Minggu, 29 Desember 2019

Sukacita Natal di Lembah Maku-Ole


(Yosep Belen Keban)



Sukacita Natal membawa kesan tersendiri bagi orang yang merayakan pesta iman ini di Desa Lewotanah Ole. Lewotanah Ole yang terletak di Kecamatan Solor Barat-Kabupaten Flores Timur ini memiliki sebuah tradisi yang unik. Tradisi ini sudah lama diturunkan oleh nenek moyang sehingga menjadi rutinitas setiap pesta iman baik Natal, Tahun Baru, maupun Paskah. Ketika hari Natal, Tahun Baru ataupun Paskah tiba, para kaula muda atau orang tua berkumpul lalu berembuk untuk melaksanakan tradisi ini. Orang Lamaole-Lewomaku melabeli tradisi itu dengan “o elele”. Terminologi o elele menjadi viral dan dilabeli pada tradisi unik ini karena berawal dari sebuah lagu lokal yang selalu dinyanyikan dalam tadisi ini. Berikut pendarasan syair lagunya: “o elele..o elele lau mori elele.....” Lagu ini merupakan lagu kesukaan yang terus dinyanyikan oleh tiap generasi dalam tradisi ini.
Tradisi o elele yang dilakukan oleh masyarakat suku Lamaole-Lewomaku merupakan sebuah ekspresi hati manusia yang merasa bahagia dan senang dalam merayakan pesta iman. Mereka mengekspresikan diri lalu berjalan mengelilingi kampung dari rumah ke rumah (door to door) untuk memberikan salam damai Natal atau tahun baru dan juga paskah bagi sesama yang mendiami kampung tersebut. Tradisi ini juga menjadi persuaan dan komitmen untuk membangun tali persaudaraan di antara mereka dalam kehidupan sosial. Mereka memberikan salam sambil berangkulan dan memohon maaf apabila ada kesalahan selama hari-hari berjalan. Apabila ada tutur kata, tindak tanduk dalam kehidupan sosial yang membuat hubungan persaudaraan menjadi retak atau renggang maka tradisi ini hadir sebagai media persatuan dan keutuhan antar sesama. Tradisi ini menjadi menarik bila dilakukan interprestasi lebih lanjut.
Pelaku dari tradisi O elele ini adalah para lelaki baik tua maupun muda yang berkeinginan bergabung untuk meriarayakan pesta iman ini. Mereka berjalan dari rumah ke rumah sambil bernyanyi menghibur diri dan diiringi musik gitar dan gendang. Mereka masuk dari tiap rumah dan memberikan salam bagi anggota keluarga yang dikunjungi. Menariknya ketika gerembolan musik itu tiba di depan rumah mereka menyanyikan lagu “ o saudara minta permisi kami masuk di rumah ini, ole kesenangan dihari ini tibalah, melambai-lambai sapu tangan saudara...” dan ketika mau pulang mereka menyanyikan lagu “o saudara minta permisi kami tinggalkan rumah ini...”. Sangat menarik ketika disimak begitu ada rasa sukacita dan karakteristik sopan santun yang termaktub dalam budaya ini. Dalam kunjungan itu, tuan rumah menyambut kelompok musik itu dengan hidangan alakadarnya. Mereka menyiapkan arak (minuman khas Lamaholot) apabila ada, siri pinang, air putih, tambo ikan bakar, ikan goreng dll serta rokok. Tuan rumah menyambut mereka dengan begitu ramah.
Ulasan singkat jalannya tradisi “o elele” di atas yang dihidupi oleh masyarakat suku Lamaole-Lewomaku di desa Lewotanah Ole adalah sebuah kearifan lokal atau lokal wisdom setempat. Budaya ini mengandung aneka nilai kehidupan yang termaktub indah di dalamnya. Ada nilai etika, nilai sosial, nilai persaudaraan dan nilai religius. Nilai-nilai itu dihidupi oleh masyarakat setempat dalam keseharian hidupnya. Dan perayaan iman menjadi ajang yang pas untuk saling memberikan maaf dan bersilaturahmi. Dugaan kuat tradisi ini lahir dari konsensus para tetua atau sesepuh dahulu kala untuk meriarayakan pesta iman atau mengekspresikan diri mereka dalam merayakan pesta iman ini dengan bernyanyi keliling kampung sambil diiringi musik juk, gendang, dll sebab pada zaman dahulu kala belum ada listrik, tape, dll seperti saat ini. Lalu menjadi pertanyaannya adalah apakah tradisi ini akan menjadi sebuah tradisi yang akan dipertahankan atau dihidupi oleh generasi Lamaole-Lewomaku mengingat Lamaole-Lewomaku saat ini sudah berada dalam jalur perkembangan modernisasi-westernisasi? Pertanyaan ini tentu saja berasal dari pengalaman penulis ketika melihat secara langsung tingkat partisipasi masyarakat yang semakin sedikit. Jika tradisi ini hilang maka nilai-nilai yang melekat erat dalam trasisi O Elele ini dengan sendirinya lenyap.



