Senin, 20 November 2017

Akulturasi

 Filsafat Antropologi
Salahkah Akulturasi Itu?
(Sebuah Telaah Filosofis-Kultural Mengenai Korelasi Manusia-Alam dan Budaya)
Yosep Belen Keban


I.                   Pendahuluan

    Diskursus mengenai akulturasi tentu tidak asing lagi bagi kaum modern apalagi  kaum postmodern. Akulturasi sendiri semacam sebuah keniscayaan yang mana harus diterima sebab ia ada dalam pusaran globalisasi. Berbicara mengenai akulturasi berarti kita berbicara mengenai dua macam kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi. Dewasa ini kita sedang berhadapan atau bertatap muka dengan hal itu dan tidak semestinya dikibuli. De factonya demikian.
    Perubahan zaman yang kian dahsyat telah menerobos atau pun membongkar sekat-sekat kehidupan manusia yang rigid yang mana dibaluti dengan  aliran supersesionisme. Globalisasi telah mencukur dengan ganas tembok-tembok kaku kaum primitive itu sehingga mengubah mentalitas dan perspektif manusia tradisional. Sebagian manusia yang masih berpelukan dengan aliran supersesionisme menganggap hal ini sebagai sebuah bahaya yang mana harus dengan cepat ditangani sebab jika tidak maka nilai-nilai kebudayaan yang ada akan pupus. Cara pandang demikian tentu menafikan akulturasi itu sendiri. Namun sebagian juga manusia berpikir positif akan akulturasi itu sendiri. Di sini akulturasi mendapat ruang dalam dinamika hidup manusia yang mana terus berubah dalam pusaran waktu. Akulturasi dipandang sebagai suatu kemajuan, sebuah hal yang positif, integral dan inovatif. Kehadirannya membuka cakrawala berpikir manusia baik itu mengambil, memfilter lalu memutuskan apakah hal ini diterima atau tidak. Di sini peran rasio diutamakan.
Apakah akulturasi itu salah? Pertanyaan ini tentu lahir dari kaum pesimistis yang mana menafikan akulturasi itu sendiri. Pertanyaan ini tentu terasa sangat infantil namun mau manggambarkan perkara sikap manusia dalam menerima pengaruh akulturasi itu sendiri. Manusia cendrung berpikir salah akan akulturasi karena takut atau cemas akan nilai-nilai kebudayaan yang sudah ada. Kebudayaan lokal atau tradisionallah yang dianggap paling benar atau valid meskipun tanpa dipertimbangkan secara logis dan kritis. Eksistensi kebudayaan yang diwarisi diterima begitu saja sebagai itu yang benar. Nah, cara pandang demikianlah mendeskripsikan manusia ada dalam ranah primitif.
Pada hal akulturasi itu sendiri merupakan sebuah perkembangan yang baik. Hal itu tentu lahir dari tiga komponen utama yakni manusia-alam dan kebudayaan itu sendiri. Ketiga hal ini tidak dapat dilepaspisahkan. Nah, jika kita menerima akulturasi itu berarti manusia yang adalah subyek dari budaya dan alam menerima kebudayaan luar yang mana lahir dari alam itu sendiri lalu mengelaborasikannya ke dalam kebudayaan kita. Di sini tentu dibutuhkan kepekaan dan kekritisan dalam menilai dan menyerap kebudayaan yang masuk. Jadi, tidak salahkan alkuturasi itu kan.

