Minggu, 06 Desember 2020

Pu’o nuhu gi’é wewe (Bahasa Lamaholot Lamaole-Lewomaku: cuci mulut bersihkan lidah).

 

Pu’o nuhu gi’é wewe (Bahasa Lamaholot Lamaole-Lewomaku: cuci mulut bersihkan lidah).


Yosep Belen Keban   


Puo nuhu gi’é wewe merupakan sebuah istilah yang dimiliki oleh suku Lamaole dan suku Lewomaku di wilayah Flores Timur. Terminologi ini tentu merujuk pada pelanggaran moral yang berkaitan dengan aktivitas manusia. Adapun maksud dari terminologi ini adalah menarik kata-kata yang telah terucap di mana dinggap membuat nama baik orang lain tercemar. Seseorang yang menyebarkan berita miris atau gossip (hoax) terkait sesuatu persoalan terhadap orang lain dianggap sebagai nuhu wewa platé (penista atau penggosip). Penggosip dalam bahasa Lamaholot disebut sebagai koda ata alaten (Fernandez 1990: 277).

Terminologi ini adalah sebuah terminologi yang dimiliki oleh masyarakat adat di Desa Lewotanah-ole, Kecamatan Solor Barat Kabupaten Flores Timur. Di Desa ini adanya acara pembersihan diri dari perkataan yang diucapkan oleh seseorang. Kebiasaannya si penggossip ini menceritakan peristiwa-peristiwa yang dianggap tabu dalam kehidupan bersosial seperti perselingkuhan. Perselingkuhan dianggap sebagai masalah serius dan juga dipandang melanggar adat istiadat setempat. Perselingkuhan ini bisa saja terjadi baik itu dari pihak suami atau istri yang melakukan perselingkuhan atau “hubungan haram” dengan suami atau istri orang lain (temaka ata kewae ka ato temaka ata kelake ka) atau pun dengan kaum muda-mudi. Si penggossip seolah-olah bertindak sebagai saksi lalu pergi menceritakan kepada orang lain tentang pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang. Padahal penyebaran berita itu tidak benar. Berita yang disampaikan itu menyebar secara luas sehingga membuat si pesakit atau orang yang digossipi itu dijauhkan dari lingkungan sosial. Ia sendiri menanggung malu dan menerima konsekuensi dari berita bohong yang beredar.

Mendengar itu maka pihak keluarga melakukan pendekatan dengan korban dan menanyakan apa benar berita yang diedarkan. Jika itu benar maka akan ditindaklanjuti secara adat dan apabila tidak maka si penyebar berita akan dituntut dengan hukum adat pula. Oleh karena tindakan mengada-adakan masalah atau mencemari nama baik orang lain maka membuat pihak pesakit atau orang yang digossip itu melaporkanya kepada kepala suku setempat. Merasa pihaknya disakiti maka selanjutnya mereka (pihak suku pesakit) membawa persoalan ini ke meja adat di mana diselesaikan melalui adat setempat secara kekeluargaan. Pihak yang menjadi mediasi dalam penyelesaian masalah ini adalah pihak pemerintah beserta tokoh-tokoh adat setempat. Sedangkan yang hadir dalam  penyelesaian itu adalah kedua suku yang bermasalah sekaligus sebagai penanggung biaya penyelesaian perkara. Biasanya gelar perkara dilakukan dari tingkat bawa yakni RT/RW tempat di mana si pesakit ini tinggal dan dilakukan di rumah pak atau ibu RT/RW. Tindakan gelar perkara ini dilakukan dengan alasan untuk pemulihan nama baik pihak pesakit, keluarga pesakit dan dari pihak suku itu sendiri. Dalam gelar perkara, pihak mediasi mempertanyakan asal muasal berita, kapan terjadinya persoalan, apakah saudara atau saudari mengetahui secara langsung persoalan,dan lain sebagainya. Dan apabila tidak terbukti persoalannya maka si penyebar gossip atau sumber berita ini memohon maaf kepada korban, pihak keluarga korban dan anggota suku. Bentuk permohonan maaf tidak hanya melalui kata-kata semata tapi juga berdasarkan konsensus dari kedua bela pihak dalam gelar perkara seturut sanksi adat yang berlaku. Adapun bentuk sanksi adat yang diberikan adalah belis (gading) dan juga kemiri dan logé towé (memberi sarung adat kepada pihak pesakit). Berkaitan dengan ukuran dan kuantitas belis (gading) tentu sesuai dengan konsensus kedua bela pihak dan hal ini juga dilihat berdasarkan besar kecilnya masalah yang dipersoalkan. Belis gading (bala) di suku Lamaholot sendiri memiliki namanya masing-masing sesuai dengan ukurannya misalnya: bala kerung (gading pendek ukuran dari ujung jari telunjuk hingga siku); bala keleke (gading dengan ukuran otot lengan atas); bala tuba kelik (gading dengan ukuran sampai ketiak); bala lega (dari jari telunjuk hingga pertengahan dada); bala gawe korok (ukuran gading melewati dada); bala lekung (dari ujung jari telunjuk hingga siku kiri); bala detang wuang (hingga akar tangan kiri dari tangan kanan); bala telapak (hingga pertengahan tangan kiri); bala gate (hingga sendi jari telunjuk kiri); bala huut (gading satu depa panjangnya); dan gading yang ukurannya lebih panjang dari satu depa atau bala raing (Vatter 1984:78-79). 

