Selasa, 19 November 2019

Sepotong Senja di Kuburan


(Y. B. Keban )





Oktober kelabu bulan itu bulan di mana insan diri ini berkenalan dan bersua
Insan diri yang haus akan penantian yang pasti akan sosok idaman peneman hidup yang redup dijalan ibarat pelita yang kehabisan minyak di tengah malam yang pekat. Aku bagaikan muzafir tanpa arah dan tujuan. Orientasi hidup yang kabur ibarat selalu melepaspisah sosok-sosok dahulu. Bukankah ini karma? Atau inikah yang dinamakan anak millennial zaman now sebagai jaga orang pu jodoh? Entahlah, tandasku dalam hati. Aku seakan merindukan sosok peneman sejatih tanpa memikirkan jelita dan cantiknya penampilan sebab bagiku itu hanyalah atribut dalam rasa cinta. Ku terus melakoni hidup dalam kesendirian yang sepih tanpa ada rasa cinta. Aku sepertinya kehilangan sosok penyemangat dalam hidup. Adanya aku adalah sepih. Hari-hariku adalah kesendirian aku dikolom langit yang ceriah. Diri ini kadang merasa jengkel dan marah pada Tuhan yang sudah menciptakan Perempuan pada masa itu di Kebun Eden. “Mengapa kau ciptakan Perempuan itu, Tuhan?” Kemarahanku tentu beralasan pada sosok-sosok  perempuan yang belakangan beringsut dari relung hati ini. Ibarat semut yang beringsut pelan dari lobang tanah. Inikah namanya sepih. Kesendirian hidupku terasa asing ditengah percaturan hidup yang menampilkan aneka rasa cinta. Aku perlahan bangkit. Perlahan aku berdiri dan bernazar tak mau meratapi kisah kelam masa lampau itu. Aku harus menemukan identitasku sebagai pria pecinta. Ini adalah kaul diri tak bertepi bahwa pertobatan akan ada jika ada kemauan dalam diri. Nazar dihadapan Tuhanku sungguh benar dan tepat. Ia mendengarkan doa orang bersalah yang setia. Aku pun diberikan cara tuk mendekatkan sosok kalem ciptaannya.
Hari itu, langit kota Reinya cerah. Matahari menyengat tubuh dengan begitu dahsyatnya. Sungguh panas kota ini. Sehingga berjudel-judel manusia kota Reinya memilih bersantai dibawa naungan pohon dan sepanjang pesisir pantai. Aku terlarut dalam rutinitasku yang begitu banyak. Maklum kuharus menyelesaikan aneka tugas menumpuk menjelang hari akreditasi. Namun dicelah kesibukanku  aku mengambil telefon Oppo dari laci meja lalu mencoba menghubungi makhluk Tuhan lainnya. Aku mendapatinya yang sedang larut dalam kesedihan yang dalam. Aku perlahan memberikan peneguhan, kata-kata bijak yang mampu mengangkat dia dari keterlenaan duka. Ia seakan-akan belum bisa berdamai dengan situasi pahit itu. Sebab situasi ini adalah akhir dari pengalaman adanya manusia sebagai yang bereksistensi dalam dunia. Perlahan aku ingin mengenalnya lebih dekat. Hingga aku memutuskan tuk menjemputnya nanti senja.
Senja itu adalah senja dimana pertama kali aku bersua dengan sosok itam manis titipan sang Dewa. Kuberanikan niat dalam diri tuk harus menyapa dan menjemputnya. Niat baikku direspon dingin lantaran ia sangat hati-hati dalam pertemanan. Mungkin baginya aku adalah sosok jahil yang hendak mencampakannya dari bumi ini. Namun, dugaannya itu meleset sebab aku adalah manusia pecinta yang romantis. Heeeeeee.  Jarum jam terus berputar menunjukan pukul 17.30.  Aku terus menancap gas Shogun SP merah hitam, motor tua racing dijalanan menuju Postoh. Racing motor dijalanan menyita mata pengguna jalan. Mereka terus mewanti-wanti dari jauh seakan kami adalah sepasang sejoli yang sudah lama menjalin tali kasih. Ah malas tau aku, apa kata mereka. Perlahan-lahan kami sampai di kompleks pekuburan umum kota Reinya. Kami berjalan menuju lorong mengahampiri salib Yesus Kristus di tengah kubur. Kami berhenti sejenak dan mulai membakar lilin. Nyala lilin membisukan percakapan kami. Perlahan kuamatinya, sosok manis disampingku. Ia mulai membuat tanda kemenangan. Aku tersenyum tipis sambil mengangkat tanganku dan membuat tanda kemenangan. Saat itulah aku menyadari bahwa doa adalah segala-galanya. “Tuhan bukanlah Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup”. Dalam diam aku meliriknya yang begitu khusuk dalam doa. Aku perlahan mengaguminya, maklum ia adalah seorang katekis junior di kota ini. Setelah itu, kami berangkat menuju tempat terakhir di mana ibundanya di semayamkan. Kuburnya masih sangat sederhana dan belum didesain seindah mungkin. Maklum baru beberapa minggu meningglanya. Aku menyodorkan tangan tanpa kata. Rupanya ia menyadari bahwa yang aku minta adalah lilin.  Ia mengambilnya dalam tas lalu memberikan itu kepadaku. Aku menyalahkan lilin itu dan perlahan aku diam beribu dia. Tanpa kata aku terus memperhatikan dia. Perlahan ia larut dalam duka yang dalam. Aq terus diam. Bunyi-bunyian jangkrik dalam keremangan sore menyadarkan aku akan waktu yang sebentar lagi malam. Ia pun menyadari hal itu. Lalu perlahan ia memberikan kode untuk pulang. Senja itu bagiku adalah sebuah hal yang luar biasa. Aku perlahan menyadari bahwa sosok ini begitu lembut dan dewasa. Senja ini menceritakan insan Tuhan yang begitu bersahaja dan penuh ketegaran. Tanpa berlama-lama, aku pun bernazar bahwa aku akan menghabiskan banyak waktu bersama insan ini dari sepotong senja ini. Senja dikuburan menjadi awal nazarku pada Tuhanku bahwa akan kuperjuangkan sosok ini menjadi pendampingku kelak. Aku akan perlahan mencintainya dalam sabar hingga waktu itu tiba. Nazarku disepotong senja di kuburan.



Kota Reinya Larantuka,
Midiovel, November 2019

Kamis, 14 November 2019

Tapal Batas Merindu


(Y. Belen Keban)





Tapak setapak pijak jejak di tapal batas merindu

Mengigat akan senyum dan aroma parfum memanja diri

Ku melamun disepotong senja

Merindu kisah yang pernah berpadu

Merakit kasih yang tak dapat bermesrah lama

Pergi adalah sepenggal kata

Ia hanya sepotong suku kata per-gi

Namun ia menyiksa jiwa

Merontah rontah keinginan yang tak sampai

Meratap terus kisah yang tak bersua

Sepotong kecewa mengingat lalu marah datang menghampir

Mengapa kau kenal daku

Mengapa kisah itu ada

Kau hanya pelipur lara dikalah madu melimpah

Lalu pergi dalam gelap di tapak batas ini

Kisah itu hanya kecewa terlahir

Merakit janji yang tak pernah teralisasi

Ibarat politisi janji

Kejam kisah disepotong senja itu

Senja yang menawar pergi

Ibarat ia pamit pada gelapnya malam

Namun, hati ini terus terusik membayang sosok jahanam yang bersua alim penuh wibawah

Jiwa ini terus merana lantas kau tinggalkan sobekan hati yang teriris

Oh sepotong senja ditapak jejak tapal merindu

Ku hanya bisa mengenang kisah itu walau pergimu tak kunjung kembali

Tak seperti senja yang tiap hari menyapa bumi

Kau pergi lenyap hingga aq bagaikan mahkluk perindu dibawa kolong langit

Jejak-jejak kisah mengingat, merindu sosok ada yang sekarang tiada





Kota Reinya Larantuka 2019