(Y. B. Keban )
Oktober kelabu bulan itu bulan di mana insan diri
ini berkenalan dan bersua
Insan diri yang haus akan penantian yang pasti akan
sosok idaman peneman hidup yang redup dijalan ibarat pelita yang kehabisan
minyak di tengah malam yang pekat. Aku bagaikan muzafir tanpa arah dan tujuan. Orientasi
hidup yang kabur ibarat selalu melepaspisah sosok-sosok dahulu. Bukankah ini
karma? Atau inikah yang dinamakan anak millennial zaman now sebagai jaga orang
pu jodoh? Entahlah, tandasku dalam hati. Aku seakan merindukan sosok peneman
sejatih tanpa memikirkan jelita dan cantiknya penampilan sebab bagiku itu
hanyalah atribut dalam rasa cinta. Ku terus melakoni hidup dalam kesendirian
yang sepih tanpa ada rasa cinta. Aku sepertinya kehilangan sosok penyemangat
dalam hidup. Adanya aku adalah sepih. Hari-hariku adalah kesendirian aku
dikolom langit yang ceriah. Diri ini kadang merasa jengkel dan marah pada Tuhan
yang sudah menciptakan Perempuan pada masa itu di Kebun Eden. “Mengapa kau
ciptakan Perempuan itu, Tuhan?” Kemarahanku tentu beralasan pada
sosok-sosok perempuan yang belakangan
beringsut dari relung hati ini. Ibarat semut yang beringsut pelan dari lobang
tanah. Inikah namanya sepih. Kesendirian hidupku terasa asing ditengah
percaturan hidup yang menampilkan aneka rasa cinta. Aku perlahan bangkit. Perlahan
aku berdiri dan bernazar tak mau meratapi kisah kelam masa lampau itu. Aku harus
menemukan identitasku sebagai pria pecinta. Ini adalah kaul diri tak bertepi
bahwa pertobatan akan ada jika ada kemauan dalam diri. Nazar dihadapan Tuhanku
sungguh benar dan tepat. Ia mendengarkan doa orang bersalah yang setia. Aku pun
diberikan cara tuk mendekatkan sosok kalem ciptaannya.
Hari itu, langit kota Reinya cerah. Matahari
menyengat tubuh dengan begitu dahsyatnya. Sungguh panas kota ini. Sehingga berjudel-judel
manusia kota Reinya memilih bersantai dibawa naungan pohon dan sepanjang
pesisir pantai. Aku terlarut dalam rutinitasku yang begitu banyak. Maklum kuharus
menyelesaikan aneka tugas menumpuk menjelang hari akreditasi. Namun dicelah
kesibukanku aku mengambil telefon Oppo
dari laci meja lalu mencoba menghubungi makhluk Tuhan lainnya. Aku mendapatinya
yang sedang larut dalam kesedihan yang dalam. Aku perlahan memberikan
peneguhan, kata-kata bijak yang mampu mengangkat dia dari keterlenaan duka. Ia seakan-akan
belum bisa berdamai dengan situasi pahit itu. Sebab situasi ini adalah akhir
dari pengalaman adanya manusia sebagai yang bereksistensi dalam dunia. Perlahan
aku ingin mengenalnya lebih dekat. Hingga aku memutuskan tuk menjemputnya nanti
senja.
Senja itu adalah senja dimana pertama kali aku
bersua dengan sosok itam manis titipan sang Dewa. Kuberanikan niat dalam diri
tuk harus menyapa dan menjemputnya. Niat baikku direspon dingin lantaran ia
sangat hati-hati dalam pertemanan. Mungkin baginya aku adalah sosok jahil yang
hendak mencampakannya dari bumi ini. Namun, dugaannya itu meleset sebab aku
adalah manusia pecinta yang romantis. Heeeeeee.
Jarum jam terus berputar menunjukan pukul 17.30. Aku terus menancap gas Shogun SP merah hitam,
motor tua racing dijalanan menuju Postoh. Racing motor dijalanan menyita mata
pengguna jalan. Mereka terus mewanti-wanti dari jauh seakan kami adalah sepasang
sejoli yang sudah lama menjalin tali kasih. Ah malas tau aku, apa kata mereka. Perlahan-lahan
kami sampai di kompleks pekuburan umum kota Reinya. Kami berjalan menuju lorong
mengahampiri salib Yesus Kristus di tengah kubur. Kami berhenti sejenak dan
mulai membakar lilin. Nyala lilin membisukan percakapan kami. Perlahan kuamatinya,
sosok manis disampingku. Ia mulai membuat tanda kemenangan. Aku tersenyum tipis
sambil mengangkat tanganku dan membuat tanda kemenangan. Saat itulah aku
menyadari bahwa doa adalah segala-galanya. “Tuhan bukanlah Allah orang mati,
melainkan Allah orang hidup”. Dalam diam aku meliriknya yang begitu khusuk
dalam doa. Aku perlahan mengaguminya, maklum ia adalah seorang katekis junior
di kota ini. Setelah itu, kami berangkat menuju tempat terakhir di mana
ibundanya di semayamkan. Kuburnya masih sangat sederhana dan belum didesain
seindah mungkin. Maklum baru beberapa minggu meningglanya. Aku menyodorkan
tangan tanpa kata. Rupanya ia menyadari bahwa yang aku minta adalah lilin. Ia mengambilnya dalam tas lalu memberikan itu
kepadaku. Aku menyalahkan lilin itu dan perlahan aku diam beribu dia. Tanpa kata
aku terus memperhatikan dia. Perlahan ia larut dalam duka yang dalam. Aq terus
diam. Bunyi-bunyian jangkrik dalam keremangan sore menyadarkan aku akan waktu
yang sebentar lagi malam. Ia pun menyadari hal itu. Lalu perlahan ia memberikan
kode untuk pulang. Senja itu bagiku adalah sebuah hal yang luar biasa. Aku perlahan
menyadari bahwa sosok ini begitu lembut dan dewasa. Senja ini menceritakan
insan Tuhan yang begitu bersahaja dan penuh ketegaran. Tanpa berlama-lama, aku
pun bernazar bahwa aku akan menghabiskan banyak waktu bersama insan ini dari
sepotong senja ini. Senja dikuburan menjadi awal nazarku pada Tuhanku bahwa
akan kuperjuangkan sosok ini menjadi pendampingku kelak. Aku akan perlahan
mencintainya dalam sabar hingga waktu itu tiba. Nazarku disepotong senja di
kuburan.
Kota Reinya
Larantuka,
Midiovel,
November 2019