Sedangkan sarung adat (kewate) diberikan sebagai bentuk “permohonan maaf” atau tanda “salam perdamaian”. Hal ini ditunjukan dengan pemakaian sarung (kewate) kepada pihak pesakit oleh pihak atau keluarga yang menyebarkan berita bohong (hoax). Dari uraian ini maka dapat diinterpretasikan terminologi rekonsiliatif di atas sebagai bentuk pemulihan nama baik terhadap korban di mana si penyebar berita mempertangungjawabkan duduk persoalan itu dengan membayar sanksi adat yang diberikan. Pembayaran belis (bala) dan logé towé adalah sebuah tindakan permohonan maaf sekaligus penyebar gossip itu menarik kembali kata-kata yang telah diucapkanya (pu’o nuhu-gi’é wewe). Dengan demikian terminologi Puo nuhu gi’é wewe merupakan upaya tebusan atau silih atas apa yang telah terucapkan sekaligus sebagai tindakan penyesalan diri. Sanksi adat yang diberikan tidak hanya sebagai bentuk permohonan maaf semata tapi lebih dari itu sebagai guru di mana dijadikan sebagai pelajaran yang berharga di masa yang akan datang. Terminologi Puo nuhu gi’é wewe ini tentu dengan sendirinya merujuk pada upaya rekonsilisi atau perdamaian dengan korban yang disakiti atau memulihkan nama baik korban di ruang publik atau dalam kehidupan sosial.

            Terminologi Puo nuhu gi’é wewe mengandung kebijaksanaan universal. Nilai-nilai kehidupan yang terdapat dalam terminologi ini adalah nilai etika, nilai persatuan dalam hidup bersama. Masyarakat setempat harus menjunjung tinggi etika hidup bersama atau dalam bahasa setempat disebut sebagai gasi are atadike (saling menghormati antar manusia). Saling menghormati merupakan fondasi dasar dalam hidup yang membawa keutuhan serta persatuan dalam kehidupan.

 

 

Sumber Kepustakaan

Fernandez, Stephanus Ozias, 1990. Kebijakan Manusia Nusa Tenggara Timur Dulu Dan  Kini, Maumere: Ledalero.

Vatter, Ernst, 1984. Ata Kiwan, Maumere: Penerbit Nusa Indah.

 

Kamis, 05 Maret 2020

Ritual di kebun baru


Gotong Royong Membangun Rumah


Serigalahkah Aku Bagi Sesamaku



Sebuah kajian filosofis atas peristiwa Sandosi-Adonara







                                                   (Yosep Belen Keban)

Pengantar
Homo homini lupus adalah sebuah adagium kuno dari kata bahasa Latin yang memiliki arti “manusia adalah serigala bagi sesama manusia”. Adagium itu dilontarkan pertama kali oleh Plautus dalam karyanya dengan judul Asinaria. Adagium itu merupakan bentuk pendek dari homo homini lupus est yang bisa diinterpretasi dengan manusia sering menikam sesama manusia lainnya. Terminologi ini acapkali dilontarakan dalam kelas filsafat dan dalam diskursus-diskursus sosial yang kerapkali  menjadi boomerang bagi manusia yang lain. Diskursus semacam itu menjadi pisau beda dalam melihat realitas sosial yang dihadapkan pada persoalan pertikaian atau pembunuhan sesama manusia. Terminologi ini kemudian digunakan oleh Thomas Hobbos dalam mahakarya dalam filsafat yang berjudul “De Cide” pada abad ke-15.
Thomas Hobbes melukiskan manusia sebagai  makhluk yang antisosial (Hardiman, 2004). Hal ini tentu memiliki pendasarannya yakni pemeliharaan diri akan berbenturan dengan hasrat pemeliharaan diri yang dimiliki oleh orang lain (The Other). Sebagai manusia yang antisosial berarti mengedepankan sikap yang terselubung atau tertutup atau dengan kata lain manusia yang tertutup dengan orang lain. Pemeliharaan diri itu tentu berkiblat pada keegoan diri sehingga membangun benteng diri yang kokoh dalam persaingan hidup. Hobbes  kemudian berpendapat bahwa dalam persaingan, manusia harus saling memperebutkan sumber-sumber yang langkah, mempertahankan apa yang sudah dikuasai, dan bahkan menundukkan orang lain. Sikap seperti ini menggambarkan perilaku manusia yang pada dasarnya mau menguasai yang lain, yang terjadi dalam kehidupan sosial tak kurang dari bellum omnes contra omnia (perang semua melawan semua) dan dalam perang itu, manusia dilukiskan sebagai serigala bagi sesamanya (homo homini lupus). Gambaran pemikiran manusia adalah serigala bagi sesamanya dalam kehidupan sosial menurut Tomas Hobbes juga masih terlihat dengan gamblang dalam realitas kontemporer. Ada begitu banyak persoalan hidup manusia yang pada akhirnya menelurkan duka bagi generasi berikutnya. Sandosi-Adonara adalah salah satu wilayah yang menjadi potret duka kini yang digambarkan dengan peristiwa Sandosi berdarah-Sandosi berduka.

