Kamis, 05 Maret 2020

Serigalahkah Aku Bagi Sesamaku



Sebuah kajian filosofis atas peristiwa Sandosi-Adonara







                                                   (Yosep Belen Keban)

Pengantar
Homo homini lupus adalah sebuah adagium kuno dari kata bahasa Latin yang memiliki arti “manusia adalah serigala bagi sesama manusia”. Adagium itu dilontarkan pertama kali oleh Plautus dalam karyanya dengan judul Asinaria. Adagium itu merupakan bentuk pendek dari homo homini lupus est yang bisa diinterpretasi dengan manusia sering menikam sesama manusia lainnya. Terminologi ini acapkali dilontarakan dalam kelas filsafat dan dalam diskursus-diskursus sosial yang kerapkali  menjadi boomerang bagi manusia yang lain. Diskursus semacam itu menjadi pisau beda dalam melihat realitas sosial yang dihadapkan pada persoalan pertikaian atau pembunuhan sesama manusia. Terminologi ini kemudian digunakan oleh Thomas Hobbos dalam mahakarya dalam filsafat yang berjudul “De Cide” pada abad ke-15.
Thomas Hobbes melukiskan manusia sebagai  makhluk yang antisosial (Hardiman, 2004). Hal ini tentu memiliki pendasarannya yakni pemeliharaan diri akan berbenturan dengan hasrat pemeliharaan diri yang dimiliki oleh orang lain (The Other). Sebagai manusia yang antisosial berarti mengedepankan sikap yang terselubung atau tertutup atau dengan kata lain manusia yang tertutup dengan orang lain. Pemeliharaan diri itu tentu berkiblat pada keegoan diri sehingga membangun benteng diri yang kokoh dalam persaingan hidup. Hobbes  kemudian berpendapat bahwa dalam persaingan, manusia harus saling memperebutkan sumber-sumber yang langkah, mempertahankan apa yang sudah dikuasai, dan bahkan menundukkan orang lain. Sikap seperti ini menggambarkan perilaku manusia yang pada dasarnya mau menguasai yang lain, yang terjadi dalam kehidupan sosial tak kurang dari bellum omnes contra omnia (perang semua melawan semua) dan dalam perang itu, manusia dilukiskan sebagai serigala bagi sesamanya (homo homini lupus). Gambaran pemikiran manusia adalah serigala bagi sesamanya dalam kehidupan sosial menurut Tomas Hobbes juga masih terlihat dengan gamblang dalam realitas kontemporer. Ada begitu banyak persoalan hidup manusia yang pada akhirnya menelurkan duka bagi generasi berikutnya. Sandosi-Adonara adalah salah satu wilayah yang menjadi potret duka kini yang digambarkan dengan peristiwa Sandosi berdarah-Sandosi berduka.

Sandosi berduka
Kamis, 05 Maret 2020 adalah sebuah peristiwa duka dan bersejarah yang tidak akan dilupakan oleh generasi Sandosi-Adonara pada khusunya dan masyarakat Flores Timur pada umumnya. Sandosi merupakan sebuah desa di Kecamatan Witihama, Pulau Adonara-Kabupaten Flores Timur. Hari itu menjadi sebuah peristiwa duka yang mendalam lantaran perang suku terlahir dan memakan korban jiwa dari kedua suku. Peristiwa itu  memakan korban jiwa sebanyak enam orang akibat perang tanding (perang suku) yang memperebutkan hak ulayat atau tanah. Perang tanding itu dilakukan oleh kedua suku yakni suku Kwaelaga dan suku Lamatokan. Peristiwa itu terjadi sekitar pukul 10.00 di lokasi sengketa. Peristiwa perang tanding antar suku ini bukan merupakan peristiwa pertama kali yang terjadi di wilayah ini. Berdasarkan diskusi lepas saya dengan seorang ibu guru asal anak tanah Sandosi, ia menyatakan demikian. Peristiwa ini bukan yang pertama kalinya. Sandosi pernah mengalami peristiwa duka sama seperti peristiwa hari ini. Sungguh miris tentunya ketika mendengar berita ini apalagi kita hidup dalam dunia kini di tengah revolusi industri 4.0. seharusnya pola pikir, pola laku kita sudah semestinya sudah berkembang dan tidak primitif lagi. Saya tentu saja mengutuk peristiwa ini.

Sebab Konflik

Pada umumnya di wilayah Adonara sering kita menjumpai peristiwa perang tanding antar suku. Perang ini pecah karena hanya ada dua persoalan, yakni: tanah dan perempuan. Tanah menjadi salah satu penyebab konflik di Adonara selain Perempuan (Bebe, 2014: 86). Bagi masyarakat Lamaholot pada umumnya dan Adonara pada khususnya, tanah adalah sumber dan benih bagi kehidupan. Tanah disimbolisasikan dengan perempuan (ibu) yang dari rahimnya anak manusia itu terlahir dan hidup. Dari filosofis inilah kaum lelaki memperkuat semangat kepahlawanan untuk mati-matian membela sebidang tanah. Hal senada juga dikatakan oleh  Vatter dalam bukunya  Ata Kiwan. Vatter dalam bukunya itu, ia memberikan sebuah judul kecil tentang “Adonara, Pulau pembunuh”. Tulisannya ini tentu berangkat dari realitas sosial masyarakat Adonara pada zaman itu, yang dihadapkan pada konflik berdarah.
Bebe dalam bukunya Panorama Lamaholot (2004) melukiskan konflik atau perang sebagai jalan untut menuntut dan memperole kebenaran tentang kepemilikan tanah. Pembunuhan dilakukan sebagai jalan adu senjata (suri gala-labi nobe atau reket leu-rae tubak belo) sebagai pembuktian akan kesahian atau kebenaran kepemilikan.

