SENI POLITIK DI TAHUN POLITIK
Yosep Belen Keban
Panorama Politik Kita
Negara kita sedang merayakan pesta akbar politik.
Sebulan lagi kita akan melakukan pemilihan umum. Menyongsong pesta akbar ini,
rakyat kita selalu dihantui aneka asupan informasi. Informasi yang diperoleh
itu merupakan gambaran dari elit politik tertentu. Informasi gambaran profil
seseorang tersebut bisa saja diperoleh baik secara lisan dari mulut sang
politik yang akan maju nanti, atau pun bisa berasal dari sanak saudara, handai
taulan, ataupun orang lain yang menceritakan sosok pujaannya, ataupun melalui media
massa dan juga medsos. Medsos adalah sebuah media yang paling getol memberikan
informasi mengenai sosok-sosok para calon baik itu calon legislatif maupun
presiden. Informasi yang ditemukan itu beraneka ragam di ruang publik seperti
medsos ini ada yang mengkambing hitamkan lawannya, memberi informasi hoax dan
juga ada yang memberikan informasi yang akurat. Semua informasi itu dilahap
oleh masyarakat. Nurani masyarakat teriris, tersobek lantaran diporakporandakan
oleh aneka informasi. Kebanyakan masyarakat jatuh dalam kubangan hoax yang
didesain nan rapi oleh para elit politik. Sebagian rakyat tetap teguh koko pada
penderian yang jernih bag batu wadas. Mereka tetap memfilter aneka informasi
itu, mempercai suara hati sebagai “Vox
Pupoli Vox Dei”.
Benturan informasi membuat mayarakat terbelah.
Masyarakat hidup dalam dua kubu yang berbeda lantaran mengusung para kandidat
tertentu. Ruang publik menjadi diskusi tak beretika sehingga menelurkan
kerenggangan relasional. Caci maki, saling menyerang, mengolok bahkan beradu
jutos hanya demi mempertahankan sang pujaan mereka. Lataran apakah gambaran ini
dsebut seni politik? Ketika seseorang yang berbeda haluan politik beretorika
mengenai calon idamannya, atau berkampanye visi misinya masyarakat yang kontra
pemimpin tersebut malahan bersikap cuek, dann malahan memprovokasi sehingga
menelurkan kerusuhan. Sebagai contoh, Bang Sandiaga Uno yang adalah seorang
calon wakil presiden ketika melakukan kampanye didaerah malahan diboikot,
diusir, dan tidak kala ngerinya masyarakat membentang poster atau baner para
calon lain. Hal ini pun dialami oleh Jokowi. Lantaran kita bertanya inikah
substansi dari politik? Inikah seninya berpolitik sehingga kita tak memberikan
celah bagi orang lain tuk berorasi atau berkampanye di ruang publik? Lalu apa
sejatinya politik itu?
Apa itu Politik
Permasalahan yang disuguhkan di atas merupakan
realitas politik kita ditahun politik kini. Kita tak mungkin memungkiri
realitas demikian. Diskurusus mengenai politik sudah ada sejak zaman Yunani
kuno. Adalah seorang pemikir kondang, Aristoteles mendefinisikan bahwa politik
sebagai arhitectonica atau the ruling science (Riyanto, 2011:36).
Politik sebagai architectonica
berarti politik adalah sebuah ilmu yang memiliki keanekaragaman teknik (tekne: kecakapan). Definisi itu mau
mengatakan bahwa masyarakat yang berada dalam kancah politik harus memiliki kepasitas kecakapan.
Kecakapan yang dimaksud adalah mengerti atau mengetahui nilai baik-buruknya
yang kita namakan etika, memahami dengan baik keadaan sosial masyarakat atau
ilmu sosial, memahami kebijakan publik, nilai budaya, agama dan lain
sebagainya. Politik bagi Aristoteles adalah sebuah cetusan aktivitas agung dari
manusia. Dari definisi ini tentu saja bertolak belakang dengan realitas politik
kita. Kadang kala kita bersua dengan aneka praktik politik yang menyimpang dari
keagungan politik. Hal demikian tentu mengahantar kita pada daya dan gaya
politki yang jatuh dalam kubangan
kenaifan. Politik dewasa ini digambarakan atau dereduksi sebagai sebuah
pencarian, pengejaran kekuasaan bagi dirinya atau bagi kelompoknya.
Sedangkan Hanna Arendt memberikan definisi politik
yang berbeda. Bagi Arendt politik adalah “komunikasi”(Fahik. 48). Arendt
mengatakan lebih lanjut bahwa politik ada di luar manusia karena ia (politik)
baru ada ketika adanya komunikasi yang dibangun. Manusia bukanlah substansi
politis tetapi substansi yang memiliki potensi-potensi politis dan hal itu
dapat terwujud dalam aktivitas praksis komunikasi. Dengan demikian, politik itu
terwujud apabila aku hadir berbincang dengan the other. Politik perbincangan itu
hanya dapat terwujud dalam ruang publik. Rung publik sebagai locus politik. Ingat ruang publik
sebagai locus politik. Dari ruang
publiklah lahirlah kekuasaan itu sendiri.
Analisis singkat
Dari gambaran definisi kedua tokoh tersebut kita
dapat memberikan analisis singkat mengenai persoalan politik kita di tanah air.
Politik yang kita lakukan sejauh ini merupakan seni agitasi, seni mengahasut
bagi para pendukung yang lain. Kita sedang memberikan teror politik dalam dunia
maya yang adalah ruang publik. Hal-hal itu kita lakukan untuk memantik dan
menarik sempati masyarakat terhadap kandidit tertentu walaupun itu secara etis
tidak benar. Kita memanfaatkan ruang publik sebagai locus politik yang jauh dari
sentuhan realita politik dan nilai etika. Kita sedang membangun politik
kenaifan di mana jauh dari politik refleksif. Apa yang dilakukan oleh
masyarakat ketika para kandidat atau calon tertentu hendak berkampanye
didaerahnya merupakan perwujudan politik namun apabila hal itu diboikot atau
ditolak, maka sangat disayangkan sebab kita sedang membangun jurang politik.
Apabila ada penolakan, maka politik yang adalah komunikasi itu tidak pernah
ada. Sebab ruang komunikasi sudah kita jegal terlebih dahulu, tidak adanya
ruang diskursus. Hal itu menghantar kita pada kematian politik. Politik itu
mati sebab kita sudah membunuhnya. Kita yang adalah zoon politikon telah mereduksi politik itu sehingga kita tak
membiarkan seseorang yang berhaluan politik dengan kita berbicara di depan
ruang publik. Ingat ruang publik adalah locus
politik. Di situlah nurani kita bekerja.
Rekomendasi
Mari mengemabalikan politik kita pada tatanan yang
benar sesuai dengan nilai etika, sosial, budaya, agama, dll tanpa harus ada
unsur hoax, agitasi, provokasi dll. Kita biarkan para kandidat menyampaikan
materi politiknya di ruang politik sebagai ruang publik, dan sebagai warga
negara tugas kita adalah menyerap dan memfilter informasi yang disampaikan.
Jauhkan sikap sebagai warga negara yang apolitik.
Mari membangun politik yang santun, mengedepankan akal sehat, politik yang
refleksif. Ingat kita adalah ‘zoon
politikon” jangan pernah menutup ruang publik untuk berkomunikasi sebab
politik adalah diskursus. Dari diskursus/ komunikasi di ruang publik itulah
anda menentukan pilihan sesuai hati nuranimu. Di tahun politik ini mari kita membangun pilitik yang baik.
#ayo
memilih sesuai dengan suara harimu#