Sandosi berduka
Kamis, 05 Maret 2020 adalah sebuah peristiwa duka dan bersejarah yang tidak akan dilupakan oleh generasi Sandosi-Adonara pada khusunya dan masyarakat Flores Timur pada umumnya. Sandosi merupakan sebuah desa di Kecamatan Witihama, Pulau Adonara-Kabupaten Flores Timur. Hari itu menjadi sebuah peristiwa duka yang mendalam lantaran perang suku terlahir dan memakan korban jiwa dari kedua suku. Peristiwa itu  memakan korban jiwa sebanyak enam orang akibat perang tanding (perang suku) yang memperebutkan hak ulayat atau tanah. Perang tanding itu dilakukan oleh kedua suku yakni suku Kwaelaga dan suku Lamatokan. Peristiwa itu terjadi sekitar pukul 10.00 di lokasi sengketa. Peristiwa perang tanding antar suku ini bukan merupakan peristiwa pertama kali yang terjadi di wilayah ini. Berdasarkan diskusi lepas saya dengan seorang ibu guru asal anak tanah Sandosi, ia menyatakan demikian. Peristiwa ini bukan yang pertama kalinya. Sandosi pernah mengalami peristiwa duka sama seperti peristiwa hari ini. Sungguh miris tentunya ketika mendengar berita ini apalagi kita hidup dalam dunia kini di tengah revolusi industri 4.0. seharusnya pola pikir, pola laku kita sudah semestinya sudah berkembang dan tidak primitif lagi. Saya tentu saja mengutuk peristiwa ini.

Sebab Konflik

Pada umumnya di wilayah Adonara sering kita menjumpai peristiwa perang tanding antar suku. Perang ini pecah karena hanya ada dua persoalan, yakni: tanah dan perempuan. Tanah menjadi salah satu penyebab konflik di Adonara selain Perempuan (Bebe, 2014: 86). Bagi masyarakat Lamaholot pada umumnya dan Adonara pada khususnya, tanah adalah sumber dan benih bagi kehidupan. Tanah disimbolisasikan dengan perempuan (ibu) yang dari rahimnya anak manusia itu terlahir dan hidup. Dari filosofis inilah kaum lelaki memperkuat semangat kepahlawanan untuk mati-matian membela sebidang tanah. Hal senada juga dikatakan oleh  Vatter dalam bukunya  Ata Kiwan. Vatter dalam bukunya itu, ia memberikan sebuah judul kecil tentang “Adonara, Pulau pembunuh”. Tulisannya ini tentu berangkat dari realitas sosial masyarakat Adonara pada zaman itu, yang dihadapkan pada konflik berdarah.
Bebe dalam bukunya Panorama Lamaholot (2004) melukiskan konflik atau perang sebagai jalan untut menuntut dan memperole kebenaran tentang kepemilikan tanah. Pembunuhan dilakukan sebagai jalan adu senjata (suri gala-labi nobe atau reket leu-rae tubak belo) sebagai pembuktian akan kesahian atau kebenaran kepemilikan.