II.                Bingkai Kehidupan Pra-akulturasi
        Manusia adalah makhluk  sosial. Sejak lahir ia merealisasikan dirinya dengan yang lain. Ia tidak lahir dari dan ada untuk dirinya sendiri. Manusia itu selalu ada bersama yang lain, tinggal dengan yang lain baik itu sesama-alam maupun budayanya.  Dengan keberadaannya itu, ia mencari esensi (esse) dirinya. Di titik ini, ia akan menyadari bahwa “aku” makhluk yang terbatas sekaligus melampaui keterbatasannya dengan berelasi dengan sesama-alam dan budaya. Manusia mengakui bahwa ia makhluk yang terbatas maka dengan sendiri ia sedang merindukan sesuatu yang mengatasi keterbatasannya. “Sesuatu” itu ia tidak menemukan dari keterbatasannya, melainkan ia menemukan pada diri yang lain, atau pada alam. Karena itu dapat disimpulkan manusia itu makhluk kolektif, karena kehadiran yang lain memberi sumbangsih untuk menemukan esensi hidupnya, kesejatian dan kesempurnaan hidupnya.  
Manusia pada zaman pra-akulturasi disebut juga masyarakat primitif.[1]  Manusia pada tahap itu sangat erat hubungan dengan alam. Manusia sungguh-sungguh menaruh seluruh harapannya pada alam. Alam menjadi subyek dalam menentukan masa depan dan hidupnya. Ia tidak bisa memisahkan dirinya dari alam, karena alam merupakan unsur terpenting dan sumber utama bagi manusia itu dalam mempertahankan hidupnya. Manusia hidup sebagai makhluk terbelakang yang tidak dapat berbuat apa-apa selain tunduk pada alam. 
Fenomen masyarakat tradisional, biasa menjadikan alam yang membentuk bahkan mendominasi hidupnya. Alam diakui memiliki kekuatan mitis yang harus diagungkan, disembah oleh manusia. Manusia tidak berani untuk  melawan keadaan alam tersebut, sehingga sikap pengeksploitasi maupun pengrusakan terhadap citra alam jarang terjadi bahkan tidak ada. Manusia dan alam memiliki relasi yang yang vertikal bukan horisontal. Alam lebih tinggi dari manusia, dengan sendirinya manusia harus taat padanya.     
Dalam bingkai hidup primitif, manusia pada tahap ini belum tunduk pada otoritas akal budi. Karena era tersebut yang didewakan bukan rasional melainkan kekuatan-kekutan mitos. Dengan demikian mentalitas masyarakat zaman itu memiliki alam pemikiran yang “pra-logis.”[2] Manusia itu memaknai hidupnya dengan lebih sederhana dan monoton. Monoton di sini bahwa manusia itu lebih mengarahkan hidupnya pada kekuatan-kekuatan gaib, yang memengaruhi akal budi dan batin manusia. Kekuatan ratio maupun kehendak hati diduafungsikan oleh manusia itu. Ia menjadi asing bagi kehendak dan akal budinya sendiri.
Perjumpaan manusia dengan alam bukan perjumpaan biasa, melainkan perjumpaan yang luar biasa. Perjumpaan tersebut melahirkn banyak kekayaan bagi manusia. Kekayaan itulah yang kami sebutkan sebagai kekayaan budaya. Budaya makan, budaya bercocok tanan, budaya seni bermusik, budaya komunikasi baik verbal maupun non-verbal dan sebagainya. Keanekaragaman budaya tersebut mau menggambarkan betapa kayanya manusia tinggal dalam budaya dan alam. Menyadari hal ini, maka kita berasumsi bahwa betapa indah hubungan antar manusia-alam dan budaya. Dengan demikian berbicara tentang manusia tidak terlepas dari alam dan budaya, begitu pula sebaliknya berbicara tentang budaya dan alam tidak terpisahkan dari manusia. Ketiga komponen itu tidak dapat dilepaspisahkan . Alam-budaya dan manusia merupakan sebuah relasi mata rantai yang tak dapat diputuskan. Bila terjadi pemutusan hubungan antar ketiganya maka gerakan, perputaran dengan sendirinya mogok.    
Ketika kesadaran semakin mendalam akan pentingnya alam bagi hidup manusia, maka manusia itu menjadi makhluk berbudaya, makhluk pecinta dan pelestari alam seperti dirinya sendiri. Manusia tinggal dan ada di dalam alam, bersejarah dan berkembang di dalam alam. Alam sungguh memberi warna kepada hidup manusia, sehingga ia dapat bersikap ramah terhadap alam, berperilaku baik dan adil terhadap alam yang melahirkan sikap khas manusia itu bahwa pada hakikatnya ia baik. Manusia mulai mengenal norma-norma kehidupan. Cara hidup demikian menunjukan bahwa manusia itu memiliki kemampuan bertanggung jawab kepada alam. Rasa solidaritas, tanggung jawab, rasa cinta, mengolah alam itulah yang menyadarkan manusia itu bahwa ia berbudaya, memilik norma budaya baik, memiliki akal budi (human mind)”[3] untuk menjaga keharmonisan dengan alam, dan memiliki daya untuk mempertahankan dan melestarikan bukan sekedar menjadi makhluk konsumtif.
Di sini identitas manusia mulai muncul, ia mulai menyadari akan eksistensi dirinya bahwa ia adalah makhluk berbudaya. Meskipun kesadaran sudah mulai terbersit dibenaknya namun ia belum menunjukkan jati dirinya secara penuh, karena hubungan manusia-alam dan budaya masih sebatas hubungan timbal balik, di mana alam menyediakan segala kebutuhan bagi hidup manusia dan manusia melestarikan alam, dengan membuat sesajian seperti korban bakar, maupun mengikuti seni kebudayaan yang menjadi warisan para leluhur. “Warisan sejarah itu lalu diturun-temurunkan ke generasi berikutnya dengan seperti melakukan pemburuan, pembajakan ladang, menciptakan alat-alat perang, dan usaha mempertahnkan keturunan itu sendiri yakni perkawinan.”[4]
