil bagian yang paling banyak. Bagaimana membagi agar tidak orang yang merasa berkurang? Oleh karena itu, dalam teori etika selalu dikatakan bahwa keadilan ditributif keputusan kita harus didasarkan atas prinsip-prinsip tertentu. Prinsip-prinsip keadilan distributif dalam teori ekonomi adalah prinsip formal dan prinsip material. Prinsip formal itu hanya ada satu dan dapat dirumuskan bahwa “orang yang sama”,”kasus yang sama” dan sebagainya. Sedangkan prinsip material keadilan distributif melengkapi prinsip formal itu sendiri. Prinsip ini menunjuk kepada salah satu aspek relevan yang bisa dijadikan dasar untuk membagi dengan adil hal-hal yang dicari oleh setiap orang. Prinsip material ada beberapa. Menurut Beauchamp dan Bowie prinsip material keadilan distributif ada enam, yaitu:
ü  Kepada setiap orang bagian yang sama
ü  Kepada setiap orang sesuai dengan kebutuhan individu
ü  Kepada setiap orang sesuai dengan haknya
ü  Kepada setiap orang sesuai dengan usaha individunya
ü  Kepada setiap orang sesuai dengan kontribusinya kepada masyarakat
ü  Kepada setiap orang sesuai dengan jasanya
Dari keenam prinsip material di atas, dapat dijelaskan secara khusus dengan memperhatikan konteks ekonomi dan bisnis.
v  Bagian yang sama
Arti dari prinsip ini adalah kita membagi kepada semua orang dengan adil atau kepada semua orang diberikan secara merata.
v  Kebutuhan
Arti dari prinsip ini adalah kita berlaku adail apabila kita membagi sesuai dengan kebutuhan tiap orang.
v  Hak
Hak merupakan prinsip yang paling berpengaruh bagi keadilan pada umumnya, termasuk keadilan distributif.
v  Usaha
Pebagian dikatakan adil apabila dibagikan kepada mereka yang mengeluarkan banyak usaha dan keringat patut diberikan yang pantas dari pada yang tidak berusaha.
v  Kontribusi kepada masyarakat
Pejabat tinggi boleh diperlakukan dengan cara khusus dari masyarakat biasa kerena kontribusinya kepada masyarakat lebih besar.
v  Jasa
 Jasa juga menjadi alasan untuk memberikan sesuatu kepada satu orang dan hal itu tidak untuk orang lain.

Berdasarkan prinsip-prinsip material keadilan distributif ini, maka dibentuklah tiga (3) teori keadilan distributif. Ketiga teori itu adalah:
a)      Teori egalitarisme
                  Teori ini didasarkan pada prinsip pertama. Pandangan mereka adalah kita baru membagi dengan adil, bila semua orang mendapat bagian yang sama (equal). Membagi adil berarti membagi dengan rata. Egalitarisme ini pantas menyedot simapati kita. Bahwa perlakuan setiap manusia adalah sama. Secara historis ini merupakan cetusan sejak adanya revolusi Prancis yang mana menumbangkan monarki absolut dan feodalisme. Adapun yang disampaikan dalam deklarasi hak manusia dan warga negara (1789) adalah ”manusia dilahirkan bebas serta haknya sama, dan mereka tetap tinggal begitu”. Berkaitan dengan deklarasi ini, Amerika sudah lebih dahulu melakukannya pada tahun 1776 dengan sebutan “The Declaration of Independence ” yang menegaskan bahwa “All men are create equal”. Hal ini kemudian merembes kepada pemilihan umum sehingga pemilu pun diatur secara egalitarian, atas dasar prinsip “one person one vote”. Prinsip ini sangat sulit diterapkan dalam hal ekonomi dan bisnis. Letak kesulitannya adalah penggajian. Oleh karena itu, muncul juga aneka reaksi menuntut diterapkannya teori ini. Salah satu tokoh terkenal adalah Jean Paul Sartre, seorang filsuf Eksistensialisme yang mendirikan sebuah surat kabar “Liberation”. Forum ini digunakan untuk mengkritisi, melawan kapitalisme dan menerapkan sistem penggajian egalitarian.