Upaya Rekonsiliasi

Konflik atau perang tanding yang dilakukan oleh kedua suku di Sandosi adalah sebuah upaya mempertahankan  (pemeliharaan diri)  sebagai bentuk pembuktian akan hak ulayat. Namun, disisi lain pendapat itu seharusnya sudah lekang lantaran dunia kita sudah berbeda dengan masyarakat pada zaman dulu yang masih sangat primitif. Apalagi dalam konteks kini, masyarakat kita sudah hidup dalam zaman postmodernisme yang mengedepankan dialog sebagai sarana utama dalam perdamaian bukan perang. Konflik dalam perang hanya melahirkan derita tiada bertepi bagi anak cucu dan menelurkan dendam kesumat bagi mereka. Masyarakat Lamaholot dikenal dengan masyarakat yang beradab yang mana memiliki aneka kekayaan budaya. Budaya tersebut menyimpan sejuta nilai hidup dan kemudian dikerucutkan menjadi nilai Pancasila salah satunya adalah nilai kemanusian. Padahal kita memiliki aneka ritual kebudayaan yang mana merupakan local wisdom ke-Lamaholotan kita. Salah satunya adalah ritual “bau lolon”. Bau lolon merupakan sebuah ritual adat yang sering digunakan  untuk mematahkan perang tanding. Ia merupakan jalan utama secara adat untuk menyelesaikan atau meredam perang tanding. Ritual ini handak mengatakan bahwa nilai persaudaraan, kekeluargaan, kemanusiaan dan perdamaian begitu amat penting dari pada perang yang berujung pada kematian seperti pada hari ini. Dengan demikian, masyarakat Lamaholot pada umumnya dan Sandosi pada khususnya harus mengedepankan dialog atau musyawarah kemanusiaan dalam menyelesaikan persoalan.
Selain itu, dalam mengatasi persoalan kedua suku ini tentu dibutuhkan mediator. Mediator adalah pihak berwajib seperti TNI, Polri ataupun Pemereintah setempat untuk melakukan madiasi antara kedua suku ini. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi pecahnya perang susulan dikemudian hari. Dalam melakukan mediasi, sama seperti yang dikatakan Hobbes bahwa mereka hadir melakukan sebuah “kontrak sosial”. Kontrak sosial dalam bahasa Hobbes semacam sebuah perjanjian damai yang menjadi dasar kehidupan sosial. Kontrak kedamaian itu tentu merujuk pada aturan hukum yang ada pada negara. Kontrak sosial ala Hobes dalam bahasa Lamaholot disebut Mela Sare-Hodi limat. Ini merupakan sebuah upaya rekonsiliasi perang yang menggambarkan perdamaian. Tentu dalam uapaya rekonsiliasi ini ada kurban yang harus disembeli sebab ini adalah sebuah perjanjian adat karena sudah melanggar hak adat setempat. Upaya rekonsiliasi ini akan menjadi mungkin apabila kedua suku yang bertikai atau berperang mau mengakhiri konflik dengan berdamai.


Kata Akhir

Kritik yang disampaikan oleh Tomas Hobbes seperti yang saya uraikan dibagian awal tulisan ini adalah sebuah kritikan bagi kemanusian yang direnggut. Ini merupakan sisi lain dari gambaran manusia yang dalam tanda kutip “memelihara diri” (dalam bahasa Tomas Hobbes) atau diartikan dengan potret manusia yang egois. Dalam mempertahan hidup manusia menganggap yang lainnya adalah serigala sehingga patut dilenyapkan. Dengan pemikiran demikian, maka konflik itu terlahir. Konflik itu terlahir sebagai upaya dalam mempertahan keadaan seperti mempertahankan sesuatu yang dikuasai, memperjuangkan hak milik, dan lain sebagainya. Tanah adalah salah satunya sumber konflik.
Peristiwa yang terjadi di Sandosi adalah konflik tanah dan memakan korban jiwa sebanyak enam orang dari kedua suku. Sebagai harapan semoga peristiwa ini semoga cepat diselesaikan dan menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa kamanusiaan (manusia yang lain/The Other) adalah jauh lebih penting ketimbang harta duniawi tanah. Jangan kau gadaikan darah manusia dengan tanah. manusia (orang lain) adalah subyek seperti aku dalam ada menuju di dunia. Jadi, jangan perlakukan mereka yang lain sebagai serigala atau orang asing (Lyan) yang wajib anda habisi atau bunuh.