Cerminan model masyarakat sebelum akulturasi merupakan suatu pergaulan hidup masyarakat yang berciri individulistik. Masing-masing mempertahankan kelompoknya, merperkokoh kelompok dan budayanya. Sinkretisme budaya jarang terjadi. Percampuran budaya dianggap sebagai pengganggu kenyamanan anggota kelompok lain. Ciri hidup masyarakat sebelum akulturasi sangat tertutup kepada perubahan atau modernisasi budaya. Maka, keadaan masyakat pra-akulturasi disebut juga masyarakat yang murni partisipatif dalam alam. Manusia meleburkan diri ke dalam alam secara total, karena kesadaran manusia bahwa kosmos memiliki kekuatan ilahi.
Sistem pengelolaan terhadap alam dan budaya belum mencirikan kebebasan pada manusia. Manusia seolah-olah berkutat pada suatu dunia yang disebut krisis identitas. Karena relasi yang di bangun manusia dengan alam masih bersumber pada persolaan ekspresi hidup karena perasaan “takut”[5] bukan pada suatu relasi pada tatanan rasional. Prasaan “takut” yang menyelimutinya membuat dia terbelenggu di dalam perasaannya sendiri bahwa tampak suatu kekuatan dari luar yang tak boleh disentuh oleh pikiran manusia. Budaya seperti itu hingga era modern-bahkan postmodern diam-diam masih diwariskan dikalangan masyarakat. Misalkan orang tua yang mewarisi kepada anak-anaknya suatu norma budaya yang sebenarnya tidak logis. Ketika anak menerima sesuatu  dari orang tua dewasa dengan tangan kiri dianggap jahat atau tidak sopan. Apa bedanya antar tangan kiri dengan tangan kanan? Apakah keduanya tidak membantu manusia untuk menghasilkan sesuatu bagi dirinya? Lantas mengapa ada larangan? Lukisan singkat itu hendak mengatakan bahwa karena dominasi perasaan takut orang melalaikan budaya nalarnya untuk merespon dengan logis.
Dari gambaran di atas mengenai kehidupan manusia sebelum akulturasi, mereka sungguh menegasikan gaya hidup profan. Mereka lebih menekankan hidup primitif yang dianggap jauh lebih sakral. Mereka sangat menekankan norma hidup yang menjaga kesucian alam dengan kekayaan budaya yang terkandung di dalamnya. Maka, prihal mengenai pengalihrupaan budaya minim terjadi, karena struktur hidup manusia pada tahap pra-akulturasi hanya bersifat “Order atau ketertaatan” dan “Regulation atau keterulangan.”[6] Pemaknaan hidup manusia pada tahap ini, di satu pihak menyenangkan karena  budaya lokal tepat terlestari namun agak membosankan karena monoton di pihak lain. Konsekuensinya, manusia pra-akulturasi bersifat eksklusif atau tertutup terhadap masuknya budaya luar, karena klaim-klaim akan budayaku lebih tinggi dari yang lain atau sebaliknya yang bisa melahirkan konflik budaya. Maka, bingkai singkat mengenai manusia yang berada pada pra-akulturasi akan bertentangan dengan manusia yang telah optimis terhadap akulturasi? Perihal tersebut akan digambarkan lebih jauh dalam bagian ketiga.

III.             Akulturasi Bersalahkah itu?

    Menelisik kembali panorama kehidupan manusia yang terbelenggu dalam penjara primitif tentu melahirkan seribu tanya dalam benak ini. Sebab perubahan yang terjadi tidak dimaknai atau tetap saja tidak membawa sedikit perubahan dalam cara pandang manusia. Manusia seolah-olah sedang menutup diri ataupun sedang mengkibuli bahwa perubahan itu ada namun kami menolak akulturasi. Padahal jika kita mengkaji lebih dalam akulturasi tidak pernah salah. Hal ini dikarenakan akulturasi terus saja bergerak dalam pusaran waktu. Ia selalu ada meskipun manusia tidak menyukai keberadaannya. Keberadaan yang tidak ada menurut segelintir orang yang menafikan atau menolak akulturasi akan tetapi pada faktanya mereka sedang mengakuinya secara bungkam.  Hal senada juga dikatakan oleh Jose Rizal dalam monolognya bahwa perubahan itu ada dan jika kita tidak berada dalam perubahan itu maka kita bukan kaum modern.
Modernisme adalah sebuah peralihan hidup dari tradisional. Di sini tidak dapat dipungkiri bahwa cara pandang manusia semakin terbuka sehingga mampu mengkritisi segala macam perubahan dalam setiap sendi-sendi  kehidupan termasuk pengaruh globalisasi itu sendiri yang melahirkan akulturasi. Di sini seolah-olah manusia sudah beralih dari tahap mitis menuju tahap ontologis atau fungsional menurut Van peursen.[7] Akulturasi bagi orang modern atau postmodern adalah sebuah keniscayaan dan meniscayakan subyek  memenerima dan mengkritisi secara kritis faedahnya dalam kehidupan kita jika kita menerimanya. Namun, yang menjadi persoalan di sini adalah sikap kita cendrung mengagung-gungkan budaya kita sebagai itu yang benar lalu menolak kebudayaan asing. “Hal ini adalah sebuah penyakit”, kata Jose Rizal.[8]
Kehadiran akulturasi tidak serta merta diterima begitu saja sebab adanya pengkritisan lebih lanjut dari subyek yang hendak menerimanya. Bisa saja adanya penolakan sebab hal itu dipandang buruk atau tidak berguna dalam kehidupan. Patut kita ketahui bahwa akulturasi itu selalu menyentuh tiga komponen utama dalam kehidupan yakni manusia yang adalah subyek dalam kosmos, alam yang adalah pusat atau tempat pijakan, dan kebudayaan yang mana adalah identitas subyek itu sendiri. Ketiga unsur ini saling berkaitan. Letak keberkaitannya dapat diuraikan demikian. Manusia yang adalah subyek yang mendunia melahirkan budayanya dalam dunia alam lalu mempermanenkan hal itu sebagai itu yang menjadi tradisi sehingga diwariskan turun temurun. Budaya itu lahir dari alam dan manusialah yang menemukannya namun manusia juga bisa ada karena budaya itu sendiri sebab budayalah yang membentuknya.  Hal senada juga diungkapkan oleh Dr. Theo Huijbers dalam bukunya. Ia mengatakan demikian;

