Sebuah kajian filosofis atas peristiwa Sandosi-Adonara
(Yosep Belen Keban)
Pengantar
Homo homini
lupus adalah sebuah adagium
kuno dari kata bahasa Latin yang memiliki arti “manusia adalah serigala bagi
sesama manusia”. Adagium itu dilontarkan pertama kali oleh Plautus dalam
karyanya dengan judul Asinaria. Adagium itu merupakan bentuk pendek dari homo homini lupus est yang bisa
diinterpretasi dengan manusia sering menikam sesama manusia lainnya.
Terminologi ini acapkali dilontarakan dalam kelas filsafat dan dalam
diskursus-diskursus sosial yang kerapkali
menjadi boomerang bagi manusia yang lain. Diskursus semacam itu menjadi
pisau beda dalam melihat realitas sosial yang dihadapkan pada persoalan pertikaian
atau pembunuhan sesama manusia. Terminologi ini kemudian digunakan oleh Thomas
Hobbos dalam mahakarya dalam filsafat yang berjudul “De Cide” pada abad ke-15.
Thomas Hobbes melukiskan manusia sebagai makhluk yang antisosial (Hardiman, 2004). Hal
ini tentu memiliki pendasarannya yakni pemeliharaan diri akan berbenturan
dengan hasrat pemeliharaan diri yang dimiliki oleh orang lain (The Other).
Sebagai manusia yang antisosial berarti mengedepankan sikap yang terselubung
atau tertutup atau dengan kata lain manusia yang tertutup dengan orang lain.
Pemeliharaan diri itu tentu berkiblat pada keegoan diri sehingga membangun
benteng diri yang kokoh dalam persaingan hidup. Hobbes kemudian berpendapat bahwa dalam persaingan,
manusia harus saling memperebutkan sumber-sumber yang langkah, mempertahankan
apa yang sudah dikuasai, dan bahkan menundukkan orang lain. Sikap seperti ini
menggambarkan perilaku manusia yang pada dasarnya mau menguasai yang lain, yang
terjadi dalam kehidupan sosial tak kurang dari bellum omnes contra omnia (perang semua melawan semua) dan dalam
perang itu, manusia dilukiskan sebagai serigala bagi sesamanya (homo homini lupus). Gambaran pemikiran
manusia adalah serigala bagi sesamanya dalam kehidupan sosial menurut Tomas
Hobbes juga masih terlihat dengan gamblang dalam realitas kontemporer. Ada begitu
banyak persoalan hidup manusia yang pada akhirnya menelurkan duka bagi generasi
berikutnya. Sandosi-Adonara adalah salah satu wilayah yang menjadi potret duka
kini yang digambarkan dengan peristiwa Sandosi berdarah-Sandosi berduka.
Sandosi berduka
Kamis,
05 Maret 2020 adalah sebuah peristiwa duka dan bersejarah yang tidak akan
dilupakan oleh generasi Sandosi-Adonara pada khusunya dan masyarakat Flores
Timur pada umumnya. Sandosi merupakan sebuah desa di Kecamatan Witihama, Pulau
Adonara-Kabupaten Flores Timur. Hari itu menjadi sebuah peristiwa duka yang
mendalam lantaran perang suku terlahir dan memakan korban jiwa dari kedua suku.
Peristiwa itu memakan korban jiwa sebanyak
enam orang akibat perang tanding (perang suku) yang memperebutkan hak ulayat atau
tanah. Perang tanding itu dilakukan oleh kedua suku yakni suku Kwaelaga dan
suku Lamatokan. Peristiwa itu terjadi sekitar pukul 10.00 di lokasi sengketa. Peristiwa
perang tanding antar suku ini bukan merupakan peristiwa pertama kali yang
terjadi di wilayah ini. Berdasarkan diskusi lepas saya dengan seorang ibu guru
asal anak tanah Sandosi, ia menyatakan demikian. Peristiwa ini bukan yang
pertama kalinya. Sandosi pernah mengalami peristiwa duka sama seperti peristiwa
hari ini. Sungguh miris tentunya ketika mendengar berita ini apalagi kita hidup
dalam dunia kini di tengah revolusi industri 4.0. seharusnya pola pikir, pola
laku kita sudah semestinya sudah berkembang dan tidak primitif lagi. Saya tentu
saja mengutuk peristiwa ini.
Sebab Konflik
Pada
umumnya di wilayah Adonara sering kita menjumpai peristiwa perang tanding antar
suku. Perang ini pecah karena hanya ada dua persoalan, yakni: tanah dan
perempuan. Tanah menjadi salah satu penyebab konflik di Adonara selain
Perempuan (Bebe, 2014: 86). Bagi masyarakat Lamaholot pada umumnya dan Adonara
pada khususnya, tanah adalah sumber dan benih bagi kehidupan. Tanah disimbolisasikan
dengan perempuan (ibu) yang dari rahimnya anak manusia itu terlahir dan hidup. Dari
filosofis inilah kaum lelaki memperkuat semangat kepahlawanan untuk mati-matian
membela sebidang tanah. Hal senada juga dikatakan oleh Vatter dalam bukunya Ata Kiwan. Vatter dalam bukunya itu, ia
memberikan sebuah judul kecil tentang “Adonara,
Pulau pembunuh”. Tulisannya ini tentu berangkat dari realitas sosial
masyarakat Adonara pada zaman itu, yang dihadapkan pada konflik berdarah.
Bebe
dalam bukunya Panorama Lamaholot (2004) melukiskan konflik atau perang sebagai
jalan untut menuntut dan memperole kebenaran tentang kepemilikan tanah. Pembunuhan
dilakukan sebagai jalan adu senjata (suri
gala-labi nobe atau reket leu-rae
tubak belo) sebagai pembuktian akan kesahian atau kebenaran kepemilikan.
Upaya Rekonsiliasi
Konflik
atau perang tanding yang dilakukan oleh kedua suku di Sandosi adalah sebuah
upaya mempertahankan (pemeliharaan diri)
sebagai bentuk pembuktian akan hak
ulayat. Namun, disisi lain pendapat itu seharusnya sudah lekang lantaran dunia
kita sudah berbeda dengan masyarakat pada zaman dulu yang masih sangat
primitif. Apalagi dalam konteks kini, masyarakat kita sudah hidup dalam zaman
postmodernisme yang mengedepankan dialog sebagai sarana utama dalam perdamaian
bukan perang. Konflik dalam perang hanya melahirkan derita tiada bertepi bagi
anak cucu dan menelurkan dendam kesumat bagi mereka. Masyarakat Lamaholot
dikenal dengan masyarakat yang beradab yang mana memiliki aneka kekayaan
budaya. Budaya tersebut menyimpan sejuta nilai hidup dan kemudian dikerucutkan
menjadi nilai Pancasila salah satunya adalah nilai kemanusian. Padahal kita
memiliki aneka ritual kebudayaan yang mana merupakan local wisdom ke-Lamaholotan kita. Salah satunya adalah ritual “bau
lolon”. Bau lolon merupakan sebuah ritual adat yang sering digunakan untuk mematahkan perang tanding. Ia merupakan
jalan utama secara adat untuk menyelesaikan atau meredam perang tanding. Ritual
ini handak mengatakan bahwa nilai persaudaraan, kekeluargaan, kemanusiaan dan
perdamaian begitu amat penting dari pada perang yang berujung pada kematian
seperti pada hari ini. Dengan demikian, masyarakat Lamaholot pada umumnya dan
Sandosi pada khususnya harus mengedepankan dialog atau musyawarah kemanusiaan
dalam menyelesaikan persoalan.
Selain
itu, dalam mengatasi persoalan kedua suku ini tentu dibutuhkan mediator. Mediator
adalah pihak berwajib seperti TNI, Polri ataupun Pemereintah setempat untuk
melakukan madiasi antara kedua suku ini. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi
pecahnya perang susulan dikemudian hari. Dalam melakukan mediasi, sama seperti
yang dikatakan Hobbes bahwa mereka hadir melakukan sebuah “kontrak sosial”. Kontrak
sosial dalam bahasa Hobbes semacam sebuah perjanjian damai yang menjadi dasar
kehidupan sosial. Kontrak kedamaian itu tentu merujuk pada aturan hukum yang
ada pada negara. Kontrak sosial ala Hobes dalam bahasa Lamaholot disebut Mela Sare-Hodi limat. Ini merupakan
sebuah upaya rekonsiliasi perang yang menggambarkan perdamaian. Tentu dalam
uapaya rekonsiliasi ini ada kurban yang harus disembeli sebab ini adalah sebuah
perjanjian adat karena sudah melanggar hak adat setempat. Upaya rekonsiliasi
ini akan menjadi mungkin apabila kedua suku yang bertikai atau berperang mau
mengakhiri konflik dengan berdamai.
Kata Akhir
Kritik
yang disampaikan oleh Tomas Hobbes seperti yang saya uraikan dibagian awal
tulisan ini adalah sebuah kritikan bagi kemanusian yang direnggut. Ini merupakan
sisi lain dari gambaran manusia yang dalam tanda kutip “memelihara diri” (dalam
bahasa Tomas Hobbes) atau diartikan dengan potret manusia yang egois. Dalam mempertahan
hidup manusia menganggap yang lainnya adalah serigala sehingga patut
dilenyapkan. Dengan pemikiran demikian, maka konflik itu terlahir. Konflik itu
terlahir sebagai upaya dalam mempertahan keadaan seperti mempertahankan sesuatu
yang dikuasai, memperjuangkan hak milik, dan lain sebagainya. Tanah adalah
salah satunya sumber konflik.
Peristiwa
yang terjadi di Sandosi adalah konflik tanah dan memakan korban jiwa sebanyak
enam orang dari kedua suku. Sebagai harapan semoga peristiwa ini semoga cepat
diselesaikan dan menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa kamanusiaan (manusia
yang lain/The Other) adalah jauh
lebih penting ketimbang harta duniawi tanah. Jangan kau gadaikan darah manusia
dengan tanah. manusia (orang lain) adalah subyek seperti aku dalam ada menuju
di dunia. Jadi, jangan perlakukan mereka yang lain sebagai serigala atau orang
asing (Lyan) yang wajib anda habisi
atau bunuh.
Moo oke hoo
BalasHapus