Filsafat Antropologi
Salahkah Akulturasi Itu?
(Sebuah Telaah Filosofis-Kultural
Mengenai Korelasi Manusia-Alam dan Budaya)
Yosep Belen Keban
I.
Pendahuluan
Diskursus
mengenai akulturasi tentu tidak asing lagi bagi kaum modern apalagi kaum postmodern. Akulturasi sendiri semacam sebuah
keniscayaan yang mana harus diterima sebab ia ada dalam pusaran globalisasi.
Berbicara mengenai akulturasi berarti kita berbicara mengenai dua macam
kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi. Dewasa ini
kita sedang berhadapan atau bertatap muka dengan hal itu dan tidak semestinya
dikibuli. De factonya demikian.
Perubahan
zaman yang kian dahsyat telah menerobos atau pun membongkar sekat-sekat
kehidupan manusia yang rigid yang mana dibaluti dengan aliran supersesionisme. Globalisasi telah
mencukur dengan ganas tembok-tembok kaku kaum primitive itu sehingga mengubah
mentalitas dan perspektif manusia tradisional. Sebagian manusia yang masih
berpelukan dengan aliran supersesionisme menganggap hal ini sebagai sebuah
bahaya yang mana harus dengan cepat ditangani sebab jika tidak maka nilai-nilai
kebudayaan yang ada akan pupus. Cara pandang demikian tentu menafikan akulturasi itu sendiri. Namun
sebagian juga manusia berpikir positif akan akulturasi itu sendiri. Di sini akulturasi mendapat ruang dalam
dinamika hidup manusia yang mana terus berubah dalam pusaran waktu. Akulturasi
dipandang sebagai suatu kemajuan, sebuah hal yang positif, integral dan
inovatif. Kehadirannya membuka cakrawala berpikir manusia baik itu mengambil,
memfilter lalu memutuskan apakah hal ini diterima atau tidak. Di sini peran rasio
diutamakan.
Apakah akulturasi itu salah? Pertanyaan ini
tentu lahir dari kaum pesimistis yang mana menafikan akulturasi itu sendiri.
Pertanyaan ini tentu terasa sangat infantil namun mau manggambarkan perkara
sikap manusia dalam menerima pengaruh akulturasi itu sendiri. Manusia cendrung
berpikir salah akan akulturasi karena takut atau cemas akan nilai-nilai
kebudayaan yang sudah ada. Kebudayaan lokal atau tradisionallah yang dianggap
paling benar atau valid meskipun tanpa dipertimbangkan secara logis dan kritis.
Eksistensi kebudayaan yang diwarisi diterima begitu saja sebagai itu yang
benar. Nah, cara pandang demikianlah mendeskripsikan manusia ada dalam ranah
primitif.
Pada hal akulturasi itu sendiri merupakan sebuah
perkembangan yang baik. Hal itu tentu lahir dari tiga komponen utama yakni
manusia-alam dan kebudayaan itu sendiri. Ketiga hal ini tidak dapat
dilepaspisahkan. Nah, jika kita menerima akulturasi itu berarti manusia yang adalah
subyek dari budaya dan alam menerima kebudayaan luar yang mana lahir dari alam
itu sendiri lalu mengelaborasikannya ke dalam kebudayaan kita. Di sini tentu
dibutuhkan kepekaan dan kekritisan dalam menilai dan menyerap kebudayaan yang
masuk. Jadi, tidak salahkan alkuturasi
itu kan.
II.