Hubungan dunia dan manusia adalah hubungan yang bersifat intensional yang berarti manusia tidak pernah lepas dari dunia dan juga hubungan dialektis yang mana berarti hidup manusia berlangsung dalam hubungan relasional dengan dunia hidupnya.[9]
Nah, dari uraian di atas maka kita dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa manusia-alam dan budaya adalah sebuah mata rantai di mana hubungan ketiganya adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Kesatuan alam dan manusia sangat jelas dicerminkan dalam pandangan hidup orang primitif. Bagi orang Timur rasa ini sangat kuat karena memandang alam sebagai itu yang memberi hidup, itu yang gaib sehingga menjadikan alam sebagai bagian dari hidupnya.[10] Orang-orang primitif sering menggunakan ritus-ritus untuk mempertahankan keseimbangan dengan  alam. Hal ini dikarenakan alam mempunyai aspek religiusitas tersendiri sehingga mengharuskan manusia menciptakan tata cara penghormatan kepadanya. Dalam monolog atau teater, Jose Rizal mengatakan bahwa alam adalah unsur terpenting orang-orang Timur sehingga mereka menyapanya sebagai ibu pertiwi, karena dari dialah kita hidup. Ia mengatakan bahwa kita harus masuk ke dalam alam sebab dari alamlah kita menemukan hal-hal baru.[11] Dalam alam itu sendiri kita menemukan suasana rileks dan dari sanalah lahirlah yang namanya kebudayaan. Nah, hal-hal demikianlah wajib kita pelihara atau kita jaga dan apabila tradisi atau kebudayaan itu jelek wajib kita buang atau jauhkan. Sedangkan yang baik kita terima dan aktualisasikan dalam hidup. Di sini tentu peran rasionalitas dibutuhkan. Pengaktualisasian itu bisa melalui banyak cara salah satunya sebagai aspek edukatif adalah mengajar para generasi baru sama seperti Mas Jose Rizal melalui bengkel teater.
Uraian di atas mengenai korelasi antara alam-manusia dan kebudayaan tentu sudah menjawab persoalan utama kita yakni apakah akulturasi itu salah? Sebenarnya akultursi itu baik hanya saja sikap manusia yang adalah subyek yang mendunia dan berbudayalah yang menentukannya. Akulturasi itu lahir dari unsur-unsur itu juga tetapi hanya saja berbeda pandangan sehingga dibutuhkan sikap kritis di dalamnya.  Singkatnya akulturasi merupakan sebuah perubahan dan berciri inovatif yang mana lahir dari perjumpaan dua atau lebih budaya. Nah dengan menerimanya maka kita memperoleh kekayaan dalam kebudayaan.



IV.             Penutup
Akulturuasi di zaman Modern bahkan Post-modern, sadar maupun tidak bahwa ia telah merasuki jiwa setiap individu. Perncampuran budaya sejak kita dilahirkan telah kita alami. Seperti alat-alat teknologi: Hp, TV, dsbnya. Perjumpaan dua budaya dianggap negatif atau positif sejauh mana kita memandangnya. Bila pencampuran budaya merupakan sesuatu yang menolong hidup kita tentu itu sangat bermanfaat. Namun pencampuran dua budaya modern dan primitif itu merugikan, maka hal inilah yang perlu dihindari. Karena itu dalam cuplikan Jose Rizal, Beliau mengutip sebuah ungkapan dari Kihajar Dewantoro, bahwa dalam pertemuan budaya, kita perlu berani mengambil sikap untuk mengatakan “tidak” pada budaya modern jika itu merugikan budaya lokal, dan berani mengatakan “ya” jika hal itu bermanfaat bagi manusia.
 Akulturasi dalam posisi ini, meniadakan dua ekstrem supersionisme dan inferiorisme. Karena pada dua ekstrem ini hanya mendatangkan klaim pada diri manusia di satu sisi untuk menyombongkan budayanya, bahwa budayaku lebih baik, lebih benar. Di sisi lain, manusia merendahkan diri,bersikap pesimis bahwa budayaku lebih buruk dari pada budaya lain. Di sini yang ditekankan adalah bagaimana pencampuran budaya lokal dan modern dapat memberi satu warna hidup yang baru yang lebih inovatif. Patut dicamkan bahwa akulturasi adalah sebuah keniscayaan dan ia lahir dari tiga unsure itu yakni manusia-alam-dan budaya.
Dengan demikin ketiga komponen, manusia-budaya dan alam, saling memberi sumbangsi bagi potensi hidup manusia sejauh ia menerima dan mengaplikasikannya. Keadaan manusia-alam dan budaya merupakan suatu keadaan yang dinamis. Ketiga komponen tersebut mengalami perubahan sepangjang sejarah. Maka unsur ketertutupan sama sekali terhadap budaya luar tidaklah tepat. Atau unsur terbukaan sama sekali untuk meninggalkan budaya lokal dan menyerap budaya luar tanpa disaring itu juga tidaklah tepat. Maka manusia selain bersikap pesimis ia juga bersikap optimis. Karena peleburan ketiga komponen tersebut sebagai suatu ikatan yang terpisahkan. Manusia melebur dalam alam dan budaya, alam melebur dalam manusia dan budaya sebaliknya budaya melebur dalam alam dan manusia bagaikan kesatuan sebuah mata rantai .  





Daftar Pustaka


          
Huijbers, Theo., Dr.  Manusia Merenungkan Makna Hidupnya. Yogykarta: Kanisius, 1986.

            Putra, Heddy Shri Ahimsa. Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra, Yogyakarta: Galang Printika, 2001.


Rizal, Jose. “Magma Teater Anak.” dalam  KOMPAS. Minggu, 18 Oktober 2015.

Van Person, C.A., Prof. Dr. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: kanisius, 1976.



        













[1] Manusia primitive adalah manusia purba yang hidupnya masih dekat pada alam dan yang masih murni, dan belum terjamah oleh peradaban-peradaban modern. Dunia mereka dipenuhi unsure-unsur gaib, diliputi rahasia dan sangat interesan. Hal ini berbeda dengan kaum rasionalitas yang mengagung-agungkan rasio dan memandang rendah mitos. bdk Prof. Dr. C. Van Person, Strategi Kebudayaan, Yogyakarta: kanisius, 1976, hlm. 34-35.
[2]Ibid., hlm. 36.
[3] Heddy Shri Ahimsa-Putra, Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra, Yogyakarta: Galang Printika, 2001, hlm. 75.
[4] Van Person,Op.cit.,  hlm. 40.
[5] Ibid., hlm. 46.
[6] Heddy., Op.Cit., hlm. 67.  
[8] Maksud Jose Rizal di sini sebagai sebuah penyakit adalah sikap kita menolak kebudayaan orang lain sebagai itu yang salah dan mengatakan kebudayaan kita selalu benar padahal itu salah. Kita terlanjur mencintai lebih jauh sebuah kebudayaan yang salah. Hal ini diungkapkannya dalam monolognya ‘jose Rizal Manua-Monolog Mas Joko’ dalam https:// www.youtube.com.
[9] Dr. Theo Huijbers, Manusia Merenungkan Makna Hidupnya, Yogykarta: Kanisius, 1986, hlm. 16.
[10] ibid.,hlm. 30-31.
[11] Jose Rizal, Magma Teater Anak, dalam KOMPAS, Minggu, 18 Oktober 2015, hlm. 12.