b)      Teori sosialistis
                  Teori ini memilih prinsip kebutuhan sebagai dasarnya. Pandangan dari teori ini adalah masyarakat diatur dengan adil, jika kebutuhan tiap warga terpenuhi. Kebutuhan itu meliputi; sandang, pangan, dan papan. Secara konkret, sosialisme memperhatikan masalah-masalah sosial seperti permasalahan kaum buruh dalam konteks industrialisasi. Teori sosialisme tentang keadilan, terkenal adalah prinsip yang diutarakan oleh Karl Marx yang diambil oleh seorang sosialis, Louis Blanc: “from each according to his ability, to each according to his needs”. Bagian pertama dari prinsip ini berbicara tentang bagaimana burdens harus dibagi-bagi; hal yang menuntut pengorbanan. Sedangkan bagian kedua dari prinsip ini menjelaskan bagaimana benefits harus dibagi; hal-hal yang enak untuk didapat. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kebutuhan dan kemampuan memang tidak dapat dipisahkan dalam melaksanakan keadilan ditributif. Tetapi ada kesulitan besar juga apabila prinsip ini dipakai sebagai pegangan satu-satunya untuk mewujudkan keadilan distributif.
c)      Teori liberalistis
                  Teori ini justru menolak pembagian atas dasar kebutuhan sebagai tidak adil. Hal ini dikarenakan manusia sebagai makhluk yang bebas, kita harus membagi menurut usaha-usaha bebas dari individu-individu yang bersangkutan. Yang tidak berusaha untuk mempunyai atau memperoleh maka ia tidak mempunyai hak untuk mendapatkannya. Liberalisme menolak sebagai tidak etis sikap free rider. Orang yang tidak berusaha dan hanya bersandar pada orang lain ibarat benalu dinilai sebagai orang yang tidak mengakui hak sesamanya untuk menikmati hasil jerih payahnya. Teori ini menggarisbawahi beberapa prinsip seperti hak, usaha dan tidak kala pentingnya adalah jasa dan prestasi. Prestasi dilihat sebagai wujud dari pilihan bebas seseorang. Teori ini mengalami kesulitan sebab tidak berlaku bagi orang yang disfabel atau cacat fisik.
4.      John Rawls tentang Keadilan Distributif
Jhon Rawls adalah seorang filosof yang lahir di Amerika Serikat pada tahun 1921. Rawls dikenal melauhi karya-karyanya. Salah satu karyanya adalah buku “A Teory of Justice” yang dipublikasikan pada tahun 1971. Ini adalah salah satu buku filsafat yang lahir dari abad-20 yang paling banyak disoroti dan dikritisi. Buku kedua yang begitu pengaruh bagi dunia adalah “ Political Liberalism”. Rawl dalam filsafatnya menyoroti juga soal keadilan. Pemikiran Rawls kadang dilabeli sebagai keadilan egalitarianism. Namun, hal ini tidak boleh dipahami sebagai egalitarianisme radikal. Rawls berpendapat bahwa kita membagi dengan adil dalam masyarakat, jika kita membagi rata, kecuali ada alasan untuk membagi dengan cara lain.
            Rawl dalam sebuah diskusi juga mengatakan bahwa masalah keadilan distributif hanya muncul berkaitan dengan apa yang tergantung pada kemauan manusia. Di mana manusia tidak bisa berpengaruh, di situ juga tidak mungkin timbul soal keadilan. Bagi Rawls, yang harus dibagi dnegan adil dalam masyarakat adalah the social primery goods (nilai-nilai sosial yang primer). Artinya hal-hal yang sangat kita butuhkan untuk dapat hidup lebih baik atau pantas sebagai manusia dan warga masyarakat. Menurut Rawls, yang termasuk nilai-nilai sosial primer, adalah:
ü  Kebebasan-kebebasan dasar, seperti kebebasan mengemukaan pendapat, bebas berkumpul, integritas pribadi, dan bebas dalam politik;
ü  Kebebasan bergerak dan kebebasan memilih profesi;
ü  Kuasa dan keuntungan yang berkaitan dengan jabatan-jabatan dan posisi-posisi penuh tanggung jawab;
ü  Pendapat dan milik;
ü  Dasar-dasar sosial dan harga diri.
