Senin, 18 Maret 2019

SENI POLITIK DI TAHUN POLITIK

myfilsofi.blogspot.com
SENI POLITIK DI TAHUN POLITIK  

Yosep Belen Keban

Panorama Politik Kita
Negara kita sedang merayakan pesta akbar politik. Sebulan lagi kita akan melakukan pemilihan umum. Menyongsong pesta akbar ini, rakyat kita selalu dihantui aneka asupan informasi. Informasi yang diperoleh itu merupakan gambaran dari elit politik tertentu. Informasi gambaran profil seseorang tersebut bisa saja diperoleh baik secara lisan dari mulut sang politik yang akan maju nanti, atau pun bisa berasal dari sanak saudara, handai taulan, ataupun orang lain yang menceritakan sosok pujaannya, ataupun melalui media massa dan juga medsos. Medsos adalah sebuah media yang paling getol memberikan informasi mengenai sosok-sosok para calon baik itu calon legislatif maupun presiden. Informasi yang ditemukan itu beraneka ragam di ruang publik seperti medsos ini ada yang mengkambing hitamkan lawannya, memberi informasi hoax dan juga ada yang memberikan informasi yang akurat. Semua informasi itu dilahap oleh masyarakat. Nurani masyarakat teriris, tersobek lantaran diporakporandakan oleh aneka informasi. Kebanyakan masyarakat jatuh dalam kubangan hoax yang didesain nan rapi oleh para elit politik. Sebagian rakyat tetap teguh koko pada penderian yang jernih bag batu wadas. Mereka tetap memfilter aneka informasi itu, mempercai suara hati sebagai “Vox Pupoli Vox Dei”.
Benturan informasi membuat mayarakat terbelah. Masyarakat hidup dalam dua kubu yang berbeda lantaran mengusung para kandidat tertentu. Ruang publik menjadi diskusi tak beretika sehingga menelurkan kerenggangan relasional. Caci maki, saling menyerang, mengolok bahkan beradu jutos hanya demi mempertahankan sang pujaan mereka. Lataran apakah gambaran ini dsebut seni politik? Ketika seseorang yang berbeda haluan politik beretorika mengenai calon idamannya, atau berkampanye visi misinya masyarakat yang kontra pemimpin tersebut malahan bersikap cuek, dann malahan memprovokasi sehingga menelurkan kerusuhan. Sebagai contoh, Bang Sandiaga Uno yang adalah seorang calon wakil presiden ketika melakukan kampanye didaerah malahan diboikot, diusir, dan tidak kala ngerinya masyarakat membentang poster atau baner para calon lain. Hal ini pun dialami oleh Jokowi. Lantaran kita bertanya inikah substansi dari politik? Inikah seninya berpolitik sehingga kita tak memberikan celah bagi orang lain tuk berorasi atau berkampanye di ruang publik? Lalu apa sejatinya politik itu?
Apa itu Politik
Permasalahan yang disuguhkan di atas merupakan realitas politik kita ditahun politik kini. Kita tak mungkin memungkiri realitas demikian. Diskurusus mengenai politik sudah ada sejak zaman Yunani kuno. Adalah seorang pemikir kondang, Aristoteles mendefinisikan bahwa politik sebagai arhitectonica atau the ruling science (Riyanto, 2011:36). Politik sebagai architectonica berarti politik adalah sebuah ilmu yang memiliki keanekaragaman teknik (tekne: kecakapan). Definisi itu mau mengatakan bahwa masyarakat yang berada dalam kancah  politik harus memiliki kepasitas kecakapan. Kecakapan yang dimaksud adalah mengerti atau mengetahui nilai baik-buruknya yang kita namakan etika, memahami dengan baik keadaan sosial masyarakat atau ilmu sosial, memahami kebijakan publik, nilai budaya, agama dan lain sebagainya. Politik bagi Aristoteles adalah sebuah cetusan aktivitas agung dari manusia. Dari definisi ini tentu saja bertolak belakang dengan realitas politik kita. Kadang kala kita bersua dengan aneka praktik politik yang menyimpang dari keagungan politik. Hal demikian tentu mengahantar kita pada daya dan gaya politki yang jatuh dalam kubangan  kenaifan. Politik dewasa ini digambarakan atau dereduksi sebagai sebuah pencarian, pengejaran kekuasaan bagi dirinya atau bagi kelompoknya.
Sedangkan Hanna Arendt memberikan definisi politik yang berbeda. Bagi Arendt politik adalah “komunikasi”(Fahik. 48). Arendt mengatakan lebih lanjut bahwa politik ada di luar manusia karena ia (politik) baru ada ketika adanya komunikasi yang dibangun. Manusia bukanlah substansi politis tetapi substansi yang memiliki potensi-potensi politis dan hal itu dapat terwujud dalam aktivitas praksis komunikasi. Dengan demikian, politik itu terwujud apabila aku hadir berbincang dengan the other. Politik perbincangan itu  hanya dapat terwujud dalam ruang publik. Rung publik sebagai locus politik. Ingat ruang publik sebagai locus politik. Dari ruang publiklah lahirlah kekuasaan itu sendiri.
Analisis singkat
Dari gambaran definisi kedua tokoh tersebut kita dapat memberikan analisis singkat mengenai persoalan politik kita di tanah air. Politik yang kita lakukan sejauh ini merupakan seni agitasi, seni mengahasut bagi para pendukung yang lain. Kita sedang memberikan teror politik dalam dunia maya yang adalah ruang publik. Hal-hal itu kita lakukan untuk memantik dan menarik sempati masyarakat terhadap kandidit tertentu walaupun itu secara etis tidak benar. Kita memanfaatkan ruang publik sebagai locus politik yang jauh dari sentuhan realita politik dan nilai etika. Kita sedang membangun politik kenaifan di mana jauh dari politik refleksif. Apa yang dilakukan oleh masyarakat ketika para kandidat atau calon tertentu hendak berkampanye didaerahnya merupakan perwujudan politik namun apabila hal itu diboikot atau ditolak, maka sangat disayangkan sebab kita sedang membangun jurang politik. Apabila ada penolakan, maka politik yang adalah komunikasi itu tidak pernah ada. Sebab ruang komunikasi sudah kita jegal terlebih dahulu, tidak adanya ruang diskursus. Hal itu menghantar kita pada kematian politik. Politik itu mati sebab kita sudah membunuhnya. Kita yang adalah zoon politikon telah mereduksi politik itu sehingga kita tak membiarkan seseorang yang berhaluan politik dengan kita berbicara di depan ruang publik. Ingat ruang publik adalah locus politik. Di situlah nurani kita bekerja.
Rekomendasi
            Mari mengemabalikan politik kita pada tatanan yang benar sesuai dengan nilai etika, sosial, budaya, agama, dll tanpa harus ada unsur hoax, agitasi, provokasi dll. Kita biarkan para kandidat menyampaikan materi politiknya di ruang politik sebagai ruang publik, dan sebagai warga negara tugas kita adalah menyerap dan memfilter informasi yang disampaikan. Jauhkan sikap sebagai warga negara yang apolitik. Mari membangun politik yang santun, mengedepankan akal sehat, politik yang refleksif. Ingat kita adalah ‘zoon politikon” jangan pernah menutup ruang publik untuk berkomunikasi sebab politik adalah diskursus. Dari diskursus/ komunikasi di ruang publik itulah anda menentukan pilihan sesuai hati nuranimu. Di tahun politik ini mari kita membangun pilitik yang baik.

#ayo memilih sesuai dengan suara harimu#