Minggu, 08 Desember 2019

Kristus Raja Pelindung Stasi Lamaole


Yosep Belen Keban

Kristus Raja Semesta Alam yang dirayakan oleh Umat Katolik seluruh dunia pada hari minggu 24 November 2019 merupakan titik pergumulan dan perefleksian iman umat yang mendalam akan keagungan atau kemahabesaran Tuhan. Tuhan yang merajai Alam Semesta dan segala isinya dirayakan dengan begitu gembira bahkan dibeberapa daerah dirayakan secara unik. Stasi Kristus Raja Lamaole merupakan sebuah stasi yang merayakan secara unik dalam Hari Raya ini. Gereja Kristus Raja Lamaole merupakan sebuah Gereja stasi di Paroki St. Yohanes Pembaptis Ritaebang yang berada dibawah naungan Keuskupan Larantuka.
Umat Stasi Kristus Raja Lamaole yang berada di Desa Lewotanah Ole memiliki sebuah tradisi iman yang unik. Tradisi itu dilaksanakan setiap malam pada tanggal 24 November. Malam itu mereka melakukan perarakan patung Kristus Raja mengeliling kampong. Patung tersebut dibaluti dengan pakaian adat setempat (kewatek-nowing-lido) dan digopong oleh para utusan dari tiap Komunitas Basis Gerejani (KBG) yang mana berbusana hitam-putih dan berselendangkan kain adat setempat. Momen ini menjadi hari terindah di Lembah Maku-Ole sebab tua muda besar kecil turun ke jalan sambil memegang lilin di tangan dan mendaraskan doa serta nyanyian rohani. Sungguh sebuah peristiwa iman yang betul-betul lahir dari kontek kehidupan umat setempat. Ada 4 armida utama yang sudah dihiasi dengan begitu indah. Keempat armada itu sesuai dengan jumlah KBG yang ada di stasi ini. Siang hari sebelum prosesi, mereka sudah mempersiapkan armida serta aneka orkestranya. Mereka juga membuat pagar untuk menyimpan lilin di sepanjang jalan prosesi. Sungguh sebuah tradisi yang indah. Sebelum prosesi dilaksanakan, umat diarahkan untuk melakukan ibadah di gereja dan setelah itu dilanjutkan dengan prosesi keliling kampung. Keesokan harinya pada Hari Raya Kristus Raja ada perayaan Ekaristi Kudus dan setelah itu dilanjutkan dengan acara syukuran bersama. Sesungguhnya perayaan Hari Raya ini dan juga sebagai pelindung stasi Lamaole, umat sungguh merasakan perayaan iman. Ini ibarat sebuah oase iman di zaman kini yang penuh dengan aneka pergumulan kehidupan. Bagi umat setempat tradisi iman seperti ini merupakan sebuah terobosan baru yang dilakukan oleh Pemimpin Umat setempat dan hal ini baru dilakukan beberpa tahun belakangan ini sehingga patut dilakukan terus dan menjadi sebuah tradisi unik di stasi Lamaole. 

Selasa, 19 November 2019

Sepotong Senja di Kuburan


(Y. B. Keban )





Oktober kelabu bulan itu bulan di mana insan diri ini berkenalan dan bersua
Insan diri yang haus akan penantian yang pasti akan sosok idaman peneman hidup yang redup dijalan ibarat pelita yang kehabisan minyak di tengah malam yang pekat. Aku bagaikan muzafir tanpa arah dan tujuan. Orientasi hidup yang kabur ibarat selalu melepaspisah sosok-sosok dahulu. Bukankah ini karma? Atau inikah yang dinamakan anak millennial zaman now sebagai jaga orang pu jodoh? Entahlah, tandasku dalam hati. Aku seakan merindukan sosok peneman sejatih tanpa memikirkan jelita dan cantiknya penampilan sebab bagiku itu hanyalah atribut dalam rasa cinta. Ku terus melakoni hidup dalam kesendirian yang sepih tanpa ada rasa cinta. Aku sepertinya kehilangan sosok penyemangat dalam hidup. Adanya aku adalah sepih. Hari-hariku adalah kesendirian aku dikolom langit yang ceriah. Diri ini kadang merasa jengkel dan marah pada Tuhan yang sudah menciptakan Perempuan pada masa itu di Kebun Eden. “Mengapa kau ciptakan Perempuan itu, Tuhan?” Kemarahanku tentu beralasan pada sosok-sosok  perempuan yang belakangan beringsut dari relung hati ini. Ibarat semut yang beringsut pelan dari lobang tanah. Inikah namanya sepih. Kesendirian hidupku terasa asing ditengah percaturan hidup yang menampilkan aneka rasa cinta. Aku perlahan bangkit. Perlahan aku berdiri dan bernazar tak mau meratapi kisah kelam masa lampau itu. Aku harus menemukan identitasku sebagai pria pecinta. Ini adalah kaul diri tak bertepi bahwa pertobatan akan ada jika ada kemauan dalam diri. Nazar dihadapan Tuhanku sungguh benar dan tepat. Ia mendengarkan doa orang bersalah yang setia. Aku pun diberikan cara tuk mendekatkan sosok kalem ciptaannya.
Hari itu, langit kota Reinya cerah. Matahari menyengat tubuh dengan begitu dahsyatnya. Sungguh panas kota ini. Sehingga berjudel-judel manusia kota Reinya memilih bersantai dibawa naungan pohon dan sepanjang pesisir pantai. Aku terlarut dalam rutinitasku yang begitu banyak. Maklum kuharus menyelesaikan aneka tugas menumpuk menjelang hari akreditasi. Namun dicelah kesibukanku  aku mengambil telefon Oppo dari laci meja lalu mencoba menghubungi makhluk Tuhan lainnya. Aku mendapatinya yang sedang larut dalam kesedihan yang dalam. Aku perlahan memberikan peneguhan, kata-kata bijak yang mampu mengangkat dia dari keterlenaan duka. Ia seakan-akan belum bisa berdamai dengan situasi pahit itu. Sebab situasi ini adalah akhir dari pengalaman adanya manusia sebagai yang bereksistensi dalam dunia. Perlahan aku ingin mengenalnya lebih dekat. Hingga aku memutuskan tuk menjemputnya nanti senja.
Senja itu adalah senja dimana pertama kali aku bersua dengan sosok itam manis titipan sang Dewa. Kuberanikan niat dalam diri tuk harus menyapa dan menjemputnya. Niat baikku direspon dingin lantaran ia sangat hati-hati dalam pertemanan. Mungkin baginya aku adalah sosok jahil yang hendak mencampakannya dari bumi ini. Namun, dugaannya itu meleset sebab aku adalah manusia pecinta yang romantis. Heeeeeee.  Jarum jam terus berputar menunjukan pukul 17.30.  Aku terus menancap gas Shogun SP merah hitam, motor tua racing dijalanan menuju Postoh. Racing motor dijalanan menyita mata pengguna jalan. Mereka terus mewanti-wanti dari jauh seakan kami adalah sepasang sejoli yang sudah lama menjalin tali kasih. Ah malas tau aku, apa kata mereka. Perlahan-lahan kami sampai di kompleks pekuburan umum kota Reinya. Kami berjalan menuju lorong mengahampiri salib Yesus Kristus di tengah kubur. Kami berhenti sejenak dan mulai membakar lilin. Nyala lilin membisukan percakapan kami. Perlahan kuamatinya, sosok manis disampingku. Ia mulai membuat tanda kemenangan. Aku tersenyum tipis sambil mengangkat tanganku dan membuat tanda kemenangan. Saat itulah aku menyadari bahwa doa adalah segala-galanya. “Tuhan bukanlah Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup”. Dalam diam aku meliriknya yang begitu khusuk dalam doa. Aku perlahan mengaguminya, maklum ia adalah seorang katekis junior di kota ini. Setelah itu, kami berangkat menuju tempat terakhir di mana ibundanya di semayamkan. Kuburnya masih sangat sederhana dan belum didesain seindah mungkin. Maklum baru beberapa minggu meningglanya. Aku menyodorkan tangan tanpa kata. Rupanya ia menyadari bahwa yang aku minta adalah lilin.  Ia mengambilnya dalam tas lalu memberikan itu kepadaku. Aku menyalahkan lilin itu dan perlahan aku diam beribu dia. Tanpa kata aku terus memperhatikan dia. Perlahan ia larut dalam duka yang dalam. Aq terus diam. Bunyi-bunyian jangkrik dalam keremangan sore menyadarkan aku akan waktu yang sebentar lagi malam. Ia pun menyadari hal itu. Lalu perlahan ia memberikan kode untuk pulang. Senja itu bagiku adalah sebuah hal yang luar biasa. Aku perlahan menyadari bahwa sosok ini begitu lembut dan dewasa. Senja ini menceritakan insan Tuhan yang begitu bersahaja dan penuh ketegaran. Tanpa berlama-lama, aku pun bernazar bahwa aku akan menghabiskan banyak waktu bersama insan ini dari sepotong senja ini. Senja dikuburan menjadi awal nazarku pada Tuhanku bahwa akan kuperjuangkan sosok ini menjadi pendampingku kelak. Aku akan perlahan mencintainya dalam sabar hingga waktu itu tiba. Nazarku disepotong senja di kuburan.



Kota Reinya Larantuka,
Midiovel, November 2019

Kamis, 14 November 2019

Tapal Batas Merindu


(Y. Belen Keban)





Tapak setapak pijak jejak di tapal batas merindu

Mengigat akan senyum dan aroma parfum memanja diri

Ku melamun disepotong senja

Merindu kisah yang pernah berpadu

Merakit kasih yang tak dapat bermesrah lama

Pergi adalah sepenggal kata

Ia hanya sepotong suku kata per-gi

Namun ia menyiksa jiwa

Merontah rontah keinginan yang tak sampai

Meratap terus kisah yang tak bersua

Sepotong kecewa mengingat lalu marah datang menghampir

Mengapa kau kenal daku

Mengapa kisah itu ada

Kau hanya pelipur lara dikalah madu melimpah

Lalu pergi dalam gelap di tapak batas ini

Kisah itu hanya kecewa terlahir

Merakit janji yang tak pernah teralisasi

Ibarat politisi janji

Kejam kisah disepotong senja itu

Senja yang menawar pergi

Ibarat ia pamit pada gelapnya malam

Namun, hati ini terus terusik membayang sosok jahanam yang bersua alim penuh wibawah