Rawls kemudian menguraikan juga prinsip keadilan yang merupakan landasan dasar untuk membangun masyarakat yang adil. Prinsip ini bisa ditemukan menurut prosedur yang oleh semua orang dapat diterima sebagai adil. Menurut Rawls keadilan harus dipahami secara fairness. Fairness berarti keadilan yang yang didasarkan atas prosedur yang wajar (tidak direkayasa atau manipulasi). Rawls juga menghendaki agar dalam pembagian yang adil penting juga untuk tidak mengetahui apa-apa. Hal ini juga digunaka oleh Rawls sebagai metode untuk menentukan prinsip-prinsip keadilan distributif. Perumusan prinsip keadilan distributif ini, terlebih dahulu kita harus memasuki the original position atau posisi asali. Artinya kita seolah-olah harus keluar dari masyarakat di mana kita hidup adanya. Kita harus kembali kekeadaan awali kita (back to nature) ketika sejarah belum dimulai. Kita memasuki situasi khayalan di mana masyarakat belum terbentuk. Kita belum tahu persis bagaimana keadaan kita nantinya. Kita berada dibalik the veil of ignorance atau dibalik selubung ketidaktahuan. Rawls juga berpendapat bahwa sambil berada pada posisi asali kita dapat menyetujui prinsip-prisip keadilan berikut ini:
·         Prinsip pertama: setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan dasar yang   paling luas yang dapat dicocokan dengan kebebasan-kebebasan sejenis untuk semua orang.
·         Prinsip kedua: ketidasamaan sosial dan ekonomis dapat diatur sedemikian rupa sehingga
ü  Menguntungkan terutama orang-orang yang minimal beruntung, dan serentak juga
ü  Melekat pada jabatan-jabatan dan posisi-posisi yang terbuka bagi semua orang dalam keadaan yang menjamin persamaan peluang yang fair.
Prinsip pertama dapat disebut sebagai “kebebasan yang sedapat mungkin sama”. Dalam hal ini Rawl menganut prinsip egalitarianisme. Pada prinsip kedua bagian satu, disebut prinsip perbedaan (difference principles). Supaya masyarakat dengan adil, tidak perlu semua orang mendapatkan hal-hal yang sama. Dengan demikian. Rawls menolak egalitarianisme radikal. Sedangkan prinsip kedua bagian dua, disebut “prinsip persamaan peluang yang fair”. Adanya jabatan dan posisi yang penting juga mengakibatkan ketidaksamaan dalam masyarakat. Keadaan akan menjadi tidak adil apabila adanya diskriminasi. Dari prinsip-prinsip ini, Rawls kemudian membuat sebuah kesimpulan bahwa prinsip yang harus dijadikan prioritas adalah prinsip “kebebasan yang sedapat mungkin sama”.
5.      Robert Nozick tentang Keadilan Distributif
Robert Nozick, seorang professor filsafat di Universitas Harvard. Pemikiran tentang keadilan bisa dilihat sebagai antipode Rawls. Sasaran kritiknya adalah prinsip perbedaan dari Rawls. Robert Nozick menjadi tersohor karena sebuah hasil karyanya yakni “Anarchy, state, and utopia” yang memuat pikiran liberalistisnya tentang keadilan. Teori tentang keadilan distributif oleh Nozick disebut sebagai “entitlement theory”. Term entitlement dapat diterjemahkan dengan “landasan hak”. Menurut Nozick, kita memiliki sesuatu dengan adil, jika pemilikian itu berasal dari keputusan bebas yang mempunyai landasan hak. Ada tiga kemungkinan yang menelurkan tiga prinsip, yakni:
Ø  Prinsip original acquisition: kita memperoleh sesuatu untuk pertama kali
Ø  Prinsip transfer: kita memperoleh sesuatu karena diberikan oleh orang lain
Ø  Prinsip rectification of injustice: kita memperoleh sesuatu kembali yang sebelumnya dicuri dari kita, umpamanya.
Nozick juga memiliki dua keberatan mendasar mengenai prinsip-prinsip (material) keadilan distributif tradisional. Prinsip-prinsip itu bersifat ahistoris. Itulah keberatan pertama. Sedangkan apa yang disampaikan oleh Nozick mengenai tiga prinsip di atas merupakan prinsip-prinsip yang historis artinya mereka tidak saja melihat hasil pembagian tetapi mempertanggungjawabkan proses yang melandaskan pembagian atau pemilikan itu sendiri. Keberatan yang disampaikan di atas juga berlaku bagi prinsip perbedaan yang dikemukaan oleh Rawls. Rawls hanya melihat keadaan actual dari mereka yang minimal beruntung. Ia tak mampu melihat mengapa mereka bisa terjerat dalam kondisi yang demikian. Keberatan kedua yang disampaikan oleh Nozick adalah prinsip-prinsip tradisional menerapkan pembagian barang suatu pola yang ditentukan sebelumnya.  Prinsip-prinsip itu semua bersifat “pattern”.  Supaya adil, prinsip-prinsip yang berpola itu hanya bisa dipakai pada keadaan awal ketika semua orang masih sama, tetapi tidak bisa dipakai lagi setelah para anggota masyarakat memiliki harta milik yang berbeda-beda, akibat menjalani hak-haknya yang legim dengan bebas. Ini juga berlaku bagi pemikiran Rawls mengenai konsep original position.