Upaya Rekonsiliasi

Konflik atau perang tanding yang dilakukan oleh kedua suku di Sandosi adalah sebuah upaya mempertahankan  (pemeliharaan diri)  sebagai bentuk pembuktian akan hak ulayat. Namun, disisi lain pendapat itu seharusnya sudah lekang lantaran dunia kita sudah berbeda dengan masyarakat pada zaman dulu yang masih sangat primitif. Apalagi dalam konteks kini, masyarakat kita sudah hidup dalam zaman postmodernisme yang mengedepankan dialog sebagai sarana utama dalam perdamaian bukan perang. Konflik dalam perang hanya melahirkan derita tiada bertepi bagi anak cucu dan menelurkan dendam kesumat bagi mereka. Masyarakat Lamaholot dikenal dengan masyarakat yang beradab yang mana memiliki aneka kekayaan budaya. Budaya tersebut menyimpan sejuta nilai hidup dan kemudian dikerucutkan menjadi nilai Pancasila salah satunya adalah nilai kemanusian. Padahal kita memiliki aneka ritual kebudayaan yang mana merupakan local wisdom ke-Lamaholotan kita. Salah satunya adalah ritual “bau lolon”. Bau lolon merupakan sebuah ritual adat yang sering digunakan  untuk mematahkan perang tanding. Ia merupakan jalan utama secara adat untuk menyelesaikan atau meredam perang tanding. Ritual ini handak mengatakan bahwa nilai persaudaraan, kekeluargaan, kemanusiaan dan perdamaian begitu amat penting dari pada perang yang berujung pada kematian seperti pada hari ini. Dengan demikian, masyarakat Lamaholot pada umumnya dan Sandosi pada khususnya harus mengedepankan dialog atau musyawarah kemanusiaan dalam menyelesaikan persoalan.
Selain itu, dalam mengatasi persoalan kedua suku ini tentu dibutuhkan mediator. Mediator adalah pihak berwajib seperti TNI, Polri ataupun Pemereintah setempat untuk melakukan madiasi antara kedua suku ini. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi pecahnya perang susulan dikemudian hari. Dalam melakukan mediasi, sama seperti yang dikatakan Hobbes bahwa mereka hadir melakukan sebuah “kontrak sosial”. Kontrak sosial dalam bahasa Hobbes semacam sebuah perjanjian damai yang menjadi dasar kehidupan sosial. Kontrak kedamaian itu tentu merujuk pada aturan hukum yang ada pada negara. Kontrak sosial ala Hobes dalam bahasa Lamaholot disebut Mela Sare-Hodi limat. Ini merupakan sebuah upaya rekonsiliasi perang yang menggambarkan perdamaian. Tentu dalam uapaya rekonsiliasi ini ada kurban yang harus disembeli sebab ini adalah sebuah perjanjian adat karena sudah melanggar hak adat setempat. Upaya rekonsiliasi ini akan menjadi mungkin apabila kedua suku yang bertikai atau berperang mau mengakhiri konflik dengan berdamai.


Kata Akhir

Kritik yang disampaikan oleh Tomas Hobbes seperti yang saya uraikan dibagian awal tulisan ini adalah sebuah kritikan bagi kemanusian yang direnggut. Ini merupakan sisi lain dari gambaran manusia yang dalam tanda kutip “memelihara diri” (dalam bahasa Tomas Hobbes) atau diartikan dengan potret manusia yang egois. Dalam mempertahan hidup manusia menganggap yang lainnya adalah serigala sehingga patut dilenyapkan. Dengan pemikiran demikian, maka konflik itu terlahir. Konflik itu terlahir sebagai upaya dalam mempertahan keadaan seperti mempertahankan sesuatu yang dikuasai, memperjuangkan hak milik, dan lain sebagainya. Tanah adalah salah satunya sumber konflik.
Peristiwa yang terjadi di Sandosi adalah konflik tanah dan memakan korban jiwa sebanyak enam orang dari kedua suku. Sebagai harapan semoga peristiwa ini semoga cepat diselesaikan dan menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa kamanusiaan (manusia yang lain/The Other) adalah jauh lebih penting ketimbang harta duniawi tanah. Jangan kau gadaikan darah manusia dengan tanah. manusia (orang lain) adalah subyek seperti aku dalam ada menuju di dunia. Jadi, jangan perlakukan mereka yang lain sebagai serigala atau orang asing (Lyan) yang wajib anda habisi atau bunuh.





1 komentar: