Pu’o nuhu gi’é wewe (Bahasa Lamaholot Lamaole-Lewomaku: cuci mulut bersihkan lidah).
Yosep Belen Keban
Puo
nuhu gi’é wewe merupakan sebuah istilah yang
dimiliki oleh suku Lamaole dan suku Lewomaku di wilayah Flores Timur.
Terminologi ini tentu merujuk pada pelanggaran moral yang berkaitan dengan
aktivitas manusia. Adapun maksud dari terminologi ini adalah menarik kata-kata
yang telah terucap di mana dinggap membuat nama baik orang lain tercemar.
Seseorang yang menyebarkan berita miris atau gossip (hoax) terkait sesuatu persoalan terhadap orang lain dianggap
sebagai nuhu wewa platé (penista atau
penggosip). Penggosip dalam bahasa Lamaholot disebut sebagai koda ata alaten (Fernandez 1990: 277).
Terminologi ini adalah
sebuah terminologi yang dimiliki oleh masyarakat adat di Desa Lewotanah-ole,
Kecamatan Solor Barat Kabupaten Flores Timur. Di Desa ini adanya acara
pembersihan diri dari perkataan yang diucapkan oleh seseorang. Kebiasaannya si
penggossip ini menceritakan peristiwa-peristiwa yang dianggap tabu dalam
kehidupan bersosial seperti perselingkuhan. Perselingkuhan dianggap sebagai
masalah serius dan juga dipandang melanggar adat istiadat setempat.
Perselingkuhan ini bisa saja terjadi baik itu dari pihak suami atau istri yang
melakukan perselingkuhan atau “hubungan haram” dengan suami atau istri orang
lain (temaka ata kewae ka ato temaka ata
kelake ka) atau pun dengan kaum muda-mudi. Si penggossip seolah-olah
bertindak sebagai saksi lalu pergi menceritakan kepada orang lain tentang
pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang. Padahal penyebaran berita itu tidak
benar. Berita yang disampaikan itu menyebar secara luas sehingga membuat si
pesakit atau orang yang digossipi itu dijauhkan dari lingkungan sosial. Ia
sendiri menanggung malu dan menerima konsekuensi dari berita bohong yang
beredar.
Mendengar itu maka
pihak keluarga melakukan pendekatan dengan korban dan menanyakan apa benar
berita yang diedarkan. Jika itu benar maka akan ditindaklanjuti secara adat dan
apabila tidak maka si penyebar berita akan dituntut dengan hukum adat pula.
Oleh karena tindakan mengada-adakan masalah atau mencemari nama baik orang lain
maka membuat pihak pesakit atau orang yang digossip itu melaporkanya kepada
kepala suku setempat. Merasa pihaknya disakiti maka selanjutnya mereka (pihak
suku pesakit) membawa persoalan ini ke meja adat di mana diselesaikan melalui
adat setempat secara kekeluargaan. Pihak yang menjadi mediasi dalam
penyelesaian masalah ini adalah pihak pemerintah beserta tokoh-tokoh adat
setempat. Sedangkan yang hadir dalam
penyelesaian itu adalah kedua suku yang bermasalah sekaligus sebagai
penanggung biaya penyelesaian perkara. Biasanya gelar perkara dilakukan dari
tingkat bawa yakni RT/RW tempat di mana si pesakit ini tinggal dan dilakukan di
rumah pak atau ibu RT/RW. Tindakan gelar perkara ini dilakukan dengan alasan
untuk pemulihan nama baik pihak pesakit, keluarga pesakit dan dari pihak suku
itu sendiri. Dalam gelar perkara, pihak mediasi mempertanyakan asal muasal
berita, kapan terjadinya persoalan, apakah saudara atau saudari mengetahui
secara langsung persoalan,dan lain sebagainya. Dan apabila tidak terbukti
persoalannya maka si penyebar gossip atau sumber berita ini memohon maaf kepada
korban, pihak keluarga korban dan anggota suku. Bentuk permohonan maaf tidak
hanya melalui kata-kata semata tapi juga berdasarkan konsensus dari kedua bela
pihak dalam gelar perkara seturut sanksi adat yang berlaku. Adapun bentuk
sanksi adat yang diberikan adalah belis (gading) dan juga kemiri dan logé towé (memberi sarung adat kepada
pihak pesakit). Berkaitan dengan ukuran dan kuantitas belis (gading) tentu
sesuai dengan konsensus kedua bela pihak dan hal ini juga dilihat berdasarkan
besar kecilnya masalah yang dipersoalkan. Belis gading (bala) di suku Lamaholot sendiri memiliki namanya masing-masing
sesuai dengan ukurannya misalnya: bala
kerung (gading pendek ukuran dari ujung jari telunjuk hingga siku); bala keleke (gading dengan ukuran otot
lengan atas); bala tuba kelik (gading
dengan ukuran sampai ketiak); bala lega
(dari jari telunjuk hingga pertengahan dada);
bala gawe korok (ukuran gading melewati dada); bala lekung (dari ujung jari telunjuk hingga siku kiri); bala detang wuang (hingga akar tangan
kiri dari tangan kanan); bala telapak (hingga
pertengahan tangan kiri); bala gate (hingga
sendi jari telunjuk kiri); bala huut
(gading satu depa panjangnya); dan
gading yang ukurannya lebih panjang dari satu depa atau bala raing (Vatter 1984:78-79).
Sedangkan sarung adat (kewate) diberikan sebagai bentuk
“permohonan maaf” atau tanda “salam perdamaian”. Hal ini ditunjukan dengan
pemakaian sarung (kewate) kepada
pihak pesakit oleh pihak atau keluarga yang menyebarkan berita bohong (hoax). Dari uraian ini maka dapat
diinterpretasikan terminologi rekonsiliatif di atas sebagai bentuk pemulihan
nama baik terhadap korban di mana si penyebar berita mempertangungjawabkan
duduk persoalan itu dengan membayar sanksi adat yang diberikan. Pembayaran
belis (bala) dan logé towé adalah sebuah tindakan permohonan maaf sekaligus penyebar
gossip itu menarik kembali kata-kata yang telah diucapkanya (pu’o nuhu-gi’é wewe). Dengan demikian
terminologi Puo nuhu gi’é wewe
merupakan upaya tebusan atau silih atas apa yang telah terucapkan sekaligus
sebagai tindakan penyesalan diri. Sanksi adat yang diberikan tidak hanya
sebagai bentuk permohonan maaf semata tapi lebih dari itu sebagai guru di mana
dijadikan sebagai pelajaran yang berharga di masa yang akan datang. Terminologi
Puo nuhu gi’é wewe ini tentu dengan
sendirinya merujuk pada upaya rekonsilisi atau perdamaian dengan korban yang
disakiti atau memulihkan nama baik korban di ruang publik atau dalam kehidupan
sosial.
Terminologi
Puo nuhu gi’é wewe mengandung
kebijaksanaan universal. Nilai-nilai kehidupan yang terdapat dalam terminologi
ini adalah nilai etika, nilai persatuan dalam hidup bersama. Masyarakat
setempat harus menjunjung tinggi etika hidup bersama atau dalam bahasa setempat
disebut sebagai gasi are atadike (saling
menghormati antar manusia). Saling menghormati merupakan fondasi dasar dalam
hidup yang membawa keutuhan serta persatuan dalam kehidupan.
Sumber
Kepustakaan
Fernandez,
Stephanus Ozias, 1990. Kebijakan Manusia
Nusa Tenggara Timur Dulu Dan Kini, Maumere:
Ledalero.
Vatter, Ernst, 1984. Ata Kiwan, Maumere: Penerbit Nusa Indah.