Bingkai Kehidupan Pra-akulturasi
Manusia
adalah makhluk sosial. Sejak lahir ia
merealisasikan dirinya dengan yang lain. Ia tidak lahir dari dan ada untuk
dirinya sendiri. Manusia itu selalu ada bersama yang lain, tinggal dengan yang
lain baik itu sesama-alam
maupun budayanya. Dengan keberadaannya
itu, ia mencari esensi (esse) dirinya. Di titik ini, ia akan menyadari bahwa
“aku” makhluk yang terbatas sekaligus melampaui keterbatasannya dengan berelasi
dengan sesama-alam dan budaya. Manusia mengakui bahwa ia makhluk yang terbatas
maka dengan sendiri ia sedang merindukan sesuatu yang mengatasi
keterbatasannya. “Sesuatu” itu ia tidak menemukan dari keterbatasannya,
melainkan ia menemukan pada diri yang lain, atau pada alam. Karena itu
dapat disimpulkan manusia itu makhluk kolektif, karena kehadiran yang lain
memberi sumbangsih untuk menemukan esensi hidupnya, kesejatian dan kesempurnaan
hidupnya.
Manusia pada
zaman pra-akulturasi disebut
juga “masyarakat primitif”.[1] Manusia pada tahap itu sangat erat hubungan
dengan alam. Manusia sungguh-sungguh menaruh seluruh harapannya pada alam. Alam
menjadi subyek dalam menentukan masa depan dan hidupnya. Ia tidak bisa memisahkan
dirinya dari alam, karena alam merupakan unsur terpenting dan sumber utama bagi
manusia itu dalam mempertahankan hidupnya. Manusia hidup sebagai makhluk
terbelakang yang tidak dapat berbuat apa-apa selain tunduk pada alam.
Fenomen masyarakat
tradisional, biasa menjadikan alam yang membentuk bahkan mendominasi hidupnya.
Alam diakui memiliki kekuatan mitis yang harus diagungkan, disembah oleh
manusia. Manusia tidak berani untuk melawan
keadaan alam tersebut, sehingga sikap pengeksploitasi maupun pengrusakan
terhadap citra alam jarang terjadi bahkan tidak ada. Manusia dan alam memiliki
relasi yang yang vertikal bukan horisontal. Alam lebih tinggi dari manusia, dengan
sendirinya manusia harus taat padanya.
Dalam bingkai
hidup primitif, manusia pada tahap ini belum tunduk pada otoritas akal budi.
Karena era tersebut yang didewakan bukan rasional melainkan kekuatan-kekutan
mitos. Dengan demikian mentalitas masyarakat zaman itu memiliki alam pemikiran yang
“pra-logis.”[2] Manusia itu
memaknai hidupnya dengan lebih sederhana dan monoton. Monoton di sini bahwa
manusia itu lebih mengarahkan hidupnya pada kekuatan-kekuatan gaib, yang
memengaruhi akal budi dan batin manusia. Kekuatan ratio maupun
kehendak hati diduafungsikan oleh manusia itu. Ia menjadi asing bagi kehendak
dan akal budinya sendiri.
Perjumpaan
manusia dengan alam bukan perjumpaan biasa, melainkan perjumpaan yang luar
biasa. Perjumpaan tersebut melahirkn banyak kekayaan bagi manusia. Kekayaan
itulah yang kami sebutkan sebagai kekayaan budaya. Budaya makan, budaya
bercocok tanan, budaya seni bermusik, budaya komunikasi baik verbal maupun
non-verbal dan sebagainya.
Keanekaragaman budaya tersebut mau menggambarkan betapa kayanya manusia tinggal
dalam budaya dan alam. Menyadari hal ini, maka kita berasumsi bahwa betapa
indah hubungan antar manusia-alam dan budaya. Dengan demikian berbicara tentang
manusia tidak terlepas dari alam dan budaya, begitu pula sebaliknya berbicara
tentang budaya dan alam tidak terpisahkan dari manusia. Ketiga komponen itu
tidak dapat dilepaspisahkan . Alam-budaya dan manusia merupakan sebuah relasi
mata rantai yang tak dapat diputuskan. Bila terjadi pemutusan hubungan antar
ketiganya maka gerakan, perputaran dengan sendirinya mogok.