Jiwa ini terus merana lantas kau tinggalkan sobekan hati yang teriris

Oh sepotong senja ditapak jejak tapal merindu

Ku hanya bisa mengenang kisah itu walau pergimu tak kunjung kembali

Tak seperti senja yang tiap hari menyapa bumi

Kau pergi lenyap hingga aq bagaikan mahkluk perindu dibawa kolong langit

Jejak-jejak kisah mengingat, merindu sosok ada yang sekarang tiada





Kota Reinya Larantuka 2019

Minggu, 15 September 2019

ROMANTISME DALAM NOVEL

ROMANTISME DALAM NOVEL

2.1 Tinjauan Tentang Novel
    2.1.1 Pengertian Novel
                        Terminologi novel berasal dari kata bahasa Latin, yaitu novellus yang mana kata tersebut merupakan turunan dari kata novies yang berarti “baru” (Tarigan, 2015: 167). Arti kata tersebut tentu saja merujuk pada kelahiran novel sebagai karya sastra yang muncul kemudian jika dibandingkan dengan puisi dan cerpen. Novel merupakan bentuk prosa, genre sastra selain dari puisi dan drama. Menurut Warsiman (2017: 129) novel merupakan sebuah prosa naratif fiksional. Artinya bahwa novel merupakan sebuah karya sastra yang menceritakan kisah fiksi. Sedangkan Priyanti (2010: 126), menyatakan bahwa novel adalah salah satu dari sekian banyak karya fiksi berbentuk cerita rekaan yang menyampaikan suatu cerita tentang kehidupan pelaku dan cerita yang dapat diamati dan dihayati oleh pembaca.
Novel juga merupakan prosa yang panjang, mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang disekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. Prosa fiksi (novel) dibangun oleh dua unsur, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun prosa fiksi (novel) dari dalam seperti alur, tema, plot, amanat dan lain-lain. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur yang membangun sastra dari luar seperti pendidikan, agama, ekonomi, filsafat dan psikologi.
          Novel atau sering disebut roman adalah suatu cerita prosa yang fiktif dengan ukuran panjang tertentu, yang melukiskan para tokoh, gerak serta adegan nyata yang respresentatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau atau kuat. Secara umum novel bercerita tentang tokoh-tokoh dan perwatakan tokoh dalam kehidupan sehari-hari dengan menitikberatkan pada sisi-sisi yang berbeda dari sebuah naratif yang dibangun (Warsiman, 2017:129). Dalam arti luas, novel adalah cerita berbentuk prosa dalam ukuran yang lebih luas. Ukuran yang luas disini dapat berarti cerita dengan alur yang kompleks, karakter yang banyak, tema atau permasalahan yang luas ruang lingkupnya, suasana cerita yang beragam, dan latar yang beragam pula. Berdasarkan beberapa pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa novel merupakan sebuah hasil karya sastra yang berjenis narasi yang mengandung unsur intrinsik dan ekstrinsik karya fiksi yang mana kehadirannya dapat memberikan gambaran atau pemahaman akan cara berada melalui alur cerita. Cerita fiksi ini lahir dari sebuah imajinasi yang dihasilkan oleh pengarang adalah realitas atau fenomena-fenomena kehidupan yang dilihat dan dirasakan.

2.1.2 Ciri-Ciri Novel
                 Tarigan (2015: 173-175), secara umum membuat perbedaan antara cerpen dan novel. Perbedaan itu merupakan ciri khas atau keunikan dari kedua karya sastra tersebut. Namun dalam poin ini akan dijabarkan mengenai ciri khas novel. Adapun ciri khas novel tersebut adalah sebagai berikut:
1.    Jumlah katanya harus lebih dari 35.000 kata
2.      Minimal 100 halaman
3.      Waktu untuk membaca novel setidaknya 2 jam atau 120 menit
4.      Ceritanya memiliki pengaruh, efek dan juga emosi
5.      Memiliki alur cerita yang cukup kompleks
6.      Ceritanya panjang dan terdapat beberapa kalimat yang berulang-ulang
7.      Ruang lingkup cerita yang ada dalam novel lebih luas
8.      Novel ditulis dengan kalimat narasi, lalu diperjelas dengan kalimat deskriptif sehingga pembaca jadi tahu seperti apa situasi dan kondisi yang dialami tokoh dalam novel tersebut

2.1.3 Jenis-Jenis Novel
                  Ada beberpa jenis novel yang kan diuraikan dalam poin ini, yakni:
1.  Jenis Novel Berdasarkan Nyata atau Tidaknya Kejadian:
a.       Novel Fiksi adalah novel yang tidak nyata atau tidak tidak terjadi pada kehidupan nyata
b.      Novel Non-Fiksi adalah novel yang pernah ada atau nyata adanya
2.  Jenis Novel Berdasarkan Genre Ceritanya:
a.       Novel Romantic adalah novel yang berupa kasih sayang dan cinta
b.      Novel Horor adalah novel yang berisi tentang hal yang menyeramkan
c.       Novel Komedi adalah novel yang berisi hal lucu
d.      Novel Inspiratif adalah novel yang berisi kisah inspiratif
3.  Jenis Novel Berdasarkan Isi dan Tokoh:
a.       Novel Teenlit adalah novel yang berisi tentang remaja
b.      Novel Chicklit adalah novel yang berisi tentang perempuan muda
c.       Novel Songlit adalah novel yang diambil dari sebuah lagu
d.      Novel Dewasa adalah novel yang berisi tentang cerita orang dewasa

2.1.4  Unsur-Unsur Novel
                    Unsur dari novel terdiri dari dua bagian yakni unsur intrinsik dan ekstrensik. Kedua unsur tersebut dapat dijabarkan demikian:

1.  Unsur Intrinsik Novel
Unsur intrinsik novel merupakan aspek pendukung cerita dalam sebuah novel. Menurut Nurgiyantoro (2013: 30), unsusr intrinsik novel merupakan unsur-unsur yang kehadiranya membangun karya sastra itu sendiri, unsur yang membangun cerita. Unsur-unsur  itu meliputi: cerita, tema, tokoh, penokohan, plot, setting,  sudut pandang, gaya bahasa, tema, dan lainnya (Warsiman, 2017: 134-135). Adapun penjelasan dari aspek pendukung novel itu adalah demikian:
a.       Tema merupakan ide pokok yang menjiwai seluruh cerita atau sering dikatakan sebagai pokok permasalahan suatu novel
b.      Tokoh dan penokohan. Tokoh merupakan salah satu yang disajikan pengarang dalam susunan cerita. Ada beberapa jenis tokoh dalam sebuah novel, yakni:
1. Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan
2. Tokoh protagonis dan antagonis
3. Tokoh sederhana dan tokoh bulat
4. Tokoh statis dan tokoh berkembang
5. Tokoh tipikal dan netral
                               Sedangkan menurut Ahadiat (2007:36) penokohan adalah bagaimana cara pengarang menggambarkan dan mengembangkan watak tokoh-tokoh dalam sebuah prosa. Penokohan atau sering dikenal dengan karakterisasi atau perwatakan.
c.       Alur merupakan kumpulan peristiwa yang membentuk jalan cerita dalam suatu novel. Biasanya alur dibedakan menjadi dua yaitu alur maju dan alur mundur. Alur maju merupakan alur yang bergerak maju secara bertahap sesuai urutan kronologis sebuah cerita, sedangkan alur mundur merupakan alur yang menampilkan peristiwa masa lalu karena berkaitan dengan peristiwa yang sedang berlangsung
d.      Gaya Bahasa adalah kemampuan pengarang dalam menceritakan situasi dan kondisi yang berlangsung dalam suatu novel. Adapun gaya bahasa yang sering dipakai dalam novel adalah personafikasi, simile dan hiperbola. Personafikasi merupakan gaya bahasa yang mendeskripsikan benda mati seperti seorang manusia, dengan cara menggunakan berbagai macam kata sifat. Berbeda dengan simile merupakan gaya bahasa yang mendeskripsikan sesuatu objek atau kejadian dengan perumpamaan. Sedangkan hiperbola merupakan gaya bahasa yang sengaja mendeskripsikan suatu hal dengan berlebihan
e.       Lattar (setting) adalah gambaran agar pembaca tahu seperti apa situasi dan kondisi yang berlangsung dalam suatu cerita. Latar bisa berupa latar waktu, latar tempat, latar suasana
f.       Sudut pandang merupakan cara pandang pegarang terhadap berbagai kejadian yang berlangsung dalam novel
g.      Amanat merupakan sebuah pesan moral yang ditujukan untuk para pembacanya

2.  Unsur Ekstrinsik Novel
                    Unsur ekstrinsik novel merupakan unsur pembangun novel yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan dari teks sastra tersebut (Nurgiyantoro, 2013: 30). Unsur ini meliputi latar belakang pengarang, adat istiadat, pandangan hidup, situasi politik, ekonomi, sejaran dan pengetahuan agama. Beberpa unsur tersebut dapat dijabarkan demikian:
a.       Biografi pengarang sangat berpengaruh pada isi cerita dalam suatu novel
b.      Situasi dan Kondisi merupakan salah satu unsur yang bisa mempengaruhi hasil karya novel
c.       Nilai-nilai dalam cerita seperti nilai moral, nilai sosial, nilai budaya, nilai estetika dan lain sebagainya. Nilai moral yaitu berkaitan dengan akhlak atau budi pekerti baik buruk. Nilai sosial hal-hal yang berkaitan dengan norma-norma dalam kehidupan masyarakat (misalnya saling memberi, menolong, dan tenggang rasa). Nilai budaya konsep masalah dasar yang sangat penting dan bernilai dalam kehidupan manusia (misalnya adat istiadat, kesenian, kepercayaan, upacara adat). Nilai estetika nilai yang berkaitan dengan seni.

2.Romantisme
a.     Pengertian
Terminologi romantisme berasal dari bahasa Prancis yakni “romans”. Term tersebut memiliki arti vernacular atau diterjemahkan dengan kata “asmara”. Pada abad pertengahan (mediovel), romantisme diartikan sebagai sebuah kisah ksatria yang ditulis dalam salah satu bahasa cinta, biasanya terdapat didalam ayat, dan sering mengambil bentuk sebuah pencarian, penggunaan kata-kata asmara dan romantis dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut bertujuan untuk menggambarkan intensitas pengalaman emosional seseorang.  Berdasarkan studi historisitas, romantisme sendiri muncul pada abad ke-18 dan ke-19. Pada saat itu terminologi romantisme digunakan sebagai pengalaman intelektual seseorang (Heath and Judy Borehan, 2002 : 1)
Romantisme merupakan sebuah gerakan dalam filsafat yang menentang aliran seni neoklasikisme yang sudah berpuluh-puluh tahun lamanya bertumbuh dan ada di Prancis. Nama romantik sendiri berasal dari terminologi romans,yaitu narasi heroik prosa atau puitis yang berasal dari sastra abad pertengahan dan romantik. Gerakan ini mengangkat tema seni besar seperti gerakan rakyat, alam, dan kebiasaan serta menganjurkan epistemologi atau pengetahuan yang mendasar pada kosmos dalam bentuk bahasa, kebiasaan, dan tradisi. Arya-karya yang dilahirkan tentu mengandung unsur atau nilai estetikanya. Kaum romantisme menentang aliran seni neoklasikisme sebab aliran ini lebih   menekankan akal atau rasionalitas dalam berkarya, menampilkan tema-tema cerita klasik, dan tidak menonjolkan peranan unsur pribadi.
Aliran ini muncul pada abad ke-18, namun pengaruhnya masih dapat dirasakan dalam dunia postmodern kini. Pelopor gerakan romantisme ini adalah Theodore Gericault pada tahun 1971-1824. Romantisme merupakan aliran yang menggunakan prinsip bahwa karya sastra merupakan cerminan kehidupan realistik yang menggambarkan kehidupan manusia yang berliku-liku dengan menggunakan bahasa yang indah sehingga dapat menyentuh emosi pembaca. Keindahan menjadi fokus utama dalam romantisme (Endaswara, 2003 : 33). Aliran romantisme lebih mementingkan curahan perasaan yang indah dan menggetarkan jiwa. Aliran ini di cirikan oleh minat pada alam, latar di masa lalu, kemurungan, kesedihan, kegelisahan serta kespontanan dalam pemikiran, tindakan yang jauh dari realita.
Menurut Sumarjo (2006: 243), romantik merupakan sebuah terminologi dalam kesusasteraan untuk mengambarkan karya perasaan yang mendalam ketimbang segi intelektualnya. Karya sastra romantik ini acapkali mengandung pemujaan terhadap keagungan baik dalam pelukisan karakter, pelukisan peristiwa, maupun suasana sehingga jauh dari pemahaman realita. Romantisme adalah aliran karya sastra yang mengedepankan perasaan, sehingga obyek yang dikemukaan tidak lagi original, tetapi sudah bertambah dengan  unsur perasaan  si pengarang (Oktavia, 2010). Menurut Damono (2005: 18) menyatakan dengan gamblang bahwa, romantisme merupakan gerakan kesenian yang mengunggulkan perasaan (emotion, passion) dan imajinasi serta intuisi. Sedangkan dalam kamus Filsafat, romantisme mengandung beberapa pengertian utama. Pengertian tersebut dapat diuraikan demikian (Bagus, 1996: 956):
(a) letak penekanan dalam aliran romantisme  adalah pencerapan (sensasi) langsung dan perasaan-perasaan yang kuat yang timbul karena kosmos atau peristiwa dalam kosmos,
 (b) kecendrungan mempersonifikasikan alam dan kecendrungan untuk secara emosional mengidentikan diri dengan proses-proses dan kekuatan-kekuatan alam,
 (c) penekanan terhadap keunikan,
(d) kebencian terhadap hal yang teratur, rasional, intelektual, dan moderat,       (e) hasrat akan kebebasan.

Berangkat dari pengertian romantisme yang dikemukakan oleh para ahli di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa romantisme merupakan sebuah aliran dalam filsafat dan juga sebuah gerakan seni sastra yang mana mengedepankan keindahan ketimbang rasionalitas manusia. Keindahan tersebut dapat diekspresikan melalaui aneka karya seni dan sastra.

b.       Ciri-Ciri  Romantisme
Romantisme yang adalah sebuah aliran dalam kesusasteraan memilki beberapa ciri utama. Ciri-ciri tersebut adalah kembali ke alam, individual, primitif, sentimental, dan melankolik (Darmono, 2005: 153). Kelima ciri tersebut dapat diuraikan secara singkat demikian:
a.       kembali ke alam
Adagium kemabli ke alam atau “Back to Nature” adalah sebuah cetusan pemikiran dari seorang filsuf kondang dari Prancis yakni, Jean Jacques Rousseau (1712-1778). Ia mengajak manusia agar berpulang ke alam. Menurutnya segala sesuatu yang dekat dengan alam dan murni, yang indah dan baik, dapat dilihat, dirasakan maupun didengar itulah yang dinamakan kembali ke alam. Selain itu, alam dapat digunakan sebagai sesuatu yang mendukung dan menentukan perasaan hati manusia. Perasaan hati yang muncul bergantung pada  kondisi alam yang terjadi saat itu. Bagi kaum Romantik keindahan kosmos adalah corak khas  pada zaman romatisme.
b.      kemurungan atau melankolis
Kemurungan atau sering dikenal dengan melankolis merupakan sebuah unsur penting bagi seorang pengarang novel. Sebab dengan kemurungan diyakini seorang penulis novel dapat menemukan inspirasi dalam menulis. Dengan demikian, kemurungan menelurkan sebuah hasil karya yang berciri romantis. Disamping itu menekankan kemurungan dan suram dapat menjadikan novel menjadi lebih hidup. Biasanya tema kemurungan lebih bersifat melankolis.
c.       primitivisme
Primitivisme adalah sebuah paham yang lebih merujuk kepada hal-hal alamiah, yaitu bebas dari rasionalitas, peraturan-peraturan, konvensi-konvensi budaya yang komplek dan lain sebagainya. Kaum primitivis menghimbau kembalinya rasa cinta tanah air serta meratapi hilangnya kemegahan masa lalu. Primitivisme dapat diartikan juga bahwa kehidupan yang ada di desa jauh lebih layak dan baik sebab mereka selalu mendekatkan diri terhadap kosmos. Hal tersebut tentu saja berbanding terbalik dengan kehidupan di kota yang mana selalu dihantui dengan kejahatan-kejahatan sosial.
d.      sentimentalis
Sentimentalisme merupakan sebuah ekspresi diri dalam hal ini ungkapan emosi yang ditujukan secara berlebihan dan tidak pada lokusnya. Dalam sebuah karya sastra dalam hal ini novel, ungkapan emosi diuangkapkan atau digambarkan dengan birahi dan bercorak natural.
e.       individualis
Pengarang romantik dalam mpengaktualisasian diri berupa karya sastra yakni novel tidak hanya cenderung bergulat seputar perasaan serta dunia mimpi semeta tetapi juga harus mencari dan menemukan pengalaman emosional dalam dunia eksternal. Dalam fase ini, seseorang tokoh sering merasakan tenggelam dalam keinginan maupun emosi yang dipengaruhi oleh himbauan sugesti dan misteri. Sehingga menjadikan karya sastra lebih supernatural dan lebih terlihat keindahannya. Jadi, keindahan selalu ditampilkan dalam sebuah karya seorang pengarang.

c.        Aspek Romantisme
Romantisme novel memiliki aspek penting di dalamnya. Aspek romantisme merupakan sebuah ciri khas yang membedakan kesusastraan novel romantik. Aspek romantisme meliputi aspek intensitas emosional, aspek percintan, dan aspek ekspresi. Penjabaran dari ketiga aspek itu adalah demikian:


1.      Aspek Intensionalitas emosional
Intensionalitas emosional terdiri dari dua suku kata yakni intensionalitas dan emosional. Terminologi intensionalitas berasal dari kata bahasa inggris yakni intentionality. Terminologi ini dapat diartikan dengan sebuah kemampuan kesadaran untuk menghasilkan suatu obyek mental yang tidak harus ada di dunia luar, menerapkan isinya pada kenyataan, dan mengarahkan kegiatan menuju hasil (Bagus, 1996: 362). Tokoh terkemuka dalam pandangan  ini adalah Husserl dan juga Brentano. Menurut Brentano, intensionalitas mencirikan seluruh realitas psikis sebagai intensional artinya menyangkut tingkah laku manusia yang bersebab dan berakibat. Sedangkan emosional merupakan gambaran karakteristik manusia yang menyentuh perasaan. Dengan demikian, intensitas emosional merupakan sebuah tingkatan perasaaan seseorang. Tingkatan perasaan itu digambarkan oleh pengarang dalam novel yang mana memiliki tujuan untuk menghidupkan cerita dalam setiap alur cerita. Novel romantisme juga memiliki aspek ini. Aspek intensitas emosional menurut Golemen (dalam Ali dan Asrori, 2008: 62-63) meliputi: amarah, kesedihan, rasa takut, jengkel, terkejut, dan lain sebagainya.
  1. Aspek percintaan
            Cinta merupakan sebuah ungkapan atau ekspresi diri seseorang. Hal ini nampak jelas dalam perbuatan ataupun dalam gaya komunikasi seseorang yang mendeskripsikan kehidupannya yang penuh dengan nilai-nilai cinta. Cinta yang dimiliki seseorang tersirat dengan jelas juga dalam karya kesusastraan seperti dalam novel. Dalam novel, pengarang menggambarkan penokohan atau tokoh yang mengekspresikan dirinya atau menghidupi nilai-nilai romantis. Dengan demikian, unsur romantisme aspek percintaan dapat diketahui dengan gemblang dari tokoh atau penokohan seseorang dalam novel.
Aspek percintaan dapat didefinisikan sebagai sebuah ungkapan rasa kasih sayang atau perasaan suka seseorang antara pihak laki-laki dan perempuan (Anwar, 2003 : 110). Hal yang menggambarkan aspek percintaan adalah mengenai persolan birahi, perasaan saling menyukai, menaruh kasih sayang, simpatik, selalu teringat dan terpikir dalam hati, susah hati, risau, kemesraan, sedih dan perasaan-perasaan lainnya.
Menurut Faruk (dalam Fitrianingsih, 2016) menyatakan bahwa aspek romantisme percintaan dalam sebuah novel merupakan perpaduan atau kesatuan antara kehidupan dunia nyata dan dunia ideal. Tolok ukur analisis aspek percintaan dalam novel romantisme berkaitan erat dengan perihal kasih sayang antara pelaku utama dan pelaku lawan jenisnya, seperti cinta, kemesraan, perasaan sedih dan perasaan lain sebagainya.

  1. Aspek Ekspresi
            Ekspresi merupakan sebuah unsur penting dalam sebuah karya sastra. Dalam novel ekspresi memainkan peranan sangat penting. Hal ini bertujuan untuk menghidupkan susasana cerita yang digambarkan oleh pengarang dalam diri tiap tokoh atau penokohan. Pada zaman romantisme, ekspresi digambarkan atau dilukiskan dengan perasaan emosi, hasrat cinta yang tidak dikendali, dan lain sebagainya. Menurut  Planap (dalam Retnowati, Widhiarso dan Rohmani. 2003) aspek ekspresi mencakup: a) raut muka yang ditandai dengan rasa riang, sedih, nangis, dan lain lain, b) pengungkapan kata seperti gerutu, mengomel, dan lain sebagainya, c) isyarat gerak, dan d) kontrol.



3.       Aliran Dalam Karya Sastra
Romantisme yang merupakan sebuah gerakan seni sastra dan intelektual yang lahir pada revolusi industri di Eropa Barat pada abad ke XVIII memiliki sejarah perkembangannya. Aliran-aliran dalam karya sastra itu adalah sebagai berikut:
a)      Aliran Klasik 
Aliran klasik merupakan sebuah aliran yang dianut dalam kesustraan yang paling kuno keberadaannya. Aliran ini  menekankan aspek rasionalitas sebagai dasar dalam segala sesuatu. Hal ini merujuk pada pemahaman dasar dari seorang tokoh filosofis kondang yakni Rene Decarte, mengenai “corgito ergo sum”. Dasar pemikiran tersebut diartikan sebagai “Aku berpikir, maka aku ada” Konsep pemikiran Descarte mengenai rasionalitas menjadi titik pergumulan dalam dunia filsafat dan mengguncangkan dunia. Dari situlah rasionalitas diagung-agungkan atau dibanggakan. Konsep pemikiran dari Descartes tersebut merangsek masuk dalam karya sastra. Segala karya cipta juga harus merujuk pada daya pikir  dan imajinasi seorang pengarang. Selain itu, aliran klasik menampilkan tema-tema cerita klasik sebagai cerminan kehidupan. Aliran klasik dalam karya sastra seperti novel merupakan sifat karya sastra yang bernilai tinggi. Aliran ini memiliki keistimewahan dalam segi seni dan kemanusiaan. Namun, eksistensi aliran ini mendapat sorotan dari kaum sastrawan sebab aliran ini dituduh mengahambat kemajuan dan perkembangan sastra. Hal ini nampak jelas dalam kaidah-kaidah yang dianggap rigid atau ketat dalam pembahasannya.

b)       Aliran Romantik
                        Eksistensi aliran romantik merupakan tanggapan atas kemapanan rasionalitas yang mendominasi. Kehadiran romantisme menentang aliran neoklasikisme sebab alran ini sangat mengagung-agungkan rasionalitas. Aliran ini sangat mengedepankan pendekatan emosional dalam berkarya,  romantisme lebih banyak menampilkan tema-tema kehidupan dunia misteri, tema yang eksotik, cerita roman, dan lain sebagainya, dan juga menampilkan kebebasan, serta menonjolkan perasaan pribadi seniman. Dalam aliran romantisme, perasaan ditonjolkan dari pada unsur rasionalitas manusia. Kehadiran aliran romantik tidak hanya menentang aliran klasik namun merombak segala tatanan kehidupan serta kaidah-kaidah yang mengikat kuat aturan kesusastraan. Dengan demikian, romantisme merupakan sebuah gerakan kesenian yang menonjolkan perasaan (emotion, passion) dan imajinasi serta intuisi (Zaidan dan Wasono, 2005: 51)
             
c)       Aliran realisme
                        Aliran realisme merupakan aliran dalam karya sastra yang selalu memperhatikan dan menulis sesuatu secara apa adanya dan bukan atas kekuatan imajinasi. Aliran ini melihat segala sesuatu dengan penuh realistis. Menurut para realis sesuatu tidak boleh diperindah atau atau dilukiskan lebih buruk dari pada keadaan sebenarnya itu dalam pandangan yang objektif tidak seperti romantikus yang melihat sesuatu dengan perasaan sendiri atau subjektif. Aloran ini tentu berbeda dengan aliran romantisme yang mana suka lari ke zaman klasik yang belum diketahuinya untuk mengelakkan kepahitan zaman dan negerinya sendiri. Aliran realisme menghendaki agar suka menghadapi zaman dan masyarakat sendiri.







3.Kerangka Konseptual
Romantisme dalam novel Akik dan Penghimpun Senja ditinjau dari intensitas emosional
1.      Amarah
2.      Kesedihan
3.      Rasa takut
4.      Kenimatan
5.      Malu
6.      Cinta

(Golemen (dalam Ali dan Asrori, 2008: 62-63)


Romantisme dalam novel Akik dan Penghimpun Senja karya Afifah Afra
Novel
Pendekatan kualitatif
Romantisme dalam novel Akik dan Penghimpun Senja ditinjau dari aspek percintaan
Romantisme dalam novel Akik dan Penghimpun Senja ditinjau dari intensitas emosional
Romantisme dalam novel Akik dan Penghimpun Senja ditinjau dari aspek ekspresi
Romantisme
Data
Analisis novel Akik dan penghimpun Senja karya Afifah Afra
Pengumpulan
Pengelolahan
Hasil
Romantisme dalam novel Akik dan Penghimpun Senja ditinjau dari aspek ekspresi
1.      Raut muka
2.      Pengungkapan kata
3.      Isyarat gerak
4.      kontrol
Planap (dalam Retnowati, Widhiarso dan Rohmani. 2003)
Romantisme dalam novel Akik dan Penghimpun Senja ditinjau dari aspek percintaan
1.      Perasaan menyukai
2.      Menaruh kasih saying
3.      Selalu teringat dan berpikir dalam hati
4.      Susah hati
5.      Risau
6.      Kemesraan.
Faruk (dalam Fitrianingsih, 2016)


 






















Daftar Pustaka Bab 2

Tarigan, Hendry Guntur. 2015. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: CV. Angkasa.
Warsiman. 2017. Pengantar Pembelajaran Sastra: Sajian dan Kajian Hasil Riset. Malang: UB  Press.
Bagus, Lorens. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.
Nurgiyantoro, Burhan. 2013. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ali, Mohammad dan Mohammad Asrori. 2008. Psikologi Remaja PerkembanganPeserta Dikdik. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Retnowati, S. Widhiarso, W. & Rohmani, K. W. 2003. Peran Keberfungsian Keluarga Pada Pemahaman dan Pengungkapan Emosi. Jurnal Psikologi, th XXX No. 2.
Zaidan, Abdul Rozak, Sunu Wasono. 2005. Membaca Romantisme Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.
Fitrianingsih, Endah. 2016. Romantisme Pada Novel Soekarno Kuantar Ke Gerbang Karya Ramadhan K.H Dan Rancangan Dalam Pembelajaran Sastra di SMA”Skripsi tidak diterbitkan. Lampung: Universitas Lampun