Ritual Padu Tupa duli pali di Lewotana ole Solor barat



Minggu, 23 Februari 2020

KOMPETENSI PEDAGOGIK DAN PROFESIONAL GURU




A.    Kompetensi Pedagogik
1.      Pengertian
Menurut kamus umum bahasa Indonesia (WJS. Purwadarminta) kompetensi berarti (kewenangan) kekuasaan untuk menentukan atau emmutuskan sesuatu hal. Pengertian dasar kompetensi yakni kemampuan atau kecakapan. Sementara itu, menurut Kepmendiknas nomor 45 tahun 2002 adalah seperangkat tindakan cerdas, pennuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas – tugas dibidang pekerjaan tertentu.
Dilihat dari istilahnya, pengertian dari pedagogic sendiri berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu paedos (anak) dan agogos (mengantar, membimbing, memimpin). Dari dua istilah diatas timbulah istilah baru yaitu pedagogos dan ppedagogog, keduanya memiliki pengertian yang hamper serupa, yaitu sebutan untuk pelayanan zaman Yunani kuno yang mengantarkan atau membimbing anak dari rumah ke sekolah setelah sampai di sekolah anak dilepas, dalam pengertian pedagog intinya adalah mengantarkan anak menuju pada kedewasaan.a
Istilah lainnya yaitu pedagogik yang berarti pergaulan dengan anak, pedagogi yang merupakan praktek pendidikan anak dan kemudian muncullah istilah “pedagogic yang berarti ilmu mendidik anak”.
Pedagogic adalah teori mendidik yang mempersoalkan apa dan bagaimana mendidik sebaik-baiknya. Sedangkan menurut pengertian Yunani, pedagogic adalah ilmu menuntun anak yang membicarakan masalah atau persoalan – persoalan dalam pendidikan dan kegiatan – kegiatan mendidik,, antara lain seperti tujuan pendidikan, alat pendidikan, cara melaksanakan pendidikan, anak didik, pendidik dan sebagainya. Oleh karena itu pedagogic dipandang sebagai suatu proses atau aktifitas yang bertujuan agar tingkah laku manusia mengalami perubahan.
            Kompetensi pedagogik sesuai dengan UU RI Guru dan Dosen Nomor 14 tahun 2005 dan PP Nomor 19/2005 adalah merupakan kemampuan yang berkenaan dengan pemahaman peserta didik dan mengelolah pembelajaran yang mendidik dan dialogis.

2.      Aspek – Aspek Kompetensi Pedagogik
Aspek ini diartikan bahwa kompetensi pedagogika merupakan kemampuan guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik yang sekurang-kurangnya meliputi :
a.       Pemahaman landasan atau wawasan kependidikan
Guru memiliki latar belakang pendidikan keilmuan sehingga memiliki keahlian secara akademik dan intelektual. Merujuk pada system pengelolaan pembelajaran yang berbasis subjek (mata pelajaran), guru seharusnya memiliki kesesuaian antara latar belakang keilmmuan dengan subjek yang dibina, selain itu guru memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam menyelenggarakan pembelajaran dikelas.
b.      Pemahaman terhadap peserta didik
Secara umum pemahaman peserta didik bererti kemampuan guru dalam memahami kondisi siswa (baik fisik maupun mental) dalam proses pembelajaran.
Mulyasa (2008:79) menyebutkan empat hal yang harus dipahami guru dari peserta didiknnya, yaitu tingkat kecerdasan, kreativitas, cacat fisik dan perkembangan kognitif.
Ø  Tingkat Kecerdasan
Arti dari kecerdasan (intelegensi) sebagai berikut : kemampuan umum mental individu yang tampak dalam caranya bertindak atau berbuat atau dalam memecahkan masalah atau dalam melaksanakan tugas.
Dari pengertian diatas dapat dikemukakan bahwa selain ditentukan berdasarkan IQ, ternyata tinggi atau rendahnya tingkat kecerdasan seseorang dapat dilihat dari kecepatan, ketepatan, dan keberhasilan sesorang dalam memecahkan masalah.
Ø  Kreativitas
Seperti halnya pemahaman terhadap tingkat kecerdasan peserta didik, guru juga diharapkan dapat menciptakan kondisi pembelajaran yang memberi kesempatan peserta didik untuk dapat m,engembangkan potensi dan kreativitasnya.
Ø  Cacat Fisik
Dalam bagian ini guru dituntut untuk dapat memahami kondisi fisik peserta didik yang memiliki keterbatasan atau kelainan (cacat). Untuk membantu perkembangan pribadi mereka, sikap dan layanan yang berbeda dapat dilakukan sesuai dengan kondisi fisik yang dialami peserta didik.
Ø  Pertumbuhan dan Perkembangan Kognitif
Pada dasarnya proses belajar mengajar bertujuan menciptakan lingkungan dan suasana yang dapat menimbulkan perubahan (pertumbuhan dan perkembangan) struktur kognnitif siswa sehingga guru benar-benar dapat memahami tingkat kesulitan yang dihadapi dengan menerapkan pembelajaran yang efektif sebagai solusinya.
c.       Pengembangan kurikulum/silabus
Guru memiliki kemampuan mengembangkan kurikulum pendidikan nasional yang disesuaikan dengan kondisi spesifik lingkungan sekolah.
d.      Evaluasi hasil belajar
Guru memiliki kemampuan untuk mengevaluasi pembelajaran yang dilakukan meliputi perencanaan, respon anak, hasil belajar anak, metode dan pendekatan.
e.       Pengembangan peserta didik
Pengembangan peserta didik dapat dilakukan oleh guru melalui berbagai cara, antara lain kegiatan ekstrakurikuler, pengayaan dan remedial, serta bimbingan konseling (BK).

3.      Syarat Syarat Pedagogik
Kedewasaan
Langveld berpendapat seorang pendidik harus orang dewasa, sebab hubungan antara anak dengan orang yang belum dewasa tidak dapat menciptakan situasi pendidik dalam arti yang sebenarnya.

Identifikasi Norma
Artinya menjadi satu dengan norma yang disampaikan kepada anak, misalnya pendidikan agama tidak akan berhasil diberikan oleh orang yang sekedar tahu tentang agama tetapi tidak  menganut agama yang diajarkan tersebut.

Identifikasi dengan Anak
Artinya pendidik dapat menempatkan diri dalam kehidupan anak, hingga usaha pendidikan tidak bertentangan dengan kodrat anak.

Knowledge
Mempunyai pengetahuan yang cukup perihal pendidikan

Skill
Mempunyai keterampilan mendidik

Attitude
Mempunyai sikap jiwa yang positif terhadap pendidikan

4.      Kemampuan Mengolah Pembelajaran
Memberikan pengajaran pada peserta didik haruslah mempunyai kemampuan mengelola pembelajaran. Karena seorang guru merupakan sentral dalam pembelajaran yang harusnya bertanggung jawab terhadap berbagai perencanaan, pelaksanaan dan penilaian perubahan atau perbaikan dari program pembelajaran. Jadi sangat penting seorang guru harus bias dan memiliki kemampuan dalam mengelola pembelajaran agar proses pelaksanaan pembelajaran bias berjalan lancar dan dapat menarik  minat peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar.

B.     Profesional Guru
1.      Pengertian
Professional kata dasarnya Profesi yang berasal dari Bahasa Inggris dan Professus dari Bahasa Latin yang artinya pekerjaan atau mata pencaharian. Menurut UU Guru dan Dosen  pasal 1 Nomor 14 tahun 2005, professional adalah pekerjaan atau kegiaatan yang dilakukan oleh seseorang  yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki keahlian, kemahiran atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
Guru yang professional adalah guru yang memiliki kompetensi yang dipersyaratkan untuk melakukan tugas pendidikan agar dapat mengorganisasikan lingkungan belajar yang produktif.
Kompetensi professional guru dapat diartikan sebagai kemampuan dan kewenangan guru dalam menjalankan profesi keguruannya dengan kemampuan tinggi.

2.      Conny R. Semiawan mengemukakan bahwa kompetensi guru memiliki tiga kriteria ;
1.      Knowledge criteria, yakni kemampuan intelektual yang dimiliki seseorang guru yang meliputi penguasaan materi pelajaran, pengetahuan mengenai cara mengajar, pengetahuan mengenai tingkah laku individu, pengetahuan tentang kemasyarakatan dan pengetahuan umum.
2.      Proformance criteria, yakni kemampuan guru yang berkaitan dengan pelbagai keterampilandan perilaku, yang meliputi keterampilan mengajar, membimbing , menilai menggunakan alat bantu pengajaran, bergaul dan berkomunikasi dengan siswa dan keterampilan menyusun persiapan mengajar atau perencanaan mengajar.
3.      Produc criteria, yakni kemampuan guru dalam mengukur kemampuan dan kemajuan siswa setelah mengikuti proses belajar mengajar.

3.      Kompetensi yang harus dimiliki guru professional, menurut Richard D. Kellough (1998) adalah :
1.      Guru harus menguasai pengetahuan tentang materi pelajaran yang diajarkannya
2.      Guru merupakan anggota aktif organisasi guru, membaca jurnal professional, melakukan dialog dengan sesame guru, mengembangkan kemahiran metodologi, membina siswa dan materi pelajaran
3.      Guru memahami proses belajar dalam arti siswa memahami tujuan belajar, harapan –harapan dan prosedur yang terjadi di kelas
4.      Guru adalah perantara pendidikan yang tidak perlu tahu segala-galahnya tetapi paling tidak tahu bagaimana dan dimana dapat memperoleh pengetahuan
5.      Guru melaksanakan perilaku sesuai model yang diinginkan di depan siswa
6.      Guru terbuka untuk berubah, berani mengambil resiko dan siap bertanggung jawab
7.      Guru tidak berprasangka jender, membedakan  jenis kelamin, ethnis, agama, penderitaan cacat dan status social
8.      Guru mengorganisasikan kelas dan merancang pembelajaran secara cermat
9.      Guru merupakan komunikator yang efektif
10.  Guru harus berfungsi secara efektif sebagai pengambil keputusan