Ketika kesadaran
semakin mendalam akan pentingnya alam bagi hidup manusia, maka manusia itu
menjadi makhluk berbudaya, makhluk pecinta dan pelestari alam seperti dirinya
sendiri. Manusia tinggal dan ada di dalam alam, bersejarah dan berkembang di
dalam alam. Alam sungguh memberi warna kepada hidup manusia, sehingga ia dapat
bersikap ramah terhadap alam, berperilaku baik dan adil terhadap alam yang
melahirkan sikap khas manusia itu bahwa pada hakikatnya ia baik. Manusia mulai
mengenal norma-norma kehidupan. Cara hidup demikian menunjukan bahwa manusia
itu memiliki kemampuan bertanggung jawab kepada alam. Rasa solidaritas,
tanggung jawab, rasa cinta, mengolah alam itulah yang menyadarkan manusia itu
bahwa ia berbudaya, memilik norma budaya baik, memiliki akal budi (human mind)”[3]
untuk menjaga keharmonisan dengan alam, dan memiliki daya untuk mempertahankan
dan melestarikan bukan sekedar menjadi makhluk konsumtif.
Di sini
identitas manusia mulai muncul, ia mulai menyadari akan eksistensi dirinya
bahwa ia adalah makhluk berbudaya. Meskipun kesadaran sudah mulai terbersit
dibenaknya namun ia belum menunjukkan jati dirinya secara penuh, karena
hubungan manusia-alam dan budaya masih sebatas hubungan timbal balik, di mana
alam menyediakan segala kebutuhan bagi hidup manusia dan manusia melestarikan
alam, dengan membuat sesajian seperti korban bakar, maupun mengikuti seni
kebudayaan yang menjadi warisan para leluhur. “Warisan sejarah itu lalu
diturun-temurunkan ke generasi berikutnya dengan seperti melakukan pemburuan,
pembajakan ladang, menciptakan alat-alat perang, dan usaha mempertahnkan
keturunan itu sendiri yakni perkawinan.”[4]
Cerminan model
masyarakat sebelum akulturasi merupakan suatu pergaulan hidup masyarakat yang
berciri individulistik. Masing-masing mempertahankan kelompoknya, merperkokoh
kelompok dan budayanya. Sinkretisme budaya jarang terjadi. Percampuran budaya
dianggap sebagai pengganggu kenyamanan anggota kelompok lain. Ciri hidup
masyarakat sebelum akulturasi sangat tertutup kepada perubahan atau modernisasi
budaya. Maka, keadaan masyakat pra-akulturasi disebut
juga masyarakat yang murni partisipatif dalam alam. Manusia meleburkan diri ke
dalam alam secara total, karena kesadaran manusia bahwa kosmos memiliki
kekuatan ilahi.
Sistem
pengelolaan terhadap alam dan budaya belum mencirikan kebebasan pada manusia.
Manusia seolah-olah berkutat pada suatu dunia yang disebut krisis identitas.
Karena relasi yang di bangun manusia dengan alam masih bersumber pada persolaan
ekspresi hidup karena perasaan “takut”[5] bukan
pada suatu relasi pada tatanan rasional. Prasaan “takut” yang menyelimutinya
membuat dia terbelenggu di dalam perasaannya sendiri bahwa tampak suatu
kekuatan dari luar yang tak boleh disentuh oleh pikiran manusia. Budaya seperti
itu hingga era modern-bahkan postmodern diam-diam masih diwariskan dikalangan
masyarakat. Misalkan orang tua yang mewarisi kepada anak-anaknya suatu norma
budaya yang sebenarnya tidak logis. Ketika anak menerima sesuatu dari orang tua dewasa dengan tangan kiri
dianggap jahat atau tidak sopan. Apa bedanya antar tangan kiri dengan tangan
kanan? Apakah keduanya tidak membantu manusia untuk menghasilkan sesuatu bagi
dirinya? Lantas mengapa ada larangan? Lukisan singkat itu hendak mengatakan
bahwa karena dominasi perasaan takut orang melalaikan budaya nalarnya untuk
merespon dengan logis.
Dari
gambaran di atas mengenai kehidupan manusia sebelum akulturasi, mereka sungguh
menegasikan gaya hidup profan. Mereka lebih menekankan hidup primitif yang
dianggap jauh lebih sakral. Mereka sangat menekankan norma hidup yang menjaga
kesucian alam dengan kekayaan budaya yang terkandung di dalamnya. Maka, prihal
mengenai pengalihrupaan budaya minim terjadi, karena struktur hidup manusia pada
tahap pra-akulturasi hanya bersifat “Order atau ketertaatan” dan “Regulation atau
keterulangan.”[6] Pemaknaan
hidup manusia pada tahap ini, di satu pihak menyenangkan karena budaya lokal tepat terlestari namun agak
membosankan karena monoton di pihak lain. Konsekuensinya, manusia pra-akulturasi bersifat eksklusif atau tertutup
terhadap masuknya budaya luar, karena klaim-klaim akan budayaku lebih tinggi
dari yang lain atau sebaliknya yang bisa melahirkan konflik budaya. Maka, bingkai
singkat mengenai manusia yang berada pada pra-akulturasi akan bertentangan dengan manusia
yang telah optimis terhadap akulturasi? Perihal tersebut akan digambarkan lebih
jauh dalam bagian ketiga.
III.
Akulturasi Bersalahkah itu?
Menelisik
kembali panorama kehidupan manusia yang terbelenggu dalam penjara primitif
tentu melahirkan seribu tanya dalam benak ini. Sebab perubahan yang terjadi
tidak dimaknai atau tetap saja tidak membawa sedikit perubahan dalam cara
pandang manusia. Manusia seolah-olah sedang menutup diri ataupun sedang
mengkibuli bahwa perubahan itu ada namun kami menolak akulturasi. Padahal jika
kita mengkaji lebih dalam akulturasi tidak pernah salah. Hal ini dikarenakan
akulturasi terus saja bergerak dalam pusaran waktu. Ia selalu ada meskipun
manusia tidak menyukai keberadaannya. Keberadaan yang tidak ada menurut
segelintir orang yang menafikan atau menolak akulturasi akan tetapi pada faktanya
mereka sedang mengakuinya secara bungkam.
Hal senada juga dikatakan oleh Jose Rizal dalam monolognya bahwa
perubahan itu ada dan jika kita tidak berada dalam perubahan itu maka kita
bukan kaum modern.
Modernisme adalah sebuah peralihan hidup dari
tradisional. Di sini tidak dapat dipungkiri bahwa cara pandang manusia semakin
terbuka sehingga mampu mengkritisi segala macam perubahan dalam setiap
sendi-sendi kehidupan termasuk pengaruh
globalisasi itu sendiri yang melahirkan akulturasi. Di sini seolah-olah manusia
sudah beralih dari tahap mitis menuju tahap ontologis atau fungsional menurut
Van peursen.[7]
Akulturasi bagi orang modern atau postmodern adalah sebuah keniscayaan dan
meniscayakan subyek memenerima dan mengkritisi secara
kritis faedahnya dalam kehidupan kita jika kita menerimanya. Namun, yang
menjadi persoalan di sini adalah sikap kita cendrung mengagung-gungkan budaya
kita sebagai itu yang benar lalu menolak kebudayaan asing. “Hal
ini adalah sebuah penyakit”, kata Jose Rizal.[8]
Kehadiran akulturasi tidak serta merta diterima begitu saja sebab
adanya pengkritisan lebih lanjut dari subyek yang hendak menerimanya. Bisa saja adanya penolakan sebab
hal itu dipandang buruk atau tidak berguna dalam kehidupan. Patut kita ketahui
bahwa akulturasi itu selalu menyentuh tiga komponen utama dalam kehidupan yakni
manusia yang adalah subyek dalam kosmos, alam yang adalah pusat atau tempat
pijakan, dan kebudayaan yang mana adalah identitas subyek itu sendiri. Ketiga
unsur ini saling berkaitan. Letak keberkaitannya dapat diuraikan demikian.
Manusia yang adalah subyek yang mendunia melahirkan budayanya dalam dunia alam
lalu mempermanenkan hal itu sebagai itu yang menjadi tradisi sehingga
diwariskan turun temurun. Budaya itu lahir dari alam dan manusialah yang
menemukannya namun manusia juga bisa ada karena budaya itu sendiri sebab
budayalah yang membentuknya. Hal senada
juga diungkapkan oleh Dr. Theo Huijbers dalam bukunya. Ia mengatakan demikian;
Hubungan dunia dan manusia adalah
hubungan yang bersifat intensional yang berarti manusia tidak pernah lepas dari
dunia dan juga hubungan dialektis yang mana berarti hidup manusia berlangsung
dalam hubungan relasional dengan dunia hidupnya.[9]
Nah, dari uraian di atas maka
kita dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa manusia-alam dan budaya adalah
sebuah mata rantai di mana hubungan ketiganya adalah satu kesatuan yang tidak
terpisahkan. Kesatuan alam dan manusia sangat jelas dicerminkan dalam pandangan
hidup orang primitif. Bagi orang Timur rasa ini sangat kuat karena memandang
alam sebagai itu yang memberi hidup, itu yang gaib sehingga menjadikan alam sebagai
bagian dari hidupnya.[10]
Orang-orang primitif sering menggunakan ritus-ritus untuk mempertahankan
keseimbangan dengan alam. Hal
ini dikarenakan alam mempunyai aspek religiusitas tersendiri sehingga
mengharuskan manusia menciptakan tata cara penghormatan kepadanya. Dalam
monolog atau teater, Jose Rizal mengatakan bahwa alam adalah unsur terpenting
orang-orang Timur sehingga mereka menyapanya sebagai ibu pertiwi, karena dari
dialah kita hidup. Ia mengatakan bahwa kita harus masuk ke dalam alam sebab
dari alamlah kita menemukan hal-hal baru.[11]
Dalam alam itu sendiri kita menemukan suasana rileks dan dari sanalah lahirlah
yang namanya kebudayaan. Nah, hal-hal demikianlah wajib kita pelihara atau kita
jaga dan apabila tradisi atau kebudayaan itu jelek wajib kita buang atau
jauhkan. Sedangkan yang baik kita terima dan aktualisasikan dalam hidup. Di
sini tentu peran rasionalitas dibutuhkan. Pengaktualisasian itu bisa melalui
banyak cara salah satunya sebagai aspek edukatif adalah mengajar para generasi
baru sama seperti Mas Jose Rizal melalui bengkel teater.
Uraian di atas mengenai korelasi
antara alam-manusia dan kebudayaan tentu sudah menjawab persoalan utama kita
yakni apakah akulturasi itu salah? Sebenarnya akultursi itu baik hanya saja
sikap manusia yang adalah subyek yang mendunia dan berbudayalah yang
menentukannya. Akulturasi itu lahir dari unsur-unsur itu juga tetapi hanya saja
berbeda pandangan sehingga dibutuhkan sikap kritis di dalamnya. Singkatnya akulturasi merupakan sebuah perubahan
dan berciri inovatif yang mana lahir dari perjumpaan dua atau lebih budaya. Nah
dengan menerimanya maka kita memperoleh kekayaan dalam kebudayaan.
IV.
Penutup
Akulturuasi
di zaman Modern bahkan Post-modern, sadar maupun tidak bahwa ia telah merasuki jiwa setiap
individu. Perncampuran budaya sejak kita dilahirkan telah kita alami. Seperti
alat-alat teknologi: Hp, TV, dsbnya. Perjumpaan dua budaya
dianggap negatif atau positif sejauh mana kita memandangnya. Bila pencampuran
budaya merupakan sesuatu yang menolong hidup kita tentu itu sangat bermanfaat. Namun
pencampuran dua budaya modern dan primitif itu merugikan, maka hal inilah yang
perlu dihindari. Karena itu dalam cuplikan Jose Rizal, Beliau mengutip sebuah
ungkapan dari Kihajar Dewantoro, bahwa dalam pertemuan budaya, kita perlu
berani mengambil sikap
untuk mengatakan “tidak” pada budaya modern jika itu merugikan budaya lokal,
dan berani mengatakan “ya” jika hal itu bermanfaat bagi manusia.