Selasa, 14 November 2017

Cerita Rakyat Flores Timur

” WAI MATAN PITO”
(Cerita Rakyat Lamaole-Lewomaku-Flores Timur)
Yosep Belen Keban


Dahulu kala disebuah tempat di Flores Timur yang sekarang ini disebut Lamaole hiduplah seorang pria dan wanita. Mereka berdua adalah kakak beradik. Mereka adalah Mata Nebi dan Uto Yawa. Keduanya selalu bersamaan dalam mengarungi hidup, menapaki beraneka realitas penderitaan yang membelenggu kehidupan mereka. Hari-hari berlalu dengan penuh kesepihan. Kesepihan karena tidak ada siapa pun selain mereka. Kesepihan karena tak ada apa-apa yang dapat menghibur mereka dari kelelahan aktivitas yang dijalani dan juga gejolak jiwa yang terlahir dari realitas hidup yang terperangkap dalam zona kesusahan. Kesusahan akan segala-galanya baik dari segi materi berupa makanan, air, uang dan juga kesusahan akan hal spiritual. Meskipun berada dalam realitas hidup yang demikian tapi toh mereka tetap tabah mengarungi samudra hidup yang tiada bertepi dengan penuh cinta. Cintalah yang menahan niat dan kaki mereka untuk tidak meninggalkan tempat itu walaupun mereka tahu bahwa hal itu sangatlah pelik. Di sebuah kelak, ketika asyk bercerita dibawah sebuah pohon mereka dihadapkan sebuah pandangan yang tak menarik. Mereka melihat sepasang cecak yang sedang melakukan hubungan intim. Karena hal itu begitu tabu bagi mereka maka mereka memutuskan untuk memalingkan pandangan mereka. Akan tetapi pasangan cecak ini tetap mengikuti arah pandangan mereka. Melihat hal demikian mereka beranggapan bahwa kedua cecak ini adalah utusan dari Lera Wule (Wujud yang Ilahi) yang mana mengendaki atau menyetujui hubungan di antara mereka. Oleh karena hanya berdua yang mendiami Lewo Hone Kebo pada waktu itu, maka pada akhirnya mereka memutuskan untuk menjadi suami istri. Hal itu pun berawal dari pandangan mereka kepada dua ekor cecak yang sedang melakukan hubungan intim tadi. Mereka kemudian dikaruniahi dua orang anak yang kemudian diketahui bahwa mereka adalah keturunan dari suku Ole. Kedua orang anaknya itu adalah Laba laba Wolo Weli dan Rugi rugi Duli Lali. Mereka mendiami kampung lama yakni Honi Kebo tanah Kumaebe bersama suku asli lainnya yakni suku Gapu. Kedua suku asli ini merupakan suku asli dari wilayah Lamaole sekarang yang memiliki latar belakang kedatangan yang berbeda. Kalau Ole itu datang dari atas atau dalam bahasa Lamaholot “deka teti lodo ne’e Tayo Leme” dan Gapun berasal dari dalam tanah atau bahasa Lamaolenya “bego lali gere dengan Tayo Leme”. Meskipun memiliki latar belakang kedatangan yang berbeda namun mereka tetap hidup bersosial dengan damai dan penuh cinta. Meskipun mereka meretas sebuah kehidupan penuh cinta damai namun ada juga sebuah persoalan yang teramat berat. Pada saat itu, di tempat itu tidak ada mata air. Nah. air adalah persoalannya. Karena daerah itu tidak ada air maka, mereka berupaya untuk mempertahankan diri dari kehausan yang berkecamuk dengan mencicipi makanan yang bersumber air seperti tebu. Namun, hal itu sangatlah mustahil sebab dahaga mereka tidak mungkin dipuaskan dengan tananaman tebu itu. Apalagi mengingat musim kemarau yang berkepanjangn di daerah ini. Mereka terus berusaha mencari jalan untuk mengobati rasa dahaga. Berbagai usaha dijalankan mulai dari melintasi jurang yang terjal, lembah yang curam, onak duri, hutan yang lebat untuk mencari sumber air hingga menampung embun pada malam hari. Walaupun bagi mereka, usaha yang terakhir ini cukup membantu mereka namun hal ini merupakan sebuah pekerjaan yang sia-sia sebab apa yang dipikirkan ternyata jauh dari yang diharapkan. Hal ini dikarenakan pada siang hari di mana sang surya memancarkan cahaya ke bumi, air embun yang ditampungi mereka pada kumbang-kumbang yang terbuat dari tanah liat itu kering. Menilik hal demikian tentunya mereka tidak tinggal dalam zona demikian. Pada suatu kelak, dalam kurungan derita yang dialami lahirlah sebuah rasa optimisme yang tinggi di mana seolah-olah ada pengharapan yang terlahir, sebuah jawaban akan pencarian yang panjang ketika mereka melihat tubuh seekor anjing peliharaan mereka penuh dengan lumpur dan hal ini terus saja diamati mereka sampai beberapa harinya lamanya. Mereka mengira bahwa anjing itu sudah menemukan mata air sehingga setiap harinya ia terus saja ke tempat itu untuk mengobati dahaganya. Melihat hal itu, mereka tidak tinggal diam. Mereka langsung saja menganyam sebuah ketupat kecil (Kewowo) dan di dalam ketupat itu mereka memasukan abu dapur secukupnya lalu menggantungkannya pada leher anjing itu. Mengapa harus demikian? Hal itu dilakukan agar mereka tidak kehilangan jejak ketika membuntuti anjing itu. Ketika sampai ditempat di mana biasanya anjing itu berada mereka tidak menemukan mata air. Yang ada hanyalah tanah berlumpur yang basah. Oleh karena di tempat itu anjing yang menemukannya maka tempat itu kemudian diberi nama Aho Wei atau dapat diterjemakan dengan “airnya anjing”.
Hari-hari terus dilalui dengan penuh penderitaan. Wajah-wajah pesimis terlahir menodai keceriahan kegairahan akan hidup. Rintihan penderitaan, litani duka pilu terngiang begitu dahyatnya di telinga para tetua di saat anak-anak mereka meratapi kehausan. Kedua suku yakni Ole dan Gapu tidak tahu caranya bagaimana dan ke mana bisa melangkahkan kaki untuk pergi mencari air. Mereka terus mendesak para tetua kampung untuk menjawabi rintihan anak-anak mereka. Sehingga pada suatu ketika mereka sepakat untuk pergi membeli air di luar daerah. Mereka kemudian menunjukan Lape Lama Bue dan Bue Belu Tare untuk pergi membeli air. Kedua orang ini adalah pemuda dari suku Gapu yang ditunjukan oleh suku Ole untuk menjalankan tugas. Kita pasti bertanya kenapa harus suku Gapu? Oleh karena suku Ole itu datang dari atas atau turun dari langit maka mereka dipandang lebih besar atau terhormat dari pada suku Gapu itu sendiri. Kita boleh mengatakan bahwa Suku Gapu adalah budak atau pesuruhnya suku Ole pada saat itu. Lape Lama Bue dan Bue Belu Tare diberikan oleh kepala suku Gapu sebuah gading berwarna hijau yang berukuran satu depa sebagai pengganti uang pada saat itu. Mereka pergi berbulan-bulan, melintasi hutan-hutan, menaiki bebukitan batu tak berkasut dengan penuh perjuangan. Perjuangan hidup yang tertantang baik nyawa mereka sendiri maupun nyawa anak-anaknya. Onak dan duri dilalui tanpa beban dan tanpa kepasrahan. Tajamnya bebatuan wadas menghantam telapak kaki pun tak dihiraukan oleh mereka. Perjalanan yang teramat jauh itu pun membuahkan hasil juga. Mereka menemukan sumber air di sebuah kampung yakni Laka Lama Helan (sekarang ada di Adonara). Mereka kemudian membeli air di Tue Lamalaka dan Raya Lama Helan dengan gading bawaan itu. Air itu mereka masukan ke dalam bambu besar (petu) yang berjumlah tuju ruas. Bambu yang berisi air itu kemudian ditutupi dengan dedaunan yang berjumlah lima. Nama daun itu adalah Benu (bahasa Lamaole). Seusai menemukan air, keesokan harinya mereka kembali ke kampung asal dengan melintasi jalan laut. Sesampainya mereka di pesisir pantai mereka kemudian melintasi jalan darat menuju kampung namun karena teramat lelah mereka beristirahat sebentar di bawah sebuah pohon yang rindang. Mereka menyandarkan bambu itu di pohon dan karena tidak hati-hati bambu itu jatuh dan air berkurang satu ruas. Oleh karena demikian mereka menimbah air laut lalu menuangannya ke dalam bambu itu. Air yang tadinya tumpah itu kemudian melahirkan mata air baru yang saat ini diberi nama Wai Hele. Nama mata air ini mengingatkan mereka akan nama tempat di mana mereka membeli air. Setelah beristirahat mereka melanjutkan perjalanan menuju Kuma ebe. Perjalanan yang begitu melelahkan karena melintasi tanjakan tajam. Karena saking melelahkan mereka kemudian beristirahat sebentar. Mereka menyandarkan bambu itu pada sebuah pohon namun di luar dugaan mereka bambu tersebut jatuh dan airnya tumpah semuanya. Mereka menyadari kesalahan dan kesia-siaan mereka. Mereka memutuskan untuk tidak ke kampung. Mereka bermalaman di tempat itu sampai keesokan harinya. Ketika bangun tidur kedua pemuda suku Gapu ini dikejutkan dengan pandangan yang berbedah yakni air yang tadi tumpah itu melahirkan tujuh mata air. Nama tempat itu adalah Lama helan. Nama tempat itu pun sama persis dengan nama tempat di mana mereka menemukan air. Mata air itu sampai saat ini menjadi milik dari suku Gapu dan Ole. Karena mata air yang ada itu begitu jauh dari kampung sebelumnya maka suku asli dalam hal ini suku Ole yang ada di Honi Kebo memutuskan untuk pindah ke Lewo Bie yang mana dekat dengan sumber air. Sedangkan suku asli lainnya yakni suku Gapu dari Honi Kebo mereka menuju ke Belele. Kedatangan mereka kemudian diikuti pula oleh suku-suku pendatang lainnya seperti Keraf dari Sina Jawa yang kemudian tinggal di Maha. Oleh karena adanya hubungan kawin mawin atau Opu Pei maka mereka kemudian mendiami daerah di Lewo Bie bersama-sama. Hal itu berawal dari perkawinan antara Belake Kowa dari suku Keraf dengan seorang puteri dari suku Ole yang bernama Wunga Kun Dawe. Perpindahan mereka itu pun berlangsung lagi ke daerah yang lebih luas dan rata mengingat jumlah penduduk semakin bertambah. Mereka kemudian menuju ke Tua Kera (Suku Ole dan Keraf) namun, hal itu tidak berakhir di situ saja. Mereka lagi-lagi berpindah ke Lamaole karena di Tua Kera terjadi peristiwa pembunuhan. Sedangkan suku Gapu dari Belele menuju ke Lewo Maku bergabung dengan suku Kewuan yang baru saja tiba dari Pupu Wutu. Perpindahan suku Kewuan ke Lewo Maku juga karena adanya hubungan kawin mawin atau Opu Pei. Seorang pemuda dari suku Kewuan yang bernama Nubilela mengambil istri dari suku Keraf yakni Nogolete. Nogo lete adalah seorang puteri dari pasangan Belake Kowa dan Wunga Kun Dawe. Perjumpaan mereka (Nubilela dan Nogolete) juga berawal dari Nogolete si gadis manis mencari air di pesisir pantai Mau karena air di Lama Helan dilarang untukmengambilnya karena pada saat itu ada kereyaI. Oleh karena ada kereya maka semua penduduk mencari sumber airnya sendiri-sendiri yang pada saat itu begitu jauh dari tempat tinggal. Si Nogolote, gadis manis juga melaukan pekerjaan serupa demi membantu kedua orang tuanya. Pada suatu hari ia bersama seorang temannya mengambil air di daerah pantai Mau. Ketika asyk menimba air para penjelajah yang pada saat itu mengunakan sampan Sason Rae dari kejauhan melihat semacam adanya penampakan. Sebuah cahaya cemerlang yang menaungi diri si Nogolete ini. Oleh karena peristiwa demikian, maka seorang pemuda yang adalah pendatang dengan selaras bedilnya ditangan mengatakan kepada saudaranya agar mereka menuju ke sumber cahaya tersebut. Awalnya mereka berpikir itu adalah patung yang diberikan oleh Sang Kuasa namun hal itu ternyata salah. Para penjelajah itu akhirnya mengikuti perkataan pemuda pemberani itu. Setelah turun dari perahu mereka menuju sumber cahaya itu, ternyata di sana ada dua orang gadis yang sedang menimba air. Mereka berusaha untuk membangun komunikasi dengan kedua gadis ini namun karena kendala bahasa maka mereka menggunakan bahasa isyarat sebagai alat komunikasi. Pertemuan itu berlangsung ramah dan mengasykan sehingga mereka memutuskan untuk mengikuti kedua gadis ini ke kampung mereka. Kecantikan dan keelokan si Nogolete ini membuat si Nubilela yang adalah pendatang dari suku Indian ini menjadi tergila-gila. Pemuda pendatang itu ternyata memiliki jimat khusus. Ternyata jimat khusus yang ia miliki itu tidak hanya digunakannya pada saat membunuh orang dengan jarak yang begitu jauh dengan bedilnya namun jimat itu juga digunakannya untuk mendapatkan hati si Nogolete. Pada malam hari, ketika sedang menonton tarian tandak yang dilakukan oleh para warga kampung muncullah niat jahat si Nubilela. Ketika itu gadis manis Nogolete juga ikut berandil di dalam permainan ini. Melihat kecerdikan dalam permainan dan keelokan dari si Nogolete ini akhirnya si pemuda ini memutuskan untuk membuat mantra melalui kerikil dan melemparkannya krikil itu ke tubuh Nogolete. Sebelum melemparkan kerikil itu, pemuda itu membungkuk ke tanah lalu berbisik seorang diri demikian “ jika kerikil yang saya lempar ini kena sasarannya sampai tiga kali maka Nogolete tidak menyadarkan diri”. Kali ketiga kerikil itu mengana si Nogolete, ia langsung merebahkan dirinya ke tanah. Berbagai upaya penyembuhan dilakukan mulai dari pengusiran arwa nenek moyang yang sudah meninggal sampai pada penyembuhan dengan ramuan tradisional namun usaha itu sia-sia. Melihat kondisi Nogolete demikian, kedua orang tuanya merasa panik dan kehilangan daya piker sebab Nogolete adalah puteri tunggal mereka. Kedua orang tuanya menangis tersedu-sedu seolah-olah hanya berpasrah akan takdir. Para sahabat dekatnyapun merasa kehilangan sehingga air mata terus saja membasahi pipi mereka. Sebuah kedukaan yang terlahir ditengah riuhnya kegembiraan pesta. Semua warga kampung merasa tak ada harapan hidup sebab mereka telah berusaha banyak cara dan lagi pula sudah berjam-jam ia tidak menyadarkan diri. Malam semakin larut, kesepihan terlahir seketika. Air mata dan isak tangis terlahir. Semua warga kampung yang tadinya bergembira kini memenuhi arena tandak dengan penuh lesuh. Sebuah ketidapercayaan terlahir. Melihat hal itu, ada beberapa warga kampung berbisik kepada tetua adat supaya memperkenankan para penjelajah atau pendatang itu mengobatinya. Akhirnya, tetua adat itupun menyetujui pendapat warga kampung itu. Ketika diperkenanankan untuk maju si pemuda itu tidak seketikanya bangkit dari duduknya. Seolah-olah ada ketaksanggupan dalam dirinya. Sikapnya demikian tentunya membuat para warga meragukannya. Selang beberapa menit ia bangkit berdiri lalu mengambil sedikit kapur siri pinang bawaannya lalu menggosokannya ke dahi, leher, ibu jari tangan dan kaki. Setelah menggosokannya, Nogolete pun menyadarkan diri. Hal itu membuat gempar para kampung dan menganggap pemuda itu adalah tabib. Mereka ramai-ramai bersalaman dengan pemuda itu sebagai ungkapan pujian karena kesaktiannya. Oleh karena tindakan penyembuhan itu maka Nogolete pun dengan sendirinya menjadi pendamping hidupnya. Oleh sebab itu, sebagai bentuk belisnya ia menyerahkan kepada suku Keraf sebuah tempat siri pinang yang terbuat dari Kayu dengan hiasan yang begitu indah pada pinggir-pinggirnya, sebuah Moko dan sebagai bukti pembelisan itu mereka melakukan secara bersama-sama upacara penanaman bambu. Perkawinan Nubilela dan Nogolete ini kemudian melahirkan tradisi yang begitu menarik yang terus dipertahankan sampai saat ini adalah Wu’u Hori. Upacara ini merupakan sebuah upacara penuh persaudaraan yang dilakukan setiap tahun. Awalnya dalam hubungan Opu Pei akan tetapi lama-kelamaan diterima sebagai upacara semua warga kampung sebagai bentuk sykuran atas panenan. Upacara ini dilakukan di koke bale dengan alat musik tradisional seperti Gedang dan Gong yang dibawah oleh suku Kewuan dan Keraf. Sebagai pendatang mereka terus saja menundukan kepala kepada suku Ole dan Gapu. Air yang dikonsumsi oleh kedua kampung sampai dengan saat ini adalah milik suku Gapu dan Ole. Dengan demikian untuk mengenang peristiwa air itu maka mereka memutuskan untuk menjalankan adat setiap dua tahun di mata air yang di mulai dengan “elo” atau janji yang diselenggarakan sebanyak tujuh hari sesuai dengan tujuh mata air. Upacara adat itu disebut ‘kereya” yang berarti kerja. Jadi, selama tujuh hari warga kampung tidak boleh mengkonsumsi air yang ada di Duli. Ketika pas genap waktunya para tetua dari suku Gapu dan Ole yang pertama mengkonsumsi air tersebut. Hal itu mengingatkan kita bahwa air itu ada karena perjuangan dari kedua suku ini. Karena air mereka berpindah lalu menetap di Lamaole dan Lewomaku sampai dengan saat ini.

















Senin, 13 November 2017

KONSEP HUKUM MENURUT JEREMY BENTHAM
YOSEP BELEN KEBAN

Biografi dan Latar Belakang Pemikiran .
Jeremy Bentham lahir di Houndsditch, London  pada tanggal 15 Februari 1748 dan meninggal pada tanggal 06 Juni 1832.[1]Ia adalah seorang anak laki-laki dari cucu seorang pengacara dan juga lahir dari campuran takhayul yang saleh dari ibunya dan juga rasionalis abad pencerahan yang digemari ayahnya. Pada tahun 1760 ia masuk Queen's College, Oxford dan lulus pada tahun 1764 dan kemudian belajar hukum di Lincoln’s Inn. Jeremy Bentham sendiri awalnya bersekolah untuk menjadi seorang pengacara, tetapi ia merasa tidak betah.[2]Ia merasa bahwa ada begitu banyak bahasa yang sulit dan terdapat begitu banyak pula prinsip-prinsip yang bertentangan. Dengan alasan ini, Bentham kemudian memilih untuk bertanya tentang hal-hal mendasar yang berkaitan dengan hukum, moral dan politik yang kemudian digabungkan ke dalam satu prinsip yakni utilitarian.
Latar belakang pemikiran Bentham lahir dari reaksi terhadap empirisme yang menguasai pemikiran filsafat di Inggris. Di mana, empirisme ini menaruh perhatian terhadap dunia pengetahuan. Empirisme lahir dan berupaya untuk mengerti dunia ini. Dengan lahirnya empirisme maka, Bentham mendasarkan prinsip filsafatnya pada dua prinsip. Ada pun kedua prinsip itu yakni, “prinsip Asosiasi (Association principle)” dan “prinsip kebahagiaan-terbesar (greatest-happiness principle)”.[3]
Selain itu pula praktek ketidakadilan sosial yang terjadi Inggris membuat Bentham yang pada saat itu sebagai seorang mahasiswa hukum menaruh minat yang mendalam akan permasalahan-permasalahan demikian yang mana berkaitan dengan moralitas publik. Dengan adanya minat demikian maka mereka membentuk sebuah organisasi yang mana sangat radikal dalam cara berpikir sehingga melahirkan gerakan reformasi liberal dalam berbagai sektor kehidupan. Dalam pemikirannya mengenai utilitas ia menunjukkan bahwa kesepakatan di bidang hukum, etika dan politik semuanya dapat dituangkan dalam bahasa yang sederhana. Menurutnya prinsip ini hanya memaksimalkan hal-hal yang diinginkan dan meminimalkan hal yang ditakutkan.
 Pemikiran-pemikiran para filsuf sebelumnya sangat mempengaruhi pemikirannya untuk berfilsafat sehingga pada akhirnya ia mentelorkan filsafat utiliaterianisme. Para pemikir yang sangat berpengaruh dalam pemikirannya ialah Locke, David Hume, William Paley, Hartley, dan Helvetius yang mana menekankan aspek politis. Selain itu  Beccaria juga  memberipengaruh yang luar biasa bagi Bentham dalam bidang hukum sehingga membuatnya tertarik terhadap etika dan ilmu politik.        
Konsep  Hukum Bagi Masyarakat Menurut Jeremy Bentham
            Jeremy Bentham melihat bahwa individu adalah dasar dari kehidupan bersosial kiranya mendapat perhatian secara serius dan khusus dari pemerintah dalam hal ini Negara. Selain melihat manusia sebagai individu, Jeremy Bentham juga melihat manusia individu secara luas dalam sebuah perkumpulan sosial. Ia menegaskan “The Community is a fictitious body, composed of the individual  person who are considered as constituting as it were ite members.”[4] Dari sini  Bentham hendak mengatakan bahwa masyarakat merupakan sekelompok individu  yang berkumpul dan menganggap diri sebagai anggotanya. Mereka itu berkumpul karena dorongan dari kepentingan-kepentingan bersama. Kepentingan itu muncul dari minat setiap orang akan kebaikan umum, kepentingan umum dan kebutuhan umum yang melampaui kebutuhan individu. Kebutuhan akan keadilan, kebenaran, cinta dan kebahagiaan.
Sesuai dengan pemahaman awalinya mengenai dua hal kodrati yang ada dibawah pemerintah yakni kesenangan (pleasure) dan penderitaan (pain) kiranya menjadi itu yang seharusnya diporsikan. Negara seharusnya memenuhi segala kepentingan yang berbeda dari setiap individu dalam komunitas agar dapat terpenuhinya kesenangan dalam segala macam aktivitas. Hal itu dilakukan sebab kesenanganlah yang metelorkan kebahagian (happiness) dan itu dapat terpenuhi apabila rasa sakit (pain) itu dielakkan atau didepak dalam kehidupan bersama.[5] Maka, fokus prinsip utilitas menurut Bentham adalah “memaksimalkan hal yang diinginkan dan meminimalkan hal yang tidak diinginkan.[6] Kesenangan (pleasure) dan kesakitan (pain)  memang dua sifat kodrati manusia, selalu melekat dalam diri manusia, namun itu tidak berarti bahwa manusia tidak bisa menghindarinya. Manusia sebagai tuan atas dirinya, ia dapat mengkalkulasinya ketika manusia telah berada dalam kesadaran, ia akan berusaha semaksimal mungkin.
Oleh karena individu itu ada bersama orang lain (societas) maka sangatlah tentu dibutuhkan hukum Negara itu sendiri yang mana berfungsi sebagai mengatur atau mengayomi masyarakat yang ada. Dengan adanya hukum maka kebahagian dalam hidup dapat dipenuhi dengan melakukan hal-hal yang baik menurut aspek moral. Bentham juga mengatakan bahwa jika harus menghukum, maka hukuman itu dilakukan untuk tujuan perbaikan yang harus diperhitungkan dengan hati-hati kepentingan jangka panjang.[7]  Pemahaman itu kemudian melahirkan pemikirannya mengenai cara menilai kebahagian dan juga penderitaan yang dialami yakni dengan melakukan kalkulasi kedua rasa itu. Untuk memperoleh kebahagian demikian maka peran legislator sangatlah penting di mana ia bertugas menyelaraskan kepentingan-kepentingan yang ada dalam kehidupan bersama yakni kepentingan individu dan kepentingan sosial atau publik.
Bentham tidak hanya berpandangan bahwa kebaikan adalah kebahagian pada umumnya, tetapi juga bahwa setiap individu senantiasa memburu apa yang menurut keyakinannya merupakan kebahagiannya sendiri. Oleh sebab itu, tugas legislator adalah menghasilkan keserasian antara kepentingan publik dan kepentingan pribadi.[8]

 Bentham lebih lanjut menggolongkan hukum itu menjadi dua yakni hukum pidana dan perdata. Hukum-hukum itu tidak bukan adalah mengurangi kejahatan itu sendiri. Orang harus dihukum dengan hukum pidana dalam rangka mencegah kejahatan, bukan karena membenci sebuah tindakan kriminal. Berkaitan dengan hukum pidana Bentham juga mengatakan ketidaksetujuannya akan hukuman yang keras seperti hukuman mati atas pelanggaran-pelanggaran yang ringan pada zamannya. Ia kemudian mengusulkan agar hukuman mati dalam lingkup sosial ditiadakan untuk semua pelanggaran kecuali kejahatan yang terburuk.[9] Pandangan ini tentu berawal dari pengalaman nyatanya menyaksikan kekejaman hukum yang dipraktekan di Inggris di mana ada masyarakat sipil yang melakukan pelanggaran kecil maka ia harus menerima hukuman yang zalim bahkan dihukum mati. Hal inilah yang membuat Jeremy angkat bicara bahwa hukuman yang diberikan kiranya memperhatikan besar atau kecilnya juga persoalan atau masalah yang dilakukan.
Sementara itu untuk hukum perdata, ia mengatakan bahwa seharusnya memiliki empat tujuan. Keempat tujuan itu adalah: keberlanjutan hidup, kecukupan, keamanan, dan kesetaraan.[10] Menarik bahwa konsep kebebasan tidak disebutkan oleh Bentham sebagai tujuan di sini sebab baginya masalah mengenai HAM adalah sebuah masalah yang tidak dapat ditentukan oleh hukum. Dengan demikian ia tidak memperdulikan atau menafikan permasalahan mengenai kebebasan itu sendiri. Hak asasi manusia (HAM) menurut Bentham adalah omong-kosong. Dikatakan demikian sebab ranah ini tidak dapat ditentukan oleh hukum.
Selain itu dalam lingkup sosial Bentham juga mengamini opini dari Epicurus mengenai keamanan. Keamanan merupakan itu yang diidealkan sebab dari padanya semua manusia memperoleh kebahagian dalam ada bersama (hidup sosial). Ia juga mengatakan bahwa “perang dan badai bagus untuk diucapkan, tetapi perdamaian dan ketenangan lebih baik untuk dipikul.[11]Hal ini berarti Bentham menaruh perhatiannya pada nilai kebersamaan dalam hidup bersama yakni terciptanya iklim keamanan yang jauh dari kurungan konflik itu sendiri. Bentham juga dilain sisi menolak untuk percaya akan sesuatu yang tidak berlandasan rasional. Hal ini berarti rasional sebagai titik pijak atau tolok ukur dari segala bentuk aktivitas. Oleh sebab itu, ia menolak agama yang mana sebagai sebuah organisasi yang terhimpun dalam nama iman itu sendiri.
Sebagaimana tercantum dalam latarbelakang pemikirannya bahwa ia menggabungkan tiga dimensi besar menjadi satu prinsip mendasar dalam kehidupan bersama yang kemudian adalah inti dari filsafatnya itu sendiri yakni utilitarianisme. Prinsip ini merupakan peleburan dari tiga aspek atau dimensi besar itu yakni sosial, hukum, dan politik. Sementara itu filsafat utilitarianisme adalah system etika yang menyangkut aspek filsafat, budaya, dan sosial.[12] Di sini Negara berusaha sedemikian rupa agar kesenangan yang mana membawa personal kepada benar-benar terwujud dan kesakitan yang melahirkan penderitaan dapat diatasi. Inilah prinsip yang digaungkan oleh Jeremy Bentham yakni prinsip utilitarian atau prinsip kegunaan. Prinsip ini mengedepankan kebahagian bagi masyarakat atau individu itu sendiri.