            Nozick menyimpulkan bahwa keadilan ditegakkan, jika diakui bakat-bakat dan sifat-sifat pribadi beserta segala konsekuensinya sebagai satu-satunya landasan hak (entitlement).
6.      Keadilan Ekonomis
Keadilan memegang peranan penting dalam konteks ekonomi dan bisnis, karena menyangkut barang yang diincar banyak orang untuk dimiliki. Dipandang dalam perspektif historis, pengertian keadilan ekonomis tidak selalu mendapat perhatian yang sama. Sejarawan ide sosial, C.B. MacPherson, berpendapat bahwa pengertian ini mengalami gerak pasung-surut dalam sejarah. Pada konteks kuno, keadilan ekonomis diberi tempat khusus dan penting oleh Aristoteles. Pemikirannya kemudian dilanjutkan dalam masyarakat abad pertengahan oleh Thomas Aquinas. Keadilan dalam relasi-relasi ekonomis dianggap sesuatu yang harus diusahakan, karena tidak hadir secara otomatis, dan diangap sebagai suatu nilai etis. Pada abad modern, keadilan jenis ini tidak banyak diperbincangkan sehingga menurun pula perhatian atasnya. Hal ini melahirkan aneka ketimpangan ekonomis dalam masyarakat. Ketimpangan yang dimaksudkan adalah ketidakadilan itu sendiri. Ketidakadilan itu diciptakan oleh manusia oleh karena itu manusia juga harus memulihkannya.
Masyarakat tidak mungkin diatur secara baik (well-ordered) kalau tidak ditandai dengan keadilan. Pandangan ini juga pernah dikatakan oleh John Rawls bahwa keadilan merupakan keutamaan khas untuk lembaga-lembaga sosial sama seperti kebenaran merupakan ciri khas sebuah teori. Keadilan harus berperan pada tahap sosial maupun individual. Dalam konteks ekonomi dan bisnis, keadilan ekonomis harus diwujudkan dalam masyarakat, tetapi keadilan juga merupakan keutamaan yang harus dimiliki oleh pelaku bisnis. Pebisnis tidak hanya merupakan homo economicus saja, tetapi harus memberi tempat kepada nilai-nilai moral dalam mengadanya di dunia. Oleh karena itu, keadilan menjadi sangat penting untuk ditegakan dan dijalankan.

Penutup
            Setelah mempelajari dan merangkum buku Etika Bisnis yang diulas oleh K. Bertens khususnya dalam Bab 1, II, dan III. Saya menyimpulkan bahwa dalam kehidupan (being in the world) kita seharusnya menjalankan prinsip-prinsip etika. Etika sebagai pedoman atau pegangan dalam menjalankan kehidupan. Ia bagaikan kompas penunjuk arah. Paraktek etika yang begitu meluas dan dijadikan bahan diskursus dalam ranah ilmu pengetahuan mengajak kita untuk menjadi manusia yang baik. Adalah Aristoteles yang mengatakan demikian. Bahwa menjadi baik adalah tujuan (teleologis) yang harus dikejar oleh manusia dalam mengadanya di dunia. Diskursus etika pun mendapat tempatnya dalam aktivitas berbisnis atau disebut etika bisnis. Hal ini mau menjelaskan bahwa dalam aktivitas bisnis kita tidak boleh melepaskan etika sebagai pertimbangan moral. Etika dan bisnis bagaikan dua sisi mata uang logam. Dengan demikian, aktivitas bisnis dapat dikatakan sebagai aktivitas yang baik apabila mengedepankan nilai-nilai moral yang ada. Nilai-nilai moral dimaksud itu seperti yang termaktub dan dijelaskan dalam rangkuman tiga bab di atas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar