Rabu, 06 November 2024

Membangun Moderasi Beragama Melalui Kearifan Lokal

 
                                                    

    




Membangun Moderasi Beragama Melalui Kearifan Lokal

Yosep Belen Keban

STP Reinha Larantuka, Flores Timur-NTT

(Peserta PKDP UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tahun 2024)

 


Ket. Foto; Kompleks Gereja Katolik dan Mushola Pepakgeka-Adonara, Flores Timur

 

Indonesia merupakan negara yang memiliki kemajemukan dalam berbagai aspek kehidupan seperti suku, etnis, budaya, bahasa, dan agama. Salah satu aspek kehidupan yang sangat penting yaitu agama. Agama merupakan perekat umat dan juga merupakan ranah sensitif yang acapkali menimbulkan atau melahirkan konflik antar agama yang disebabkan oleh masalah-masalah dalam kehidupan antar umat beragama. Berbagai macam konflik atau masalah yang terjadi seperti kasus ujaran kebencian, kasus penistaan dan penodaan agama, pembakaran rumah ibadah, pengerusakan rumah ibadah, pembubaran upacara keagamaan, adanya bentuk-bentuk stereotip terhadap agama tertentu, diskriminasi dan rasisme, melarang keberadaan agama tertentu pada sebuah daerah atau wilayah dan juga menolak ibadah agama tertentu.

Pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan di tanah air sampai saat ini masih saja terjadi dan naik secara signifikan pada tahun sebelumnya.

hasil riset Setara Institut diketahui bahwa pada tahun 2023 tercatat sebanyak 217 peristiwa dengan 329 tindakan pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Gambaran persoalan agama di atas menjadi sebuah problem utama dalam membangun keharmonisan dalam hidup bersama dan tentu hal tersebut bertolakbelakang dengan hakikat agama itu sendiri yakni menyebarkan cinta kasih dan kedamaian. Pemerintah melalui Menteri agama hadir dan berupaya untuk mengkampanyekan moderasi beragama yang disampaikan oleh mantan Menteri Agama RI yaitu Lukman Hakim Saifuddin yang menetapkan Tahun 2019 sebagai tahun moderasi beragama.

Moderasi beragama merupakan suatu perilaku dan sikap seseorang yang berada di tengah-tengah, yang mengedepankan sikap keadilan dan tidak ekstrim dalam kehidupan beragama.Moderasi beragama memiliki empat indikator penting yakni; Pertama, sikap toleransi, wawasan kebangsaan, anti kekerasan, adaptif terhadap budaya lokal.

       

                                                                      Ket. Foto; menggali data penelitian tentang moderasi beragama di Flores Timur


Kesadaran dan praktik hidup moderasi beragama dalam setiap kebudayaan di tanah air pasti ada dan dibaluti dalam ekspresi kebudayaan setempat baik itu dalam ritual, pribahasa atau ungkapan, serta dalam seni kebudayaan lainnya. Hal ini juga dihidupi oleh masyarakat budaya Lamaholot di Kabupaten Flores Timur-Nusa Tenggara Timur.

           Salah satu kebudayaan lokal berupa ungkapan lokal yang ada di bumi Lamaholot khususnya pada masyarakat Flores Timur (Adonara, Solor dan Larantuka daratan) yaitu koda kirin nulun walen melan senaren. Kamus Bahasa Lamaholot mengartikan ungkapan tersebut demikian (Karl-Heins Pampus, 2008).  Istilah koda kirin dalam kata bahasa Lamaholot memiliki arti yang sama dengan koda kehirin yang berarti “bercerita, hal, perkara, peristiwa dan juga amanat, nasehat, pesanan dari orang tua kepada anaknya”. Istilah Lamaholot nulun walen dalam Kamus Bahasa Lamaholot diartikan dengan sikap hidup; perangai; perilaku; tabiat; kata melan senaren dalam Kamus Bahasa Lamaholot diartikan dengan hal yang baik. Gabungan dari istilah tersebut kemudian membentuk sebuah kearifan lokal melalui ungkapan yang khas yang mana dapat menjadikan ungkapan tersebut sebagai ajakan, ajaran atau nasihat kepada generasi Lamaholot agar dalam kehidupan berusaha untuk menjadi manusia yang unggul melalui kata (koda kirin) dan perbuatan (nulun walen). Ungkapan ini merupakan sebuah kearifan lokal Lamaholot Flores Timur yang mengandung nilai-nilai kehidupan yang dari padanya dijadikan sebagai pedoman hidup manusia Lamaholot. Warisan filosofis koda kirin nulun walen melan senaren diturunkan secara turun termurun oleh para leluhur Lamaholot dan sampai saat ini tetap dihidupi oleh masyarakat Lamaholot.

Ungkapan koda kirin nulun walen melan senaren ini merupakan wejangan atau ungkapan yang digunakan untuk memberikan suatu pesan dari generasi ke generasi berikut atau juga sebagai suatu bahasa yang digunakan untuk mengubah perilaku atau sikap dan cara hidup melalui tutur kata (koda kirin) dan perbuatan (nulun walen) sehingga bisa menjadi manusia yang baik atau atadiken melan senaren.

Masyarakat di desa ini sungguh telah mempraktikan dengan baik sikap moderasi beragama, tidak membeda-bedakan, dan saling menghargai di tengah perbedaan tersebut.

Keadaan seperti itu sudah dialami oleh orang-orang dulu yakni para leluhur dan juga nenek moyang. Sehingga para leluhur dan juga nenek moyang memberikan wejangan atau nasihat kepada masyarakat setempat dalam bertutur kata (koda kirin) dan laku atau perbuatan (nulun walen), sehingga sampai sekarang masyarakat Lamaholot hidup penuh damai, rukun, dan harmoni serta dikatakan sebagai manusia yang baik (melan senaren). Manusia Lamaholot pada umumnya dan secara pada masyarakat Pepakgeka sudah menyadari bagimana menjadi manusia yang baik atau melan senaren sehingga terciptanya generasi yang moderat dalam kehidupan beragama.

 

Salam Moderasi

Indonesia Damai

Indonesia Rukun

Indonesia Jaya