Membangun Moderasi Beragama Melalui Kearifan Lokal
Yosep Belen Keban
STP Reinha Larantuka, Flores Timur-NTT
(Peserta PKDP UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Tahun 2024)
Indonesia merupakan negara yang memiliki kemajemukan dalam berbagai aspek kehidupan seperti suku, etnis, budaya, bahasa, dan agama. Salah satu aspek kehidupan yang sangat penting yaitu agama. Agama merupakan perekat umat dan juga merupakan ranah sensitif yang acapkali menimbulkan atau melahirkan konflik antar agama yang disebabkan oleh masalah-masalah dalam kehidupan antar umat beragama. Berbagai macam konflik atau masalah yang terjadi seperti kasus ujaran kebencian, kasus penistaan dan penodaan agama, pembakaran rumah ibadah, pengerusakan rumah ibadah, pembubaran upacara keagamaan, adanya bentuk-bentuk stereotip terhadap agama tertentu, diskriminasi dan rasisme, melarang keberadaan agama tertentu pada sebuah daerah atau wilayah dan juga menolak ibadah agama tertentu.
Pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan di tanah air sampai saat ini masih saja terjadi dan naik secara signifikan pada tahun sebelumnya.
hasil riset Setara Institut diketahui bahwa pada tahun
2023 tercatat sebanyak 217 peristiwa dengan 329 tindakan pelanggaran terhadap
kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Gambaran persoalan agama di atas menjadi sebuah
problem utama dalam membangun keharmonisan dalam hidup bersama dan tentu hal
tersebut bertolakbelakang dengan hakikat agama itu sendiri yakni menyebarkan
cinta kasih dan kedamaian. Pemerintah melalui Menteri agama hadir dan berupaya
untuk mengkampanyekan moderasi beragama yang disampaikan oleh mantan Menteri
Agama RI yaitu Lukman Hakim Saifuddin yang menetapkan Tahun 2019 sebagai tahun
moderasi beragama.
Moderasi beragama
merupakan suatu perilaku dan sikap seseorang yang berada di tengah-tengah, yang
mengedepankan sikap keadilan dan tidak ekstrim dalam kehidupan beragama.Moderasi beragama memiliki empat indikator penting
yakni; Pertama, sikap toleransi, wawasan kebangsaan, anti
kekerasan, adaptif terhadap budaya lokal.
Ket. Foto; menggali data penelitian tentang moderasi beragama di Flores Timur
Kesadaran dan praktik
hidup moderasi beragama dalam setiap kebudayaan di tanah air pasti ada dan
dibaluti dalam ekspresi kebudayaan setempat baik itu dalam ritual, pribahasa
atau ungkapan, serta dalam seni kebudayaan lainnya. Hal ini juga dihidupi oleh
masyarakat budaya Lamaholot di Kabupaten Flores Timur-Nusa Tenggara Timur.
Salah satu kebudayaan lokal berupa ungkapan lokal yang ada di bumi Lamaholot khususnya pada masyarakat Flores Timur (Adonara, Solor dan Larantuka daratan) yaitu koda kirin nulun walen melan senaren. Kamus Bahasa Lamaholot mengartikan ungkapan tersebut demikian (Karl-Heins Pampus, 2008). Istilah koda kirin dalam kata bahasa Lamaholot memiliki arti yang sama dengan koda kehirin yang berarti “bercerita, hal, perkara, peristiwa dan juga amanat, nasehat, pesanan dari orang tua kepada anaknya”. Istilah Lamaholot nulun walen dalam Kamus Bahasa Lamaholot diartikan dengan sikap hidup; perangai; perilaku; tabiat; kata melan senaren dalam Kamus Bahasa Lamaholot diartikan dengan hal yang baik. Gabungan dari istilah tersebut kemudian membentuk sebuah kearifan lokal melalui ungkapan yang khas yang mana dapat menjadikan ungkapan tersebut sebagai ajakan, ajaran atau nasihat kepada generasi Lamaholot agar dalam kehidupan berusaha untuk menjadi manusia yang unggul melalui kata (koda kirin) dan perbuatan (nulun walen). Ungkapan ini merupakan sebuah kearifan lokal Lamaholot Flores Timur yang mengandung nilai-nilai kehidupan yang dari padanya dijadikan sebagai pedoman hidup manusia Lamaholot. Warisan filosofis koda kirin nulun walen melan senaren diturunkan secara turun termurun oleh para leluhur Lamaholot dan sampai saat ini tetap dihidupi oleh masyarakat Lamaholot.
Ungkapan koda kirin nulun walen melan senaren ini
merupakan wejangan atau ungkapan yang digunakan untuk memberikan suatu pesan
dari generasi ke generasi berikut atau juga sebagai suatu bahasa yang digunakan
untuk mengubah perilaku atau sikap dan cara hidup melalui tutur kata (koda
kirin) dan perbuatan (nulun walen) sehingga bisa menjadi manusia
yang baik atau atadiken melan senaren.
Masyarakat di desa ini sungguh telah mempraktikan
dengan baik sikap moderasi beragama, tidak membeda-bedakan, dan saling
menghargai di tengah perbedaan tersebut.
Keadaan seperti itu sudah dialami oleh orang-orang
dulu yakni para leluhur dan juga nenek moyang. Sehingga para leluhur dan juga
nenek moyang memberikan wejangan atau nasihat kepada masyarakat setempat dalam
bertutur kata (koda kirin) dan laku atau perbuatan (nulun walen),
sehingga sampai sekarang masyarakat Lamaholot hidup penuh damai, rukun, dan
harmoni serta dikatakan sebagai manusia yang baik (melan senaren).
Manusia Lamaholot pada umumnya dan secara pada masyarakat Pepakgeka sudah
menyadari bagimana menjadi manusia yang baik atau melan senaren sehingga
terciptanya generasi yang moderat dalam kehidupan beragama.
Salam
Moderasi
Indonesia
Damai
Indonesia
Rukun
Indonesia
Jaya