Ritual Adat di Mata Air (Gage Duli Pali) 2019

Kamis, 13 Februari 2020

Rindu di mediovel Februari




                                                               (YK-2020)


Tentang rasa mengusik diri
Bergejolak riak di kalbu
Bergetar pasti hingga menelur riang
Tentang ego yang melenyap
Melebur nyata dan hanyut dalam diri The other
Hingga aku menyapamu dewi cinta
Jelas aq merindukanmu kini
Walau sempat pudar diakhir kemarin
Dikalah hari tua menyapa di Januari kelabu
Di mana jedah ditiap persuaan menjadi penghalang
Dan kini rindu itu menukik pasti
Di mediovel februari ini
Aku kembali hadir dengan rasa rindu yang bergejolak pasti
Hingga aku berani beriktiar bahwa kamu adalah segalanya
Bahwa aku mencintaimu tanpa jedah
bahkan tanpa ada kata TAPI


(Kota Reinya Larantuka, 2020)

Minggu, 29 Desember 2019

Sukacita Natal di Lembah Maku-Ole


(Yosep Belen Keban)



Sukacita Natal membawa kesan tersendiri bagi orang yang merayakan pesta iman ini di Desa Lewotanah Ole. Lewotanah Ole yang terletak di Kecamatan Solor Barat-Kabupaten Flores Timur ini memiliki sebuah tradisi yang unik. Tradisi ini sudah lama diturunkan oleh nenek moyang sehingga menjadi rutinitas setiap pesta iman baik Natal, Tahun Baru, maupun Paskah. Ketika hari Natal, Tahun Baru ataupun Paskah tiba, para kaula muda atau orang tua berkumpul lalu berembuk untuk melaksanakan tradisi ini. Orang Lamaole-Lewomaku melabeli tradisi itu dengan “o elele”. Terminologi o elele menjadi viral dan dilabeli pada tradisi unik ini karena berawal dari sebuah lagu lokal yang selalu dinyanyikan dalam tadisi ini. Berikut pendarasan syair lagunya: “o elele..o elele lau mori elele.....” Lagu ini merupakan lagu kesukaan yang terus dinyanyikan oleh tiap generasi dalam tradisi ini.
Tradisi o elele yang dilakukan oleh masyarakat suku Lamaole-Lewomaku merupakan sebuah ekspresi hati manusia yang merasa bahagia dan senang dalam merayakan pesta iman. Mereka mengekspresikan diri lalu berjalan mengelilingi kampung dari rumah ke rumah (door to door) untuk memberikan salam damai Natal atau tahun baru dan juga paskah bagi sesama yang mendiami kampung tersebut. Tradisi ini juga menjadi persuaan dan komitmen untuk membangun tali persaudaraan di antara mereka dalam kehidupan sosial. Mereka memberikan salam sambil berangkulan dan memohon maaf apabila ada kesalahan selama hari-hari berjalan. Apabila ada tutur kata, tindak tanduk dalam kehidupan sosial yang membuat hubungan persaudaraan menjadi retak atau renggang maka tradisi ini hadir sebagai media persatuan dan keutuhan antar sesama. Tradisi ini menjadi menarik bila dilakukan interprestasi lebih lanjut.
Pelaku dari tradisi O elele ini adalah para lelaki baik tua maupun muda yang berkeinginan bergabung untuk meriarayakan pesta iman ini. Mereka berjalan dari rumah ke rumah sambil bernyanyi menghibur diri dan diiringi musik gitar dan gendang. Mereka masuk dari tiap rumah dan memberikan salam bagi anggota keluarga yang dikunjungi. Menariknya ketika gerembolan musik itu tiba di depan rumah mereka menyanyikan lagu “ o saudara minta permisi kami masuk di rumah ini, ole kesenangan dihari ini tibalah, melambai-lambai sapu tangan saudara...” dan ketika mau pulang mereka menyanyikan lagu “o saudara minta permisi kami tinggalkan rumah ini...”. Sangat menarik ketika disimak begitu ada rasa sukacita dan karakteristik sopan santun yang termaktub dalam budaya ini. Dalam kunjungan itu, tuan rumah menyambut kelompok musik itu dengan hidangan alakadarnya. Mereka menyiapkan arak (minuman khas Lamaholot) apabila ada, siri pinang, air putih, tambo ikan bakar, ikan goreng dll serta rokok. Tuan rumah menyambut mereka dengan begitu ramah.
Ulasan singkat jalannya tradisi “o elele” di atas yang dihidupi oleh masyarakat suku Lamaole-Lewomaku di desa Lewotanah Ole adalah sebuah kearifan lokal atau lokal wisdom setempat. Budaya ini mengandung aneka nilai kehidupan yang termaktub indah di dalamnya. Ada nilai etika, nilai sosial, nilai persaudaraan dan nilai religius. Nilai-nilai itu dihidupi oleh masyarakat setempat dalam keseharian hidupnya. Dan perayaan iman menjadi ajang yang pas untuk saling memberikan maaf dan bersilaturahmi. Dugaan kuat tradisi ini lahir dari konsensus para tetua atau sesepuh dahulu kala untuk meriarayakan pesta iman atau mengekspresikan diri mereka dalam merayakan pesta iman ini dengan bernyanyi keliling kampung sambil diiringi musik juk, gendang, dll sebab pada zaman dahulu kala belum ada listrik, tape, dll seperti saat ini. Lalu menjadi pertanyaannya adalah apakah tradisi ini akan menjadi sebuah tradisi yang akan dipertahankan atau dihidupi oleh generasi Lamaole-Lewomaku mengingat Lamaole-Lewomaku saat ini sudah berada dalam jalur perkembangan modernisasi-westernisasi? Pertanyaan ini tentu saja berasal dari pengalaman penulis ketika melihat secara langsung tingkat partisipasi masyarakat yang semakin sedikit. Jika tradisi ini hilang maka nilai-nilai yang melekat erat dalam trasisi O Elele ini dengan sendirinya lenyap.



