Minggu, 06 Desember 2020

Pu’o nuhu gi’é wewe (Bahasa Lamaholot Lamaole-Lewomaku: cuci mulut bersihkan lidah).

 

Pu’o nuhu gi’é wewe (Bahasa Lamaholot Lamaole-Lewomaku: cuci mulut bersihkan lidah).


Yosep Belen Keban   


Puo nuhu gi’é wewe merupakan sebuah istilah yang dimiliki oleh suku Lamaole dan suku Lewomaku di wilayah Flores Timur. Terminologi ini tentu merujuk pada pelanggaran moral yang berkaitan dengan aktivitas manusia. Adapun maksud dari terminologi ini adalah menarik kata-kata yang telah terucap di mana dinggap membuat nama baik orang lain tercemar. Seseorang yang menyebarkan berita miris atau gossip (hoax) terkait sesuatu persoalan terhadap orang lain dianggap sebagai nuhu wewa platé (penista atau penggosip). Penggosip dalam bahasa Lamaholot disebut sebagai koda ata alaten (Fernandez 1990: 277).

Terminologi ini adalah sebuah terminologi yang dimiliki oleh masyarakat adat di Desa Lewotanah-ole, Kecamatan Solor Barat Kabupaten Flores Timur. Di Desa ini adanya acara pembersihan diri dari perkataan yang diucapkan oleh seseorang. Kebiasaannya si penggossip ini menceritakan peristiwa-peristiwa yang dianggap tabu dalam kehidupan bersosial seperti perselingkuhan. Perselingkuhan dianggap sebagai masalah serius dan juga dipandang melanggar adat istiadat setempat. Perselingkuhan ini bisa saja terjadi baik itu dari pihak suami atau istri yang melakukan perselingkuhan atau “hubungan haram” dengan suami atau istri orang lain (temaka ata kewae ka ato temaka ata kelake ka) atau pun dengan kaum muda-mudi. Si penggossip seolah-olah bertindak sebagai saksi lalu pergi menceritakan kepada orang lain tentang pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang. Padahal penyebaran berita itu tidak benar. Berita yang disampaikan itu menyebar secara luas sehingga membuat si pesakit atau orang yang digossipi itu dijauhkan dari lingkungan sosial. Ia sendiri menanggung malu dan menerima konsekuensi dari berita bohong yang beredar.

Mendengar itu maka pihak keluarga melakukan pendekatan dengan korban dan menanyakan apa benar berita yang diedarkan. Jika itu benar maka akan ditindaklanjuti secara adat dan apabila tidak maka si penyebar berita akan dituntut dengan hukum adat pula. Oleh karena tindakan mengada-adakan masalah atau mencemari nama baik orang lain maka membuat pihak pesakit atau orang yang digossip itu melaporkanya kepada kepala suku setempat. Merasa pihaknya disakiti maka selanjutnya mereka (pihak suku pesakit) membawa persoalan ini ke meja adat di mana diselesaikan melalui adat setempat secara kekeluargaan. Pihak yang menjadi mediasi dalam penyelesaian masalah ini adalah pihak pemerintah beserta tokoh-tokoh adat setempat. Sedangkan yang hadir dalam  penyelesaian itu adalah kedua suku yang bermasalah sekaligus sebagai penanggung biaya penyelesaian perkara. Biasanya gelar perkara dilakukan dari tingkat bawa yakni RT/RW tempat di mana si pesakit ini tinggal dan dilakukan di rumah pak atau ibu RT/RW. Tindakan gelar perkara ini dilakukan dengan alasan untuk pemulihan nama baik pihak pesakit, keluarga pesakit dan dari pihak suku itu sendiri. Dalam gelar perkara, pihak mediasi mempertanyakan asal muasal berita, kapan terjadinya persoalan, apakah saudara atau saudari mengetahui secara langsung persoalan,dan lain sebagainya. Dan apabila tidak terbukti persoalannya maka si penyebar gossip atau sumber berita ini memohon maaf kepada korban, pihak keluarga korban dan anggota suku. Bentuk permohonan maaf tidak hanya melalui kata-kata semata tapi juga berdasarkan konsensus dari kedua bela pihak dalam gelar perkara seturut sanksi adat yang berlaku. Adapun bentuk sanksi adat yang diberikan adalah belis (gading) dan juga kemiri dan logé towé (memberi sarung adat kepada pihak pesakit). Berkaitan dengan ukuran dan kuantitas belis (gading) tentu sesuai dengan konsensus kedua bela pihak dan hal ini juga dilihat berdasarkan besar kecilnya masalah yang dipersoalkan. Belis gading (bala) di suku Lamaholot sendiri memiliki namanya masing-masing sesuai dengan ukurannya misalnya: bala kerung (gading pendek ukuran dari ujung jari telunjuk hingga siku); bala keleke (gading dengan ukuran otot lengan atas); bala tuba kelik (gading dengan ukuran sampai ketiak); bala lega (dari jari telunjuk hingga pertengahan dada); bala gawe korok (ukuran gading melewati dada); bala lekung (dari ujung jari telunjuk hingga siku kiri); bala detang wuang (hingga akar tangan kiri dari tangan kanan); bala telapak (hingga pertengahan tangan kiri); bala gate (hingga sendi jari telunjuk kiri); bala huut (gading satu depa panjangnya); dan gading yang ukurannya lebih panjang dari satu depa atau bala raing (Vatter 1984:78-79). 

Sedangkan sarung adat (kewate) diberikan sebagai bentuk “permohonan maaf” atau tanda “salam perdamaian”. Hal ini ditunjukan dengan pemakaian sarung (kewate) kepada pihak pesakit oleh pihak atau keluarga yang menyebarkan berita bohong (hoax). Dari uraian ini maka dapat diinterpretasikan terminologi rekonsiliatif di atas sebagai bentuk pemulihan nama baik terhadap korban di mana si penyebar berita mempertangungjawabkan duduk persoalan itu dengan membayar sanksi adat yang diberikan. Pembayaran belis (bala) dan logé towé adalah sebuah tindakan permohonan maaf sekaligus penyebar gossip itu menarik kembali kata-kata yang telah diucapkanya (pu’o nuhu-gi’é wewe). Dengan demikian terminologi Puo nuhu gi’é wewe merupakan upaya tebusan atau silih atas apa yang telah terucapkan sekaligus sebagai tindakan penyesalan diri. Sanksi adat yang diberikan tidak hanya sebagai bentuk permohonan maaf semata tapi lebih dari itu sebagai guru di mana dijadikan sebagai pelajaran yang berharga di masa yang akan datang. Terminologi Puo nuhu gi’é wewe ini tentu dengan sendirinya merujuk pada upaya rekonsilisi atau perdamaian dengan korban yang disakiti atau memulihkan nama baik korban di ruang publik atau dalam kehidupan sosial.

            Terminologi Puo nuhu gi’é wewe mengandung kebijaksanaan universal. Nilai-nilai kehidupan yang terdapat dalam terminologi ini adalah nilai etika, nilai persatuan dalam hidup bersama. Masyarakat setempat harus menjunjung tinggi etika hidup bersama atau dalam bahasa setempat disebut sebagai gasi are atadike (saling menghormati antar manusia). Saling menghormati merupakan fondasi dasar dalam hidup yang membawa keutuhan serta persatuan dalam kehidupan.

 

 

Sumber Kepustakaan

Fernandez, Stephanus Ozias, 1990. Kebijakan Manusia Nusa Tenggara Timur Dulu Dan  Kini, Maumere: Ledalero.

Vatter, Ernst, 1984. Ata Kiwan, Maumere: Penerbit Nusa Indah.