Relevansi Pemikiran Jeremy Bentham Mengenai Hukum dan Gambaran Hukum di Indonesia
            Gagasan filsafat yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham filsuf utiliterianisme sangat berpengaruh besar bagi perdebatan atau diskursus selanjutnya. Perkembangan yang dimaksudkan adalah munculnya nada-nada kontroversi atau ketidaksetujuan atas pendapatnya terlebih khusus konsep kebahagian yang olehnya disebut kalkulus kebahagian. Baginya kalkulus kebahagian bukan terletak pada kualitas dari pada kebahagian akan tetapi pada kuantitasnya. Meskipun dikritik mengenai gagasannya namun konsep filsafatnya mengenai hukum mendapat tempat diberbagi Negara. Dia sangat berandil dalam bidang hukum khususnya diberbagai Negara yang menganut sistem demokrasi. Lalu bagaimana dengan Indonesia yang menganut sistem demokrasi? Bagaimana konsep hukum yang diberlakukan di negara ini? Nah, di sini penulis hendak meneropong lebih mendalam potret hukum yang ada di Negara Indonesia dalam terang pemikiran Jeremy Bentham. Apakah gagasan yang dikemukan oleh Jeremy Bentham memiliki sisi kesamaan atau tidak. Di sini juga penulis dalam paper ini melihat dan menjabarkan secara mendalam letak kesamaan dan perbedaan itu.
            Indonesia adalah Negara yang menganut sistem demokrasi yang mana memiliki tiga cabang hukum yakni hukum administrasi, hukum pidana dan hukum perdata. Berkaitan dengan itu maka penulis lebih memfokuskan pada hukum pidana dan perdata yang mana sesuai dengan konsep hukum yang dibangun oleh Bentham. Mengenai dua konsep hukum yang dikemukan oleh Jeremy Bentham dalam filsafatnya yakni hukum perdata dan pidana juga sama digunakan di Negara Indonesia. Berkaitan dengan hukum pidana yang berlaku di Negara Indonesia juga mengedepankan hukum-hukum yang mana sesuai dengan besar kecilnya pelanggaran yang dilakukan. Besar kecilnya pelanggaran itu ditentukan dalam peraturan-peraturan yang ada. Berkaitan dengan hukuman mati yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham, Negara Indonesia juga yang adalah Negara hukum sedang menjalankan atau melakukan tindakan atas perbuatan yang besar dengan menjatuhkan hukuman mati atau eksekusi mati bagi para pelaku kejahatan. Perbuatan kejahatan besar seperti gerbong narkoba tidak luput dari hukuman ini. Selama pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla ini sudah beberapa kali melakukan eksekusi mati atas kejahatan ini. Hal ini berarti pemerintahan sangat serius menangani atau memerangi kasus-kasus besar yang membawa impact negatif bagi generasi bangsa. Hukum pidana yang berlaku di Indonesia adalah warisan dari zaman Hindia-Belanda yang mana berlaku di Indonesia sejak tahun 1918.[13] Apabila seseorang melakukan kejahatan atau perbuatan dengan sengaja atau tidak dan bertentangan dengan hukum yang ada maka pihak berwajib seperti polisi akan mengusut tuntas dan menyelidikinya.
            Sementara hukum perdata yang berlaku di Indonesia  tentu berkaitan dengan  “privat materiil” yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan. Berkaitan dengan hukum ini dalam ilmu hukum di indonesia dapat diklasifikasikan dalam empat kelompok yakni hukum tentang diri sendiri, hukum kekeluargaan, hukum kekayaan dan hukum warisan.[14] Keempat kelompok ini tentu amat berbeda dengan tujuan yang dikemukakan oleh Bentham mengenai hukum perdata di atas yakni keberlanjutan hidup, kecukupan, keamanan, dan kesetaraan.  Di sini hukum apapun selalu berkaitan dengan Hak asasi manusia (HAM). Memang Negara Indonesia menghargai dan menghormati kebebasan manusia dan hal ini yang dinafikan oleh Bentham namun kebebasan manusia dibatasi atau harus tunduk pada hukum yang ada. Berkaitan HAM dapat ditemukan dalam pasal 28 J ayat 2 bahwa “dalam menjalankan hak dan kebebasan, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain…”.[15] Jadi, dapat disimpulkan bahwa semua orang wajib menjunjung tinggi hukum yang ada agar keamanan dan keadilan dapat terpenuhi dalam kehidupan bersama.
 Penutup
            Konsep hukum yang dikemukan oleh Bentham tentu mendapat banyak sorotan di sana-sini. Banyak orang yang mengapresiasikan idenya mengenai konsep hukum pidana dan perdata namun ada juga yang melahirkan nada-nada protes akan konsep hukumnya khususnya hukum perdata. Gambaran hukum yang bagi Bentham sangat cocok digunakan di Negara ideal yakni demokrasi tentu tidak semuanya diterima dengan begitu saja. Sama halnya dengan Indonesia yang menganut sistem demokrasi sebab jika ditelisik lebih jauh maka Inggris tempat lahirnya sang filsuf ini lebih menekankan kebijaksanaan dari hakim semantara di Indonesia hukumlah yang paling penting. Jadi otoritas kebijaksanaan hakim berperan penting dalam menjatuhkan hukuman atas orang-orang yang bersalah sesuai dengan aturan peraturan yang berlaku. Hukum selalu berkaitan dan mengatur hak asasi manusia. Eksistensi hukum justru untuk mengatur dan melindungi hak asasi manusia itu sendiri. Hukum bukan untuk menjamin kebahagian sesorang seperti yang dikatakan oleh Bentham. Jika demikian maka hukum berkaitan dengan ranah psikologis.














DAFTAR PUSTAKA


Bentham Jeremy, An Introduction to the Principles of Moral and Legislation, Oxford: Clarendon Press, 1789.
Kumara Ari Yuana, The Greatest Philosophers: 100 Tokoh Filsuf Barat dari Abad 6 SM-Abad 21 yang Menginspirasi Dunia Bisnis, Yogyakarta: Penerbit Andi, 2010, hal 223.

R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Bogor: Politeia, 1995.
Russell, Bertrand, Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya Dengan Kondisi Sosio-Politik Dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Soebekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta:  PT. intermasa, 2003.
UUD’ 45 Sebelum Dan Setelah Amandemen, Bandung: Nuansa Aulia, 2015.

http://id.wikipedia.org/wiki/Jeremy­­_Bentham, diakses Kamis,19/11/2015, Pukul:10.14.





[1]http://id.wikipedia.org/wiki/Jeremy­­_Bentham, diakses Kamis,19/11/2015, Pukul:10.14.
[2] Kumara Ari Yuana, The Greatest Philosophers: 100 Tokoh Filsuf Barat dari Abad 6 SM-Abad 21 yang Menginspirasi Dunia Bisnis, Yogyakarta: Penerbit Andi, 2010, hal 223.
[3] Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya Dengan Kondisi Sosio-Politik Dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 1007.
[4]  Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Moral and Legislation, Oxford: Clarendon Press, 1789, hlm. 3.
[5] Kumara Ari Yuana, Op.,cit.,hlm. 222.
[6] Ibid., hlm. 223.
[7]Ibid.
[8]Berthan Russell, Op.,cit , hlm. 1008.
[9]Ibid.,hlm. 1009.
[10]Ibid.
[11]Ibid.
[12]Kumara Ari Yuana,opcit.,hlm.223.
[13]  R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Bogor: Politeia, 1995, hlm. 23.
[14] Soebekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta:  PT. intermasa, 2003, hlm. 16.
[15] UUD’ 45 Sebelum Dan Setelah Amandemen, Bandung: Nuansa Aulia, 2015, hlm. 28.