Akulturasi dalam posisi ini, meniadakan dua
ekstrem supersionisme dan inferiorisme. Karena pada dua ekstrem ini hanya
mendatangkan klaim pada diri manusia di satu sisi untuk menyombongkan
budayanya, bahwa budayaku lebih baik, lebih benar. Di sisi lain, manusia
merendahkan diri,bersikap pesimis bahwa budayaku lebih buruk dari pada budaya
lain. Di sini yang ditekankan adalah bagaimana pencampuran budaya lokal dan
modern dapat memberi
satu warna hidup yang baru yang lebih inovatif. Patut dicamkan bahwa akulturasi adalah sebuah keniscayaan
dan ia lahir dari tiga unsure itu yakni manusia-alam-dan budaya.
Dengan
demikin ketiga komponen, manusia-budaya dan alam, saling memberi sumbangsi bagi
potensi hidup manusia sejauh ia menerima dan mengaplikasikannya. Keadaan
manusia-alam dan budaya merupakan suatu keadaan yang dinamis. Ketiga komponen
tersebut mengalami perubahan sepangjang sejarah. Maka unsur ketertutupan sama
sekali terhadap budaya luar tidaklah tepat. Atau unsur terbukaan sama sekali
untuk meninggalkan budaya lokal dan menyerap budaya luar tanpa disaring itu
juga tidaklah tepat. Maka manusia selain bersikap pesimis ia juga bersikap
optimis. Karena peleburan ketiga komponen tersebut sebagai suatu ikatan yang
terpisahkan. Manusia melebur dalam alam dan budaya, alam melebur dalam manusia
dan budaya sebaliknya budaya melebur dalam alam dan manusia bagaikan kesatuan
sebuah mata rantai .
Daftar Pustaka
Huijbers, Theo., Dr. Manusia Merenungkan Makna Hidupnya. Yogykarta: Kanisius, 1986.
Putra, Heddy Shri Ahimsa. Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra,
Yogyakarta: Galang Printika, 2001.
Rizal, Jose. “Magma Teater Anak.” dalam KOMPAS. Minggu, 18 Oktober 2015.
Van Person,
C.A., Prof. Dr. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: kanisius, 1976.
http://pimensakti.blogspot.co.id/2014/05/resume-alam-pikiran-mitis-ontologis-dan.html, diakses Minggu,18 Oktober 2015, Pkl. 17.03.
[1]
Manusia primitive
adalah manusia purba yang hidupnya masih dekat pada alam dan yang masih murni,
dan belum terjamah oleh peradaban-peradaban modern. Dunia mereka dipenuhi
unsure-unsur gaib, diliputi rahasia dan sangat interesan. Hal ini berbeda
dengan kaum rasionalitas yang mengagung-agungkan rasio dan memandang rendah
mitos. bdk Prof. Dr. C.
Van Person, Strategi Kebudayaan, Yogyakarta: kanisius, 1976, hlm. 34-35.
[3] Heddy Shri Ahimsa-Putra, Strukturalisme
Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra, Yogyakarta: Galang Printika, 2001, hlm. 75.
[7] http://pimensakti.blogspot.co.id/2014/05/resume-alam-pikiran-mitis-ontologis-dan.html, diakses Minggu,18 Oktober 2015, Pkl. 17.03.
[8] Maksud
Jose Rizal di sini sebagai sebuah penyakit adalah sikap kita menolak kebudayaan
orang lain sebagai itu yang salah dan mengatakan kebudayaan kita selalu benar
padahal itu salah. Kita terlanjur mencintai lebih jauh sebuah kebudayaan yang
salah. Hal ini diungkapkannya dalam monolognya ‘jose Rizal Manua-Monolog Mas
Joko’ dalam https:// www.youtube.com.