Minggu, 08 Desember 2019

Kristus Raja Pelindung Stasi Lamaole


Yosep Belen Keban

Kristus Raja Semesta Alam yang dirayakan oleh Umat Katolik seluruh dunia pada hari minggu 24 November 2019 merupakan titik pergumulan dan perefleksian iman umat yang mendalam akan keagungan atau kemahabesaran Tuhan. Tuhan yang merajai Alam Semesta dan segala isinya dirayakan dengan begitu gembira bahkan dibeberapa daerah dirayakan secara unik. Stasi Kristus Raja Lamaole merupakan sebuah stasi yang merayakan secara unik dalam Hari Raya ini. Gereja Kristus Raja Lamaole merupakan sebuah Gereja stasi di Paroki St. Yohanes Pembaptis Ritaebang yang berada dibawah naungan Keuskupan Larantuka.
Umat Stasi Kristus Raja Lamaole yang berada di Desa Lewotanah Ole memiliki sebuah tradisi iman yang unik. Tradisi itu dilaksanakan setiap malam pada tanggal 24 November. Malam itu mereka melakukan perarakan patung Kristus Raja mengeliling kampong. Patung tersebut dibaluti dengan pakaian adat setempat (kewatek-nowing-lido) dan digopong oleh para utusan dari tiap Komunitas Basis Gerejani (KBG) yang mana berbusana hitam-putih dan berselendangkan kain adat setempat. Momen ini menjadi hari terindah di Lembah Maku-Ole sebab tua muda besar kecil turun ke jalan sambil memegang lilin di tangan dan mendaraskan doa serta nyanyian rohani. Sungguh sebuah peristiwa iman yang betul-betul lahir dari kontek kehidupan umat setempat. Ada 4 armida utama yang sudah dihiasi dengan begitu indah. Keempat armada itu sesuai dengan jumlah KBG yang ada di stasi ini. Siang hari sebelum prosesi, mereka sudah mempersiapkan armida serta aneka orkestranya. Mereka juga membuat pagar untuk menyimpan lilin di sepanjang jalan prosesi. Sungguh sebuah tradisi yang indah. Sebelum prosesi dilaksanakan, umat diarahkan untuk melakukan ibadah di gereja dan setelah itu dilanjutkan dengan prosesi keliling kampung. Keesokan harinya pada Hari Raya Kristus Raja ada perayaan Ekaristi Kudus dan setelah itu dilanjutkan dengan acara syukuran bersama. Sesungguhnya perayaan Hari Raya ini dan juga sebagai pelindung stasi Lamaole, umat sungguh merasakan perayaan iman. Ini ibarat sebuah oase iman di zaman kini yang penuh dengan aneka pergumulan kehidupan. Bagi umat setempat tradisi iman seperti ini merupakan sebuah terobosan baru yang dilakukan oleh Pemimpin Umat setempat dan hal ini baru dilakukan beberpa tahun belakangan ini sehingga patut dilakukan terus dan menjadi sebuah tradisi unik di stasi Lamaole.